Raut wajah Nazwa spontan berubah kecut. "Nabila."
Reza membelalak, tapi enggan untuk mengangkat telepon itu.
Nazwa langsung berdiri. Meletakkan mangkok ke atas nakas. Lantas bergegas keluar kamar.
"Nazwa! Nazwa!"
Tanpa memedulikan rasa sakit di kepalanya, Reza beringsut dari tempat tidur. Nekat mengejar Nazwa. Susah payah dia berdiri dan berjalan. Baru sampai ambang pintu, pusing di kepalanya menjadi hingga kepalanya terasa berdenyut-denyut, tubuhnya pun ambruk. Dia terduduk di lantai, bokongnya nyeri menghantam lantai ubin. Pasrah memanggil nama Nazwa.
Baru saja tadi dia merasa senang karena sikap Nazwa kembali manis, kini rasa bahagia itu sirna secepat kedipan mata.
"Nazwa!"
***
Nazwa menangis sejadi-jadinya sambil duduk di sofa tamu. Luka ini belum sepenuhnya sembuh. Dia hanya berusaha mengabaikan sakitnya untuk merawat suaminya yang sakit. Belum sembuh luka itu, justru ditambah lagi.
Nazwa berusaha untuk sabar dan coba menerima tapi juga tidak bisa. Sakit itu spontan menyambangi hatinya kala melihat nama wanita itu terpampang di layar ponsel sang suami.
Reza selalu minta maaf, tapi nyatanya pria itu masih saja berhubungan dengan mantannya. Muak hatinya mengingat kata maaf itu.
Nazwa pun langsung teringat dengan materi ceramah yang biasa dia angkat dalam majelis pengajian. Perihal sabar dan ikhlas adalah syarat mutlak untuk masuk surga.
"Seperti yang tertera dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 142 yang berbunyi; Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang bersabar di antara kamu."
"Dan orang-orang yang masuk surga itu mesti memiliki hati yang bersih ibu-ibu. Maksudnya bagaimana? Bersih dari penyakit hati seperti iri, dendam, benci, tidak ikhlas, mengungkit-ungkit kebaikannya pada orang lain. Selain itu kita juga harus memperbesar rasa sabar ...."
Namun, ternyata sabar dan ikhlas itu memang tidak mudah dilakukan. Dia tak menyangka, dirinya melanggar apa yang sudah pernah dia nasihatkan pada orang lain.
"Ya Allah aku rela jika suamiku menikah lagi. Tapi aku nggak rela jika suamiku berselingkuh, menggauli perempuan yang bukan mahramnya!" Nazwa terisak-isak.
"Nazwa, Sayang!"
Nazwa yang tengah menangis, menoleh. Dilihatnya suaminya duduk di atas kursi roda sembari mendekat ke arahnya.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" Telunjuk Nazwa teracung, matanya merah menyorot tajam ke Reza. "Dan jangan mendekat!"
"Semuanya bisa dibicarakan baik-baik, Nazwa," ucap Reza berusaha menjelaskan.
Nazwa menggeleng. "Tidak ada solusi lain selain kamu harus jauhi perempuan itu! Dan kamu nggak bisa jauhin dia, Mas!"
"Kamu tenang dulu, Nazwa." Reza mengangkat tangan sebelahnya sementara tangannya yang lain memutar roda kursinya mendekat ke Nazwa.
"Aku bilang jangan mendekat, Mas! Aku jijik sama kamu! Kamu udah menyentuh perempuan yang bukan mahrammu. Apa aja yang udah kalian lakukan selama ini, hah?!"
"Astagfirullahal'adzim, Nazwa, Reza."
Suara itu sontak membuat Nabila dan Reza menoleh ke arah pintu. Reza membelalak melihat siapa yang berdiri di depan pintu tamu yang terbuka sejak tadi.
Terlebih Nazwa. "Bapak? Sejak kapan Bapak datang, Pak?" Nazwa mendekati bapaknya. Lantas mencium tangan krisut pria tua itu.
Bapak malah memandangi Nazwa dan Reza bergantian, tatapannya sarat keheranan.
"Silakan duduk, Pak," ucap Reza berusaha tersenyum.
Mereka berdua berharap bapak tidak mendengar atau tidak mengerti apa yang mereka bicarakan tadi.
"Jelaskan ke Bapak, Nazwa. Apa maksud ucapanmu tadi? Kenapa kamu ngomong begitu ke suamimu?"
Pupuslah sudah harapan mereka mendengar pertanyaan itu.
Sebenarnya kedatangan Pak Rahman kemari untuk menjenguk kondisi Reza pasca operasi. Kemarin orang tua itu tidak sempat datang dari kampung.
"Pak, kita duduk dulu, yuk. Nanti Nazwa jelasin, ya." Orang tua itu diam saja ketika Nazwa memimpinnya, mengajaknya duduk berdampingan di sofa.
"Bapak kenapa nggak bilang, sih, Pak, kalau mau datang. Kan bisa kami jemput. Lutut bapak kan sakit. Memangnya bisa turun-naik angkot umum sendiri. Nazwa khawatir jadinya--"
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab pertanyaan Bapak, kalian ada masalah apa?" tanya pria tua itu lagi, menatap sepasang suami-istri itu penuh tanda tanya.
Nazwa lalu menatap Reza. "Mas, tinggalkan aku sama Bapak berdua."
"Jangan." Reza baru akan memutar roda kursinya ketika sang bapak mertua justru mencegahnya. "Biarkan saja Reza di situ."
"Tapi, Pak, Nazwa cuma ingin bicara sama Bapak dan Nazwa nggak mau Mas Reza dengar pembicaraan kita."
"Kenapa? Toh yang akan kamu ceritakan ini masalah rumah tangga kalian juga kan? Kenapa Reza tidak boleh mendengar?"
Nazwa terdiam.
"Reza, kamu jangan ke mana-mana. Tetap di situ. Bapak mau dengar dari mulut kalian berdua. Sebenarnya kalian ada masalah apa?"
Reza dan Nazwa kini saling pandang.
Kira2 Nazwa dan Reza bakal jujur ngga ya
Kalau begini Nazwa sendiri bingung harus menjelaskan apa? Apa dia tetap memberitahu bapaknya bahwa Reza sudah berselingkuh? Lalu bagaimana reaksi bapak jika tahu yang sebenarnya? Apa bapak sanggup menerimanya? Rasanya Nazwa tak tega memberitahu bapak yang sebenarnya. Tapi berbohong rasanya juga tak mungkin. Sudah banyak dosa berbohong yang dia lakukan. Apalagi tadi bapak sepertinya mendengar kalimatnya dengan jelas. "Aku bilang jangan mendekat, Mas! Aku jijik sama kamu! Kamu udah menyentuh perempuan yang bukan mahrammu. Apa aja yang udah kalian lakukan selama ini, hah?!" Alasan masuk akal apa yang bisa dia berikan untuk kalimat semacam itu selain perselingkuhan? Nazwa sekali lagi menatap Reza yang memberi isyarat melalui tatapan mata kalau Nazwa jangan sampai memberitahu yang sebenarnya. "Jujur saja ceritakan masalah kalian yang sebenarnya," ucap Bapak lagi. Nazwa sontak menatap bapaknya kembali. "Iya, Pak. Nazwa akan jujur." 'Baiklah, aku akan bongkar semuanya, Mas. Aku akan ka
"Apa maksud kamu ngomong begitu di depan Bapak, Mas?" Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya disepakatilah Nazwa memaafkan suaminya dan Pak Rahman meminta mereka menyelesaikan masalah secara baik-baik. Dan Pak Rahman terus menasihati anaknya tentang hakikat pernikahan. Juga menasihati Reza bahwa sang menantu harus banyak-banyak memahami agama lagi. Banyak-banyak membaca Al-Qur'an dan bermuhasabah diri serta bertobat pada Allah atas dosa yang dia perbuat. Dan serentetan ceramah lainnya yang membuat Reza jengah mendengarnya. Tapi beruntunglah dia, bapak mertuanya itu baik dan bijaksana. Tidak memarahi dan menyudutkannya yang sudah berselingkuh. Kini suami-istri itu berdiskusi dalam kamar. Nazwa tidak bisa lagi leluasa marah pada suaminya karena takut di dengar bapak yang menginap di rumah mereka selama beberapa hari ke depan. "Yang mana?" Reza bertanya balik dengan santai. Nazwa yang sedang menatap cermin sambil melepas kerudungnya, berbalik menghadap suaminya yang baring di k
Nazwa mengingat malam di mana Reza pertama kali melamarnya. Pria itu datang bersama kedua orang tuanya, mengkhitbahnya langsung di depan bapaknya. Sebenarnya Nazwa dan Reza sudah mengenal sejak kecil. Karena kedua orang tua mereka berteman baik dan memang berencana menjodohkan anak mereka. Namun, sejak kecil keduanya hanya sebatas tahu nama. Mereka tidak pernah dekat bahkan sekadar untuk berteman. Menjelang dewasa pun demikian. Nazwa hanya tahu sifat-sifat Reza sepintas lalu berdasarkan cerita orang tuanya waktu mendiang ibunya belum meninggal. Yang Nazwa tahu, Reza bukan sosok yang agamis. Banyak wanita yang pernah menjadi pacarnya waktu remaja. Namun, terlepas dari itu semua, Reza juga merupakan sosok pria yang baik, lembut dan penuh perhatian. Pun sebaliknya, Reza mengenal sosok Nazwa yang sholeha dari cerita orang tuanya. Sebagai anak yang berbakti pada orang tua, Nazwa menerima perjodohan itu karena dia percaya pilihan orang tua tidak pernah salah. Satu hari sebelum pernikahan
Keesokan paginya, kala sudah menyiapkan makan untuk bapak--yang dibantu oleh sang asisten rumah tangga--dan melayani suaminya seperti biasa, Nazwa berencana menemui Nabila. Ya, sejak kemarin dia memang ingin berjumpa perempuan itu. Dia harus cepat bertindak sebelum terlalu jauh. Dia akan melakukan apa saja untuk memperbaiki rumah tangganya. Dia harap apa yang dia lakukan ini yang terbaik demi rumah tangganya. "Mumpung sekarang Mas Reza lagi mandi. Aku harus cari nomornya Nabila di handphone-nya," ucap Nazwa sambil meraih ponsel sang suami yang terletak di atas nakas. Dan kebetulan ponsel Reza tidak diberi password seperti biasa. Nazwa tersenyum menatap ponsel yang ada di genggamannya itu. Pelan, dia mengklik daftar kontak sang suami. Lalu meng-scroll-nya. Seketika dia semringah kala menemukan kontak bernama Nabila. Dia pun menyalin nomor tersebut di ponselnya dengan cepat. Ketika dia hendak meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja, dia tiba-tiba terpikirkan sesuatu, membuat
"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?" Nabila tersenyum tenang. "Oh." Nazwa tertawa renyah. "Kamu pasti kaget, ya, aku tiba-tiba hubungin kamu dan ngajak ketemuan begini? Dan kamu mau datang takut dikira pengecut?" Nazwa menaikkan sebelah alisnya. Lagi, Nabila tersenyum tenang walau dia merasa janggal dengan perubahan sikap Nazwa yang selama ini dia kenal baik dan lembut. Nazwa di hadapannya sekarang tidak seperti Nazwa yang dia kenal pertama kali. Apa karena perempuan itu marah? "Nggak juga. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" "Aku minta kamu jauhi suamiku." Nabila tertegun mendengar kalimat tak terduga itu. "Kenapa? Nggak bisa?" Nabila memasang ekspresi tak mengerti lantas terkekeh pelan. "Excuse me. Jauhi gimana maksudnya? Kamu kan tahu aku sama Reza temenan--" "Kamu lupa apa yang udah pernah aku lihat tempo hari di hotel? Dan Mas Reza sudah mengakui semuanya. Jadi kamu terus terang aja. Kalian bukan hanya sekadar teman kan?" Nabila terdiam. Jadi
Reza keluar dari kamar dengan kursi rodanya ketika dia melihat Nazwa berlari-lari kecil sambil menangis. Wanita itu duduk di kursi ruang tengah. Reza tahu, istrinya itu pasti baru pulang dari menemui Nabila. Reza pun memutar kursi rodanya, mendekat ke sang istri. "Kamu kenapa, Nazwa?" Dia pura-pura tidak tahu. Nazwa yang sedang menangis, menatap suaminya terkejut. Cepat dia menghapus air matanya. "Kamu nemuin Nabila kan?" Reza akhirnya memutuskan to the point saja karena dia tahu Nazwa takkan mau berterus terang. Nazwa lebih terkejut lagi mendengarnya. "Dari mana kamu tahu, Mas?" "Aku tahu. Nabila yang cerita semuanya. Tadi kamu bilang ke aku kamu cuma mau ke pasar. Ternyata kamu malah nemuin Nabila. Kamu udah pintar bohong sekarang, Nazwa." Reza menggeleng tak habis pikir. "Kamu juga sering bohongin aku. Kamu minta aku untuk nggak terus terang sama orang tuamu itu juga kebohongan kan?" Reza tak memedulikan pertanyaan Nazwa dan malah bertanya hal lain. "Kenapa? Kenapa kamu nemu
Akhirnya Pak Rahman di bawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Selama di ambulans, Nazwa terus menangis. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan bapaknya. Bahkan ketika bapaknya tiba di rumah sakit pun dia masih menangis. Dia setia duduk di sisi ranjang, sesekali menciumi tangan krisut bapaknya yang sejak tadi belum sadarkan diri. Barusan dokter mengatakan bahwa Pak Rahman terkena serangan jantung. Awalnya, Nazwa syok mendengarnya. Pasalnya selama ini dia tidak pernah tahu jika bapaknya menderita sakit jantung. Dokter juga mengatakan bahwa sakit jantungnya Pak Rahman kambuh sebab stres dan syok yang berlebihan. Nazwa tahu, bapaknya begini pasti karena melihat dirinya dan suaminya bertengkar. Bapaknya sudah semakin tua, sudah banyak menderita berbagai macam penyakit. Dia takut bapaknya meninggalkan dirinya seperti ibunya. Pasalnya banyak kasus di luar sana orang tua meninggal karena serangan jantung mendadak. Tapi untunglah, dokter sudah memeriksanya dan mengatakan kalau Pak Rahman ba
"Ka-kamu? Ngapain kamu ke sini?" "Kamu kok nanya nya gitu, Reza? Ini aku lho yang datang?" respons perempuan itu tidak terima. Lantas perempuan itu memperhatikan sekujur tubuh Reza yang duduk di atas kursi roda dan menggenggam tangan pria itu yang bertengger di atas lengan kursi. "Ya ampun Reza, kondisi kamu sekarang begini? Pakai kursi roda? Untunglah kamu masih bisa sembuh, nggak kenapa-kenapa. Aku kangen banget sama kamu. Aku udah lama nggak liat kamu." Tanpa diduga, Reza malah menarik tangannya dari genggaman perempuan itu. Wajahnya terlihat panik. "Ngapain kamu ke sini ngapain? Untung aja rumah aku nggak ada orang." Perempuan itu yang tak lain adalah Nabila tertawa. "Kamu takut, ya. Kamu bilang rumahmu nggak ada orang? Emangnya istrimu ke mana? Lagian kalau pun ada istrimu, aku malah senang ketemu dia." "Nazwa lagi di rumah sakit, bapaknya terkena serangan jantung mendadak." Nabila tampak terkejut. "Oh ada bapak mertuamu juga?" "Iya, kamu ngapain ke sini?" "Aku jengukin kam