Refleks Tamara langsung menutup kembali gorden pada jendela di hadapannya, ia langsung membalikkan badan ke arah pintu.
Seorang wanita yang berusia tak jauh berbeda dengannya, masuk sambil membawa sesuatu pada tangannya. Tamara masih terdiam, ia memperhatikan wanita yang memakai baju serta rok berwarna biru muda itu. Sebelumnya Tamara melihat beberapa orang wanita di tempat itu memakai pakaian yang sama, berarti itu memang seragam pelayan di sana. “Hai, perkenalkan namaku Rubby … aku salah satu pelayan di sini dan aku diperintahkan untuk menemui kamu,” ucap wanita berambut sebahu itu sambil mengulurkan tangan ke hadapan Tamara. “Namaku Tamara,” balas Tamara sambil menerima uluran tangan dari wanita yang memiliki tubuh ramping dan tinggi sekitar seratus lima puluh sentimeter itu. Jika berdiri sejajar, sepertinya Rubby hanya sebatas leher Tamara. “Senang berkenalan denganmu, Tamara. Emmm … aku datang ke sini diperintahkan untuk memberikan baju seragam pelayan ini untukmu dan juga ini ….” Rubby memberikan setumpuk kertas kepada Tamara. “Apa ini?” tanya Tamara dengan wajah bingung. “Kamu bisa baca kan?” celetuk Rubby. “Iya, tentu saja.” Tamara segera membaca tulisan pada kertas tersebut. “Poin-poin penting sebagai pelayan mansion.” Tamara membaca tulisan besar pada kertas yang diserahkan oleh Rubby, ia mengangkatnya dan ternyata kertas itu sangat panjang bahkan sampai menyentuh lantai. “Buset, panjang banget melebihi struk belanja setahun,” ucap Tamara yang merasa terkejut. “Apa itu struk belanja?” tanya Rubby dengan wajah heran. “Struk belanja, kamu tidak tahu itu?” Tamara mengerutkan keningnya. “Tidak tahu, aku tidak pernah berbelanja. Di sini ada bagian khusus yang berbelanja. Jadi, aku tidak tahu orang-orang mendapatkan barang-barang itu dimana dan bagaimana cara mendapatkannya,” tutur Rubby yang membuat Tamara langsung tercengang. “Rubby, kamu hidup di zaman apa? Kok sampai gak tahu? Kamu tahu Alf*m*rt, ind*m*rt?” tanya Tamara. “Siapa mereka?” Raut wajah Rubby semakin terlihat heran. “Kok mereka? Itu tempat belanja, bukan nama manusia.” Tamara geleng-geleng kepala. “Aku tidak tahu, yang aku tahu hanyalah dapur, halaman belakang mansion, kandang kuda, kandang sapi … emmm ….” “Rubby, kamu beneran manusia kan? Kamu bukan robot buatan mereka kan?” Tamara sampai memegang kedua bahu Rubby, ia ingin meyakinkan bahwa wanita di hadapannya itu adalah manusia beneran. “Aku manusia, aku juga memiliki Ibu. Ibuku bernama Widya, ibuku juga bekerja di sini, tapi ibuku berada di bagian dapur. Nanti biar aku kenalkan kamu kepada ibuku,” tutur Rubby yang terlihat polos. Tamara terdiam, ia sedang menelaah apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu. Dari ucapan Rubby, sepertinya mereka yang bekerja di sana sama sekali tidak mengenal dunia luar. “Kenapa diam saja? Cepat baca semua itu sebelum ajudan datang lagi,” ucap Rubby yang seketika membuyarkan lamunan Tamara. “I-iya, ini banyak sekali.” Tamara mulai membaca satu persatu. “Tugasku menjadi pengasuh Tuan muda Abidzar, dia memiliki gangguan mental, sudah divonis skizofrenia sejak dini, temperamental, mudah marah, tidak suka berbicara, tertutup, tidak suka bertemu banyak orang, tidak pernah membuka topeng dikarenakan cacat di bagian muka, matanya kurang penglihatan tapi tidak mau memakai kacamata, sering sakit sampai kejang, tidak suka pelayan yang banyak bicara, tidak suka disentuh bahkan hanya kulitnya saja ….” Tamara sudah sesak nafas ketika membaca runtutan tulisan pada kertas itu, padahal ia belum membaca semua. “Skizofrenia … berarti gila dong. Jadi yang aku asuh itu orang gila?” Tamara memekik kencang yang membuat Rubby langsung membekap mulutnya. “Jangan berbicara seperti itu, kalau Tuan muda Abidzar dengar, bisa mati kita,” ucap Rubby sedikit berbisik. “Ya ampun ….” Tamara hanya geleng-geleng kepala. “Sudah, lebih baik sekarang kamu ganti pakaian dengan seragam ini. Jangan lupa, kamu baca dan pelajari semua itu, biar kamu tidak salah. Karena setiap kesalahan di sini akan mendapat hukuman.” Rubby berkata dengan wajah serius. “Disetrum lagi?” Kedua mata Tamara terbuka lebar. “Disetrum, dicamuk, dipukul, digantung.” Tamara semakin syok setelah mendengar itu, ia benar-benar masuk ke dalam neraka dunia. “Sekarang, kamu ganti pakaian. Setelah itu kamu ke kamar Tuan muda Abidzar dan siapkan semua keperluannya. Malam ini akan diadakan makan malam bersama, semua anggota keluarga dari rumah utama akan datang ke mansion,” jelas Rubby. “Anggota keluarga? Berarti tidak semua orang tinggal di sini? Sebenarnya ini tempat apa?” Tamara semakin terlihat penasaran. “Nanti juga kamu akan tahu, aku permisi dulu.” Rubby membalikkan badan lalu keluar dari ruangan itu meninggalkan Tamara yang masih kebingungan sendiri. Ia segera berganti pakaian dan keluar dari kamar itu, Tamara mengikat rambut panjangnya agar tidak ribet, hal tersebut membuat penampilannya semakin terlihat manis dan imut. “Silahkan menuju kamar Tuan muda Abidzar,” ucap seorang ajudan yang ternyata sedari tadi sudah menunggu Tamara di depan pintu. Gadis itu hanya mengangguk tanpa berbicara, Tamara mengikuti seorang ajudan tadi menuju kamar Abidzar. Tamara menarik nafas perlahan sebelum ia melangkahkan kakinya untuk masuk. Gadis itu sedang mengingat-ingat apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dari kertas yang tadi dibacanya. “Selamat sore Tuan muda, saya akan membantu Tuan untuk bersiap mandi sore,” ucap Tamara dengan nada bicara yang sengaja dibuat lemah lembut. Abidzar yang berdiri menghadap ke arah jendela kamar tak berbicara, bahkan pria itu tak menolak sedikitpun ke arah Tamara. “Duh … gimana ini ya? Kok dia gak ngomong,” ucap Tamara pelan. “Kamu langsung ke kamar mandi saja dan siapkan air di bathtub. Tuan muda suka berendam,” ucap seorang ajudan memberitahu Tamara. “Oke!” Gadis itu mengacungkan jempolnya. Tamara segera masuk ke dalam kamar mandi yang sangat mewah itu. Semua barang-barang di sana adalah barang-barang modern, akan tetapi entah kenapa Tamara merasa seperti sedang berada di tempat yang sangat kuno. “Ini gimana cara ngasih airnya? Kok ada tombol merah sama hijau, yang mana ya yang ditekan?” ucap Tamara dengan wajah bingung. Karana di rumahnya tidak ada alat seperti itu. “Emmm … kayaknya yang merah aja deh.” Tamara mengikuti isi pikirannya, ia menekan tombol berwarna merah dan seketika air keluar dari keran dan langsung masuk ke dalam bathtub. “Sudah selesai, tinggal ditunggu penuh.” Tamara keluar dari kamar mandi. “Airnya sudah siap, Tuan,” ucap Tamara sambil menunduk. Abizar yang semula masih berdiri menghadap jendela, kini mulai membalikkan badan. Pria itu berjalan ke arah kamar mandi. Tamara yang berdiri di depan pintu kamar mandi, perlahan menggeser tubuhnya saat Abizar melintas. ‘Tinggi banget, tapi sayang gak keliatan mukanya,’ gumam Tamara dalam benaknya. Ia memperhatikan Abidzar yang kini sedang masuk ke dalam kamar mandi. Tamara memperhatikan pria itu yang sama sekali tak menoleh ke arahnya. “Sekarang, kamu ikuti Tuan muda Abidzar, kamu bantu Tuan muda ketika mandi,” ucap seorang ajudan yang kembali memberitahu Tamara. “Apa? Membantu orang segede itu mandi?” Tamara cukup terkejut. “Kamu tidak membaca semua tulisan yang ada di kertas itu?!” gertak seorang ajudan yang membuat Tamara langsung menunduk, ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Terlihat Abidzar mulai membuka kemeja yang dikenakannya. Tamara langsung menundukkan kepala, ia tak ingin menoleh ke arah Abidzar yang sudah tak memakai baju. “Apa gunanya kamu kalau saya harus membuka ikat pinggang sendiri?” Suara itu membuat Tamara buru-buru mengangkat kepala. Ia mematung dengan otak yang berpikir keras. Tak lama kemudian, Tamara mendekat ke arah Abidzar, ia mulai paham apa yang dimaksud oleh pria itu. “Mohon maaf, Tuan muda, izinkan saya untuk membantu Tuan membuka ikat pinggang,” tutur Tamara yang kini sudah berdiri di hadapan Abidzar. Pria itu sangat tinggi, bahkan Tamara hanya sebatas dadanya saja. Ia dapat melihat jelas dada bidang Abidzar yang ditumbuhi bulu, akan tetapi Tamara melihat seperti ada goresan luka pada dada dan perut pria itu yang memiliki kulit putih bahkan sampai kemerahan. Namun, sayangnya Tamara masih belum bisa melihat wajah Abidzar, karena pria itu tidak membuka topengnya. “Cepat! Sebelum saya habisi kamu!” ancam Abidzar yang terdengar menyeramkan. “Ba-baik, Tuan.” Tamara sampai tergagap. Gadis itu mulai mendekatkan tangannya yang bergetar, pada ikat pinggang yang dikenakan Abidzar. Perasaan Tamara jadi tak karuan, ini untuk pertama kalinya ia berhadapan dalam jarak yang sangat dekat dengan seorang pria dewasa.“Hei, apa yang kau lakukan? Kenapa kamu malah memperhatikan obat-obat itu? Cepat obati luka Tuan muda! Satu lagi, kamu juga harus tahu, itu semua adalah obat yang harus diminum Tuan muda setiap hari dan kamu harus membantu Tuan muda untuk meminum obat itu, jangan sampai terlewati sekalipun. Jika obatnya habis, kamu harus segera melapor kepada saya!” gertak Alan dengan tegas. “Ba-baik.” Tamara membalas singkat, meskipun banyak pertanyaan yang tumbuh di kepalanya. Akan tetapi, ia tidak sampai melemparkan pertanyaan itu kepada Alan, karena ia takut terkena hukuman lagi. Tamara segera mengambil salep dan akan mengoleskan pada luka Abidzar. Gadis itu mengeluarkan sedikit salep dan meletakkan pada ujung jari telunjuknya. Ia memegang tangan kanan Abidzar dan akan segera mengoleskan salep itu pada lukanya. Namun, hal tak terduga terjadi. “Lancang sekali kau memegang tanganku!” Brak!Abidzar langsung mendorong tubuh Tamara dengan kasar sampai membuat gadis itu terjatuh ke atas lantai.
“Cepat!” bentak Abidzar yang membuat Tamara langsung terlonjak kaget. “I-iya, Tuan.” Gadis itu segera membuka ikat pinggang Abidzar dengan tangan gemetar. Tamara benar-benar merasa takut, ia masih terbayang hukuman yang baru saja diterimanya. Ia tidak mau kembali merasakan setruman itu, oleh karenanya ia akan mengusahakan untuk berlaku benar agar tidak kembali mendapatkan hukuman. “Jangan sentuh kulitku! Sekali tanganmu menyentuh kulitku, akan ku kupas kulit tanganmu itu!” bentak Abidzar lagi yang membuat Tamara semakin merasa ketakutan. ‘Ya Tuhan … sudah berapa pelayan yang mati di sini? Ini bukan cuma gangguan mental, tapi juga psikopat,’ gumam Tamara hanya dalam benaknya saja. Gadis itu membuka ikat pinggang yang dikenakan Abidzar dengan sangat hati-hati, ia takut jari lentiknya itu menyentuh kulit perut Abidzar. Bahkan, Tamara sampai menahan nafas ketika melakukan hal itu. Tetapi, kedua matanya terbuka lebar, ia dapat melihat jelas kulit putih milik Abidzar serta dada bida
Refleks Tamara langsung menutup kembali gorden pada jendela di hadapannya, ia langsung membalikkan badan ke arah pintu. Seorang wanita yang berusia tak jauh berbeda dengannya, masuk sambil membawa sesuatu pada tangannya. Tamara masih terdiam, ia memperhatikan wanita yang memakai baju serta rok berwarna biru muda itu. Sebelumnya Tamara melihat beberapa orang wanita di tempat itu memakai pakaian yang sama, berarti itu memang seragam pelayan di sana. “Hai, perkenalkan namaku Rubby … aku salah satu pelayan di sini dan aku diperintahkan untuk menemui kamu,” ucap wanita berambut sebahu itu sambil mengulurkan tangan ke hadapan Tamara. “Namaku Tamara,” balas Tamara sambil menerima uluran tangan dari wanita yang memiliki tubuh ramping dan tinggi sekitar seratus lima puluh sentimeter itu. Jika berdiri sejajar, sepertinya Rubby hanya sebatas leher Tamara. “Senang berkenalan denganmu, Tamara. Emmm … aku datang ke sini diperintahkan untuk memberikan baju seragam pelayan ini untukmu dan juga
“I-ini pasti Bapak dari anak yang akan aku asuh kan? Kirain yang aku asuh anak dari laki-laki tua tadi, ternyata cucunya. Permisi Tuan, dimana anak Anda? Saya pengasuh baru untuk anak Tuan,” cerocos Tamara yang kembali ceria dan berusaha tetap ramah. Ia menatap ke arah seorang pria yang sedang duduk di tepi ranjang dan membelakanginya. “Jangan lancang!” ucap seorang ajudan yang berdiri di belakang Tamara. “Siapa yang lancang? Aku hanya menyapa majikan baruku. Emmm … Tuan, dimana anak Anda?” Tamara kembali bertanya dengan berani. Pria itu berdiri dan membalikkan badan secara perlahan ke arah Tamara. “Siapa yang membiarkan manusia gila ini masuk ke dalam kamarku?” ucap pria itu dengan suara bariton dan penuh penekanan. Seketika Tamara terdiam membeku di tempat, mendadak kakinya terasa bergetar. Pria bertubuh tegap itu berdiri menghadap ke arah Tamara, namun Tamara tak dapat melihat wajahnya, karena pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan topeng, hanya tersisa bagian mulut dan
Setelah cukup lama berada di perjalanan, akhirnya zeep yang ditumpangi oleh Tamara berhenti. Terdengar suara pintu mobil dibuka, menandakan kalau mereka sudah tiba di tempat tujuan. “Hei, bangun!” bentak seorang pria seraya menarik tangan Tamara dengan kasar. “Lepaskan ikatan ini, aku gak bisa jalan!” balas Tamara dengan suara yang terdengar lemah. Akan tetapi, ia berusaha lebih tegar agar ia tidak terlalu ditindas. Seorang pria yang berdiri di hadapan Tamara, membuka ikatan pada kaki dan tangan gadis itu. Dengan gerakkan cepat, Tamara segera membuka kain yang menutupi kedua matanya, ia juga membuka kain yang menutupi mulutnya. “Ayo keluar!” Seorang pria bertubuh kekar kembali menarik tangannya dengan kasar sampai membuat gadis itu keluar dari mobil dengan sempoyongan. Bahkan, Tamara hampir terjatuh jika ia tidak segera menyeimbangkan diri. Tamara berusaha berdiri tegak meskipun kakinya terasa sakit. Gadis itu mengangkat wajah dan menatap ke arah sekitar. Tamara cukup terce
“Berapa harganya?” tanya seorang pria bertubuh kekar yang kini sedang berada di sebuah rumah sederhana yang terletak di daerah Bandung. “Dua M,” jawab seorang wanita paruh baya dengan lantang. “Bibi mau jual apa? Bukannya semua tanah dan sawah peninggalan Bapak sudah habis dijual buat biaya kuliah Diana?” tanya seorang gadis berambut panjang yang baru saja keluar dari kamarnya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu bernama Tamara Mustika. Ia adalah seorang yatim piatu, ibunya meninggal sejak ia duduk di bangku SD, sedangkan ayahnya meninggal ketika ia kelas tiga SMP. Sejak itu juga, Tamara tinggal bersama dengan adik dari ayahnya yang bernama Pratiwi. Namun, sejak tinggal bersama bibinya yang berstatus sebagai janda itu, Tamara malah diperlakukan layaknya seorang pembantu. Semua harta peninggalan kedua orang tuanya sudah habis dijual oleh Pratiwi dengan alasan biaya hidup Tamara. Padahal, semua uang itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan ia dan juga putrinya yang bernama Dia