“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
"Kamu harus memilih, anak itu atau istrimu!"Jiya tersentak mendengar teriakan yang berasal dari sebuah ruangan yang sedang dilewatinya. Dia yang merasa penasaran pun langsung mengintip dari celah pintu ruangan yang tidak tertutup rapat.“Mas Adam?” batin Jiya. Matanya terbelalak ketika mengetahui ternyata salah satu orang yang ada di dalam ruangan itu adalah suaminya."Aku tidak bisa memilih," jawab Adam setelah beberapa saat hanya diam saja. "Aku akan mempertahankan keduanya."Adam dan Jiya awalnya menikah karena sebuah kesalahan di mana mereka sama-sama dijebak di dalam sebuah pesta dan berakhir ditemukan di dalam kamar yang sama. Tapi setelah melewati berbagai hal selama beberapa bulan pernikahan, akhirnya mereka berhasil membuka hati mereka untuk satu sama lain."Jangan serakah! Karena kamu tidak bisa memilih, maka aku akan membawa anak itu bersamaku. Bagaimanapun aku ini juga kakek buyutnya, aku punya hak untuk mengasuhnya."“Kakek akan membawa Bumi?” batin Jiya dengan mata memb
“Bayar aku sesuai kesepakatan menjadi pengasuh Bumi.”Seketika sebuah seringai muncul di wajah Adam. "Jadi ini, begini tujuanmu? Ini yang kamu mau?""Ya. Aku butuh modal untuk nikah dan membuat usaha dengan calon suamiku," jawab Jiya dengan menunjukkan ekspresi datar di wajahnya.Tatapan Adam yang awalnya diselimuti amarah kini berubah penuh kebencian dan rasa jijik."Oke, kalau itu mau kamu, aku berikan semuanya."Tanpa mengucapkan apa pun lagi, kemudian Adam kembali ke dalam mobilnya dan meninggalkan tempat itu begitu saja. Sedangkan Jiya yang sedari tadi berpura-pura tenang kini langsung duduk kembali di kursinya."Ah, selesai," gumam Jiya sembari meneteskan air mata yang sedari tadi ia tahan."Minum dulu Ji, tenangkan diri kamu," ucap sahabat Jiya sembari menyodorkan segelas air teh miliknya.Jiya pun menerima minuman tersebut, tetapi tiba-tiba rasa mual memenuhi perutnya."Kamu kenapa Ji?" tanya sahabat Jiya yang tentu saja berubah panik.Jiya pun segera berlari ke halaman dan m
“Sayang, apa kamu kenal dengan Adam?“ tanya laki-laki yang kini berstatus sebagai kekasih Jiya tersebut.“Dia sepupu yang kamu bilang itu?” tanya Jiya sambil menunjuk ke arah Adam.“Iya, dia sepupuku dari Jakarta yang pernah aku ceritakan. Dia baru saja pulang dari Macau, tapi ….” Penjelasan kekasih Jiya tersebut diakhiri dengan sebuah helaan napas panjang.Jiya pun kembali menatap ke arah laki-laki yang dikatakan sebagai sepupu dari kekasihnya itu. ‘Gila, kenapa harus Mas Adam lagi sih? Padahal aku sudah mati-matian agar bisa move on dari dia, kenapa sekarang harus ketemu lagi?’ gerutunya di dalam hati.“Tidak bisa, aku tidak boleh mengingat itu semua. Sekarang aku sudah punya Mas Raka dan Kleyton, aku tidak boleh mengingat masa lalu lagi,” tekad Jiya dalam hati.Namun, tanpa diduga tiba-tiba saja Adam mengulurkan tangannya. “Bagaimana kabarmu?“ tanyanya sembari meraih tangan Jiya.Jiya yang terpaksa bangun karena tarikan dari Adam pun langsung menundukkan pandangannya. “Sial, dia pa
"Kenapa, ragu?" Kembali Adam bertanya.Langsung saja Jiya mengalihkan pandangannya kembali pada Raka. “Tentu saja aku mau. Bagaimanapun juga … ah, nanti kita bicara lagi, toko sedang banyak pesanan Mas," ucapnya sambil menarik lengannya dari genggaman Raka.Sesaat kemudian Jiya pun meninggalkan ketiga orang tersebut. Dia berjalan secepat yang dia bisa bersama dengan Dila menyeberangi jalanan untuk kembali ke toko kuenya. Di sisi lain, saat ini Raka terus menatap ke arah Jiya yang baru saja masuk ke dalam toko kue, begitu pula dengan Adam yang tak berhenti menatap ke arah wanita yang sudah ia cari-cari selama satu setengah tahun ini."Ternyata selama ini kamu sembunyi di sini," batin Adam sambil tersenyum kecil melihat Jiya yang sempat menoleh ke arah mereka berdua."Dengar, aku tidak perduli siapa dia bagimu, tapi dia adalah calon istriku sekarang. Jadi aku harap kamu mengerti posisimu saat ini," ucap Raka sambil mengepalkan tangannya kuat.Tanpa menoleh Adam pun menyahut, "Dia
Setelah berhasil memeluk Jiya, kemudian Bumi pun berbalik dan menjawab pertanyaan Nyonya Desi. "Tante Jiya ini mamaku, yang waktu itu menikah dengan Papa." "Benarkan, Ma?" Bumi beralih melempar pertanyaan pada Jiya sembari menyuguhkan senyum termanisnya.Langsung saja Jiya tersenyum canggung. "Iya, kamu memang benar," jawab Jiya sambil mengusap kepala Bumi dengan pelan.Langsung saja tatapan penuh tanya dari Nyonya Desi berubah menjadi tatapan tajam. "Tante, aku—" Kalimat Jiya terhenti ketika tiba-tiba saja Nyonya Desi berbalik badan."Kamu temui aku setelah selesai menyusui Clayton!" titah Nyonya Desi sembari melangkah meninggalkan tempat tersebut. Jiya terdiam. Calon ibu mertuanya yang memang sejak awal sudah tidak menyukainya karena statusnya sebagai seorang janda dan juga hanya orang biasa kini mempunyai lebih banyak alasan untuk memisahkannya dari Raka."Sepertinya memang sulit dipertahankan," batin Jiya sambil tersenyum getir menatap punggung Nyonya Desi yang semakin lama sem
Setengah jam berlalu, kini Jiya sudah sampai di depan salah satu ruangan yang dikatakan oleh Bi Tumi."Ada apa Bi, Clayton sakit?" tanya Jiya pada Bi Tumi yang sedang menunggu di luar ruangan. Sesaat kemudian Jiya mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. "Apa sakitnya parah? Semalam sepertinya baik-baik saja.""Nggak tahu juga, Bu. Tadi tiba-tiba saja Nyonya teriak-teriak nyuruh Pak Dadang mengeluarkan mobil, terus ke sini," beber Bi Tumi yang kini ikut menatap ke arah pintu ruangan di dekat mereka."Astaga, semoga nggak ada yang serius," gumam Jiya yang semakin penasaran, tetapi hanya bisa menunggu seperti yang Bi Tumi lakukan.Sesaat kemudian Bi Tumi menepuk pelan lengan Jiya, dan membuat Jiya menoleh ke arah wanita paruh baya tersebut."Ayo duduk Bu," ajak Bi Tumi sambil melangkah ke arah kursi tunggu yang berada di dekat mereka.Namun belum sempat Jiya menyahut, tiba-tiba saja terdengar langkah seseorang yang sedang berlari ke arah mereka. "Ada
Jiya terdiam. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Raka akan mengatakan hal itu. Ya, dulu Jiya memang mengarang cerita seperti yang dikatakan oleh Raka untuk mengelabui semua orang yang mengenalnya di kota itu.Saat itu Jiya berpikir untuk tidak menceritakan yang sebenarnya dan bertingkah sebagai wanita yang diceraikan dan menyedihkan, agar lebih mudah diterima para tetangganya karena saat itu dia sedang hamil dan datang ke kota itu tanpa suami. Sedangkan saat bertemu dengan Raka, dia juga mengatakan kebohongan itu karena dia tidak pernah berpikir akan sedekat ini dengan Raka."Katakan Ji, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka sambil menarik tangannya dari satpam rumah sakit yang memeganginya.Desakan dari Raka membuat Jiya menelan ludahnya. Sesaat kemudian Jiya pun berganti melirik ke arah Adam yang juga sedang menatapnya dengan tajam. 'Bagaimana ini?' batin Jiya yang kebingungan.Sesaat kemudian Raka sudah beralih mendekati jiya. "Katakan yang sebenarnya!" tekan Raka sambil m