“Cepat!” bentak Abidzar yang membuat Tamara langsung terlonjak kaget.
“I-iya, Tuan.” Gadis itu segera membuka ikat pinggang Abidzar dengan tangan gemetar. Tamara benar-benar merasa takut, ia masih terbayang hukuman yang baru saja diterimanya. Ia tidak mau kembali merasakan setruman itu, oleh karenanya ia akan mengusahakan untuk berlaku benar agar tidak kembali mendapatkan hukuman. “Jangan sentuh kulitku! Sekali tanganmu menyentuh kulitku, akan ku kupas kulit tanganmu itu!” bentak Abidzar lagi yang membuat Tamara semakin merasa ketakutan. ‘Ya Tuhan … sudah berapa pelayan yang mati di sini? Ini bukan cuma gangguan mental, tapi juga psikopat,’ gumam Tamara hanya dalam benaknya saja. Gadis itu membuka ikat pinggang yang dikenakan Abidzar dengan sangat hati-hati, ia takut jari lentiknya itu menyentuh kulit perut Abidzar. Bahkan, Tamara sampai menahan nafas ketika melakukan hal itu. Tetapi, kedua matanya terbuka lebar, ia dapat melihat jelas kulit putih milik Abidzar serta dada bidangnya yang banyak ditumbuhi bulu-bulu halus. Hanya saja, tubuh pria itu sedikit kurus, di bagian dadanya terdapat goresan luka yang sudah mengering. Tamara membaca dari kertas yang diberikan Rubby padanya, di sana tercatat kalau Abidzar sering melukai dirinya sendiri jika ia sedang kumat. Jadi, Tamara yakin kalau itu adalah perbuatan Abidzar sendiri. Lagian, tidak mungkin ada orang yang melukai seorang tuan muda yang dijaga dengan ketat seperti itu. Tamara sedikit menengadahkan kepalanya, ia menatap ke arah wajah Abidzar. Tamara ingin melihat wajah pria itu, namun tidak ada celah sedikit saja dari topeng yang dikenakan Abidzar. “Lama sekali!” Brak! Abidzar mendorong tubuh Tamara sampai membuat wanita itu terbentur tembok kamar mandi. Untung saja Tamara segera menyeimbangkan tubuh, sehingga ia tidak terjatuh. ‘Kasar sekali!’ umpat Tamara dalam benaknya, ia melihat ke arah Abidzar dengan sorot mata yang memancarkan amarah. Namun, Tamara segera menundukkan kepala saat Abidzar menoleh ke arahnya. “Keluar!” Satu kata yang keluar dari bibir pria itu, tapi terdengar penuh penegasan. “Baik, Tuan.” Tamara melangkahkan kakinya ke arah pintu, namun belum juga ia tiba di ambang pintu, Tamara mendengar suara teriakan. “Arrggghhhh … panas!” teriak Abidzar dengan suara menggelegar. Seketika Tamara membalikkan badan, wanita itu membulatkan kedua matanya dengan mulut yang menganga ketika melihat kulit tangan kanan Abidzar memerah bahkan melepuh. “Sialan! Kenapa kau menaruh air panas di bathtub? Kau mau merendam ku dengan air panas?” sergah Abidzar sambil mengibaskan tangan kanannya yang terlihat memerah. Untung saja, ia baru menyentuh air itu dengan tangannya. “Ma-maaf, Tuan … saya tidak tahu kalau itu air panas.” Tamara terlihat gemetar, ia benar-benar tidak tahu kalau tombol yang ia tekan itu adalah tombol air panas. “Sini kau!” Abidzar menggerakkan tangan kirinya memanggil Tamara agar mendekat ke arahnya. “Ampun, Tuan … saya benar-benar tidak tahu.” Tamara mengatupkan kedua tangan, air mata sudah menggenang di pelupuk kedua mata coklat miliknya. “Dasar bodoh! Lihatlah tanganku jadi melepuh! Aku akan membuatmu merasakan lebih dari ini!” Abidzar menarik tangan kanan Tamara. “Ja-jangan, Tuan ….” Gadis itu kembali memohon dengan nada lirih. Namun, Abidzar tak memperdulikan itu, ia kembali menarik tangan Tamara dengan kencang. Namun, tiba-tiba saja Tamara tersandung pada kakinya sendiri sehingga membuat ia kehilangan keseimbangan dan menabrak tubuh Abidzar. Karena tubuh pria itu yang tinggi dan tegak, ia tak tergoyahkan meskipun Tamara menabrak tubuhnya. Hal tak pernah diduga terjadi, Tamara menabrak tubuh Abidzar dan menempel tepat pada dada bidang pria itu. Bahkan, kulit wajah Tamara menempel pada dada Abidzar yang tak terbalut sehelai benangpun. Tamara dapat mendengar detak jantung Abidzar yang semakin lama semakin berdebar kencang. Entah kenapa, Abidzar malah terdiam, padahal tadinya pria itu sangat marah bahkan tak ingin Tamara menyentuh kulitnya sedikitpun. Saat ini, Tamara bukan hanya menyentuh kulitnya, bahkan gadis itu menempel pada tubuhnya. “Ma-maafkan saya, Tuan!” Tamara segera menjauhkan tubuhnya, karena ia takut Abidzar semakin murka padanya. Namun, pria itu masih terdiam, ia sedikit menundukkan kepala, sepertinya pria itu sedang menatap ke arah wajah Tamara yang kini sedang menundukkan kepala karena rasa takut yang begitu melanda. “Obati luka saya!” Tiba-tiba saja, Abidzar mengulurkan tangan kanannya ke arah Tamara. Pria itu mendekatkan tangan kanannya yang terkena air panas ke hadapan Tamara. Gadis yang sedang ketakutan itu mengangkat kepalanya dengan perlahan , padahal ia sudah pasrah jika Abidzar memberikannya hukuman karena telah menyentuh kulit pria itu. “Kenapa diam saja? Kau tidak mau mengobati ku?” tanya Abidzar dengan suara yang terdengar pelan. “Ba-baik, Tuan, izinkan saya mengubati luka Anda.” Tamara mempersilahkan Abidzar untuk keluar terlebih dahulu dari dalam kamar mandi. Pria itu akan berjalan keluar dari kamar mandi. “Tuan …” panggil Tamara secara tiba-tiba. “Jangan harap saya akan menoleh ke arahmu,” ucap Abidzar yang menghentikan langkah, tetapi pria itu sama sekali tak menoleh ke arah Tamara. “Mohon maaf, Tuan. Saya hanya ingin memakaikan handuk ini kepada Tuan, agar Tuan tidak masuk angin. Suhu AC di dalam kamar cukup dingin, Tuan,” tutur Tamara yang mendekat ke arah Abidzar sambil membawa sebuah handuk kimono. Pria itu hanya terdiam, ia merentangkan kedua tangannya dan membiarkan Tamara memakaikan handuk itu pada tubuhnya. “Sudah selesai, Tuan. Mari saya obati lukanya.” Tamara kembali mempersilahkan Abidzar untuk keluar dari kamar. Pria itu segera melangkah tanpa bicara. “Ya ampun, ada apa, Tuan? Kenapa tangan Tuan muda bisa melepuh seperti itu?” tanya seorang ajudan yang menunggu di dalam kamar itu. “Dia menuangkan air panas ke dalam bathtub, Alan,” jawab Abidzar sambil menyebut nama ajudan pribadinya. Tamara langsung menundukkan kepala, ia tak berani menoleh ke arah seorang ajudan yang memiliki tubuh tinggi dan berotot itu. “Berani-beraninya dia seperti itu! Saya akan langsung memberikannya hukuman, Tuan muda.” Alan menatap tajam ke arah Tamara yang semakin terlihat ketakutan. “Biarkan dia mengobati lukaku dulu, sebentar lagi acara makan malam akan segera dimulai. Aku tidak ingin ibuku melihat tanganku yang terluka,” tutur Abidzar yang membuat hati Tamara tertegun. Ternyata, di balik sosoknya yang kejam, Abidzar masih mengingat ibunya. Tamara jadi penasaran bagaimana sosok ibu dari seorang pria kejam itu. ‘Hmmm … pasti ibunya sangat cantik, secara dia adalah istri dari pemilik mansion ini. Beruntungnya wanita itu, pasti hidupnya sangat bahagia karena bergelimang harta,’ gumam Tamara dalam benaknya. “Baik, Tuan!” Alan menurut saja. “Hei, cepat obati luka Tuan muda, jangan banyak bengong! Kamu di sini untuk bekerja, bukan untuk berkhayal!” bentak Alan yang membuat Tamara langsung tersadar dari lamunannya. “Silahkan duduk Tuan muda, biar saya obati luka Anda,” ucap Tamara sambil membungkukkan badannya, ia mempersilahkan Abidzar untuk duduk di atas sofa yang berada di kamar itu. Abidzar tak membalas, ia hanya duduk dengan tegap. Setelah itu, Alan mengambilkan kotak obat dan meletakkan di hadapan Tamara. “Cari saja obatnya di sana!” titah Alan dengan tegas. Tamara segera membuka kotak obat itu, ia merasa terkejut saat melihat isinya. Di sana terdapat berbagai jenis obat, mulai dari pil dan kapsul. Tamara tidak tahu itu obat apa, karena di sana tidak ada merk ataupun ingredients, hanya ada tulisan waktu minumnya saja. Ada sekitar tiga obat yang diminum tiga kali sehari, ada dua obat yang diminum dua kali sehari dan ada satu obat yang diminum satu kali sehari. Jadi, totalnya ada lima jenis obat yang harus diminum. Namun, Tamara tidak tahu itu obat apa, karena sepertinya obat itu sengaja diberi tempat khusus yang tidak memiliki merek. ‘Sebenarnya dia sakit apa? Kenapa obatnya banyak sekali? Dan … aku baru pertama kali melihat obat seperti ini,’ gumam Tamara hanya dalam benaknya, ia menatap ke arah Abidzar yang terdiam sambil menatap lurus ke depan, entah apa yang jadi pusat penglihatan pria itu. Akan tetapi, Tamara merasa dari sorot mata Abidzar terlihat kosong, entah perasaan dan pikirannya kemana.“Hei, apa yang kau lakukan? Kenapa kamu malah memperhatikan obat-obat itu? Cepat obati luka Tuan muda! Satu lagi, kamu juga harus tahu, itu semua adalah obat yang harus diminum Tuan muda setiap hari dan kamu harus membantu Tuan muda untuk meminum obat itu, jangan sampai terlewati sekalipun. Jika obatnya habis, kamu harus segera melapor kepada saya!” gertak Alan dengan tegas. “Ba-baik.” Tamara membalas singkat, meskipun banyak pertanyaan yang tumbuh di kepalanya. Akan tetapi, ia tidak sampai melemparkan pertanyaan itu kepada Alan, karena ia takut terkena hukuman lagi. Tamara segera mengambil salep dan akan mengoleskan pada luka Abidzar. Gadis itu mengeluarkan sedikit salep dan meletakkan pada ujung jari telunjuknya. Ia memegang tangan kanan Abidzar dan akan segera mengoleskan salep itu pada lukanya. Namun, hal tak terduga terjadi. “Lancang sekali kau memegang tanganku!” Brak!Abidzar langsung mendorong tubuh Tamara dengan kasar sampai membuat gadis itu terjatuh ke atas lantai.
“Cepat!” bentak Abidzar yang membuat Tamara langsung terlonjak kaget. “I-iya, Tuan.” Gadis itu segera membuka ikat pinggang Abidzar dengan tangan gemetar. Tamara benar-benar merasa takut, ia masih terbayang hukuman yang baru saja diterimanya. Ia tidak mau kembali merasakan setruman itu, oleh karenanya ia akan mengusahakan untuk berlaku benar agar tidak kembali mendapatkan hukuman. “Jangan sentuh kulitku! Sekali tanganmu menyentuh kulitku, akan ku kupas kulit tanganmu itu!” bentak Abidzar lagi yang membuat Tamara semakin merasa ketakutan. ‘Ya Tuhan … sudah berapa pelayan yang mati di sini? Ini bukan cuma gangguan mental, tapi juga psikopat,’ gumam Tamara hanya dalam benaknya saja. Gadis itu membuka ikat pinggang yang dikenakan Abidzar dengan sangat hati-hati, ia takut jari lentiknya itu menyentuh kulit perut Abidzar. Bahkan, Tamara sampai menahan nafas ketika melakukan hal itu. Tetapi, kedua matanya terbuka lebar, ia dapat melihat jelas kulit putih milik Abidzar serta dada bida
Refleks Tamara langsung menutup kembali gorden pada jendela di hadapannya, ia langsung membalikkan badan ke arah pintu. Seorang wanita yang berusia tak jauh berbeda dengannya, masuk sambil membawa sesuatu pada tangannya. Tamara masih terdiam, ia memperhatikan wanita yang memakai baju serta rok berwarna biru muda itu. Sebelumnya Tamara melihat beberapa orang wanita di tempat itu memakai pakaian yang sama, berarti itu memang seragam pelayan di sana. “Hai, perkenalkan namaku Rubby … aku salah satu pelayan di sini dan aku diperintahkan untuk menemui kamu,” ucap wanita berambut sebahu itu sambil mengulurkan tangan ke hadapan Tamara. “Namaku Tamara,” balas Tamara sambil menerima uluran tangan dari wanita yang memiliki tubuh ramping dan tinggi sekitar seratus lima puluh sentimeter itu. Jika berdiri sejajar, sepertinya Rubby hanya sebatas leher Tamara. “Senang berkenalan denganmu, Tamara. Emmm … aku datang ke sini diperintahkan untuk memberikan baju seragam pelayan ini untukmu dan juga
“I-ini pasti Bapak dari anak yang akan aku asuh kan? Kirain yang aku asuh anak dari laki-laki tua tadi, ternyata cucunya. Permisi Tuan, dimana anak Anda? Saya pengasuh baru untuk anak Tuan,” cerocos Tamara yang kembali ceria dan berusaha tetap ramah. Ia menatap ke arah seorang pria yang sedang duduk di tepi ranjang dan membelakanginya. “Jangan lancang!” ucap seorang ajudan yang berdiri di belakang Tamara. “Siapa yang lancang? Aku hanya menyapa majikan baruku. Emmm … Tuan, dimana anak Anda?” Tamara kembali bertanya dengan berani. Pria itu berdiri dan membalikkan badan secara perlahan ke arah Tamara. “Siapa yang membiarkan manusia gila ini masuk ke dalam kamarku?” ucap pria itu dengan suara bariton dan penuh penekanan. Seketika Tamara terdiam membeku di tempat, mendadak kakinya terasa bergetar. Pria bertubuh tegap itu berdiri menghadap ke arah Tamara, namun Tamara tak dapat melihat wajahnya, karena pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan topeng, hanya tersisa bagian mulut dan
Setelah cukup lama berada di perjalanan, akhirnya zeep yang ditumpangi oleh Tamara berhenti. Terdengar suara pintu mobil dibuka, menandakan kalau mereka sudah tiba di tempat tujuan. “Hei, bangun!” bentak seorang pria seraya menarik tangan Tamara dengan kasar. “Lepaskan ikatan ini, aku gak bisa jalan!” balas Tamara dengan suara yang terdengar lemah. Akan tetapi, ia berusaha lebih tegar agar ia tidak terlalu ditindas. Seorang pria yang berdiri di hadapan Tamara, membuka ikatan pada kaki dan tangan gadis itu. Dengan gerakkan cepat, Tamara segera membuka kain yang menutupi kedua matanya, ia juga membuka kain yang menutupi mulutnya. “Ayo keluar!” Seorang pria bertubuh kekar kembali menarik tangannya dengan kasar sampai membuat gadis itu keluar dari mobil dengan sempoyongan. Bahkan, Tamara hampir terjatuh jika ia tidak segera menyeimbangkan diri. Tamara berusaha berdiri tegak meskipun kakinya terasa sakit. Gadis itu mengangkat wajah dan menatap ke arah sekitar. Tamara cukup terce
“Berapa harganya?” tanya seorang pria bertubuh kekar yang kini sedang berada di sebuah rumah sederhana yang terletak di daerah Bandung. “Dua M,” jawab seorang wanita paruh baya dengan lantang. “Bibi mau jual apa? Bukannya semua tanah dan sawah peninggalan Bapak sudah habis dijual buat biaya kuliah Diana?” tanya seorang gadis berambut panjang yang baru saja keluar dari kamarnya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu bernama Tamara Mustika. Ia adalah seorang yatim piatu, ibunya meninggal sejak ia duduk di bangku SD, sedangkan ayahnya meninggal ketika ia kelas tiga SMP. Sejak itu juga, Tamara tinggal bersama dengan adik dari ayahnya yang bernama Pratiwi. Namun, sejak tinggal bersama bibinya yang berstatus sebagai janda itu, Tamara malah diperlakukan layaknya seorang pembantu. Semua harta peninggalan kedua orang tuanya sudah habis dijual oleh Pratiwi dengan alasan biaya hidup Tamara. Padahal, semua uang itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan ia dan juga putrinya yang bernama Dia