Share

Bab 4

Setelah seminggu di opname di rumah sakit, Reza akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter. Kedua orang tuanya pun ikut serta mengantarnya ke rumah. Selama proses rawat jalan di rumah, pria itu menggunakan kursi roda. Kepalanya dibalut perban. Dan selama di depan orang tua mereka, Reza dan Nazwa berusaha terlihat baik-baik saja.

"Kamu mau baring ke kasur, Mas?" Nazwa bertanya pada Reza kala mereka sudah di kamar. "Sini aku bantu."

Nazwa membantu suaminya berdiri dari kursi roda dengan melingkarkan tangan sang suami di bahu sempitnya, lantas dia berjalan pelan-pelan ke arah tempat tidur.

 "Badanku berat, ya, Sayang." Pria itu tersenyum. Mencoba bergurau sejenak, menepikan masalah yang ada.

Nazwa membalas dengan tersenyum kaku. Kalau dulu hati Nazwa selalu berbunga-bunga tiap kali mendengar panggilan istimewa itu. Tapi kali ini perasannya justru muak. Walau pun kemarin Reza sudah menjelaskan bahwa alasannya berselingkuh hanya khilaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Reza juga mengatakan jika perasaannya lebih dominan terhadap Nazwa ketimbang mantannya yang masih mengharapkannya itu.

"Kamu baring, ya." 

Reza pun menurut. Nazwa menarik selimut sampai menutupi seluruh badan pria itu. Di pembaringannya Reza tersenyum menatap Nazwa yang justru memalingkan wajahnya ke lain arah.

"Reza!" Mama Rissa masuk ke kamar mereka yang pintunya memang tidak ditutup.

Nazwa spontan menoleh.

"Bagaimana kalau Mama panggilkan perawat saja untuk merawatmu," sang Mama memberi usul. Menatap Reza dan Nazwa bergantian. 

"Eng, nggak usah, Ma." Nazwa yang menjawab. "Biar aku aja yang rawat suamiku." Nazwa memaksakan senyum tulus.

Mama malah menatap Nazwa remeh. "Kamu yakin bisa?"

"Mas Reza kan suamiku, Ma. Biar aku aja yang rawat."

"Kamu kan sibuk Nazwa. Biasanya ngurusin pengajian atau apa lah itu namanya. Kalau nanti Reza kamu tinggal nggak ada temennya, gimana?"

Nazwa kembali tersenyum tenang. "Untuk urusan itu aku bisa izin nanti, Ma. Pokoknya Mama tenang aja. Aku bisa kok urusin suamiku."

"Menurutmu bagaimana, Reza?" Rissa beralih menatap Reza.

"Aku terserah Nazwa aja," jawab Reza. 

Mama Rissa menghela napas. "Ya sudah kalau memang begitu mau kalian."

"Iya. Mama tenang aja. Mas Reza biar aku yang urus," ucap Nazwa lagi meyakinkan mertuanya.

"Kalau gitu Mama pulang dulu, ya. Kalian baik-baik di rumah, ya. Kalau ada apa-apa bilang Mama. Jangan berantem."

Kalimat terakhir Mama kembali menyinggung keduanya telak. Nazwa diam ketika Rissa sekali lagi pamit pulang. Hanya Reza yang menyahut. 

Ya Allah seandainya Reza tidak berselingkuh, Nazwa pasti akan senang hati merawat suaminya yang sakit dengan penuh cinta. Namun, kini keadaannya berbeda. Wanita itu tidak tahu seberapa jauh dia mampu berpura-pura kuat dan bahagia seperti ini di saat rumah tangganya di ambang kehancuran. Nazwa merasa hubungannya dengan Reza kini seperti bom yang hanya menunggu waktu kapan akan meledak.

Sepeninggal ibu mertuanya, Nazwa kembali menatap Reza. "Kamu mau makan sekarang, Mas?"

Reza tersenyum mendengarnya. "Boleh."

"Sebentar, ya. Biar aku suruh bibi nyiapin makanan. Kamu mau makan apa?"

"Bibi ada masak apa? Itu aja yang aku makan."

Nazwa mengangguk lalu keluar kamar untuk menyuruh asisten rumah tangganya menyiapkan makanan.

Reza tersenyum tipis melihat istrinya masih perhatian dan tidak marah lagi. Istrinya ternyata masih berbaik hati mau mengurusinya. Sepertinya istrinya memang percaya dengan alasan klasik yang dia berikan tempo hari. 

Tak lama kemudian, Nazwa kembali dengan membawa nampan berisi mangkok dan segelas air. "Habis ini makan obat, ya." Wanita mengenakan gamis rumahan motif bunga-bunga biru langit itu mendekat, meletakkan nampan di atas nakas. 

"Apa itu?" tanya Reza sembari mengubah posisinya menjadi duduk dan menyandarkan tubuh di sandaran tempat tidur.

"Ini sop ayam. Kamu suka kan?"

"Suka." Reza tersenyum.

"Aku suapin, ya."

Reza mengangguk. Membuka mulut dan menyuap nasi yang Nazwa sodorkan dalam sendok, mengunyahnya pelan.

"Enak?" tanya Nazwa basa-basi.

"Enak, tapi rasanya beda."

"Beda bagaimana?"

"Nggak seperti masakan kamu."

Nazwa tertawa pelan. "Kan emang bukan masakanku, tapi masakan bibi, gimana, sih, kamu?"

Perasaan Reza menghangat. Senang rasanya melihat Nazwa tertawa lepas seperti itu. Tawa yang dia rindukan. Inilah suasana yang dia rindukan pula. Sungguh dia tidak menyukai momen seperti sebelumnya. Bertengkar, bersitegang, hanya membuat perasaannya kacau balau.  Rupanya ketakutannya tidak terjadi. Hati Nazwa akhirnya melunak. Membuat Reza terkagum-kagum betapa putihnya hati istrinya itu.

"Makasih, Sayang. Kamu masih mau merawatku. Padahal aku udah nyakitin kamu. Kamu memang baik. Nggak seharusnya aku menyakitimu. Aku memang laki-laki bod--"

"Aku lakuin ini semua karena Mama, Mas," potong Nazwa. 'karena Allah juga' sambungnya dalam hati. "Aku udah berjanji ke Mama akan merawatmu. Aku juga yang melarang Mama untuk menyewakan perawat untukmu."

"Iya, tetap aja aku makasih, ya."

Ponsel Reza yang terletak di atas nakas tiba-tiba berdering nyaring sekaligus bergetar membuat benda pipih itu bergeser. Layarnya berkedip-kedip memperlihatkan nama si penelepon.

Nazwa dan Reza sontak menoleh. Nazwa sempat membaca nama si penelepon sebelum Reza meraih ponselnya.

Raut wajah Nazwa spontan berubah kecut. "Nabila."

Aprillia D

Ikuti terus ya, Readers. Terima kasih.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status