Setelah cukup lama berada di perjalanan, akhirnya zeep yang ditumpangi oleh Tamara berhenti.
Terdengar suara pintu mobil dibuka, menandakan kalau mereka sudah tiba di tempat tujuan. “Hei, bangun!” bentak seorang pria seraya menarik tangan Tamara dengan kasar. “Lepaskan ikatan ini, aku gak bisa jalan!” balas Tamara dengan suara yang terdengar lemah. Akan tetapi, ia berusaha lebih tegar agar ia tidak terlalu ditindas. Seorang pria yang berdiri di hadapan Tamara, membuka ikatan pada kaki dan tangan gadis itu. Dengan gerakkan cepat, Tamara segera membuka kain yang menutupi kedua matanya, ia juga membuka kain yang menutupi mulutnya. “Ayo keluar!” Seorang pria bertubuh kekar kembali menarik tangannya dengan kasar sampai membuat gadis itu keluar dari mobil dengan sempoyongan. Bahkan, Tamara hampir terjatuh jika ia tidak segera menyeimbangkan diri. Tamara berusaha berdiri tegak meskipun kakinya terasa sakit. Gadis itu mengangkat wajah dan menatap ke arah sekitar. Tamara cukup tercengang ketika melihat sebuah bangunan mewah di hadapannya. Bangunan itu memiliki tiga lantai dengan ukuran yang sangat luas. Akan tetapi, dari desainnya terlihat seperti bangunan lama. Tamara mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ia semakin dibuat terkejut ketika melihat pagar tembok yang sangat tinggi di sekeliling banguna itu. Ia hanya bisa melihat bagian luar sedikit saja dari celah pintu gerbang banguna tersebut. Itu adalah sebuah mansion yang memiliki luas sekitar dua hektar dengan halaman luas serta di bagian belakang yang entah ada apa. Karena Tamara tak dapat melihatnya dari depan. “Bawa dia masuk, Tuan Damian sudah menunggu di dalam!” titah seorang pria lagi. “Baik, komandan!” Seorang pria berkepala brontos memberi hormat, setelah itu ia mencengkram erat tangan kiri Tamara yang membuat gadis itu benar-benar merasa terkejut. Tanpa basa-basi lagi, Tamara langsung ditarik paksa untuk masuk ke dalam mansion dengan cat putih tulang tersebut. Tamara berjalan sambil menengadahkan kepala ke arah langit. Beberapa jam ia tak melihat ke arah langit, terakhir ia melihat ke atas, langit berwarna biru muda dan terlihat sangat cerah. Namun, saat ini langit sudah berubah warna, awan hitam telah menutupinya sehingga membuat suasana terlihat gelap. Ditambah lagi, hari yang akan segera berakhir dan diganti oleh malam yang akan segera datang. Tamara melihat ada sekumpulan burung kelelawar yang terbang di atas mansion tersebut, hal itu menandakan kalau tempat tersebut bukanlah perkotaan. Bahkan, Tamara juga tidak mendengar suara bising kendaraan. Tempat itu terasa sunyi senyap, hanya ada suara beberapa orang saja yang sepertinya sedang memerintah para pegawai yang ada di sana. Tamara berjalan sempoyongan, karena kakinya terasa sakit akibat diringkus di dalam mobil. Gadis itu mengikuti dua orang pria yang menyeret paksa tubuhnya. Sebuah pintu tebal dan berukuran sangat tinggi itu terbuka lebar. Dua orang wanita yang berdiri di depan pintu itu menunduk dan memberikan hormat saat dua orang pria bertubuh kekar melintas di hadapan mereka. Tamara menatap dua orang wanita itu secara bergantian, namun dari kedua wanita itu tak ada yang berani membalas tatapannya. Mereka hanya menunduk sambil membungkuk. “Ayo ikut kami!” ajak pria bertubuh kekar itu lagi sambil berjalan ke arah sebuah ruangan. Tamara mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu, rasanya ia baru pertama kali melihat tempat seluas ini. Bahkan, ini semua terasa seperti bangunan di dunia dongeng yang pernah Tamara baca. Tempat itu memiliki ruangan yang sangat luas serta tinggi. Tamara berjalan sambil terus mengedarkan pandangannya, ia tidak tahu ini ada di mana, tapi yang jelas ia baru pertama kali melihat tempat ini. “Ini orangnya, Tuan!” ucap seorang pria yang membuat Tamara seketika menghentikan langkah. Gadis itu cukup terkejut ketika melihat seorang pria paruh baya yang berpakaian rapi sedang duduk di atas sofa sambil tumpang kaki. Pria berkumis tebal itu menatap ke arah Tamara dari atas sampai bawah. Tamara yang ditatap seperti itu mulai merasa tidak nyaman, ia menunduk sambil meremas rok yang dikenakannya. “Bagus, dia adalah gadis yang polos dan cocok untuk mengasuh Abizar,” ucap pria paruh baya itu sambil memilin ujung kumis tebalnya. Seketika Tamara mengangkat wajahnya, ia benar-benar merasa lega karena ternyata di sana ia akan dijadikan pengasuh, bukan untuk dibedah serta diambil organ tubuhnya seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya. ‘Syukurlah aku hanya dijadikan pengasuh, kebetulan aku juga menyukai anak kecil. Hmmm … namanya Abidzar, pasti dia anak kecil yang baik dan pintar,’ ucap Tamara dalam batinnya, ia benar-benar merasa lega. Bahkan, kakinya yang gemetar sekarang mulai bisa berdiri tegak. “Hei, dengarkan saya!” ucap pria paruh baya yang dipanggil tuan Damian itu. “I-iya, Pak ….” Tamara menoleh ke arah tuan Damian. “Lancang sekali mulutmu, panggil Tuan!” gertak seorang pria yang sedari tadi berdiri di samping Tamara. “I-iya, Tuan ….” Tamara mengulangi ucapannya. “Dengarkan saya! Mulai sekarang, kamu menjadi pengasuh putraku yang bernama Abidzar. Kamu harus menurut dan mengikuti peraturan yang berlaku di sini. Ingat, jangan coba-coba untuk kabur dari sini. Saya sudah membayar kamu mahal, jika kamu berani melarikan diri, jangan harap kamu bisa keluar dengan raga yang utuh atau tubuh yang masih bernyawa!” ucap tuan Damian yang membuat bulu kuduk Tamara seketika berdiri. Gadis itu langsung menundukkan kepalanya lagi. “Cepat bawa dia ke kamar Abidzar!” titah tuan Damian dengan tegas dan penuh penekanan. “Baik, Tuan!” Dua orang pria itu kembali menyeret paksa tubuh Tamara untuk menuju ke sebuah ruangan. “Jangan tarik-tarik kayak gini! Aku bisa jalan sendiri!” Tamara menarik paksa kedua tangannya yang dicengkeram oleh kedua pria itu. “Jangan banyak bicara, disini tidak menerima bantahan. Ini kamar Tuan muda Abi, kami akan memperkenalkan kamu kepada Tuan muda Abi.” Seorang pria membukakan pintu kamar di hadapan mereka. “Aku bisa jalan sendiri! Aku sangat menyukai anak kecil, aku akan menjadi pengasuh terbaik untuknya,” cerocos gadis itu sambil mengusap pergelangan tangannya yang terasa panas akibat cengkraman dua pria tersebut. “Halo Tuan muda Abidzar!” ucapnya lagi dengan suara yang terdengar ceria, padahal ia sudah menangis cukup lama. Tamara berjalan dengan penuh percaya diri, ia masuk terlebih dahulu ke dalam kamar itu. Namun, seketika ia menghentikan langkah setelah melihat apa yang ada di hadapannya.“Hei, apa yang kau lakukan? Kenapa kamu malah memperhatikan obat-obat itu? Cepat obati luka Tuan muda! Satu lagi, kamu juga harus tahu, itu semua adalah obat yang harus diminum Tuan muda setiap hari dan kamu harus membantu Tuan muda untuk meminum obat itu, jangan sampai terlewati sekalipun. Jika obatnya habis, kamu harus segera melapor kepada saya!” gertak Alan dengan tegas. “Ba-baik.” Tamara membalas singkat, meskipun banyak pertanyaan yang tumbuh di kepalanya. Akan tetapi, ia tidak sampai melemparkan pertanyaan itu kepada Alan, karena ia takut terkena hukuman lagi. Tamara segera mengambil salep dan akan mengoleskan pada luka Abidzar. Gadis itu mengeluarkan sedikit salep dan meletakkan pada ujung jari telunjuknya. Ia memegang tangan kanan Abidzar dan akan segera mengoleskan salep itu pada lukanya. Namun, hal tak terduga terjadi. “Lancang sekali kau memegang tanganku!” Brak!Abidzar langsung mendorong tubuh Tamara dengan kasar sampai membuat gadis itu terjatuh ke atas lantai.
“Cepat!” bentak Abidzar yang membuat Tamara langsung terlonjak kaget. “I-iya, Tuan.” Gadis itu segera membuka ikat pinggang Abidzar dengan tangan gemetar. Tamara benar-benar merasa takut, ia masih terbayang hukuman yang baru saja diterimanya. Ia tidak mau kembali merasakan setruman itu, oleh karenanya ia akan mengusahakan untuk berlaku benar agar tidak kembali mendapatkan hukuman. “Jangan sentuh kulitku! Sekali tanganmu menyentuh kulitku, akan ku kupas kulit tanganmu itu!” bentak Abidzar lagi yang membuat Tamara semakin merasa ketakutan. ‘Ya Tuhan … sudah berapa pelayan yang mati di sini? Ini bukan cuma gangguan mental, tapi juga psikopat,’ gumam Tamara hanya dalam benaknya saja. Gadis itu membuka ikat pinggang yang dikenakan Abidzar dengan sangat hati-hati, ia takut jari lentiknya itu menyentuh kulit perut Abidzar. Bahkan, Tamara sampai menahan nafas ketika melakukan hal itu. Tetapi, kedua matanya terbuka lebar, ia dapat melihat jelas kulit putih milik Abidzar serta dada bida
Refleks Tamara langsung menutup kembali gorden pada jendela di hadapannya, ia langsung membalikkan badan ke arah pintu. Seorang wanita yang berusia tak jauh berbeda dengannya, masuk sambil membawa sesuatu pada tangannya. Tamara masih terdiam, ia memperhatikan wanita yang memakai baju serta rok berwarna biru muda itu. Sebelumnya Tamara melihat beberapa orang wanita di tempat itu memakai pakaian yang sama, berarti itu memang seragam pelayan di sana. “Hai, perkenalkan namaku Rubby … aku salah satu pelayan di sini dan aku diperintahkan untuk menemui kamu,” ucap wanita berambut sebahu itu sambil mengulurkan tangan ke hadapan Tamara. “Namaku Tamara,” balas Tamara sambil menerima uluran tangan dari wanita yang memiliki tubuh ramping dan tinggi sekitar seratus lima puluh sentimeter itu. Jika berdiri sejajar, sepertinya Rubby hanya sebatas leher Tamara. “Senang berkenalan denganmu, Tamara. Emmm … aku datang ke sini diperintahkan untuk memberikan baju seragam pelayan ini untukmu dan juga
“I-ini pasti Bapak dari anak yang akan aku asuh kan? Kirain yang aku asuh anak dari laki-laki tua tadi, ternyata cucunya. Permisi Tuan, dimana anak Anda? Saya pengasuh baru untuk anak Tuan,” cerocos Tamara yang kembali ceria dan berusaha tetap ramah. Ia menatap ke arah seorang pria yang sedang duduk di tepi ranjang dan membelakanginya. “Jangan lancang!” ucap seorang ajudan yang berdiri di belakang Tamara. “Siapa yang lancang? Aku hanya menyapa majikan baruku. Emmm … Tuan, dimana anak Anda?” Tamara kembali bertanya dengan berani. Pria itu berdiri dan membalikkan badan secara perlahan ke arah Tamara. “Siapa yang membiarkan manusia gila ini masuk ke dalam kamarku?” ucap pria itu dengan suara bariton dan penuh penekanan. Seketika Tamara terdiam membeku di tempat, mendadak kakinya terasa bergetar. Pria bertubuh tegap itu berdiri menghadap ke arah Tamara, namun Tamara tak dapat melihat wajahnya, karena pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan topeng, hanya tersisa bagian mulut dan
Setelah cukup lama berada di perjalanan, akhirnya zeep yang ditumpangi oleh Tamara berhenti. Terdengar suara pintu mobil dibuka, menandakan kalau mereka sudah tiba di tempat tujuan. “Hei, bangun!” bentak seorang pria seraya menarik tangan Tamara dengan kasar. “Lepaskan ikatan ini, aku gak bisa jalan!” balas Tamara dengan suara yang terdengar lemah. Akan tetapi, ia berusaha lebih tegar agar ia tidak terlalu ditindas. Seorang pria yang berdiri di hadapan Tamara, membuka ikatan pada kaki dan tangan gadis itu. Dengan gerakkan cepat, Tamara segera membuka kain yang menutupi kedua matanya, ia juga membuka kain yang menutupi mulutnya. “Ayo keluar!” Seorang pria bertubuh kekar kembali menarik tangannya dengan kasar sampai membuat gadis itu keluar dari mobil dengan sempoyongan. Bahkan, Tamara hampir terjatuh jika ia tidak segera menyeimbangkan diri. Tamara berusaha berdiri tegak meskipun kakinya terasa sakit. Gadis itu mengangkat wajah dan menatap ke arah sekitar. Tamara cukup terce
“Berapa harganya?” tanya seorang pria bertubuh kekar yang kini sedang berada di sebuah rumah sederhana yang terletak di daerah Bandung. “Dua M,” jawab seorang wanita paruh baya dengan lantang. “Bibi mau jual apa? Bukannya semua tanah dan sawah peninggalan Bapak sudah habis dijual buat biaya kuliah Diana?” tanya seorang gadis berambut panjang yang baru saja keluar dari kamarnya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu bernama Tamara Mustika. Ia adalah seorang yatim piatu, ibunya meninggal sejak ia duduk di bangku SD, sedangkan ayahnya meninggal ketika ia kelas tiga SMP. Sejak itu juga, Tamara tinggal bersama dengan adik dari ayahnya yang bernama Pratiwi. Namun, sejak tinggal bersama bibinya yang berstatus sebagai janda itu, Tamara malah diperlakukan layaknya seorang pembantu. Semua harta peninggalan kedua orang tuanya sudah habis dijual oleh Pratiwi dengan alasan biaya hidup Tamara. Padahal, semua uang itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan ia dan juga putrinya yang bernama Dia