Kalau begini Nazwa sendiri bingung harus menjelaskan apa? Apa dia tetap memberitahu bapaknya bahwa Reza sudah berselingkuh? Lalu bagaimana reaksi bapak jika tahu yang sebenarnya? Apa bapak sanggup menerimanya? Rasanya Nazwa tak tega memberitahu bapak yang sebenarnya. Tapi berbohong rasanya juga tak mungkin. Sudah banyak dosa berbohong yang dia lakukan. Apalagi tadi bapak sepertinya mendengar kalimatnya dengan jelas.
"Aku bilang jangan mendekat, Mas! Aku jijik sama kamu! Kamu udah menyentuh perempuan yang bukan mahrammu. Apa aja yang udah kalian lakukan selama ini, hah?!"
Alasan masuk akal apa yang bisa dia berikan untuk kalimat semacam itu selain perselingkuhan?
Nazwa sekali lagi menatap Reza yang memberi isyarat melalui tatapan mata kalau Nazwa jangan sampai memberitahu yang sebenarnya.
"Jujur saja ceritakan masalah kalian yang sebenarnya," ucap Bapak lagi.
Nazwa sontak menatap bapaknya kembali. "Iya, Pak. Nazwa akan jujur."
'Baiklah, aku akan bongkar semuanya, Mas. Aku akan kasih tahu Bapak kalau kamu selingkuh' batin Nazwa geram.
"Pak, tapi Nazwa mohon ya tolong jangan kasih tahu Mama Rissa sama Papa Galih. Masalah ini cukup Bapak aja yang tahu ya, Pak? Dan Bapak harus tenang, ya. Jangan kaget, ya, Pak."
Si Bapak mengangguk meyakinkan. "Bapak janji."
Nazwa tersenyum, sedetik kemudian wajahnya kembali murung. "Mas Reza selingkuh, Pak."
Sementara Reza di tempatnya membeku. Tangannya terkepal geram. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Di kepalanya hanya dipenuhi tanya. Salah satunya apa yang akan bapak mertuanya lakukan setelah mengetahui masalah ini?
"Astagfirullahal'adzim ... Benar itu, Reza?" Pak Rahman tampak terkejut menatap Reza tak percaya.
Reza memberanikan diri menatap sang bapak mertua. Tapi dia tak langsung menjawab.
Melihat sang menantu hanya diam, Pak Rahman berpaling ke anaknya. "Nazwa, apa kamu sudah membuktikannya? Takutnya jadi fitnah, Nak."
"Nazwa nggak fitnah, Pak. Nazwa sendiri yang menyaksikannya, Mas Reza bohong ke Nazwa bilang ada urusan pekerjaan di rumah sakit. Tahu nya dia pergi ke hotel, ketemuan sama mantannya, Nabila, Pak. Nazwa lihat sendiri mereka bermesraan," jelas Nazwa panjang lebar sambil menangis.
"Astagfirullahal'adzim ...." Pak Rahman mengusap dadanya.
Reza memutar roda kursinya, mendekat ke Pak Rahman. Lantas meraih tangan krisut orang tua itu dan menciumi penuh hormat. "Ampuni saya, Pak. Bapak boleh hukum saya, asal setelah itu bapak memaafkan saya," suara Reza penuh penyesalan.
"Benar kamu selingkuh, Reza?" tanya Pak Rahman lagi.
"Saya menyesal, Pak."
"Kamu sungguh menyesal, Reza?"
Reza terdiam. Dia mengangkat kepalanya, menatap bapak. Lalu melepaskan tangan orang tua itu, pelan.
Apakah dia sungguh menyesal? Rasanya tidak juga. Karena sejatinya dia masih mencintai Nabila, mantan terindahnya. Namun, dia tak mungkin berterus terang ke Bapak. Dia hanya tidak ingin mertuanya tahu masalah rumah tangga mereka. Jika Nazwa berusaha membongkarnya, maka dia berusaha untuk menutupinya. Akhirnya, Reza hanya mengangguk dalam diam. Nazwa tahu Reza hanya berbohong. Dia makin sengit melihat sikap suaminya itu.
"Bapak tidak tahu ada masalah apa dalam pernikahan kalian sampai kamu berselingkuh. Tapi apa pun alasannya, selingkuh tidak bisa dibenarkan. Apa lagi kamu sudah menikah, Reza. Kamu bukan remaja lagi, kamu punya tanggung jawab besar terhadap istrimu. Jika memang ada masalah, bersikaplah terbuka pada istrimu, bicarakan baik-baik, jangan melampiaskannya dengan berselingkuh," nasihat bapak panjang lebar.
"Kalau kamu memang menyesal, minta maaf lah pada Nazwa dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi," beritahu bapak lagi.
"Iya, Pak. Saya sudah minta maaf. Tapi Nazwa nggak mau maafkan saya. Saya juga berusaha menjelaskan tapi Nazwa nggak mau diajak bicara baik-baik."
Pak Rahman menoleh ke Nazwa. "Kenapa tidak dimaafkan, Nak? Beri kesempatan pada suamimu asal dia bisa berjanji tidak mengulanginya."
"Dia nggak bisa berjanji, Pak. Dia nggak bisa meninggalkan selingkuhannya!" jawab Nazwa.
Pak Rahman kembali menatap Reza.
"Beri saya waktu, Pak. Cepat atau lambat saya akan menyelesaikan masalah ini. Saya nggak akan menemui Nabila lagi." Reza lalu beralih menatap Nazwa. "Aku janji, Nazwa."
"Lihat, Nazwa. Apa kamu masih tidak mau memaafkan suamimu?" tanya Pak Rahman pada anaknya. "Masalah dalam pernikahan itu baiknya diselesaikan, bukan malah menjadikannya masalah besar apalagi sampai berujung perceraian. Astaghfirullah, bapak tidak mau itu terjadi dalam pernikahan kalian."
"Nazwa, aku minta maaf. Kamu mau kan maafin aku?"
Menurut kalian mestinya Reza ini dimaafin atau nggak gaes?
"Apa maksud kamu ngomong begitu di depan Bapak, Mas?" Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya disepakatilah Nazwa memaafkan suaminya dan Pak Rahman meminta mereka menyelesaikan masalah secara baik-baik. Dan Pak Rahman terus menasihati anaknya tentang hakikat pernikahan. Juga menasihati Reza bahwa sang menantu harus banyak-banyak memahami agama lagi. Banyak-banyak membaca Al-Qur'an dan bermuhasabah diri serta bertobat pada Allah atas dosa yang dia perbuat. Dan serentetan ceramah lainnya yang membuat Reza jengah mendengarnya. Tapi beruntunglah dia, bapak mertuanya itu baik dan bijaksana. Tidak memarahi dan menyudutkannya yang sudah berselingkuh. Kini suami-istri itu berdiskusi dalam kamar. Nazwa tidak bisa lagi leluasa marah pada suaminya karena takut di dengar bapak yang menginap di rumah mereka selama beberapa hari ke depan. "Yang mana?" Reza bertanya balik dengan santai. Nazwa yang sedang menatap cermin sambil melepas kerudungnya, berbalik menghadap suaminya yang baring di k
Nazwa mengingat malam di mana Reza pertama kali melamarnya. Pria itu datang bersama kedua orang tuanya, mengkhitbahnya langsung di depan bapaknya. Sebenarnya Nazwa dan Reza sudah mengenal sejak kecil. Karena kedua orang tua mereka berteman baik dan memang berencana menjodohkan anak mereka. Namun, sejak kecil keduanya hanya sebatas tahu nama. Mereka tidak pernah dekat bahkan sekadar untuk berteman. Menjelang dewasa pun demikian. Nazwa hanya tahu sifat-sifat Reza sepintas lalu berdasarkan cerita orang tuanya waktu mendiang ibunya belum meninggal. Yang Nazwa tahu, Reza bukan sosok yang agamis. Banyak wanita yang pernah menjadi pacarnya waktu remaja. Namun, terlepas dari itu semua, Reza juga merupakan sosok pria yang baik, lembut dan penuh perhatian. Pun sebaliknya, Reza mengenal sosok Nazwa yang sholeha dari cerita orang tuanya. Sebagai anak yang berbakti pada orang tua, Nazwa menerima perjodohan itu karena dia percaya pilihan orang tua tidak pernah salah. Satu hari sebelum pernikahan
Keesokan paginya, kala sudah menyiapkan makan untuk bapak--yang dibantu oleh sang asisten rumah tangga--dan melayani suaminya seperti biasa, Nazwa berencana menemui Nabila. Ya, sejak kemarin dia memang ingin berjumpa perempuan itu. Dia harus cepat bertindak sebelum terlalu jauh. Dia akan melakukan apa saja untuk memperbaiki rumah tangganya. Dia harap apa yang dia lakukan ini yang terbaik demi rumah tangganya. "Mumpung sekarang Mas Reza lagi mandi. Aku harus cari nomornya Nabila di handphone-nya," ucap Nazwa sambil meraih ponsel sang suami yang terletak di atas nakas. Dan kebetulan ponsel Reza tidak diberi password seperti biasa. Nazwa tersenyum menatap ponsel yang ada di genggamannya itu. Pelan, dia mengklik daftar kontak sang suami. Lalu meng-scroll-nya. Seketika dia semringah kala menemukan kontak bernama Nabila. Dia pun menyalin nomor tersebut di ponselnya dengan cepat. Ketika dia hendak meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja, dia tiba-tiba terpikirkan sesuatu, membuat
"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?" Nabila tersenyum tenang. "Oh." Nazwa tertawa renyah. "Kamu pasti kaget, ya, aku tiba-tiba hubungin kamu dan ngajak ketemuan begini? Dan kamu mau datang takut dikira pengecut?" Nazwa menaikkan sebelah alisnya. Lagi, Nabila tersenyum tenang walau dia merasa janggal dengan perubahan sikap Nazwa yang selama ini dia kenal baik dan lembut. Nazwa di hadapannya sekarang tidak seperti Nazwa yang dia kenal pertama kali. Apa karena perempuan itu marah? "Nggak juga. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" "Aku minta kamu jauhi suamiku." Nabila tertegun mendengar kalimat tak terduga itu. "Kenapa? Nggak bisa?" Nabila memasang ekspresi tak mengerti lantas terkekeh pelan. "Excuse me. Jauhi gimana maksudnya? Kamu kan tahu aku sama Reza temenan--" "Kamu lupa apa yang udah pernah aku lihat tempo hari di hotel? Dan Mas Reza sudah mengakui semuanya. Jadi kamu terus terang aja. Kalian bukan hanya sekadar teman kan?" Nabila terdiam. Jadi
Reza keluar dari kamar dengan kursi rodanya ketika dia melihat Nazwa berlari-lari kecil sambil menangis. Wanita itu duduk di kursi ruang tengah. Reza tahu, istrinya itu pasti baru pulang dari menemui Nabila. Reza pun memutar kursi rodanya, mendekat ke sang istri. "Kamu kenapa, Nazwa?" Dia pura-pura tidak tahu. Nazwa yang sedang menangis, menatap suaminya terkejut. Cepat dia menghapus air matanya. "Kamu nemuin Nabila kan?" Reza akhirnya memutuskan to the point saja karena dia tahu Nazwa takkan mau berterus terang. Nazwa lebih terkejut lagi mendengarnya. "Dari mana kamu tahu, Mas?" "Aku tahu. Nabila yang cerita semuanya. Tadi kamu bilang ke aku kamu cuma mau ke pasar. Ternyata kamu malah nemuin Nabila. Kamu udah pintar bohong sekarang, Nazwa." Reza menggeleng tak habis pikir. "Kamu juga sering bohongin aku. Kamu minta aku untuk nggak terus terang sama orang tuamu itu juga kebohongan kan?" Reza tak memedulikan pertanyaan Nazwa dan malah bertanya hal lain. "Kenapa? Kenapa kamu nemu
Akhirnya Pak Rahman di bawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Selama di ambulans, Nazwa terus menangis. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan bapaknya. Bahkan ketika bapaknya tiba di rumah sakit pun dia masih menangis. Dia setia duduk di sisi ranjang, sesekali menciumi tangan krisut bapaknya yang sejak tadi belum sadarkan diri. Barusan dokter mengatakan bahwa Pak Rahman terkena serangan jantung. Awalnya, Nazwa syok mendengarnya. Pasalnya selama ini dia tidak pernah tahu jika bapaknya menderita sakit jantung. Dokter juga mengatakan bahwa sakit jantungnya Pak Rahman kambuh sebab stres dan syok yang berlebihan. Nazwa tahu, bapaknya begini pasti karena melihat dirinya dan suaminya bertengkar. Bapaknya sudah semakin tua, sudah banyak menderita berbagai macam penyakit. Dia takut bapaknya meninggalkan dirinya seperti ibunya. Pasalnya banyak kasus di luar sana orang tua meninggal karena serangan jantung mendadak. Tapi untunglah, dokter sudah memeriksanya dan mengatakan kalau Pak Rahman ba
"Ka-kamu? Ngapain kamu ke sini?" "Kamu kok nanya nya gitu, Reza? Ini aku lho yang datang?" respons perempuan itu tidak terima. Lantas perempuan itu memperhatikan sekujur tubuh Reza yang duduk di atas kursi roda dan menggenggam tangan pria itu yang bertengger di atas lengan kursi. "Ya ampun Reza, kondisi kamu sekarang begini? Pakai kursi roda? Untunglah kamu masih bisa sembuh, nggak kenapa-kenapa. Aku kangen banget sama kamu. Aku udah lama nggak liat kamu." Tanpa diduga, Reza malah menarik tangannya dari genggaman perempuan itu. Wajahnya terlihat panik. "Ngapain kamu ke sini ngapain? Untung aja rumah aku nggak ada orang." Perempuan itu yang tak lain adalah Nabila tertawa. "Kamu takut, ya. Kamu bilang rumahmu nggak ada orang? Emangnya istrimu ke mana? Lagian kalau pun ada istrimu, aku malah senang ketemu dia." "Nazwa lagi di rumah sakit, bapaknya terkena serangan jantung mendadak." Nabila tampak terkejut. "Oh ada bapak mertuamu juga?" "Iya, kamu ngapain ke sini?" "Aku jengukin kam
Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi ruang rawat inap Pak Rahman terasa begitu sunyi senyap. Menyisakan deru AC--yang dinginnya memenuhi ruangan VIP itu--dan suara detak jam di dinding. Di ruang itu hanya ada mereka berdua--Nazwa dan Pak Rahman. Sembari menemani bapaknya yang sedang tidur, Nazwa hanya merenung sejak tadi, duduk di kursi sofa yang ada di ruangan itu, menangis memikirkan masalah yang menderanya. Perselingkuhan suaminya, pertemuannya dengan Nabila tadi pagi, dan bapaknya yang kini menderita penyakit jantung. Masalah bertubi-tubi mendera hidupnya membuat kepalanya pening. Percakapannya dengan Nabila tadi pagi tiba-tiba kembali terngiang. "Kalau udah nyangkut perasaan itu apa pun jadi rumit, Nazwa. Karena cinta nggak ada logika." "Sekarang aku cuma minta kamu jauhi suamiku. Aku minta dengan cara baik-baik. Aku mohon jauhi suamiku. Biarkan kami bahagia." "Kalau saya nggak mau, kamu mau apa? Tanya juga suamimu, mau nggak jauhi saya?" "Tamu itu nggak akan mas