Di pagi yang sama, saat kabut tipis masih menyelimuti jendela rumah sakit pusat kota London, di dalam sebuah kamar perawatan VIP, seorang perempuan dengan wajah pucat dan tubuh lemah terbaring diam.Selang infus menancap di punggung tangannya, membentuk kontras yang tajam dengan kulit putih bersihnya. Wajahnya tenang, hampir seperti tidur damai, tapi jika ditatap lebih lama, ada bekas kelelahan yang tertinggal di bawah mata.Gaun pesta mewah yang dikenakannya semalam telah diganti dengan pakaian pasien yang longgar, seakan menyapu semua kemegahan malam sebelumnya.Tepat di sisi ranjang, seorang pria berdiri. Tegak, diam, dan penuh penyesalan. Zhen Chu menatap Clara dengan sorot mata yang sulit dijelaskan—perpaduan antara sayang, bingung, dan kehilangan.Semalam, saat Clara jatuh ke dalam pelukannya di Hotel Savoy, Zhen segera mmebawanya ke rumah sakit. Dia menungginya di sana, tanpa beranjak sedikitpun.Wajah cantik yang terbiasa tenang itu, sesekali merintih kesakitan sejak semalam.
Pagi itu, London tampak lebih kelabu dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti kaca jendela, dan suhu udara seolah mengajak siapa pun untuk tetap berselimut.Di dalam kamar yang hangat, Yara masih meringkuk di bawah selimut tebal berwarna abu-abu. Ranjang empuk yang dia tempati terasa seperti pelukan yang enggan dilepas.Tubuhnya berat. Bahkan kelopak matanya masih lengket karena sisa kantuk yang enggan pergi.Tok tok tok.Suara ketukan lembut terdengar dari balik pintu. Suara yang segera dikenalnya menyusul."Yara," panggil Nathan dari luar. "Sarapan sudah siap. Aku tunggu di meja makan, ya."Yara hanya mendesah pelan, lalu menggulung dirinya lebih dalam ke selimut."Duh, kenapa sih dia harus sepeduli itu ..., menyebalkan," gumamnya lirih, malas.Matanya melirik ke arah pintu, lalu menatap langit-langit kamar. Sudah menjadi bagian dari konsekuensi kontrak bodoh itu. Mau tidak mau, dia harus menghadapi Nathan setiap hari."Kontrak konyol ..., dan aku setuju pula," gerutunya lagi, lali ak
Di ruang tengah apartemen mewah yang tak lagi terasa nyaman, Yara terduduk di ujung sofa berwarna abu-abu lembut. Cahaya kuning keemasan dari lampu gantung menyinari tubuh kecilnya yang terbungkus hoodie kebesaran, lengan panjangnya nyaris menutupi jari-jarinya yang kini meremas ujung kain dengan gemetar.Matanya sembab, merah karena tangis yang tak henti sejak dua jam lalu. Nafasnya berat, seolah setiap hela menuntut keputusan yang tak ingin dia buat.Suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Perlahan dan pasti, Nathan muncul dengan secangkir teh hangat.Asap tipis mengepul dari cangkir porselen itu saat ia menaruhnya di meja di depan Yara. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap gadis itu beberapa detik sebelum duduk di sampingnya."Apa kamu benar-benar ingin mengakhiri kontraknya?" suara Nathan akhirnya memecah keheningan.Yara langsung menggeleng cepat, masih dengan kepala tertunduk. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan."Aku ..., aku tidak bisa bayar dendanya ...."Suara Ya
Clara duduk di salah satu sofa mahal berlapis beludru di ruang tamu rumah mewahnya. Gaun panjang berwarna champagne menempel anggun di tubuh rampingnya, menghias keindahan yang sulit untuk tidak dilirik.Rambut panjangnya ditata rapi ke samping, menyisakan leher jenjangnya terbuka untuk kilauan kalung berlian. Kakinya bersilang, sepatu hak tinggi dari rumah mode ternama berkilau di bawah cahaya lampu kristal.Tapi wajah itu...Wajah cantik sempurna yang disiapkan untuk malam istimewa, tak mampu menyembunyikan kekecewaan yang perlahan merembes lewat sorot mata datar dan senyuman yang tak kunjung muncul. Berkali-kali, jemarinya menyentuh layar ponsel. Memanggil nama yang sama: Nathan.Tidak diangkat. Tidak dibalas.Jam tangan Cartier di pergelangan tangannya menunjukkan bahwa Nathan sudah telat setengah jam dari waktu yang mereka sepakati. Clara tidak mengatakan apa-apa, tidak juga meluapkan amarah. Tapi ketika ponselnya kembali menyala, dengan satu pesan singkat dari Nathan bertuliskan
Langit London mulai meredup, cahaya jingga menyelinap perlahan di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang. Jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu kota yang menyala satu per satu.Di balik kemudi sebuah mobil hitam mewah, Nathan Liu menyetir dengan tenang tapi penuh tekanan dalam dadanya.Setelan jas hitamnya rapi, dasi abu gelapnya terikat sempurna, dan aroma parfum maskulin mahal menguar samar di dalam kabin mobil. Ia dalam perjalanan untuk menjemput Clara—istri yang secara sah tercatat sebagai pendamping hidupnya. Namun, ada yang berbeda sore ini.Satu tangannya menggenggam setir, tapi matanya sesekali melirik layar ponsel di tempat duduk samping. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan masuk. Adrian belum mengabari soal Yara.Dan itu membuat Nathan semakin gelisah.Namun tiba-tiba, pandangannya menangkap sosok yang tak asing di pinggir jalan, tepat di depan sebuah restoran kecil yang terletak di sudut jalan King’s Cross.Tubuh ramping dengan hoodie abu-abu yang menutupi sebagian wajahnya.
Di lantai tertinggi Liu Corporation, di balik dinding kaca yang menyuguhkan panorama kota London yang sibuk, Nathan Liu duduk membungkuk di meja kerjanya. Setelan jas hitamnya masih rapi meski waktu telah menunjukkan pukul dua siang.Tangannya sibuk mengetik di atas keyboard laptop, suara klik-klik terdengar teratur. Tapi tatapannya ..., tidak benar-benar tertuju pada layar.Sesekali, jemarinya berhenti. Matanya menatap kosong ke layar yang kini memunculkan data grafik penjualan. Namun bukan itu yang mengisi pikirannya.Bayangan wajah Yara muncul begitu saja—matanya yang sembab, suara tangisnya yang bergetar, dan tubuh mungilnya yang membelakanginya setelah tahu satu kebenaran besar: Nathan sudah menikah.Suara tangis gadis itu masih terngiang di telinganya. Bahkan meski dia mencoba mengabaikan, tetap saja, rasa bersalah menusuk perlahan. Dan itu membuat Nathan kesal—terutama pada dirinya sendiri.Tok. Tok.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.Pintu terbuka perlahan dan Adrian,