Masuk"Mm dimana aku..."
Pagi itu, Marlina menatap pantulan dirinya di cermin kamar hotel. Rambutnya berantakan, bibirnya masih terasa sedikit perih. Menatap sekeliking, hingga sebuah wajah tak asing muncul di hadapannya. "Oh my!" Menutup mulutnya rapat. "Tuan Rey?!" Dia mengerjapkan mata, mencoba menepis ingatan yang semalam berputar terlalu jelas di kepalanya. Sentuhan Rey. Tatapan matanya. Bibirnya yang panas dan tak memberi kesempatan untuk berpikir. Marlina menepuk kedua pipinya. "Lupakan. Itu hanya kesalahan saat mabuk. Dan tidak akan terulang lagi." Wanita itu menghela napas, lalu mencari-cari pakaiannya semalam. Dia juga mengemas semua barang-barangnya, lalu mengunci rapat semua rasa yang tersisa. Marlina pergi meninggalkan Rey di hotel, ketika masih tertidur lelap. Di tengah kepala yang masih terasa pusing, pikiran kacau, dan tubuh tidak nyaman. Marlina bersiap pergi ke kantor. Dia tidak ingin meninggalkan citra buruk, pada bos barunya itu. Marlina memghela nafas panjang. "Huffff... ayo semangat Marlina!" Tring! Begitu pintu lift terbuka di lantai kantor, jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat. Dia melihat Rey sudah ada di sana. Berdiri di depan pintu ruangannya, kemeja abu-abu dan jas hitamnya rapi seperti biasa. Wajahnya tenang. Terlalu tenang, seolah malam itu hanyalah hal remeh yang bahkan tak layak diingat. "Selamat pagi, Tuan Rey," sapa Marlina, suaranya datar, profesional. Padahal lututnya gemetar menahan takut. Tatapan Rey naik dari berkas di tangannya, langsung menembus matanya. "Pagi." Satu kata, dingin dan datar seperti biasa. Namun, ketika dia berjalan melewatinya, Marlina merasakan ujung jemari Rey menyentuh pelan punggung tangannya. Gerakan sekilas yang nyaris tak terlihat siapa pun. Degup jantungnya tak karuan. Mereka pura-pura sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tapi setiap kali Marlina menunduk mengetik, dia bisa merasakan tatapan Rey dari balik pintu kaca ruangannya. Di dalam hati, Marlina tahu satu hal pasti, mereka berdua sedang memainkan permainan berbahaya. Dan entah siapa yang akan kalah duluan, yang jelas bukan dirinya. Marlina kembali ke meja kerjanya, menatap layar monitor yang penuh angka dan laporan. Jemarinya mengetik, tapi pikirannya tidak benar-benar di sana. Setiap kali Rey lewat di luar ruangannya, setiap suara langkah sepatu kulitnya mendekat, kenangan semalam menyeruak tanpa izin. Ciuman itu… cara dia menatapku. Dia menggigit bibir, bahkan hantaman kasar yang mengguncang tubuhku. Benar-benar membuat candu. "Kau bahkan sedang memikirkannya," gumamnya pada diri sendiri, mencoba menepis gelombang panas yang naik di wajahnya. "Dia bos. Kau sekretaris. Itu tidak berarti apa-apa. Singkirkan pikiran kotormu, Marlina!" Wanita itu mengangkat tangannya ke udara dengan sedikit berteriak, orang-orang pun menatap ke arahnya. Dia merasa malu, buru-buru tertunduk. Namun, di dalam hati, Marlina tahu dia sangat gelisah. Pikirannya terus saja teringat akan hal itu. "Lelaki itu," gumamnya pelan. "Dingin, tapi diam-diam membakar." Matanya melirik ke arah pintu kaca. Rey sedang duduk di belakang meja kerjanya, fokus menandatangani dokumen, wajahnya dingin dan tak terbaca. Seolah tidak pernah ada malam itu. Marlina menghela napas panjang, kembali menunduk, pura-pura tidak peduli. Tapi semakin dia mencoba melupakannya, semakin jelas setiap detail yang terjadi. Sentuhan jemarinya, suara napasnya, bahkan aroma parfumnya yang samar-samar masih melekat di blazer yang dia kenakan malam itu. Marlina benci mengakuinya, dia menyukai sisi sang bos yang seperti itu. Hari itu berjalan seperti biasa, setidaknya dari luar. Rey tenggelam dalam tumpukan berkas, Marlina sibuk mengetik laporan. Tapi setiap kali tatapan mereka bertemu secara tak sengaja, Marlina merasa dadanya mengencang. Menjelang sore, Rey memanggilnya ke ruangannya. "Bawa laporan progres klien Arwana," katanya tanpa menatap. Suaranya seperti biasa, datar dan tegas. Marlina melangkah masuk, meletakkan map di mejanya. "Ini, Tuan." Saat dia hendak berbalik, suara Rey menghentikannya. "Marlina…" Wanita itu menoleh. "Ya?" Rey menghela napas pelan, menutup map itu. "Tentang… malam itu. Mungkin aku terlalu mabuk." Hening. Detak jam di dinding terdengar begitu keras. Marlina mencoba tersenyum tipis, mengendalikan perasaannya. "Tidak perlu dibahas, Tuan. Saya paham, itu hanya kesalahan." "Begitu?" ucap Rey datar. Nada suaranya terdengar tak perduli. Tatapannya dingin, meski ada percikan aneh di sana campuran penasaran dan keinginan. "Iya," jawab Marlina mantap, walau hatinya berdebar. "Kita berdua mabuk, tidak sadar. Tidak ada artinya." Rey bersandar di kursinya, menautkan jemari di depan wajah. "Kalau bagiku. Itu terasa seperti sesuatu yang cukup membekas." Jantung Marlina meloncat. "Ehh...Tuan?" Lelaki itu menatapnya lama, lalu berkata pelan, "Kau boleh berpura-pura lupa. Tapi tidak denganku." Marlina buru-buru mengalihkan pandangan, memegang gagang pintu. "Sebaiknya kita fokus pada pekerjaan." Tanpa menunggu jawaban, dia keluar, tapi langkahnya goyah. Karena di balik semua kata-kata canggung itu, Marlina tahu satu hal pasti. Rey mengingatnya, dan dia pun sama. Namun Marlina sadar siapa dirinya, dia tidak boleh terbawa perasaan hanya karena hal seperti itu. Sejak percakapan di ruangannya tempo hari, Rey seolah punya misi baru. Menguji kesabaran Marlina. Bukan dengan kata-kata manis atau rayuan, tapi lewat gangguan kecil yang membuat Marlina ingin melempar stapler ke arahnya. "Kesalahan katanya?" Tertawa kecil, namun dagunya mulai mengeras. "Awas saja kau, Marlina." Merasa tersinggung dengan kata-kata Marlina, Rey sangat kesal. Malam itu adalah malam paling berarti. Namun paginya dia terkejut, karena wanita itu sudah tak ada di ranjang. Meninggalkannya sendiri, seperti barang tak terpakai. Mulai sekarang, dia akan membalasnya. Pagi ini, saat Marlina sibuk mengetik, suara Rey terdengar dari interkom. "Marlina, ke ruangan saya." Wanita itu buru-buru berdiri, membawa buku catatan. Begitu sampai, Rey malah duduk santai sambil menatap layar komputer. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Marlina sopan. "Hmm... " Rey mengangguk pelan. "Tidak, hanya ingin memastikan kau tidak ketiduran di meja kerja." Marlina melotot. "Saya tidak pernah tidur di jam kerja!" Rey tersenyum tipis, senyum yang jarang sekali dia tunjukkan di depan karyawan lain. "Oh? Kalau begitu kembali saja. Tapi lewat sini, aku ingin mendengar apakah sepatumu bunyi ‘ketuk-ketuk’ atau tidak." Marlina memutar bola mata, tapi tetap berjalan melewati meja Rey. Dan benar saja, tatapan pria itu mengikuti setiap langkahnya. "Bos gila," gumamnya pelan. Rey menyipitkan matanya, "Apa katamu?". "Tidak ada, Tuan. saya permisi." Siang harinya, Marlina ceroboh menumpahkan kopi di meja rapat sebelum pertemuan dimulai. Beberapa karyawan panik mencari tisu, tapi Rey malah berdiri, mengambil sapu tangan hitam dari sakunya, lalu menyerahkannya pada Marlina. "Bersihkan pelan-pelan. Kau terlalu terburu-buru. Sama saat kau meninggalkanku di hotel," bisiknya dengan nada datar. "Ehh?!" Melotot "Terlalu terburu-buru karena dikejar waktu rapat, Tuan," Marlina membalas, sedikit jengkel. Rey menatapnya sebentar, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. "Ah, begitu? Atau… karena gugup berada di dekatku?" Marlina terbatuk, pura-pura sibuk mengelap meja. "Mungkin Tuan terlalu percaya diri." Rey tertawa kecil, dia tahu wajah wanita itu memerah. Dengan santai, matanya terus mengikuti kemanapun wanita itu bergerak. Marlina yang merasa gugup, terus melakukan kesalahan kecil, sampai terbentur meja. Rey menatapnya khawatir, namun sedikit mengejek. "Santailah sedikit, aku tidak akan memakanmu."Suara ketukan di pintu terdengar keras di tengah keheningan malam. Marlina mengerjap pelan, pikirannya masih setengah kabur oleh alkohol. Dia menyeret langkah, membuka pintu dengan kepala yang sedikit berdenyut. Dan di sana, berdiri sosok yang paling tidak ingin xia lihat malam itu. Rey. Dengan kemeja putih yang sudah kusut, wajah serius yang diterangi cahaya lampu luar, dan tatapan tajam yang langsung menyapu ke arah dirinya. Rey terdiam sesaat. Pemandangan di hadapannya membuatnya mengembus napas panjang. Rambut Marlina berantakan, matanya sembab, aroma alkohol tajam menyengat udara, rumahnya penuh kekacauan. Dan yang lebih membuat matanya hampir melompat keluar adalah pemandangan syurgawi. Ketika beberapa kacing kemeja wanita itu terbuka cukup banyak, menunjukkan dadanya yang bulat terekspos.Lelaki tampan itu pura-pura terbatuk, lalu memalingkan pandangannya sebentar."Marlina…" ucapnya pelan namun tegas, "Apa yang terjadi padamu?" Marlina tersentak sadar. Dia buru-buru menund
Jalanan sore itu terasa tenang. Langit mulai berganti warna, jingga tipis menghiasi ufuk barat. Marlina melangkah pelan, membiarkan angin sore membelai rambutnya. Karena Firda memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya, kali ini dia pulang sendirian. Sesekali dia mendesah, mengingat wajah bosnya yang akhir-akhir ini terlalu sering mengganggunya. Mulai dari tatapan jahil penuh rahasia, sikapnya yang suka jaim tapi ternyata cerewet, sampai momen-momen memalukan yang tanpa sadar dia ciptakan sendiri. Bibirnya melengkung tipis. Dasar Tuan Rey menyebalkan. Namun senyum itu perlahan menghilang saat langkahnya terhenti. Di seberang jalan kecil yang dia lalui, seorang lelaki berdiri tegak. Tinggi, bahunya bidang, rambut cokelatnya rapi seolah baru dipangkas. Cahaya lampu jalan yang mulai menyala membuat wajahnya terlihat jelas. Lelaki itu tersenyum ramah, senyum yang pernah membuat Marlina jatuh berkali-kali. Hatinya mencelos. "David…" bisiknya tanpa sadar. Lelaki itu melangkah
Keesokan paginya, Marlina berjalan masuk ke kantor dengan langkah sedikit ragu. Baju rapi, rambut tertata, tapi hatinya berantakan seperti tisu bekas. Begitu melewati meja resepsionis, dia langsung menyadari Rey sudah berada di ruangannya. Duduk tegak dengan laptop terbuka, seolah tidak pernah ada hujan, mati lampu, atau ciuman di kamar semalam. Tenang sekali dia, pikirnya. Marlina menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pura-pura normal. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Tidak ada gunanya heboh sendiri. Toh, dia sendiri yang rugi. "Pagi," sapanya lirih saat melewati meja Rey untuk menyerahkan dokumen. Rey hanya menoleh sebentar, mengangguk singkat, tapi jemarinya berhenti mengetik selama satu detik penuh. Tatapan itu, terlalu singkat untuk dibilang istimewa, tapi cukup untuk membuat Marlina merasa seluruh tubuhnya panas. Dan saat itulah Firda datang. Dengan senyum licik seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru. "Heh kadal mesir! Wajahmu kenapa? Merah b
"Silahkan masuk." Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan sabun cuci piring memenuhi ruangan. Rey masuk, mengamati sekeliling dengan tatapan yang terlalu nyaman untuk orang yang katanya 'sekadar singgah'. Marlina membuka kulkas. "Mau minum apa?" "Terserah," jawabnya singkat. Saat Marlina menuang air, Rey mendekat tanpa suara, berdiri di belakangnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat Marlina sadar bahwa jarak mereka terlalu dekat. "Kau selalu sendirian di rumah sebesar ini?", tanyanya pelan. Marlina mencoba fokus ke gelas di tangannya. "Iya. Kenapa?" "Takutnya, ada orang masuk tanpa kau sadari. Mungkin laki-laki." Nada suaranya terdengar serius, tapi tatapannya jelas mengarah ke dirinya sendiri sebagai laki-laki yang tak di undang. Di tengah suasana kikuk itu, hujan mulai turun deras. Rey duduk di sofa, menyandarkan kepala santai, tapi sesekali melirik Marlina yang mondar-mandir membereskan gelas. Dia seperti menikmati pemandangan itu. Wanita ceroboh
"Heh, kadal mesir! Kau gak niat cerita apapun?" Firda menatap tajam sahabatnya. Jarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Hati wanita itu penuh kecurigaan, melihat tingkah kakunya di hadapan Rey. Marlina menghela napas panjang. "Karena memang gak ada yang perlu diceritain, Fir. Mobilnya mogok, kebetulan dekat rumahku. Ya udah." Firda tersenyum tipis, tatapannya penuh rasa penasaran. Yakin gak ada? pikirnya. Dia sudah cukup lama jadi sahabat Marlina untuk tahu, kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Baiklah," Firda berpura-pura menyerah, tapi dalam hati sudah menyusun rencana. Rencana untuk menjodohkan mereka. Sabtu pagi, halaman belakang gedung kantor ramai oleh pegawai yang bersiap latihan untuk event olahraga internal. Firda sudah datang lebih awal, memastikan semua rencana berjalan mulus. Begitu Rey muncul dengan kaos hitam polos dan celana training. Semua orang langsung melirik bos dingin itu jarang terlihat santai seperti ini. Marlina, yang baru datang
Sepanjang perjalanan menuju lokasi meeting, Rey beberapa kali meliriknya dari sudut mata. Setiap kali Marlina menyadarinya dan menoleh, Rey langsung mengalihkan pandangan pura-pura melihat ke luar jendela.Saat tiba di lobi hotel tempat pertemuan, Rey berjalan sedikit lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti dan berbalik."Pegang ini." Lelaki itu menyodorkan jasnya pada Marlina."Kenapa...""Karena kau terlihat kedinginan," potong Rey singkat, lalu melangkah lagi tanpa menoleh.Marlina hanya bisa memandang punggungnya sambil menahan senyum kecil. Dia tahu, alasan Rey mengajaknya hari ini mungkin hanyalah cari-cari cara untuk bisa dekat. Tapi lelaki itu terlalu pintar menyamarkannya dengan sikap dingin dan kata-kata singkat.Yang Marlina tidak tahu, di dalam kepala Rey hanya ada satu pikiran. Kalau dia tidak menemukannya di kantor hari ini, Rey bisa gila. Pertemuan dengan klien selesai lebih cepat dari perkiraan. Rey dan Marlina berjalan keluar hotel, tapi begitu pintu otomatis terbuka, su







