Masuk"Wah, lihat ini. Kenapa aku gelisah sekali."
Mata lelaki tampan itu nampak gelisah. Menjaga jarak ternyata bukan hal yang mudah. Awalnya Rey pikir, mengikuti saran Marlina akan meredakan gosip. Nyatanya, itu hanya membuatnya gila. Setiap kali dia keluar dari ruangannya dan melihat Marlina tertawa kecil sambil berbincang dengan pegawai lelaki lain, ada rasa panas yang menjalar di dadanya. Bukan sekadar cemburu, lebih seperti teritorial. Dan semakin dia mencoba berpura-pura sibuk, semakin sulit rasanya untuk tidak memperhatikan setiap gerak-gerik wanita itu. Wanita ceroboh itu. Yang kadang menumpahkan minuman di mejanya, lupa menyimpan pulpen, atau menjatuhkan map penting di lantai. Wanita yang entah bagaimana, membuat kantor terasa sepi ketika dia tidak ada. Menjaga jarak? Rey hanya butuh satu alasan satu celah kecil untuk membatalkan ide bodoh itu. Siang itu, Rey berdiri di ambang pintu ruangannya. Pandangannya langsung menangkap Marlina di ujung ruangan, sedang berbicara dengan dua pegawai pria dari divisi lain. Tawanya terdengar pelan tapi jelas. Kepalanya sedikit menunduk, rambutnya jatuh ke depan bahunya. Rey merasakan rahangnya mengeras. Dia melangkah keluar, sengaja berjalan melewati mereka. "Marlina," panggilnya dengan nada yang terdengar datar tapi menuntut. Wanita itu menoleh cepat. "Ya, Tuan Rey?" "Ke ruanganku. Bawa laporan pengadaan minggu ini." Tatapan sekilas Rey ke dua pria tadi cukup membuat mereka terdiam dan pura-pura sibuk. Matanya nampak menyala bagai kobaran api. Saat Rey pergi, dua pegawai laki-laki itu sibuk berbisik. "Dia seperti akan membunuhku. Apa kita melakukan kesalahan?" "Kau benar! Tatapannya benar-benar menusuk mataku. Gagal deh godain Marlina." Sudah menjadi rahasia umum, jika para pegawai lelaki memang senang menggoda sekertaris perusahaan itu. Bukan tentang wajahnya yang cantik, tapi sikap hangat Marlina yang membuat para lelaki nyaman. "Ini laporannya, Tuan." Wanita itu datang, setelah beberapa menit mencari dokumen yang di minta sang atasan. Rey pun mengambilnya, tapi alih-alih memeriksa, dia menatapnya lama. "Kau terlihat, sibuk mengobrol tadi." Marlina berkedip. "Hanya membicarakan pekerjaan." "Begitu? Pekerjaan apa sampai kau tertawa lepas Nona Marlina." Rey menyandarkan diri di kursi, jemari mengetuk pelan meja. "Kau memang cepat akrab dengan semua orang. Apalagi pria. Apa itu kelebihanmu?" Nada suaranya terdengar santai, tapi Marlina bisa menangkap sesuatu di baliknya. "Itu… bagian dari pekerjaan saya, Tuan." Rey berdecak kesal. "Kalau begitu mulai sekarang, kalau butuh berbicara soal pekerjaan, bicaralah denganku dulu." Marlina memiringkan kepala. "Apa itu aturan baru, Tuan?" Menatap bingung. "Ya. Tidak perlu tertulis," jawabnya datar, lalu mulai membuka map. Marlina hanya bisa menghela napas dalam hati. Padahal mereka sedang menjaga jarak, tapi jelas-jelas pria itu sedang mencari cara untuk tetap berada di sekitarnya. Rey jarang sekali memperhatikan obrolan karyawan di luar pekerjaannya. Tapi siang itu, telinganya seperti punya radar khusus ketika nama Marlina disebut. Baru saja dia memperingati wanita itu agar tidak banyak mengobrol dengan lawan jenis. Topik baru terdengar langsung dari mulut salah satu karyawannya. "Hei kadal mesir! Gosipmu di kantor ini semakin meluas. Jangan bilang jika kau benar menggoda bos baru kita. Katakan!" ucap Firda, sahabat baik Marlina. Wanita itu memukul pantat sahabatnya, "Jangan asal bicara. Aku tidak pernah menggodanya." "Hmm... kalau begitu, kau harus ikut kencan buta. Aku punya teman tampan, mapan, bekerja di bank dan yang pasti tubuhnya..." Menatap penuh bayangan mesum "Kau taulah." "Otak mesum." Berpikir sejenak. "Kau yakin dia tampan?" tanya Marlina panasaran. Firda merangkul sahabatnya, "Dia tidak kalah tampan dengan bos baru kita." "Oh? Benarkah? Jadi kapan?" tanya Marlina, nada suaranya terdengar tidak menolak. "Nanti malam. Kita ketemu di kafe dekat stasiun." Itu cukup. Rey tidak perlu mendengar sisanya. Dadanya terasa sesak aneh, dan dia langsung kembali ke ruangannya. Menjaga jarak? Omong kosong. Dia tidak akan membiarkan Marlina duduk berdua dengan lelaki asing entah dari mana. Tampan? Tidak ada lelaki yang lebih tampan darinya di dunia ini. Pukul enam sore, saat semua orang sudah bersiap pulang, Rey keluar dari ruangannya. "Semua yang ada di lantai ini, kumpul sebentar." Suaranya tegas. Para karyawan saling pandang, bingung. Tidak biasanya bos mereka memanggil seperti ini, bahkan di hari-hari penting sekalipun. "Malam ini kita makan bersama. Restoran BBQ di seberang gedung, aku yang traktir. Anggap saja apresiasi untuk kerja keras kalian." Sorak kecil langsung terdengar. Semua terlihat antusia kecuali Marlina, dia yang menatap Rey dengan sedikit bingung. "Tuan Rey, mendadak sekali," bisiknya ketika semua mulai berkemas. Rey menatapnya sekilas. "Acara dadakan itu kadang menyenangkan." "Tapi..." "Tidak ada tapi," potongnya cepat. "Kau ikut!" Rencana Marlina dan Firda gagal. Mereka tidak bisa pergi berkencan malam ini, karena acara dadakan sang bos. Restoran BBQ itu riuh dengan suara tawa dan aroma daging panggang. Rey duduk di ujung meja panjang, persis di seberang Marlina. Matanya sesekali melirik, memastikan perempuan itu tidak mencoba kabur lebih cepat. Firda, yang duduk di sebelah Marlina, tampak menahan senyum. "Wah, Tuan Rey jarang-jarang begini. Apa karena mau traktir, atau karena… ada alasan lain?" "Karena kerja keras kalian," jawab Rey singkat, menatap Firda sekilas dengan tatapan yang cukup membuatnya diam. Saat Marlina sibuk memanggang daging, Rey menyandarkan punggung, memperhatikan. Dia berpikir, lebih baik wanits itu menghabiskan malam ini di sini, bersama semua orang, daripada bersama lelaki asing yang mengaku mapan tapi tidak dia kenal sama sekali. Dan untuk alasan yang bahkan tidak mau dia akui pada dirinya sendiri. Rey merasa malam itu jauh lebih nyaman, dengan Marlina yang sibuk meniup daging panas di hadapannya. Daripada memikirkan dia tertawa dengan pria lain. Asap daging BBQ mulai menipis, tapi suasana makin ramai. Botol soju dan bir sudah memenuhi meja. Tawa membahana ketika salah satu staf pria, Edo, mengusulkan permainan. Truth and Dare. "Yang kalah suit harus pilih jawab jujur atau tantangan!" seru Edo, yang pipinya sudah memerah. Giliran demi giliran berjalan kacau. Ada yang disuruh menyanyi, ada yang disuruh menelpon mantan, dan ada yang menjawab pertanyaan memalukan. Hingga akhirnya, piring suit menunjuk ke arah Rey. "Wah… Tuan Rey!" seru salah satu staf wanita, setengah mabuk. Semua mata langsung tertuju padanya. "Truth atau Dare?" tanya Edo dengan nada menggoda. Rey melirik mereka sekilas, lalu berkata datar, "Truth." Edo menahan tawa, lalu berpikir sebentar. "Baiklah. pertanyaannya…” Dia sengaja menatap Marlina sekilas. "Apa Tuan Rey pernah berkencan?" Suara riuh langsung terdengar. Beberapa bersorak, yang lain menahan napas. Marlina ikut memandang, berusaha terlihat santai padahal jantungnya berdetak cepat. Jelas karena gosip itu. Rey terdiam sesaat, menatap meja. "Tidak pernah." Suaranya terdengar jelas, tanpa ragu, tapi membuat semua orang terdiam sejenak. "Serius, Tuan?" celetuk salah satu staf wanita. Rey mengangkat bahu. "Aku tidak pernah punya waktu, dan tidak tertarik dengan hal seperti itu." Marlina menatapnya diam-diam. Tidak tertarik? Entah kenapa, ucapan itu terasa janggal. Seolah bukan karena dia benar-benar tak mau, tapi karena ada sesuatu di masa lalu yang membuatnya seperti itu. Sama seperti dirinya. "Wah, berarti, Tuan Rey ini murni, ya?" goda Edo sambil tertawa. "Maksudku, belum pernah ekhem dengan wanita." Rey hanya meneguk minumannya dan tidak menjawab. Tapi dari matanya, Marlina bisa menangkap sekilas rasa tidak nyaman dan entah kenapa, itu membuatnya ingin tahu lebih banyak. Setelah giliran Rey yang mengejutkan semua orang, permainan kembali berlanjut. Botol soju makin kosong, tawa makin lepas. Kini suit menunjuk ke Marlina. "Truth atau Dare?" tanya Edo sambil tersenyum jahil. "Truth," jawab Marlina santai. Edo mengangguk dramatis, lalu menatapnya tajam seperti wartawan gosip. "Oke, pertanyaannya... apakah ada orang kau pikirkan akhir-akhir ini?" Suasana meja langsung berubah riuh. "Wah ini seru!" "Ayo jawab, Marlina!" "Jangan bilang gak ada, ya!" Marlina terdiam beberapa detik, menatap gelasnya yang setengah kosong. Senyumnya tipis, tapi matanya menyimpan sesuatu. "Hmm… ada," jawabnya pelan. Wajahnya memerah karena mabuk. "Siapa?!" desak Edo. Marlina menatap ke arah piring daging, bukan ke arah siapa pun. "Rahasia. Lagi pula kalian tidak akan mengenalnya." Nada suaranya ringan, tapi ada guratan makna yang tidak terucap. "Eh, gak boleh! Harus jawab jelas!" protes salah satu staf. Marlina hanya mengangkat bahu. "Kalau aku sebut namanya, suasana bisa berubah. Jadi… biar aku simpan sendiri." Dia lalu meminum sojunya, mengakhiri topik. Semua orang nampak kecewa. Sementara di seberang meja, Rey terlihat diam. Tangannya mengetuk perlahan meja, matanya sedikit menyipit. Siapa lelaki itu? Kenapa Marlina terlihat seperti menyembunyikan sesuatu yang penting? Rey meneguk minumannya, tapi rasa panas di dadanya bukan karena alkohol. Tapi, lelaki yang di bicarakan wanita itu. "Rahasia katanya? Setampan apa dia?" gumamnya pelan, penuh perasaan kesal.Suara ketukan di pintu terdengar keras di tengah keheningan malam. Marlina mengerjap pelan, pikirannya masih setengah kabur oleh alkohol. Dia menyeret langkah, membuka pintu dengan kepala yang sedikit berdenyut. Dan di sana, berdiri sosok yang paling tidak ingin xia lihat malam itu. Rey. Dengan kemeja putih yang sudah kusut, wajah serius yang diterangi cahaya lampu luar, dan tatapan tajam yang langsung menyapu ke arah dirinya. Rey terdiam sesaat. Pemandangan di hadapannya membuatnya mengembus napas panjang. Rambut Marlina berantakan, matanya sembab, aroma alkohol tajam menyengat udara, rumahnya penuh kekacauan. Dan yang lebih membuat matanya hampir melompat keluar adalah pemandangan syurgawi. Ketika beberapa kacing kemeja wanita itu terbuka cukup banyak, menunjukkan dadanya yang bulat terekspos.Lelaki tampan itu pura-pura terbatuk, lalu memalingkan pandangannya sebentar."Marlina…" ucapnya pelan namun tegas, "Apa yang terjadi padamu?" Marlina tersentak sadar. Dia buru-buru menund
Jalanan sore itu terasa tenang. Langit mulai berganti warna, jingga tipis menghiasi ufuk barat. Marlina melangkah pelan, membiarkan angin sore membelai rambutnya. Karena Firda memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya, kali ini dia pulang sendirian. Sesekali dia mendesah, mengingat wajah bosnya yang akhir-akhir ini terlalu sering mengganggunya. Mulai dari tatapan jahil penuh rahasia, sikapnya yang suka jaim tapi ternyata cerewet, sampai momen-momen memalukan yang tanpa sadar dia ciptakan sendiri. Bibirnya melengkung tipis. Dasar Tuan Rey menyebalkan. Namun senyum itu perlahan menghilang saat langkahnya terhenti. Di seberang jalan kecil yang dia lalui, seorang lelaki berdiri tegak. Tinggi, bahunya bidang, rambut cokelatnya rapi seolah baru dipangkas. Cahaya lampu jalan yang mulai menyala membuat wajahnya terlihat jelas. Lelaki itu tersenyum ramah, senyum yang pernah membuat Marlina jatuh berkali-kali. Hatinya mencelos. "David…" bisiknya tanpa sadar. Lelaki itu melangkah
Keesokan paginya, Marlina berjalan masuk ke kantor dengan langkah sedikit ragu. Baju rapi, rambut tertata, tapi hatinya berantakan seperti tisu bekas. Begitu melewati meja resepsionis, dia langsung menyadari Rey sudah berada di ruangannya. Duduk tegak dengan laptop terbuka, seolah tidak pernah ada hujan, mati lampu, atau ciuman di kamar semalam. Tenang sekali dia, pikirnya. Marlina menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pura-pura normal. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Tidak ada gunanya heboh sendiri. Toh, dia sendiri yang rugi. "Pagi," sapanya lirih saat melewati meja Rey untuk menyerahkan dokumen. Rey hanya menoleh sebentar, mengangguk singkat, tapi jemarinya berhenti mengetik selama satu detik penuh. Tatapan itu, terlalu singkat untuk dibilang istimewa, tapi cukup untuk membuat Marlina merasa seluruh tubuhnya panas. Dan saat itulah Firda datang. Dengan senyum licik seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru. "Heh kadal mesir! Wajahmu kenapa? Merah b
"Silahkan masuk." Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan sabun cuci piring memenuhi ruangan. Rey masuk, mengamati sekeliling dengan tatapan yang terlalu nyaman untuk orang yang katanya 'sekadar singgah'. Marlina membuka kulkas. "Mau minum apa?" "Terserah," jawabnya singkat. Saat Marlina menuang air, Rey mendekat tanpa suara, berdiri di belakangnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat Marlina sadar bahwa jarak mereka terlalu dekat. "Kau selalu sendirian di rumah sebesar ini?", tanyanya pelan. Marlina mencoba fokus ke gelas di tangannya. "Iya. Kenapa?" "Takutnya, ada orang masuk tanpa kau sadari. Mungkin laki-laki." Nada suaranya terdengar serius, tapi tatapannya jelas mengarah ke dirinya sendiri sebagai laki-laki yang tak di undang. Di tengah suasana kikuk itu, hujan mulai turun deras. Rey duduk di sofa, menyandarkan kepala santai, tapi sesekali melirik Marlina yang mondar-mandir membereskan gelas. Dia seperti menikmati pemandangan itu. Wanita ceroboh
"Heh, kadal mesir! Kau gak niat cerita apapun?" Firda menatap tajam sahabatnya. Jarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Hati wanita itu penuh kecurigaan, melihat tingkah kakunya di hadapan Rey. Marlina menghela napas panjang. "Karena memang gak ada yang perlu diceritain, Fir. Mobilnya mogok, kebetulan dekat rumahku. Ya udah." Firda tersenyum tipis, tatapannya penuh rasa penasaran. Yakin gak ada? pikirnya. Dia sudah cukup lama jadi sahabat Marlina untuk tahu, kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Baiklah," Firda berpura-pura menyerah, tapi dalam hati sudah menyusun rencana. Rencana untuk menjodohkan mereka. Sabtu pagi, halaman belakang gedung kantor ramai oleh pegawai yang bersiap latihan untuk event olahraga internal. Firda sudah datang lebih awal, memastikan semua rencana berjalan mulus. Begitu Rey muncul dengan kaos hitam polos dan celana training. Semua orang langsung melirik bos dingin itu jarang terlihat santai seperti ini. Marlina, yang baru datang
Sepanjang perjalanan menuju lokasi meeting, Rey beberapa kali meliriknya dari sudut mata. Setiap kali Marlina menyadarinya dan menoleh, Rey langsung mengalihkan pandangan pura-pura melihat ke luar jendela.Saat tiba di lobi hotel tempat pertemuan, Rey berjalan sedikit lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti dan berbalik."Pegang ini." Lelaki itu menyodorkan jasnya pada Marlina."Kenapa...""Karena kau terlihat kedinginan," potong Rey singkat, lalu melangkah lagi tanpa menoleh.Marlina hanya bisa memandang punggungnya sambil menahan senyum kecil. Dia tahu, alasan Rey mengajaknya hari ini mungkin hanyalah cari-cari cara untuk bisa dekat. Tapi lelaki itu terlalu pintar menyamarkannya dengan sikap dingin dan kata-kata singkat.Yang Marlina tidak tahu, di dalam kepala Rey hanya ada satu pikiran. Kalau dia tidak menemukannya di kantor hari ini, Rey bisa gila. Pertemuan dengan klien selesai lebih cepat dari perkiraan. Rey dan Marlina berjalan keluar hotel, tapi begitu pintu otomatis terbuka, su







