"Jiya … apakah Dimas yang mengatakan hal ini pada Mama?" tanya Adam yang mencoba mengalihkan pembicaraan."Tidak penting dari siapa, yang jelas aku ingin bicara dengan anak itu," ucap Nyonya Titi dengan tegas.Adam menghela napasnya. "Aku tidak bersama Jiya, Ma.""Lalu dia di mana?" tanya Nyonya Titi dengan cepat."Tentu saja di rumahnya. Aku saat ini sedang berjalan santai bersama dengan Andre, apa Mama ingin—""Berhenti bicara dan segera cari dia! Aku ingin berbicara empat mata dengan dia," ucap Nyonya Titi dan kemudian mematikan panggilan itu begitu saja."Halo, Ma," ucap Adam yang kemudian menyadari kalau panggilan itu sudah diputus.Adam menghela napas sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya."Apakah kalian yakin masih mau menerima wanita itu setelah semua kejadian itu?" tanya Andre yang sedari tadi mendengar percakapan antara Adam dan ibunya."Kalau aku, aku masih akan mengejarnya dan begitu juga Bumi, hanya dia yang bisa menaklukan Bumi. Dan untuk ibuku, ak
Setelah melihat Jiya sudah lebih baik, kemudian Dila pun berpamitan keluar untuk membeli beberapa benda di mini market yang beroperasi selama 24 jam. Dan setelah beberapa menit mengendarai motor, akhirnya Dila pun sampai di taman yang berada tidak jauh dari area ruko tempat tinggalnya dan Jiya."Apa dia belum sampai atau malah sudah pulang ya," gumam Dila sambil mengarahkan pandangannya ke sekitar tempat itu. "Nona Dila," panggil Adam yang saat ini berjalan ke arah Dila dari arah belakang Dila.Dila langsung berbalik badan. "Eh, iya Pak," sahutnya sambil cengengesan. "Anu Pak, kalau masalah Jiya yang tadi tidur di teras itu karena dia ketiduran. Sebenarnya dia sedang tidak enak badan dan tadi duduk-duduk di teras, lalu tiba-tiba dia tidur gitu aja. Nggak ada masalah lain kok Pak, biasanya dia juga di dalam ruko bersama saya," ucap Dila bahkan sebelum Adam bertanya kepadanya."Dia sedang sakit?" Adam mengerutkan dahinya.'Kok fokusnya jadi ke situ,' batin Dila yang sedikit ter
Seketika ekspresi wajah Jiya berubah, yang tadi ceria dan tertawa bersama dengan Dila kini langsung berubah diam dan terlihat tenang. Sikap ini bukan karena Jiya berpura-pura untuk tetap tenang, tetapi saat ini rasa bahagianya menurun drastis, walaupun tidak sampai sedih dan muram."Ji," panggil laki-laki yang baru saja turun dari mobil tersebut sambil membawa sebuah buket bunga di tangannya.Jiya pun bangun dari kursi ketika laki-laki itu sudah hampir sampai di teras toko tersebut. Ekspresi dingin dia tunjukkan dengan jelas di wajahnya."Ji, Apakah kamu sudah makan?" tanya Raka sambil menyerahkan buket bunga itu pada Jiya.Jiya pun menerima bunga tersebut, lalu menghela napas panjang. "Sudah, aku sudah makan. Oh iya, terima kasih buket bunganya yang kemarin sore," ucap Jiya masih dengan ekspresi dingin di wajahnya.Dila yang saat ini masih duduk di kursi pun menyahut, "Iya, dia sudah makan, aku yang membuat makanannya. Kalau bukan karena aku yang membuatkan makanan, dia mana bisa m
"Apa maksud kamu?" tanya Raka sambil mengerutkan dahinya."Iya Mas, aku ingin kita pisah rumah dari ibumu setelah kita menikah. Kamu pasti tahu sendiri kalau kamu tidak perlu khawatir aku akan menyakiti Clayton karena aku sangat menyayangi dia. Hanya saja untuk masalah bersama dengan ibumu, kamu tahu sendiri itu tidak mungkin untukku. Lebih baik kita membicarakannya sekarang dari pada kita terlanjur jauh dan akan menyesal nantinya." Jiya bersikap tegas.Raka terdiam mendengar permintaan Jiya ini. Dia adalah anak terakhir dan sudah digadang-gadang akan tinggal di rumah itu dan mengurus ibunya sampai tua.Setelah beberapa saat tidak mendengar sahutan dari Raka, Jiya pun tersenyum sinis. "Jadi benar kan kalau kamu tidak bisa membawaku pergi dari rumah itu setelah kita menikah? Baiklah, jadi sudah jelas semuanya," ucap Jiya sambil berbalik badan.Tapi dengan cepat Raka menahan tangan Jiya. "Kamu tahu sendiri kalau aku tidak punya masalah untuk membeli rumah baru bagi kamu, tapi aku tidak
Sementara itu saat ini Adam yang baru saja turun dari mobilnya berjalan dengan santai ke arah pintu utama rumahnya. Rumah besar itu masih sama dengan satu setengah tahun yang lalu, yang berubah dari rumah itu hanyalah pohon mangga dan rambutan yang Jiya tanam di taman depan rumah, kini dua pohon itu sudah berbuah."Jiya," gumam Adam ketika berhenti melangkah dan menatap ke arah dua pohon tersebut. Dua pohon yang buahnya tidak pernah dipetik oleh siapa pun karena Adam melarangnya.Saat Adam mengingat semua kenangannya dengan Jiya ketika menanam pohon itu, tiba-tiba dering ponselnya membuatnya tersadar dari lamunannya."Halo," ucap Adam ketika baru saja mengangkat panggilan tersebut."Halo Mas, kamu ada di mana?" Adam mengerutkan dahinya ketika mendengar suara yang sudah lama tidak melewati speaker ponselnya. Sebuah senyum kecil terukir di bibir Adam. "Aku baru saja sampai di rumah, ada apa?""Rumah mana?""Tentu saja Jakarta," jawab Adam dengan santai."Tunggu … tunggu sebentar, aku m
"Tante lupa padaku?" tanya wanita dengan tubuh tinggi, langsing bak model tersebut.Nyonya Titi tersenyum lembut. "Maaf, Tante sudah lama tidak ke sini, jadi lupa," jawabnya."Aku Natasya, Te. Dulu aku kuliah satu angkatan dengan Adam," ucap wanita bernama Natasya tersebut."Oh, yang waktu itu datang ke rumah bersama dengan Andre dan Raka, ya?" sahut Nyonya Titi yang mulai teringat dengan wanita di depannya itu.Senyum pun merekah di wajah Natasya. "Iya Tante, itu aku. Tante kok masih ingat sih, padahal itu waktu kami masih SMA loh," sahutnya sambil tersenyum hangat."Astaga, kamu benar-benar berubah, Tante sampai tidak mengenali kamu lagi," ucap Nyonya Titi dengan santai."Tentu saja Tante. Dulu aku masih 17 tahun, kalau sekarang aku sudah 30 lebih, jadi wajar kalau terlihat makin tua," sahut Natasya sambil terkekeh.Nyonya Titi pun ikut terkekeh. "Oh iya, lalu apakah Desi ada di dalam?""Ada Tante. Tante Desi dan Raka ada di dalam, aku baru saja selesai membicarakan pekerjaan deng
Satu hari berlalu. Setelah telepon dari Adam, Jiya tidak lagi tersenyum. Bahkan Bumi dan Dila pun merasa penasaran dengan apa yang terjadi karena Jiya tak mengatakan apa pun. Ya, sejak pagi dia bangun dan melakukan semuanya seperti biasanya, hanya saja tak ada sedikit pun senyum atau tawa terlihat dari bibir Jiya sejak semalam."Ada apa dengan dia, Tante?" bisik Bumi pada Dila yang saat ini sedang duduk di sampingnya.Dila yang saat ini sedang menguleni adonan pun melirik arah Jiya yang saat ini sedang diam menunggui mixer duduk sambil memasukkan pewarna ke dalam adonan yang sedang di mixer."Aku juga tidak tahu, apa mungkin dia kesambet saat kita pergi cari makan," jawab Dila yang juga berbisik pada Bumi.'Apa benar hal itu terjadi?' batin Bumi sambil menatap ke arah Jiya."Kamu coba deh tanya Mamamu," bisik Dila lagi.Bumi mengalihkan pandangannya pada Dila, tetapi Dila langsung menggerak-gerakkan alisnya tanda dia serius menyuruh Bumi melakukan hal itu.Pada akhirnya Bumi me
Langkah kaki Jiya seketika terhenti ketika mendengar suara tersebut. Dia yang sudah kepalang basah berdiri di tengah pintu penghubung antara ruang depan dan ruang belakang kini terdiam ketika tatapan matanya beradu dengan mantan ibu mertuanya."Jiya," ucap Nyonya Titi dengan mata yang berkaca-kaca.Melihat hal itu hati Jiya terenyuh, langsung saja air matanya tak bisa dibendung. Dia pun segera berjalan melewati bumi dan kemudian melangkah dengan cepat keluar dari pintu etalase. "Maafkan aku Ma, Maafkan aku," ucap Jiya sambil bersimpuh di kaki Nyonya Titi.Nyonya Titi terdiam sesaat melihat tingkah mantan menantunya tersebut. Dia pernah berpikir kalau Jiya akan meminta maaf ketika bertemu dengannya, tetapi dia tidak pernah mengira kalau Jiya akan berlutut seperti itu. "Sayang bangunlah," ucap Nyonya Titi sambil mencoba membantu Jiya untuk bangun.Sesaat kemudian, Bi Sumi yang berjalan dari arah jalanan di depan ruko itu langsung berlari kecil. "Nyonya jangan seperti itu, hati-hati," uca