LOGIN“Elowen, kamu pakai apa?” suaranya meninggi.“Kak Ely…” Elowen mundur setapak.Emily berjalan ke arah Elowen.“Lepas.” Emily menarik baju yang dikenakan Elowen.“Ah, sakit, Kak Ely!”“Kak Emily, jangan dipaksa, Owen kesakitan,” ujar Grace panik.Emily menoleh tajam. Tatapannya menusuk. “Kamu yang mendandani Owen seperti ini?”Grace menunduk. Jemarinya meremas ujung baju. “Maaf, Kak Emily. Grace cuma—”“Jangan pernah,” potong Emily dingin. “Jangan pernah mendandani Owen seperti ini.”“I-iya, Kak Emily.”Pandangannya beralih pada Elowen. “Cepat lepas, kakak tak suka kamu memakai pakaian seperti ini.”“Iya kak Ely.”Emily membalikkan badan. Langkahnya cepat, bahunya kaku. Ia meninggalkan kamar itu tanpa menoleh lagi.••• Tiba di kamar, Emily langsung duduk di sisi kasur. Dadanya masih naik turun. Vincent sudah ada di sana, berdiri membelakanginya.“Ak
Di ruang tamu, Emily sibuk menyusun beberapa berkas. Jemarinya bergerak cepat, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana.“Permisi.”Emily menoleh. Seorang gadis berdiri di ambang pintu. “Iya?” Emily bangkit perlahan. “Cari siapa?”“Saya pengasuh baru.”Alis Emily mengernyit. “Pengasuh?” Tatapannya menyapu sekeliling. “Maaf, sepertinya kamu salah alamat. Di sini tidak ada anak kecil.”Gadis itu terlihat ragu. Ia membuka selembar kertas. “Alamatnya benar. Aku tidak salah alamat kok,” ucapnya pelan.Kertas itu disodorkan ke arah Emily.Emily menerimanya. Matanya bergerak cepat menyusuri baris alamat yang tertulis. ‘Benar. Tapi di rumah ini, tak ada anak kecil.’“Oh, sudah datang rupanya.”Suara familiar membuatnya menoleh cepat.“Tuan?” Emily menatap Vincent. “Apa maksudnya?”“Aku lupa memberitahumu,” jawab Vincent tenang. “Aku mencarikan teman untuk Elowen.”
Vincent berdiri menatap laut terbentang di hadapannya, tenang, berbanding terbalik dengan pikirannya.“Hari ini waktu kita berlibur telah habis.”Adrian terperanjat. “Apa? Kenapa mendadak sekali, Vin?”Vincent menoleh setengah. Sorot matanya gelap. “Ada masalah aku yang bisa menyelesaikannya,” jawabnya datar. “Kalian bersiap.”“Kami belum puas, Vin. Iya kan?” keluh Lucien.Vincent berbalik sepenuhnya. Tatapannya dingin, tegas, tak memberi ruang bantahan.“Bersiaplah,” tekan Vincent. “Kapal sebentar lagi tiba.”Ia kembali menghadap laut. Angin menerpa wajahnya. Liburan ini memang harus berakhir. Dan bersama itu, waktunya Emily juga hampir habis. Sementara itu, Emily sedang merapikan pakaian Elowen.“Kita harus bersiap,” ucap Vanessa tiba-tiba. “Tuan Vincent mengajak kita kembali.”Tangan Emily berhenti. Ia menoleh pelan. “Kembali?” alisnya terangkat. “Bukankah kita sampai akhir tahun baru?”
Malam perlahan turun.Di meja makan, Emily duduk diam. Pandangannya tertahan pada piring di depannya. Makanan itu nyaris tak tersentuh. Ia bisa merasakan tatapan seseorang kepadanya, dalam. Namun ia memilih berpura-pura tak menyadarinya.Kursinya bergeser pelan saat Emily berdiri.“Mau ke mana?” tanya Vanessa.Langkahnya tertahan sesaat. “Aku sudah selesai,” jawab Emily singkat. “Aku mau membereskan dapur.” Ia kembali bergerak menjauh.Di dapur, Emily berhenti. Tangannya naik ke dada. ‘Untuk sekarang… aku tidak boleh bertemu dengannya,’ batinnya. ‘Tapi bagaimana caranya?’“Kenapa?”Suara itu membuat tubuhnya menegang. Emily berbalik cepat.“T-Tuan…” katanya gugup. Kelopak matanya sedikit turun, ia sedikit menguap. “Aku mengantuk sekali.”Tanpa menunggu jawaban, Emily melangkah pergi, meninggalkan Vincent yang masih berdiri di sana.Di kamar, tubuhnya jatuh ke ranjang. Pandangannya men
Pagi ini.Emily berdiri di depan cermin. Jemarinya menekan kain bikini di dadanya, berusaha menutup belahan yang terasa terlalu terbuka.“Aku malu sekali memakai ini,” gumamnya. “Kalau begitu, bagaimana denganku?” sahut Lia dari belakang.Emily menoleh. Lia berdiri santai dengan bikini berwarna cerah. Kulitnya tampak kontras dengan cahaya matahari yang masuk dari jendela.“Kamu cocok. Sangat,” ujar Emily jujur. Ia lalu meraih kaos tipis di atas ranjang. “Aku ganti saja.”“Eh, jangan!” seru Vanessa cepat. Ia melangkah mendekat dan menarik tangan Emily. “Sudah terlanjur begini. Ayo main air!”Emily ragu. Matanya beralih ke cermin sekali lagi. Napasnya tertahan sesaat. Namun sebelum sempat menolak, Vanessa sudah menariknya keluar kamar.Langkah mereka berakhir di pantai. Pasir putih membentang, ombak kecil berkejaran di tepi. Angin laut menyapu rambutnya.“Emily, ayo!” seru Vanessa, yang kini sedikit jauh
“Tiba-tiba sekali, Tuan?” Lia berseru.Emily ikut menatap Vincent. Alisnya sedikit terangkat. Ajakannya datang tanpa tanda. Liburan ke pulau. Mendadak.“Nanti siang kapal akan berangkat,” ujar Vincent singkat. “Bersiaplah.”“Baik!” Lia dan Vanessa menjawab hampir bersamaan. Mereka langsung pergi.Kini hanya tersisa Emily dan Vincent.“Tuan,” Emily mendekat setengah langkah. “Kenapa tiba-tiba berlibur? Apa ada hari khusus?”Vincent tersenyum. Tangannya terangkat, merapikan kerah baju Emily. Jemarinya menyentuh lehernya sekilas.“Aku hanya ingin liburan bersamamu,” katanya pelan. “Kalau hanya mengajakmu, mereka akan merasa tidak adil.”Emily terdiam. ‘Jadi itu alasannya.’•••Siang merambat naik, hangat matahari menyentuh kulit.Sesuai ucapannya tadi pagi, Vincent membawa mereka ke dermaga. Emily melangkah di sampingnya, angin laut memainkan ujung rambutnya. Suara burung camar, membuat s







