"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?" Nabila tersenyum tenang.
"Oh." Nazwa tertawa renyah. "Kamu pasti kaget, ya, aku tiba-tiba hubungin kamu dan ngajak ketemuan begini? Dan kamu mau datang takut dikira pengecut?" Nazwa menaikkan sebelah alisnya.
Lagi, Nabila tersenyum tenang walau dia merasa janggal dengan perubahan sikap Nazwa yang selama ini dia kenal baik dan lembut. Nazwa di hadapannya sekarang tidak seperti Nazwa yang dia kenal pertama kali. Apa karena perempuan itu marah? "Nggak juga. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?"
"Aku minta kamu jauhi suamiku."
Nabila tertegun mendengar kalimat tak terduga itu.
"Kenapa? Nggak bisa?"
Nabila memasang ekspresi tak mengerti lantas terkekeh pelan. "Excuse me. Jauhi gimana maksudnya? Kamu kan tahu aku sama Reza temenan--"
"Kamu lupa apa yang udah pernah aku lihat tempo hari di hotel? Dan Mas Reza sudah mengakui semuanya. Jadi kamu terus terang aja. Kalian bukan hanya sekadar teman kan?"
Nabila terdiam. Jadi Reza sudah mengakuinya? Nabila lantas menghela napas. "Iya," akunya akhirnya. "Kami memang punya hubungan khusus tapi itu juga bukan sepenuhnya salah saya karena kami masih saling mencintai." Jawab Nabila percaya diri.
Nazwa menatap Nabila tak percaya. "Masih saling mencintai? Mas Reza sudah menjadi suamiku! Apa kamu nggak malu ya merebut suami orang?" Nazwa menilik penampilan Nabila. "Kamu cantik kok, pintar, sukses, pasti banyak kok laki-laki di luar sana yang mau sama kamu. Nggak harus rebut suami orang!"
Wajah Nabila memerah dan tegang. Antara malu dan marah. Perkataan Nazwa lagi-lagi menamparnya. Jika menurutkan emosi, ingin rasanya dia menarikkan kerudung perempuan sok alim di hadapannya ini lalu mencakar wajahnya. Namun, dia masih berusaha tenang dan bermain cantik. Dia tidak mungkin melakukan perbuatan konyol seperti itu di khalayak ramai seperti ini. Apalagi di sini pasti ada CCTV.
"Kalau udah nyangkut perasaan itu apa pun jadi rumit, Nazwa," jawabnya tenang. "Karena cinta nggak ada logika."
Nazwa tak habis pikir dengan Nabila yang bisa-bisanya menjawab seperti itu. "Sekarang aku cuma minta kamu jauhi suamiku. Aku minta dengan cara baik-baik. Aku mohon jauhi suamiku. Biarkan kami bahagia." Pandangan Nazwa kini mengabur. Perasaannya tiba-tiba sesak.
"Kalau saya nggak mau, kamu mau apa? Tanya juga suamimu, mau nggak jauhi saya?"
Tangis Nazwa pecah. Ya Allah dia harus kuat. Ini sudah setengah jalan. Dia harus selesaikan masalah ini sekarang juga.
"Tamu itu nggak akan masuk kalau tuannya nggak bukain pintu. Paham kan, Nazwa?"
Nazwa mengusap air matanya. Lantas tersenyum culas. "Kamu sungguh perempuan yang baik." Tentu kalimat itu bermakna sebaliknya. "Selama ini aku udah salah menilai kamu. Aku do'akan kamu cepat dapat hidayah dari Allah. Sekarang aku nggak mau ngomong panjang lebar lagi. Aku mohon kamu jauhi suamiku. Aku permisi." Nazwa berdiri hendak pergi, tapi pertanyaan tak terduga yang Nabila lemparkan menghentikannya.
"Kamu nggak akan viralkan kasus perselingkuhan suamimu kan? Kamu nggak akan sebar ke orang-orang kalau--"
"Maaf, aku bukan perempuan seperti itu. Biarkan Allah yang membalasnya. Permisi. Assalamua'alaikum." Tanpa menunggu sahutan Nabila lagi, Nazwa pergi dengan perasaan remuk redam.
Sementara Nabila masih di tempat duduknya. Wanita itu spontan menghentakkan telapak tangan ke atas meja membuat minuman Nazwa yang tinggal setengah bergoyang. Pengunjung lain melirik ke arahnya sekilas, tapi dia tak peduli. Dia meluapkan emosi yang tertahan sejak tadi.
"Kurang ajar, Nazwa. Dia udah merendahkanku." Nabila benar-benar tersinggung dengan kalimat-kalimat Nazwa tadi. "Dia ternyata nggak selugu yang aku pikir. Aku nggak terima diginiin. Aku harus balas!"
Reza keluar dari kamar dengan kursi rodanya ketika dia melihat Nazwa berlari-lari kecil sambil menangis. Wanita itu duduk di kursi ruang tengah. Reza tahu, istrinya itu pasti baru pulang dari menemui Nabila. Reza pun memutar kursi rodanya, mendekat ke sang istri. "Kamu kenapa, Nazwa?" Dia pura-pura tidak tahu. Nazwa yang sedang menangis, menatap suaminya terkejut. Cepat dia menghapus air matanya. "Kamu nemuin Nabila kan?" Reza akhirnya memutuskan to the point saja karena dia tahu Nazwa takkan mau berterus terang. Nazwa lebih terkejut lagi mendengarnya. "Dari mana kamu tahu, Mas?" "Aku tahu. Nabila yang cerita semuanya. Tadi kamu bilang ke aku kamu cuma mau ke pasar. Ternyata kamu malah nemuin Nabila. Kamu udah pintar bohong sekarang, Nazwa." Reza menggeleng tak habis pikir. "Kamu juga sering bohongin aku. Kamu minta aku untuk nggak terus terang sama orang tuamu itu juga kebohongan kan?" Reza tak memedulikan pertanyaan Nazwa dan malah bertanya hal lain. "Kenapa? Kenapa kamu nemu
Akhirnya Pak Rahman di bawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Selama di ambulans, Nazwa terus menangis. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan bapaknya. Bahkan ketika bapaknya tiba di rumah sakit pun dia masih menangis. Dia setia duduk di sisi ranjang, sesekali menciumi tangan krisut bapaknya yang sejak tadi belum sadarkan diri. Barusan dokter mengatakan bahwa Pak Rahman terkena serangan jantung. Awalnya, Nazwa syok mendengarnya. Pasalnya selama ini dia tidak pernah tahu jika bapaknya menderita sakit jantung. Dokter juga mengatakan bahwa sakit jantungnya Pak Rahman kambuh sebab stres dan syok yang berlebihan. Nazwa tahu, bapaknya begini pasti karena melihat dirinya dan suaminya bertengkar. Bapaknya sudah semakin tua, sudah banyak menderita berbagai macam penyakit. Dia takut bapaknya meninggalkan dirinya seperti ibunya. Pasalnya banyak kasus di luar sana orang tua meninggal karena serangan jantung mendadak. Tapi untunglah, dokter sudah memeriksanya dan mengatakan kalau Pak Rahman ba
"Ka-kamu? Ngapain kamu ke sini?" "Kamu kok nanya nya gitu, Reza? Ini aku lho yang datang?" respons perempuan itu tidak terima. Lantas perempuan itu memperhatikan sekujur tubuh Reza yang duduk di atas kursi roda dan menggenggam tangan pria itu yang bertengger di atas lengan kursi. "Ya ampun Reza, kondisi kamu sekarang begini? Pakai kursi roda? Untunglah kamu masih bisa sembuh, nggak kenapa-kenapa. Aku kangen banget sama kamu. Aku udah lama nggak liat kamu." Tanpa diduga, Reza malah menarik tangannya dari genggaman perempuan itu. Wajahnya terlihat panik. "Ngapain kamu ke sini ngapain? Untung aja rumah aku nggak ada orang." Perempuan itu yang tak lain adalah Nabila tertawa. "Kamu takut, ya. Kamu bilang rumahmu nggak ada orang? Emangnya istrimu ke mana? Lagian kalau pun ada istrimu, aku malah senang ketemu dia." "Nazwa lagi di rumah sakit, bapaknya terkena serangan jantung mendadak." Nabila tampak terkejut. "Oh ada bapak mertuamu juga?" "Iya, kamu ngapain ke sini?" "Aku jengukin kam
Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi ruang rawat inap Pak Rahman terasa begitu sunyi senyap. Menyisakan deru AC--yang dinginnya memenuhi ruangan VIP itu--dan suara detak jam di dinding. Di ruang itu hanya ada mereka berdua--Nazwa dan Pak Rahman. Sembari menemani bapaknya yang sedang tidur, Nazwa hanya merenung sejak tadi, duduk di kursi sofa yang ada di ruangan itu, menangis memikirkan masalah yang menderanya. Perselingkuhan suaminya, pertemuannya dengan Nabila tadi pagi, dan bapaknya yang kini menderita penyakit jantung. Masalah bertubi-tubi mendera hidupnya membuat kepalanya pening. Percakapannya dengan Nabila tadi pagi tiba-tiba kembali terngiang. "Kalau udah nyangkut perasaan itu apa pun jadi rumit, Nazwa. Karena cinta nggak ada logika." "Sekarang aku cuma minta kamu jauhi suamiku. Aku minta dengan cara baik-baik. Aku mohon jauhi suamiku. Biarkan kami bahagia." "Kalau saya nggak mau, kamu mau apa? Tanya juga suamimu, mau nggak jauhi saya?" "Tamu itu nggak akan mas
"Aku lupa sesuatu. Aku belum kasih tahu Mas Reza tentang keadaan Bapak, ya ampun." Nazwa menatap jam dinding yang menunjukkan jam sembilan. "Udah jam segini lagi. Mas Reza pasti khawatir nungguin aku, nih." Dia mengotak-atik ponselnya untuk menelepon, tapi tiba-tiba dia terpikirkan sesuatu yang membuatnya ragu. Apa benar Reza mengkhawatirkannya? Apa Reza menunggu kabar darinya? Apa dia harus memberitahu Reza? Sesaat Nazwa terdiam menatap ponselnya. Kenyataannya suaminya tidak ada meneleponnya. Ya Allah seandainya Reza tidak selingkuh. Sulit sekali rasanya dia menerima kenyataan itu. Nazwa menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya pelan. "Biar bagaimana pun Mas Reza suamiku, aku tetap harus beritahu dia. Semoga dia nggak marah aku baru kasih tahu sekarang." Nazwa mengklik nomor ponsel suaminya dan meneleponnya. "Halo, Assalamua'alaikum, Mas." "Wa'alaikumussalam, Sayang. Kenapa baru nelepon sekarang? Aku nungguin dari tadi, lho. Keadaan Bapak gimana? Bapak baik-baik aja, kan?
Jam sudah menunjukkan pukul tengah malam. Reza sudah tidur di sofa ruangan. Sedangkan Nazwa entah kenapa dia tidak bisa tidur. Dia sudah mencoba berbaring di sofa seberang suaminya, memejamkan mata, tapi pikirannya ke mana-mana. Dia terus mengingat percakapannya dengan suaminya di depan ruangan tadi. Suaminya berkali-kali meyakinkannya kalau pria itu tak selingkuh lagi. Tapi Nazwa masih ragu dan malah sedih. Entah kenapa dia sulit untuk percaya lagi pada suaminya itu. Hingga akhirnya wanita itu memutuskan terjaga dan menghabiskan waktu menekuni hobi barunya menggunakan laptop. Ya, belakangan ini Nazwa punya kebiasaan baru, lebih tepatnya dia sedang mempelajari sebuah skill baru yaitu menulis. Menulis apa saja terutama sebuah cerita. Dan saat ini dia sedang mencurahkan isi hatinya ke dalam kata-kata mutiara yang memotivasi. Ya, Nazwa juga punya sosial media. Sosial media itu dia gunakan untuk berdakwah melalui statusnya. "Ketika tidak ada bahu untuk bersandar. Masih ada sajadah unt
Nazwa terkejut kala melihat wajah suaminya tampak tegang. Namun, sedetik kemudian dia menyadari sesuatu. Langsung saja dia mengambil alih laptopnya dan menutupnya. Wajahnya pun terlihat panik. "Kamu baca, Mas?" Nazwa menatap suaminya takut-takut. Dia mengerti Reza pasti tersinggung dan marah jika membaca tulisannya. Wajah tegang Reza perlahan berubah tenang. Pria itu lalu tersenyum menenangkan. "Iya, aku baca. Kamu mau nulis cerita, ya?" Nazwa mengangguk, masih dengan raut takut-takut. "Kamu marah?" "Ya, nggak dong." Reza melebarkan senyumnya, berusaha terlihat semeyakinkan mungkin. "Coba jawab kenapa aku harus marah?" Ditanya demikian, Nazwa malah makin tergugup. Dia menundukkan pandangan. Reza mendekat ke istrinya. "Kamu pasti masih mengira aku selingkuh, ya?" Reza menilik lekat-lekat wajah istrinya yang kini membisu. "Harus berapa kali aku bilang. Aku nggak selingkuh lagi. Aku nggak ada hubungan apa pun lagi sama Nabila. Kamu harus percaya itu. Aku harus lakuin apa supaya kam
Beberapa hari kemudian. "Ini sudah saya resepkan obat buat anaknya, ya, Bu. Bisa ditebus di apotik." Nabila menyerahkan kertas resep obat yang sudah dia tulis pada orang tua pasiennya yang menderita penyakit dendam dan flu. "Terima kasih, Dok," ucap ibu pasien menerima kertas resep itu. "Sama-sama." Nabila lantas memandangi anak laki-laki yang duduk di kursi sebelah ibunya. "Obatnya diminum secara teratur, ya, Dek. Semoga cepat sembuh." Sebagai dokter anak, Nabila menasihati pasiennya. Anak laki-laki itu hanya mengangguk. "Kalau begitu kami permisi dulu, ya, Bu Dokter. Sekali lagi terima kasih." "Sama-sama Ibu." Sepeninggal pasien, Nabila bertanya pada perawat yang membantunya sejak tadi. "Masih ada pasien nggak Sus di luar?" "Yang tadi terakhir, Dok," jawab sang perawat perempuan itu. "Oke." Nabila melirik jam tangan di pergelangan tangannya. "Hari ini aku bisa pulang lebih awal dari biasanya, nih." Perempuan mengenakan snelli putih dan bername tag dr. Nabila Putri itu lanta