Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
"Kamu harus memilih, anak itu atau istrimu!"Jiya tersentak mendengar teriakan yang berasal dari sebuah ruangan yang sedang dilewatinya. Dia yang merasa penasaran pun langsung mengintip dari celah pintu ruangan yang tidak tertutup rapat.“Mas Adam?” batin Jiya. Matanya terbelalak ketika mengetahui ternyata salah satu orang yang ada di dalam ruangan itu adalah suaminya."Aku tidak bisa memilih," jawab Adam setelah beberapa saat hanya diam saja. "Aku akan mempertahankan keduanya."Adam dan Jiya awalnya menikah karena sebuah kesalahan di mana mereka sama-sama dijebak di dalam sebuah pesta dan berakhir ditemukan di dalam kamar yang sama. Tapi setelah melewati berbagai hal selama beberapa bulan pernikahan, akhirnya mereka berhasil membuka hati mereka untuk satu sama lain."Jangan serakah! Karena kamu tidak bisa memilih, maka aku akan membawa anak itu bersamaku. Bagaimanapun aku ini juga kakek buyutnya, aku punya hak untuk mengasuhnya."“Kakek akan membawa Bumi?” batin Jiya dengan mata memb
“Bayar aku sesuai kesepakatan menjadi pengasuh Bumi.”Seketika sebuah seringai muncul di wajah Adam. "Jadi ini, begini tujuanmu? Ini yang kamu mau?""Ya. Aku butuh modal untuk nikah dan membuat usaha dengan calon suamiku," jawab Jiya dengan menunjukkan ekspresi datar di wajahnya.Tatapan Adam yang awalnya diselimuti amarah kini berubah penuh kebencian dan rasa jijik."Oke, kalau itu mau kamu, aku berikan semuanya."Tanpa mengucapkan apa pun lagi, kemudian Adam kembali ke dalam mobilnya dan meninggalkan tempat itu begitu saja. Sedangkan Jiya yang sedari tadi berpura-pura tenang kini langsung duduk kembali di kursinya."Ah, selesai," gumam Jiya sembari meneteskan air mata yang sedari tadi ia tahan."Minum dulu Ji, tenangkan diri kamu," ucap sahabat Jiya sembari menyodorkan segelas air teh miliknya.Jiya pun menerima minuman tersebut, tetapi tiba-tiba rasa mual memenuhi perutnya."Kamu kenapa Ji?" tanya sahabat Jiya yang tentu saja berubah panik.Jiya pun segera berlari ke halaman dan m
“Sayang, apa kamu kenal dengan Adam?“ tanya laki-laki yang kini berstatus sebagai kekasih Jiya tersebut.“Dia sepupu yang kamu bilang itu?” tanya Jiya sambil menunjuk ke arah Adam.“Iya, dia sepupuku dari Jakarta yang pernah aku ceritakan. Dia baru saja pulang dari Macau, tapi ….” Penjelasan kekasih Jiya tersebut diakhiri dengan sebuah helaan napas panjang.Jiya pun kembali menatap ke arah laki-laki yang dikatakan sebagai sepupu dari kekasihnya itu. ‘Gila, kenapa harus Mas Adam lagi sih? Padahal aku sudah mati-matian agar bisa move on dari dia, kenapa sekarang harus ketemu lagi?’ gerutunya di dalam hati.“Tidak bisa, aku tidak boleh mengingat itu semua. Sekarang aku sudah punya Mas Raka dan Kleyton, aku tidak boleh mengingat masa lalu lagi,” tekad Jiya dalam hati.Namun, tanpa diduga tiba-tiba saja Adam mengulurkan tangannya. “Bagaimana kabarmu?“ tanyanya sembari meraih tangan Jiya.Jiya yang terpaksa bangun karena tarikan dari Adam pun langsung menundukkan pandangannya. “Sial, dia pa