Share

Bab 10

"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?" Nabila tersenyum tenang.

"Oh." Nazwa tertawa renyah. "Kamu pasti kaget, ya, aku tiba-tiba hubungin kamu dan ngajak ketemuan begini? Dan kamu mau datang takut dikira pengecut?" Nazwa menaikkan sebelah alisnya.

Lagi, Nabila tersenyum tenang walau dia merasa janggal dengan perubahan sikap Nazwa yang selama ini dia kenal baik dan lembut. Nazwa di hadapannya sekarang tidak seperti Nazwa yang dia kenal pertama kali. Apa karena perempuan itu marah? "Nggak juga. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?"

"Aku minta kamu jauhi suamiku."

Nabila tertegun mendengar kalimat tak terduga itu.

"Kenapa? Nggak bisa?"

Nabila memasang ekspresi tak mengerti lantas terkekeh pelan. "Excuse me. Jauhi gimana maksudnya? Kamu kan tahu aku sama Reza temenan--"

"Kamu lupa apa yang udah pernah aku lihat tempo hari di hotel? Dan Mas Reza sudah mengakui semuanya. Jadi kamu terus terang aja. Kalian bukan hanya sekadar teman kan?"

Nabila terdiam. Jadi Reza sudah mengakuinya? Nabila lantas menghela napas. "Iya," akunya akhirnya. "Kami memang punya hubungan khusus tapi itu juga bukan sepenuhnya salah saya karena kami masih saling mencintai." Jawab Nabila percaya diri.

Nazwa menatap Nabila tak percaya. "Masih saling mencintai? Mas Reza sudah menjadi suamiku! Apa kamu nggak malu ya merebut suami orang?" Nazwa menilik penampilan Nabila. "Kamu cantik kok, pintar, sukses, pasti banyak kok laki-laki di luar sana yang mau sama kamu. Nggak harus rebut suami orang!"

Wajah Nabila memerah dan tegang. Antara malu dan marah. Perkataan Nazwa lagi-lagi menamparnya. Jika menurutkan emosi, ingin rasanya dia menarikkan kerudung perempuan sok alim di hadapannya ini lalu mencakar wajahnya. Namun, dia masih berusaha tenang dan bermain cantik. Dia tidak mungkin melakukan perbuatan konyol seperti itu di khalayak ramai seperti ini. Apalagi di sini pasti ada CCTV.

"Kalau udah nyangkut perasaan itu apa pun jadi rumit, Nazwa," jawabnya tenang. "Karena cinta nggak ada logika."

Nazwa tak habis pikir dengan Nabila yang bisa-bisanya menjawab seperti itu. "Sekarang aku cuma minta kamu jauhi suamiku. Aku minta dengan cara baik-baik. Aku mohon jauhi suamiku. Biarkan kami bahagia." Pandangan Nazwa kini mengabur. Perasaannya tiba-tiba sesak.

"Kalau saya nggak mau, kamu mau apa? Tanya juga suamimu, mau nggak jauhi saya?"

Tangis Nazwa pecah. Ya Allah dia harus kuat. Ini sudah setengah jalan. Dia harus selesaikan masalah ini sekarang juga.

"Tamu itu nggak akan masuk kalau tuannya nggak bukain pintu. Paham kan, Nazwa?"

Nazwa mengusap air matanya. Lantas tersenyum culas. "Kamu sungguh perempuan yang baik." Tentu kalimat itu bermakna sebaliknya. "Selama ini aku udah salah menilai kamu. Aku do'akan kamu cepat dapat hidayah dari Allah. Sekarang aku nggak mau ngomong panjang lebar lagi. Aku mohon kamu jauhi suamiku. Aku permisi." Nazwa berdiri hendak pergi, tapi pertanyaan tak terduga yang Nabila lemparkan menghentikannya.

"Kamu nggak akan viralkan kasus perselingkuhan suamimu kan? Kamu nggak akan sebar ke orang-orang kalau--"

"Maaf, aku bukan perempuan seperti itu. Biarkan Allah yang membalasnya. Permisi. Assalamua'alaikum." Tanpa menunggu sahutan Nabila lagi, Nazwa pergi dengan perasaan remuk redam.

Sementara Nabila masih di tempat duduknya. Wanita itu spontan menghentakkan telapak tangan ke atas meja membuat minuman Nazwa yang tinggal setengah bergoyang. Pengunjung lain melirik ke arahnya sekilas, tapi dia tak peduli. Dia meluapkan emosi yang tertahan sejak tadi.

"Kurang ajar, Nazwa. Dia udah merendahkanku." Nabila benar-benar tersinggung dengan kalimat-kalimat Nazwa tadi. "Dia ternyata nggak selugu yang aku pikir. Aku nggak terima diginiin. Aku harus balas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status