Setelah seminggu di opname di rumah sakit, Reza akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter. Kedua orang tuanya pun ikut serta mengantarnya ke rumah. Selama proses rawat jalan di rumah, pria itu menggunakan kursi roda. Kepalanya dibalut perban. Dan selama di depan orang tua mereka, Reza dan Nazwa berusaha terlihat baik-baik saja.
"Kamu mau baring ke kasur, Mas?" Nazwa bertanya pada Reza kala mereka sudah di kamar. "Sini aku bantu."
Nazwa membantu suaminya berdiri dari kursi roda dengan melingkarkan tangan sang suami di bahu sempitnya, lantas dia berjalan pelan-pelan ke arah tempat tidur.
"Badanku berat, ya, Sayang." Pria itu tersenyum. Mencoba bergurau sejenak, menepikan masalah yang ada.
Nazwa membalas dengan tersenyum kaku. Kalau dulu hati Nazwa selalu berbunga-bunga tiap kali mendengar panggilan istimewa itu. Tapi kali ini perasannya justru muak. Walau pun kemarin Reza sudah menjelaskan bahwa alasannya berselingkuh hanya khilaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Reza juga mengatakan jika perasaannya lebih dominan terhadap Nazwa ketimbang mantannya yang masih mengharapkannya itu.
"Kamu baring, ya."
Reza pun menurut. Nazwa menarik selimut sampai menutupi seluruh badan pria itu. Di pembaringannya Reza tersenyum menatap Nazwa yang justru memalingkan wajahnya ke lain arah.
"Reza!" Mama Rissa masuk ke kamar mereka yang pintunya memang tidak ditutup.
Nazwa spontan menoleh.
"Bagaimana kalau Mama panggilkan perawat saja untuk merawatmu," sang Mama memberi usul. Menatap Reza dan Nazwa bergantian.
"Eng, nggak usah, Ma." Nazwa yang menjawab. "Biar aku aja yang rawat suamiku." Nazwa memaksakan senyum tulus.
Mama malah menatap Nazwa remeh. "Kamu yakin bisa?"
"Mas Reza kan suamiku, Ma. Biar aku aja yang rawat."
"Kamu kan sibuk Nazwa. Biasanya ngurusin pengajian atau apa lah itu namanya. Kalau nanti Reza kamu tinggal nggak ada temennya, gimana?"
Nazwa kembali tersenyum tenang. "Untuk urusan itu aku bisa izin nanti, Ma. Pokoknya Mama tenang aja. Aku bisa kok urusin suamiku."
"Menurutmu bagaimana, Reza?" Rissa beralih menatap Reza.
"Aku terserah Nazwa aja," jawab Reza.
Mama Rissa menghela napas. "Ya sudah kalau memang begitu mau kalian."
"Iya. Mama tenang aja. Mas Reza biar aku yang urus," ucap Nazwa lagi meyakinkan mertuanya.
"Kalau gitu Mama pulang dulu, ya. Kalian baik-baik di rumah, ya. Kalau ada apa-apa bilang Mama. Jangan berantem."
Kalimat terakhir Mama kembali menyinggung keduanya telak. Nazwa diam ketika Rissa sekali lagi pamit pulang. Hanya Reza yang menyahut.
Ya Allah seandainya Reza tidak berselingkuh, Nazwa pasti akan senang hati merawat suaminya yang sakit dengan penuh cinta. Namun, kini keadaannya berbeda. Wanita itu tidak tahu seberapa jauh dia mampu berpura-pura kuat dan bahagia seperti ini di saat rumah tangganya di ambang kehancuran. Nazwa merasa hubungannya dengan Reza kini seperti bom yang hanya menunggu waktu kapan akan meledak.
Sepeninggal ibu mertuanya, Nazwa kembali menatap Reza. "Kamu mau makan sekarang, Mas?"
Reza tersenyum mendengarnya. "Boleh."
"Sebentar, ya. Biar aku suruh bibi nyiapin makanan. Kamu mau makan apa?"
"Bibi ada masak apa? Itu aja yang aku makan."
Nazwa mengangguk lalu keluar kamar untuk menyuruh asisten rumah tangganya menyiapkan makanan.
Reza tersenyum tipis melihat istrinya masih perhatian dan tidak marah lagi. Istrinya ternyata masih berbaik hati mau mengurusinya. Sepertinya istrinya memang percaya dengan alasan klasik yang dia berikan tempo hari.
Tak lama kemudian, Nazwa kembali dengan membawa nampan berisi mangkok dan segelas air. "Habis ini makan obat, ya." Wanita mengenakan gamis rumahan motif bunga-bunga biru langit itu mendekat, meletakkan nampan di atas nakas.
"Apa itu?" tanya Reza sembari mengubah posisinya menjadi duduk dan menyandarkan tubuh di sandaran tempat tidur.
"Ini sop ayam. Kamu suka kan?"
"Suka." Reza tersenyum.
"Aku suapin, ya."
Reza mengangguk. Membuka mulut dan menyuap nasi yang Nazwa sodorkan dalam sendok, mengunyahnya pelan.
"Enak?" tanya Nazwa basa-basi.
"Enak, tapi rasanya beda."
"Beda bagaimana?"
"Nggak seperti masakan kamu."
Nazwa tertawa pelan. "Kan emang bukan masakanku, tapi masakan bibi, gimana, sih, kamu?"
Perasaan Reza menghangat. Senang rasanya melihat Nazwa tertawa lepas seperti itu. Tawa yang dia rindukan. Inilah suasana yang dia rindukan pula. Sungguh dia tidak menyukai momen seperti sebelumnya. Bertengkar, bersitegang, hanya membuat perasaannya kacau balau. Rupanya ketakutannya tidak terjadi. Hati Nazwa akhirnya melunak. Membuat Reza terkagum-kagum betapa putihnya hati istrinya itu.
"Makasih, Sayang. Kamu masih mau merawatku. Padahal aku udah nyakitin kamu. Kamu memang baik. Nggak seharusnya aku menyakitimu. Aku memang laki-laki bod--"
"Aku lakuin ini semua karena Mama, Mas," potong Nazwa. 'karena Allah juga' sambungnya dalam hati. "Aku udah berjanji ke Mama akan merawatmu. Aku juga yang melarang Mama untuk menyewakan perawat untukmu."
"Iya, tetap aja aku makasih, ya."
Ponsel Reza yang terletak di atas nakas tiba-tiba berdering nyaring sekaligus bergetar membuat benda pipih itu bergeser. Layarnya berkedip-kedip memperlihatkan nama si penelepon.
Nazwa dan Reza sontak menoleh. Nazwa sempat membaca nama si penelepon sebelum Reza meraih ponselnya.
Raut wajah Nazwa spontan berubah kecut. "Nabila."
Ikuti terus ya, Readers. Terima kasih.
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya