“Hei, apa yang kau lakukan? Kenapa kamu malah memperhatikan obat-obat itu? Cepat obati luka Tuan muda! Satu lagi, kamu juga harus tahu, itu semua adalah obat yang harus diminum Tuan muda setiap hari dan kamu harus membantu Tuan muda untuk meminum obat itu, jangan sampai terlewati sekalipun. Jika obatnya habis, kamu harus segera melapor kepada saya!” gertak Alan dengan tegas.
“Ba-baik.” Tamara membalas singkat, meskipun banyak pertanyaan yang tumbuh di kepalanya. Akan tetapi, ia tidak sampai melemparkan pertanyaan itu kepada Alan, karena ia takut terkena hukuman lagi. Tamara segera mengambil salep dan akan mengoleskan pada luka Abidzar. Gadis itu mengeluarkan sedikit salep dan meletakkan pada ujung jari telunjuknya. Ia memegang tangan kanan Abidzar dan akan segera mengoleskan salep itu pada lukanya. Namun, hal tak terduga terjadi. “Lancang sekali kau memegang tanganku!” Brak! Abidzar langsung mendorong tubuh Tamara dengan kasar sampai membuat gadis itu terjatuh ke atas lantai. Tamara merasa terkejut, padahal baru saja pria itu menurut dan terlihat baik, tapi kenapa tiba-tiba Abidzar berubah seperti itu. “Mohon maaf Tuan muda, saya mau mengobati luka Anda,” ucap Tamara sambil meringis menahan sakit pada tubuhnya akibat terbentur keras pada lantai. “Keluar!!!!!” bentak Abidzar dengan suara menggema. Brak! Pria itu menendang meja di hadapannya, seketika kotak obat yang ada di atas meja terlempar jauh dan semua obat-obatan yang ada di dalamnya berserakan di atas lantai. “Aaarrrrggghhh … Arrggghhhh ….” Abidzar berteriak tidak jelas. Tamara yang melihat itu semakin merasa syok, mendadak Abidzar mengamuk. Bahkan, pria itu sampai menjambak rambut, serta memukul kepalanya sendiri. “Bagaimana ini? Kenapa Tuan muda ngamuk?” tanya Tamara dengan wajah bingung. Abidzar berteriak seperti orang kesakitan. “Aaarrrrggghhh … Arrggghhhh … Arrggghhhh ….” Plak! Plak! Plak! Pria itu memukul kepalanya sendiri. Tamara semakin ketakutan, ia bingung harus berbuat apa. Sementara Alan tetap terlihat tenang, pria itu menyalakan handy talkie dan berbicara kepada seseorang di sebrang sana. Tak lama kemudian, muncul dua orang pria yang mengenakan jas dokter, mereka masuk secara bersamaan ke dalam kamar itu. “Cepat lakukan tindakan kepada Tuan muda!” titah Alan dengan tegas. “Baik, ajudan!” Dua orang dokter itu mendekat ke arah Abidzar sambil membawa jarum suntik. Kedua mata Tamara semakin membuat, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh dua orang dokter tersebut. Sepertinya mereka adalah dokter khusus di tempat itu. “Aaarrrrggghhh … Arrrrrgghhh … Arrrrrgghhh …” teriakan Abidzar seketika terhenti saat jarum suntik itu menusuk ke dalam lengannya. Brak! Abidzar jatuh ke atas sofa dan tak sadarkan diri, kedua matanya terpejam sempurna akan tetapi nafas pria itu sangat cepat, terlihat dari dadanya yang naik turun dengan durasi yang cepat. “Tuan muda! Apa yang terjadi dengan Tuan muda?!” teriak Tamara yang merasa syok sekaligus takut. Tubuh Abidzar seperti memberikan reaksi penolakan terhadap obat yang disuntikkan ke dalam tubuhnya, Tamara yakin itu adalah obat keras. “Ya Tuhan … Tuan muda …” teriak Tamara kembali. “Diam! Biarkan obatnya bereaksi dulu, sekarang kamu keluar!” usir Alan kepada Tamara. “Tidak, aku mau melihat Tuan muda membuka mata. Tuan, bangun Tuan ….” Tamara semakin mendekat ke arah Abidzar. Padahal, baru saja pria itu berbuat kasar padanya, tetapi entah kenapa hati Tamara merasa tak tega saat melihat Abidzar terkapar tak sadarkan diri. “Keluar!” bentak Alan kembali sambil mendorong tubuh Tamara ke arah pintu. “Aw!!!” Tubuh kecil gadis itu langsung menabrak pintu. Tamara hampir menangis karena merasa sikutnya sangat sakit akibat terbentur pintu kayu sangat tebal. Ia memilih keluar dari kamar itu sambil berjalan pincang, karena kakinya juga terasa sakit. Hari ini raganya benar-benar merasa lelah, padahal ini adalah hari pertamanya bekerja di sana. “Hmmm … tidak apa-apa, mungkin aku belum terbiasa saja,” gumamnya menyemangati diri sendiri sambil berjalan menuju kamarnya. “Hei, Tamara! Tugasmu sudah selesai kan? Ayo bantu aku mengganti bunga di meja makan,” teriak Ruby yang membuat Tamara seketika menghentakan langkah dan menoleh ke arah gadis itu. “Baru juga mau istirahat ….” Tamara membuang nafanya secara kasar. “Istirahat hanya berlaku untuk malam hari saja, disini tidak ada istirahat siang. Ayo ikut aku!” Ruby menarik tangan Tamara, gadis itu membawa Tamara melewati beberapa beberapa ruangan dan kamar, hingga pada akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas. Tamara merasa, luas ruangan itu setara dengan rumahnya. “Ini ruangan apa?” tanya Tamara dengan wajah heran. “Ini ruang makan, ayo bantu aku untuk mengganti bunga ini.” Ruby mulai mengeluarkan beberapa tangkai bunga dari dalam guci berbahan keramik dan memiliki ukuran cukup besar itu. Guci tempat bunga itu terletak di tengah-tengah meja yang berukuran lebar dan panjang, itu adalah meja makan. Terdapat delapan kursi duduk dengan bentuk yang mewah dan mengkilap, itu terlihat seperti kursi raja. Padahal hanya kursi yang menghadap meja makan. “Kenapa bengong saja? Cepat ambil bunga tulip itu! Beberapa jam lagi semua anggota keluarga akan tiba di mansion untuk melaksanakan makan malam,” ucap Ruby yang terlihat sibuk menata bunga segar itu ke dalam guci mewah. “Ada berapa anggota keluarga semua? Sepertinya banyak sekali,” tanya Tamara penasaran. “Semua ada delapan orang, Tuan Damian, Nyonya Hannah, Nyonya Farida, Nyonya Belinda, Nona Zoya, Nona Serena, Tuan muda Abidzar, Tuan muda Elnathan, dan Tuan muda Matheo,” jelas Ruby menyebutkan nama satu persatu. “Wah, ternyata masih ada Tuan muda yang lain selain Tuan muda Abidzar. Hmmm … pasti mereka ganteng-ganteng, aku harus dandan yang cantik malam ini,” ucap Tamara yang mendadak berubah centil. “Hei, nanti setelah ini aku bawa kamu ke samping mansion, supaya kamu bisa melihat dirimu dari pantulan kaca setinggi dinding. Kau pikir dengan seragam pelayanmu ini kamu bisa terlihat menarik?” ledek Ruby yang membuat Tamara hanya membuang nafas kasar. Disaat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba saja terdengar suara terompet yang ditiup secara bersamaan. “Ada apa ini? Kenapa berisik sekali?” tanya Tamara sambil menoleh ke arah luar, namun sayangnya pandangan mereka tak bisa tembus ke arah luar karena terhalang dinding yang begitu tinggi dan tebal. “Ini suara penyambutan untuk anggota keluarga yang datang, ayo cepat! Setelah ini meja makan akan segera diisi oleh aneka hidangan yang akan dinikmati Tuan Damian beserta istri dan anak-anaknya,” tutur Ruby yang tergesa-gesa. Semua pelayan yang ada di sana bergerak cepat untuk segera menyajikan hidangan yang telah mereka siapkan.“Hei, apa yang kau lakukan? Kenapa kamu malah memperhatikan obat-obat itu? Cepat obati luka Tuan muda! Satu lagi, kamu juga harus tahu, itu semua adalah obat yang harus diminum Tuan muda setiap hari dan kamu harus membantu Tuan muda untuk meminum obat itu, jangan sampai terlewati sekalipun. Jika obatnya habis, kamu harus segera melapor kepada saya!” gertak Alan dengan tegas. “Ba-baik.” Tamara membalas singkat, meskipun banyak pertanyaan yang tumbuh di kepalanya. Akan tetapi, ia tidak sampai melemparkan pertanyaan itu kepada Alan, karena ia takut terkena hukuman lagi. Tamara segera mengambil salep dan akan mengoleskan pada luka Abidzar. Gadis itu mengeluarkan sedikit salep dan meletakkan pada ujung jari telunjuknya. Ia memegang tangan kanan Abidzar dan akan segera mengoleskan salep itu pada lukanya. Namun, hal tak terduga terjadi. “Lancang sekali kau memegang tanganku!” Brak!Abidzar langsung mendorong tubuh Tamara dengan kasar sampai membuat gadis itu terjatuh ke atas lantai.
“Cepat!” bentak Abidzar yang membuat Tamara langsung terlonjak kaget. “I-iya, Tuan.” Gadis itu segera membuka ikat pinggang Abidzar dengan tangan gemetar. Tamara benar-benar merasa takut, ia masih terbayang hukuman yang baru saja diterimanya. Ia tidak mau kembali merasakan setruman itu, oleh karenanya ia akan mengusahakan untuk berlaku benar agar tidak kembali mendapatkan hukuman. “Jangan sentuh kulitku! Sekali tanganmu menyentuh kulitku, akan ku kupas kulit tanganmu itu!” bentak Abidzar lagi yang membuat Tamara semakin merasa ketakutan. ‘Ya Tuhan … sudah berapa pelayan yang mati di sini? Ini bukan cuma gangguan mental, tapi juga psikopat,’ gumam Tamara hanya dalam benaknya saja. Gadis itu membuka ikat pinggang yang dikenakan Abidzar dengan sangat hati-hati, ia takut jari lentiknya itu menyentuh kulit perut Abidzar. Bahkan, Tamara sampai menahan nafas ketika melakukan hal itu. Tetapi, kedua matanya terbuka lebar, ia dapat melihat jelas kulit putih milik Abidzar serta dada bida
Refleks Tamara langsung menutup kembali gorden pada jendela di hadapannya, ia langsung membalikkan badan ke arah pintu. Seorang wanita yang berusia tak jauh berbeda dengannya, masuk sambil membawa sesuatu pada tangannya. Tamara masih terdiam, ia memperhatikan wanita yang memakai baju serta rok berwarna biru muda itu. Sebelumnya Tamara melihat beberapa orang wanita di tempat itu memakai pakaian yang sama, berarti itu memang seragam pelayan di sana. “Hai, perkenalkan namaku Rubby … aku salah satu pelayan di sini dan aku diperintahkan untuk menemui kamu,” ucap wanita berambut sebahu itu sambil mengulurkan tangan ke hadapan Tamara. “Namaku Tamara,” balas Tamara sambil menerima uluran tangan dari wanita yang memiliki tubuh ramping dan tinggi sekitar seratus lima puluh sentimeter itu. Jika berdiri sejajar, sepertinya Rubby hanya sebatas leher Tamara. “Senang berkenalan denganmu, Tamara. Emmm … aku datang ke sini diperintahkan untuk memberikan baju seragam pelayan ini untukmu dan juga
“I-ini pasti Bapak dari anak yang akan aku asuh kan? Kirain yang aku asuh anak dari laki-laki tua tadi, ternyata cucunya. Permisi Tuan, dimana anak Anda? Saya pengasuh baru untuk anak Tuan,” cerocos Tamara yang kembali ceria dan berusaha tetap ramah. Ia menatap ke arah seorang pria yang sedang duduk di tepi ranjang dan membelakanginya. “Jangan lancang!” ucap seorang ajudan yang berdiri di belakang Tamara. “Siapa yang lancang? Aku hanya menyapa majikan baruku. Emmm … Tuan, dimana anak Anda?” Tamara kembali bertanya dengan berani. Pria itu berdiri dan membalikkan badan secara perlahan ke arah Tamara. “Siapa yang membiarkan manusia gila ini masuk ke dalam kamarku?” ucap pria itu dengan suara bariton dan penuh penekanan. Seketika Tamara terdiam membeku di tempat, mendadak kakinya terasa bergetar. Pria bertubuh tegap itu berdiri menghadap ke arah Tamara, namun Tamara tak dapat melihat wajahnya, karena pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan topeng, hanya tersisa bagian mulut dan
Setelah cukup lama berada di perjalanan, akhirnya zeep yang ditumpangi oleh Tamara berhenti. Terdengar suara pintu mobil dibuka, menandakan kalau mereka sudah tiba di tempat tujuan. “Hei, bangun!” bentak seorang pria seraya menarik tangan Tamara dengan kasar. “Lepaskan ikatan ini, aku gak bisa jalan!” balas Tamara dengan suara yang terdengar lemah. Akan tetapi, ia berusaha lebih tegar agar ia tidak terlalu ditindas. Seorang pria yang berdiri di hadapan Tamara, membuka ikatan pada kaki dan tangan gadis itu. Dengan gerakkan cepat, Tamara segera membuka kain yang menutupi kedua matanya, ia juga membuka kain yang menutupi mulutnya. “Ayo keluar!” Seorang pria bertubuh kekar kembali menarik tangannya dengan kasar sampai membuat gadis itu keluar dari mobil dengan sempoyongan. Bahkan, Tamara hampir terjatuh jika ia tidak segera menyeimbangkan diri. Tamara berusaha berdiri tegak meskipun kakinya terasa sakit. Gadis itu mengangkat wajah dan menatap ke arah sekitar. Tamara cukup terce
“Berapa harganya?” tanya seorang pria bertubuh kekar yang kini sedang berada di sebuah rumah sederhana yang terletak di daerah Bandung. “Dua M,” jawab seorang wanita paruh baya dengan lantang. “Bibi mau jual apa? Bukannya semua tanah dan sawah peninggalan Bapak sudah habis dijual buat biaya kuliah Diana?” tanya seorang gadis berambut panjang yang baru saja keluar dari kamarnya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu bernama Tamara Mustika. Ia adalah seorang yatim piatu, ibunya meninggal sejak ia duduk di bangku SD, sedangkan ayahnya meninggal ketika ia kelas tiga SMP. Sejak itu juga, Tamara tinggal bersama dengan adik dari ayahnya yang bernama Pratiwi. Namun, sejak tinggal bersama bibinya yang berstatus sebagai janda itu, Tamara malah diperlakukan layaknya seorang pembantu. Semua harta peninggalan kedua orang tuanya sudah habis dijual oleh Pratiwi dengan alasan biaya hidup Tamara. Padahal, semua uang itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan ia dan juga putrinya yang bernama Dia