Share

Lumrah

Saat-saat menyenangkan adalah ketika kita selalu punya waktu bercanda dan bercengkrama dengan orang-orang terdekat kita, apalagi mereka adalah sahabat-sahabat seperjuangan, sama-sama merantau di negeri orang. Namun itu harus terhenti sejenak sebab sesuatu dan lain hal. Sesuatu itu adalah, Aini mendapat telphone dari papanya Rafli Syahbandar tadi pagi, dan meminta Aini untuk segera kembali ke Aceh besok. Rafli mengabari anak sulungnya bahwasanya Meylani akan segera menikah dua hari mendatang. Khabar itu sedikit membuat Aini terkejut. Ia tidak menyangka ternyata Meylani telah berhasil meluluhkan hati ayahnya Rafli. Padahal, seminggu yang lalu ia masih mendengar cerita Asril adik laki-lakinya, kalau papa tidak akan pernah menerima Halim dikeluarga Syahbandar. Sungguh tidak ada satu pun yang bisa menentang takdirnya Allah. terlebih masalah jodoh, itu sudah diatur sedemikian rupa.

Hari ini, Aini memutuskan untuk bertemu dengan Sonya sahabatnya. Anggraini sudah mengirim chat pada Sonya agar menunggu di kantin kampus fakultas Hukum Sumatera, tempat dirinya menempuh pendidikan jenjang S2.

Sebelum bertemu Sonya, Aini mampir ke Birokrasi kemahasiswaan untuk menyerahkan surat cuti selama dirinya di kampung halaman nanti. Aini juga sudah menyiapkan beberapa tugas kuliah yang diberikan dosennya dua hari yang lalu. Gadis itu terkenal rajin di antara teman-temannya yang lain. Ia selalu tampil terdepan bila ada tugas yang diberikan dosen bersangkutan. Aini hanya berpedoman pada teori harapan, bahwa pencapaian itu adalah sebuah harapan. Ia jauh-jauh dari Aceh ke Medan untuk menggapai sebuah harapan yaitu meraih gelar Master Hukum.

Aini berjalan menyusuri koridor kampus menuju kantin yang tidak terlalu jauh dari birokrasi. Mengingat waktu yang sedikit mengendor, tidak sesuai dengan janjinya pada Sonya. Alhasil, Sonya terus-menerus menghubunginya, dan bertanya “Jadi apa tidak?” Aini mempercepat langkahnya agar segera sampai di kantin.

“Sori, Son. Gua ke Biro dulu, ngasih surat cuti,” kata Anggraini dengan nada ngos-ngosan akibat sedikit berlari untuk sampai di kantin.

“Ah, ellu, sibuknya ngalahin buk Ratna tau, gak?” balas Sonya santai, namun nyindir. Memang sih, teman-teman Aini sering menbandingkan dirinya dengan Buk Ratna dosen fakultas S2 bidang ilmu komunikasi publik, dan beliau mengajar disemua jurusan S2 yang ada di Universitas tersebut.

“Lu bisa aja, Son. Gua kesayangannya, lu gak iri, kan?” tukas Aini gak kalah seloroh. Sonya mengerut kening, dalam hati sejak kapan Anggraini tertawa selepas ini.

“Iri kali pun. Secara, buk Ratna kan tomboy, mana tau... “

“Sonya.. udah, gak usah ngaur pagi-pagi ya, mending lu nambah baksonya, lumayan, kan?” Aini memotong kata-kata Sonya karena dianggapnya tidak pantas. Pasalnya mereka tidak berdua di kantin itu, kalau sempat ada yang menguping, bisa timbul fitnah, kan?

“Ya, lah. Dari pada bonyok. Terus, serius nih, mau balik?” kata Sonya mengalihkan topik. Mulutnya tak henti mengunyah makanan yang tersedia di depannya, dari semenjak ia tiba sampai Aini muncul menyuruhnya nambah lagi. Sonya Felida, gadis manis berambut ikal bermarga Nenggolan. Kuliah satu angkatan dengan Aini membuat keduanya akrab dan saling melengkapi. Aini yangbsedikit memiliki kepintaran di atas rata-rata sering menjadi sandaran Sonya untuk menyelesaikan tugas kuliah yang diberikan dosen mereka.

Anggraini menyeruput minuman yang baru saja diantar abang kantin, sebelum menjawab pertanyaan Sonya. Ia tidak berniat untuk menceritakan tujuannya balik ke kampung, bila Sonya tidak bertanya. Tapi, Aini gak yakin Sonya akan diam saja. Secara cewek itu punya kebiasaan kepo yang sudah akut. Mau diapain juga tetap aja keponya kebangetan

“Emm.. serius sih. Kalau gak ada halangan. Insyaa Allah, penerbangan pagi.” Terangnya santai. Aini menghela nafas berat ketika mengingat Meylan telah melangkahinya tanpa mempertimbangkan perasaannya. Anggraini rela dilangkahi adiknya meskipun ia harus menanggung sedikit rasa malu, karena seharusnya kakak duluan lah yang harus menikah menurut adat istiadat keluarga Syahbandar. Namun, apa hendak dikata. Kerasnya ancaman Meylan membuat orang tuanya luluh walaupun itu sangat terpaksa.

“Emang, mendadak banget. Lu mau dijodohin?” tambah Sonya lagi. Secara tidak langsung gadis itu berusaha memancing Aini untuk bercerita. Aini tau maksud Sonya. Dia membiarkan Sonya menunggu penjelasannya.

“Jodoh, dari mana ... Hongkong? Lu pikir gua Siti Nurbaya?” elak Aini mengidik bahu. Sonya tergelak mendengar nada Aini seperti orang kebakaran jenggot.

“Iya, kali aja lu penerus Siti Nurbaya. lu kan pernah bilang? Kalau bokap lu bakalan ngejodohin kalian anak-anaknya dengan sesama Bangsawan. Lu gak lupa itu, kan Ain?” Sonya terus menerus mengait-ngaitkan tentang jodoh, membuat Aini gerah. Sonya tidak tau lagi harus bagaimana supaya Aini mau bercerita sedikit soal kepulangannya yang menurutnya sangat mendadak.

“Gak.” Jawab Aini singkat. Gadis itu terus mengunyah bulatan bakso dalam mulutnya tanpa melihat wajah Sonya. Ia tau, kalau  sebenarnnya Sonya sedang berusaha mengorek informasi tentang rencana kepulangannya

“Terus,” sambung Sonya lagi tak perduli Aini bakalan marah diintrogasi seperti itu

“Adik gua. Meylan nikah besok lusa,” Aini menjeda sejenak lalu menyerup air mineral dalam botol sampai habis. Sonya memicing pada wajah Aini, menunggu lanjutan cerita. Aini masih diam sambil memperbaiki posisi kerudungnya yang sedikit rusak akibat terpaan angin. Sifat datarnya sering kali membuat Sonya gerem, apalagi sedang berbicara, paling lama menjawab seolah otaknya sedang kosong kata-kata.

“Meylan tidak nikah dengan Teuku. Malah dia dilamar sama pria biasa. Memang awalnya papaku menolak. Tapi ... “

“Tapi kenapa?” potong Sonya cepat, gadis itu semakin penasaran.

“Kepo banget sih, lu?” Sanggah Aini tanpa melanjutkan ceritanya. Ia menganggkat tangan memanggil abang-abang kantin, dan mengabaikan Sonya. Sonya menaut kedua alisnya, hampir setiap hari gadis itu dibuat penasaran sama Aini yang suka menggantungkan info apa pun.

“Hitung, Bang." kata Aini pada pemilik kantin.

“Hey? Kita belum selesai. Lu harus tuntasin dulu cerita, baru lu boleh pergi? Lu gak mau kan, liat gua mati penasaran?” rengek Sonya seperti wanita meminta kepastian pada kekasihnya.

Setelah membayar semua makanan, Aini bangkit diikuti Sonya mengimbangi langkahnya.

“Papa gua gak pernah setuju Meylan nikah dengan Halim, kekasihnya. Tapi, Meylan mengancam papaku, Son. Gua juga kurang tau, apa bentuk ancaman itu. Lagian, kasihan juga Meylan. Sudah bastreet selama tiga tahun.” Papar Aini detail. Bicara sambil jalan membuat Sonya kesusahan membaca ekspresi Aini.

“Emang, lu gak masalah keduluan?” tutur Sonya lagi. Aini menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ia menatap Sonya sendu, ada kekecewaan di lubuk hatinya yang dalam. Namun, ia juga tidak mau mempermasalahkan keadaan sekarang, karena menurutnya jalan hidup seseorang sudah ada yang ngatur, termasuk pernikahan Meylan, itu tidak terlepas dari pantauan Allah. Apa aku harus kecewa? sementara pernikahan Meylan saja terpaksa. Lebih baik tidak menikah dari pada hidup dibawah tekanan. Aku yakin, Meylan akan dikucilkan dari keluarga Syahbandar. Semua hanya sia-sia. Biarlah waktu yang menentukan perkara jodoh dan pernikahan, serta embel-embel itu. Aku capek, memikirkan keluarga setiap hari disibukkan dengan silsilah dan adat turun temurun.

“Masalah sih, enggak. Kecewa sih, sedikit. Tapi, bukan kah itu suatu hal yang lumrah. Toh, jodoh kan sudah diatur?” tutur Aini menepis semua sisi sakit dalam hatinya. Sonya mangut-mangut mendengar setiap penjelasan sahabatnya. Ia takjub dengan pendirian Aini, tidak mau dekat dengan pria manapun dari pada ujung-ujungnya engga dapat restu.

Huf! Rumit banget peraturan keluarga lu, Ain.

“Lumrah sih? Akan lebih lumrah lagi, kalau lu bisa terima Victor. Kasian tuh, jungkir balik.” Canda Sonya menyeret topik ketika dilihatnya mata Aini berkaca.

“Paan, sih. Gak lucu tauk,” Aini mengulum senyum menahan gelitik dalam hatinya.

“Cii ... cii.. benaran kan? Lu senang..”

“Lah. Siapa yang senang, biasa aja kali’. Udah ah. Gua balik dulu. Mau nyari oleh-oleh buat nyokap.” Protes Aini malu-malu. Sonya pun terbahak-bahak. Sepertinya hari ini ia berhasil mengorek sahabatnya sekaligus membuat pipi Aini merona.

“Yo wes. Sori yah. Gua ada kelas gak bisa nemenin lu belanja,” Sonya memeluk sejenak tubuh Aini. Keduanya berpisah di taman kampus. Aini mengambil jalur kiri jalan menuju gerbang kampus, sementara Sonya menuju gedung c tempat dirinya belajar. Namun sebelum menjauh, Sonya memanggil Aini kembali

“Ain.. hati-hati ya? Barakallah, buat Meylan!!” teriaknya dari jarak dekat. Aini tersenyum bahagia melihat Sonya selalu perduli pada dirinya. Aini menyetop angkutan kota untuk sampai di mall. Ia hendak berbelanja oleh-oleh untuk keluarganya. Oleh-oleh khas Medan palingan bika ambon, tapi papanya tidak suka memakan makanan manis-manis, jadinya Aini bingung, akhirnya berinisiatif mencari pakaian sholat saja. Lebih bermanfaat dan yang pasti, papanya senang.

Hiruk pikuk kota berjulukan Andalas tidak pernah berhenti. Wara-wiri aktivitas jalan raya dari terbit matahari sampai terbenam keufuk barat. Aini berkeliling mall mencari oleh-oleh untuk kedua orang tuanya, namun tak jua dapat apa yang diinginkannya. Sebenarnya bukan tidak dapat sihgalau harus beli apa, itu lebih tepatnya.

Menyusuri koridor mall terbesar di kota Medan membuat Aini kelehan berjalan, apalagi gadis itu tidak ditemani oleh siapa pun. Aini menjatuhkan pilihan pada seperangkat alat sholat beserta style busana Timur tengah sebagai hadiah istimewa untuk orang yang teristimewa.

"Terimakasih, kak Aini ... senang berkenalan dengan kakak, lain kali kalau berbelanja ingat toko kami, ya?" ucap pelayan toko tempat Aini membeli oleh-olehnya. Wanita itu tersenyum ramah dan memberikan belanjaannya.

"Sama-sama, Kak? yok, mari.." balas Aini tak kalah ramah. Gadis itu bergegas pergi dari keramaian karena hari hampir menjelang sore. Memburu waktu agar tidak terjebak kemacetan, Aini memesan ojek online untuk inisiatif cepat sampai di rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status