Share

Gosip Hangat

Penulis: Nona Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-13 19:43:30

Saat jam makan siang, Marlina sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa data di laptop sembari menyendok mie instan. Suara berat itu tiba-tiba terdengar di belakangnya.

"Makan siang seperti itu? Tidak sehat."

Marlina hampir tersedak. "Tuan Rey! Bisa tidak munculnya jangan tiba-tiba?"

Rey hanya mengangkat alis. "Aku hanya kebetulan lewat." Tangannya mengambil sumpit dari genggaman Marlina, lalu mengambil satu suap mie.

"Loh! Ehh? Katanya gak sehat?!" Marlina ternganga.

"Hm… tidak enak. Banyak mengandung MSG. Besok makan di luar denganku," katanya tenang, lalu pergi seolah tak ada yang aneh.

Marlina menatap punggung lebar Rey yang menjauh. "Astaga… Bos macam apa dia?" gumamnya sambil memegang dadanya yang berdebar. Matanya menatap mie miliknya yang berkurang banyak. "Loh, mieku kok tinggal segini?"

Sore hari, Marlina sedang mengantar berkas ke meja Rey. Dia meletakkannya dengan hati-hati, tapi saking cerobohnya, sebuah pena terjatuh. Sebelum dia membungkuk untuk mengambilnya, Rey lebih dulu menunduk, hingga tangan mereka bersentuhan.

Sekejap mata Marlina bertemu dengan matanya. Tatapan itu tajam, tapi ada senyum tipis yang nyaris tak terlihat di sudut bibir lelaki itu.

"Kau ceroboh sekali,” katanya pelan.

Marlina berdiri cepat. "Maaf..." Kepalanya membentur meja sedikit karena canggung.

Rey mengembalikan pena itu. Meletakannya perlahan, seolah sengaja. "Hati-hati. Lain kali, aku mungkin tidak sekadar mengambilkan."

Nada suaranya membuat Marlina bingung antara ingin marah atau menunggu maksud lanjutannya.

"Mencoloknya ke mataku maksudmu?!" gumamnya pelan, sembari keluar dari ruangan atasannya.

Dan yang paling membuatnya kesal adalah di depan karyawan lain, Rey kembali menjadi bos yang kaku, dingin, dan tak tersentuh. Seolah tidak pernah ada tatapan intens, sentuhan singkat, atau komentar yang membuat jantung Marlina seperti sedang maraton.

Dan itu membuat Marlina bertanya-tanya. Sebenarnya, apa yang diinginkan pria itu darinya? Apa dia berusaha membalas perkataan yang Marlina lontarkan saat itu?

Suara ketikan dan dering telepon bercampur di udara kantor. Marlina sibuk memindahkan tumpukan berkas ke laci ketika pintu ruangannya terbuka. Dia nampak sibuk melebihi atasannya sendiri.

"Marlina, ikut aku ke lantai lima," kata Tuan Rey, singkat.

"Baik, Tuan," jawab Marlina cepat, meraih buku catatan dan pulpen. Lagi-lagi dia hampir tersandung karena ceroboh.

Mereka melangkah menuju lift, jarak keduanya terjaga. Tapi di dalam lift yang kosong, Rey bergeser setengah langkah lebih dekat.

"Bajumu kusut. Di bahu kiri."

Marlina menunduk, berusaha merapikannya sendiri, tapi Rey tiba-tiba mengangkat tangan, memperbaiki lipatan kain itu dengan gerakan hati-hati. Tatapannya sesaat bertemu manik indah Marlina hangat, terlalu dekat untuk sekadar atasan dan bawahan.

Begitu pintu lift terbuka, mereka kembali menjaga jarak. Tapi Marlina sadar, salah satu pegawai melihat mereka. Tatapannya penuh curiga.

Rapat berjalan lancar. Namun ketika keluar dari ruang rapat, sepatu Marlina tersandung kabel proyektor yang belum digulung. Dia terhuyung, nyaris jatuh dan Rey langsung sigap menangkap lengannya.

"Lihat ke depan, jangan ceroboh," suaranya terdengar tegas.

Beberapa kepala menoleh. Marlina buru-buru menarik lengannya, wajahnya memanas.

"Maaf, Tuan Rey."

Tapi bukannya melepaskan, Rey justru memeriksa pergelangan tangannya seolah memastikan dia tak terluka. "Kau baik-baik saja?" suaranya kini lebih lembut, tapi cukup keras untuk didengar orang di sekitar.

Bisik-bisik mulai terdengar di antara staf yang lewat. Apalagi para wanita tinggi cantik, yang diam-diam menyukai bos baru mereka.

"Aku baik-baik saja," jawab Marlina cepat, lalu berjalan lebih dulu. Tapi dia bisa merasakan tatapan Rey mengikuti setiap langkahnya.

Sore itu, saat kembali ke meja kerjanya, Marlina menemukan dua rekan kerja berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya.

"Hei Marlina!" Memanggil cukup keras. Kemari sebentar."

Wanita berpakaian mini itu berjalan mendekat. "Ada apa?"

"Marlina, kalian… ada hubungan, ya?" tanya salah satunya dengan nada penuh gosip.

Marlina hanya tersenyum kaku. "Hubungan? Eh tidak ada. Bukan seperti yang kalian pikirkan."

Tapi hatinya berdebar. Karena dia tahu, gosip ini mungkin baru akan mulai, dan Rey tidak akan tinggal diam jika mendengarnya.

Pukul hampir jam lima sore ketika telepon meja Marlina berdering. Suara berat itu terdengar dari ujung sana.

"Marlina. Ruanganku. Sekarang."

Nada perintahnya membuat Marlina langsung berdiri, meraih buku catatan, dan melangkah ke ruangan Tuan Rey. Begitu pintu tertutup, Rey bersandar di kursinya, menautkan jemari di depan wajah.

"Aku dengar," katanya tanpa basa-basi, "Orang-orang mulai membicarakan kita."

Marlina mengerjap. "Tentang apa?"

"Jangan pura-pura tidak tahu." Tatapan matanya menusuk, membuat Marlina terpaksa menunduk. "Tentang apa yang mereka lihat hari ini."

Marlina mencoba tersenyum kaku. "Tuan, itu cuma salah paham. Mereka hanya terlalu imajinatif."

Rey mengangkat satu alis. "Salah paham? Jadi yang mereka lihat tidak penting?"

Marlina menggigit bibir, menahan kata-kata. "Yang penting adalah pekerjaan kita, bukan gosip, Tuan Rey."

Wajah lelaki itu nampak kesal. Namun dia menyembunyikannya rapat-rapat.

"Benar." Rey mengangguk, tapi suaranya terdengar seperti sedang menahan sesuatu. "Tapi, aku tidak suka ketika orang lain memandangmu dengan cara tertentu. Apalagi sampai membicarakanku. Aku baru saja di pindahkan kemari, tapi gosip aneh sudah mulai menyebar."

Sekarang Marlina yang memasang wajah kesal. Siapa suruh bersikap seperti tadi di depan orang banyak? Dia lebih memilih jatuh, dari pada di gosipkan seperti ini.

Rey berdiri, melangkah mendekat sampai jarak mereka hanya beberapa langkah. Marlina terdiam. Napasnya terasa berat, tapi dia memaksa tersenyum tipis. "Tuan, kalau begitu, mungkin kita perlu menjaga jarak di depan orang lain."

Senyum tipis Rey menghilang. "Menjaga jarak? Tapi masa corona sudah berakhir."

"Iya maksud saya, agar orang-orang tidak salah paham lagi."

Rey memandangnya lama, lalu mundur setengah langkah. Sedikit perasaan kesal muncul di wajahnya.

"Iya, iya terserah saja."

Tatapan itu, Marlina tahu jika bosnya merasa kesal. Namun karena apa? Apa karena gosip yang menyebar luas dengan cepat?

Marlina menarik nafasnya pelan, berjalan keluar untuk mengambil kopi. Namun sepasang mata sudah menatapnya tajam, seperti singa yang akan melahap mangsanya.

"Bgst!" Mengumpat kasar. "Hei apa yang kau lakukan di sana?" tanya wanita itu.

Wanita bernama Firda itu berjalan mendekat, "Apa-apaan ini? Kenapa aku tidak tahu jika kau memiliki hubungan dengan Bos baru kita?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Kejadian Memalukan Saat Mabuk

    Suara ketukan di pintu terdengar keras di tengah keheningan malam. Marlina mengerjap pelan, pikirannya masih setengah kabur oleh alkohol. Dia menyeret langkah, membuka pintu dengan kepala yang sedikit berdenyut. Dan di sana, berdiri sosok yang paling tidak ingin xia lihat malam itu. Rey. Dengan kemeja putih yang sudah kusut, wajah serius yang diterangi cahaya lampu luar, dan tatapan tajam yang langsung menyapu ke arah dirinya. Rey terdiam sesaat. Pemandangan di hadapannya membuatnya mengembus napas panjang. Rambut Marlina berantakan, matanya sembab, aroma alkohol tajam menyengat udara, rumahnya penuh kekacauan. Dan yang lebih membuat matanya hampir melompat keluar adalah pemandangan syurgawi. Ketika beberapa kacing kemeja wanita itu terbuka cukup banyak, menunjukkan dadanya yang bulat terekspos.Lelaki tampan itu pura-pura terbatuk, lalu memalingkan pandangannya sebentar."Marlina…" ucapnya pelan namun tegas, "Apa yang terjadi padamu?" Marlina tersentak sadar. Dia buru-buru menund

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Bayangan Masa Lalu

    Jalanan sore itu terasa tenang. Langit mulai berganti warna, jingga tipis menghiasi ufuk barat. Marlina melangkah pelan, membiarkan angin sore membelai rambutnya. Karena Firda memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya, kali ini dia pulang sendirian. Sesekali dia mendesah, mengingat wajah bosnya yang akhir-akhir ini terlalu sering mengganggunya. Mulai dari tatapan jahil penuh rahasia, sikapnya yang suka jaim tapi ternyata cerewet, sampai momen-momen memalukan yang tanpa sadar dia ciptakan sendiri. Bibirnya melengkung tipis. Dasar Tuan Rey menyebalkan. Namun senyum itu perlahan menghilang saat langkahnya terhenti. Di seberang jalan kecil yang dia lalui, seorang lelaki berdiri tegak. Tinggi, bahunya bidang, rambut cokelatnya rapi seolah baru dipangkas. Cahaya lampu jalan yang mulai menyala membuat wajahnya terlihat jelas. Lelaki itu tersenyum ramah, senyum yang pernah membuat Marlina jatuh berkali-kali. Hatinya mencelos. "David…" bisiknya tanpa sadar. Lelaki itu melangkah

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Deja Vu

    Keesokan paginya, Marlina berjalan masuk ke kantor dengan langkah sedikit ragu. Baju rapi, rambut tertata, tapi hatinya berantakan seperti tisu bekas. Begitu melewati meja resepsionis, dia langsung menyadari Rey sudah berada di ruangannya. Duduk tegak dengan laptop terbuka, seolah tidak pernah ada hujan, mati lampu, atau ciuman di kamar semalam. Tenang sekali dia, pikirnya. Marlina menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pura-pura normal. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Tidak ada gunanya heboh sendiri. Toh, dia sendiri yang rugi. "Pagi," sapanya lirih saat melewati meja Rey untuk menyerahkan dokumen. Rey hanya menoleh sebentar, mengangguk singkat, tapi jemarinya berhenti mengetik selama satu detik penuh. Tatapan itu, terlalu singkat untuk dibilang istimewa, tapi cukup untuk membuat Marlina merasa seluruh tubuhnya panas. Dan saat itulah Firda datang. Dengan senyum licik seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru. "Heh kadal mesir! Wajahmu kenapa? Merah b

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Kenangan Dalam Gelap

    "Silahkan masuk." Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan sabun cuci piring memenuhi ruangan. Rey masuk, mengamati sekeliling dengan tatapan yang terlalu nyaman untuk orang yang katanya 'sekadar singgah'. Marlina membuka kulkas. "Mau minum apa?" "Terserah," jawabnya singkat. Saat Marlina menuang air, Rey mendekat tanpa suara, berdiri di belakangnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat Marlina sadar bahwa jarak mereka terlalu dekat. "Kau selalu sendirian di rumah sebesar ini?", tanyanya pelan. Marlina mencoba fokus ke gelas di tangannya. "Iya. Kenapa?" "Takutnya, ada orang masuk tanpa kau sadari. Mungkin laki-laki." Nada suaranya terdengar serius, tapi tatapannya jelas mengarah ke dirinya sendiri sebagai laki-laki yang tak di undang. Di tengah suasana kikuk itu, hujan mulai turun deras. Rey duduk di sofa, menyandarkan kepala santai, tapi sesekali melirik Marlina yang mondar-mandir membereskan gelas. Dia seperti menikmati pemandangan itu. Wanita ceroboh

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Rencana Firda

    "Heh, kadal mesir! Kau gak niat cerita apapun?" Firda menatap tajam sahabatnya. Jarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Hati wanita itu penuh kecurigaan, melihat tingkah kakunya di hadapan Rey. Marlina menghela napas panjang. "Karena memang gak ada yang perlu diceritain, Fir. Mobilnya mogok, kebetulan dekat rumahku. Ya udah." Firda tersenyum tipis, tatapannya penuh rasa penasaran. Yakin gak ada? pikirnya. Dia sudah cukup lama jadi sahabat Marlina untuk tahu, kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Baiklah," Firda berpura-pura menyerah, tapi dalam hati sudah menyusun rencana. Rencana untuk menjodohkan mereka. Sabtu pagi, halaman belakang gedung kantor ramai oleh pegawai yang bersiap latihan untuk event olahraga internal. Firda sudah datang lebih awal, memastikan semua rencana berjalan mulus. Begitu Rey muncul dengan kaos hitam polos dan celana training. Semua orang langsung melirik bos dingin itu jarang terlihat santai seperti ini. Marlina, yang baru datang

  • Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]   Kenangan Saat Hujan

    Sepanjang perjalanan menuju lokasi meeting, Rey beberapa kali meliriknya dari sudut mata. Setiap kali Marlina menyadarinya dan menoleh, Rey langsung mengalihkan pandangan pura-pura melihat ke luar jendela.Saat tiba di lobi hotel tempat pertemuan, Rey berjalan sedikit lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti dan berbalik."Pegang ini." Lelaki itu menyodorkan jasnya pada Marlina."Kenapa...""Karena kau terlihat kedinginan," potong Rey singkat, lalu melangkah lagi tanpa menoleh.Marlina hanya bisa memandang punggungnya sambil menahan senyum kecil. Dia tahu, alasan Rey mengajaknya hari ini mungkin hanyalah cari-cari cara untuk bisa dekat. Tapi lelaki itu terlalu pintar menyamarkannya dengan sikap dingin dan kata-kata singkat.Yang Marlina tidak tahu, di dalam kepala Rey hanya ada satu pikiran. Kalau dia tidak menemukannya di kantor hari ini, Rey bisa gila. Pertemuan dengan klien selesai lebih cepat dari perkiraan. Rey dan Marlina berjalan keluar hotel, tapi begitu pintu otomatis terbuka, su

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status