Masuk![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)
Malam itu udara terasa berat, lampu-lampu redup memantulkan kilau indah di gelas kristal. Menyelubungi ruangan, dengan cahaya keemasan. Dentingan gelas, tawa para pegawai, terdengar jelas di telinga wanita bernama Marlina navasya. Hatinya terasa gelisah, karena seorang lelaki terus menatapnya dengan tajam dan menusuk.
"Kenapa dia menatapku seperti itu?" gumamnya pelan. Dia berusaha terlihat santai, sembari meneguk minuman di tangan kanannya. Lelaki itu duduk tegap, kemejanya sedikit terbuka di bagian atas, dasi hitamnya longgar, memberi celah tak biasa pada dirinya yang jarang terbuka. Rey Aldebaran, bos barunya. Dingin, berwibawa, dan selama tiga minggu sejak menjabat, tak pernah menatap Marlina lebih dari lima detik. Sampai malam ini. Rey meneguk minumannya, dengan santai namun berbahaya. Sesekali rahangnya mengeras, memperlihatkan jika dia bukan sosok yang tak pernah hilang kendali, kecuali malam ini. Alkohol telah metuntuhkan tembok tinggi diantara mereka. Marlina tahu, jika dia bertahan di sini terlalu lama, sesuatu akan terjadi. Dan benar saja, lelaki itu berjalan mendekat. Rey menatapnya tajam, dengan senyuman tipis di wajah dinginnya. "Ikut aku keluar, sekarang." Suaranya rendah, menusuk telinga. Bukan seperti ajakan, melainkan perintah. Tanpa sadar, wanita itu mengikutinya. Udara malam dingin menusuk kulit, namun tidak cukup untuk meredam panas yang mulai menguasai Marlina. Mereka berjalan tanpa bicara, langkah Rey lebar dan cepat, memaksanya setengah berlari. Begitu pintu kamar hotel itu tertutup, Rey berdiri membelakanginya. Bahu lebarnya naik-turun, napasnya berat. Marlina hanya bisa berdiri kaku, menunggu atau mungkin, berharap. Rey berbalik. Tatapannya bukan lagi tatapan bos yang dingin, melainkan lelaki yang dihadapkan pada sesuatu yang tak bisa dia tolak. Dia mendekat, setiap langkahnya terdengar jelas di telinga Marlina. "Kau tahu apa yang terjadi saat kau memandangku seperti itu, Marlina?" suaranya rendah, serak, bercampur alkohol. "A… apa?" suaranya nyaris berbisik. Rey meraih pinggangnya dengan satu tangan, menariknya begitu dekat hingga tubuh mereka bersentuhan penuh. Aroma maskulinnya bercampur wangi alkohol membuat Marlina pusing. Dia ingin menolak, namun jantungnya justru berdegup semakin kencang. Cengkeraman Rey menguat. Bibirnya hampir menyentuh telinga Marlina saat dia berbisik, "Aku tidak pernah menginginkan siapa pun, sampai malam ini." Detik berikutnya, bibir Rey menyapu bibir Marlina. Awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun berubah menjadi ciuman yang panas, dalam, dan nyaris putus asa. Marlina terhuyung, jemarinya secara otomatis meraih kerah kemeja Rey, merasakan otot tegang di balik kain tipis itu. Ciuman itu tak berhenti. Rey mendorongnya perlahan ke dinding, tubuhnya mengurung Marlina seolah dunia di luar sana tidak ada. Napas mereka memburu, suara helaan tercampur dengan gesekan kain di antara keduanya. "Tuan Rey…" bisik Marlina di sela napas terputus-putus. "Diam," jawabnya, suaranya dalam dan memerintah. "Malam ini… kau milikku." Alkohol, tatapan penuh hasrat, dan rasa yang tak pernah diutarakan. Semuanya meledak dalam ruang sempit itu. Dan Marlina tahu, sejak saat itu, tidak ada jalan kembali. Tangan Rey bergerak perlahan namun pasti, jemarinya menelusuri garis punggung Marlina, membuat tubuhnya menegang sekaligus bergetar. Setiap sentuhan terasa seperti percikan api yang membakar kulitnya dari dalam. Marlina mencoba berpikir jernih, mencoba mengingat bahwa lelaki ini adalah bosnya. Namun saat Rey merunduk, menatapnya dari jarak hanya beberapa inci, matanya yang gelap itu menelan semua logika. "Kau bahkan tidak sadar, kan… kalau setiap gerakanmu membuatku gila," gumam Rey, suaranya rendah dan nyaris seperti erangan tertahan. "Tapi..." Marlina menelan ludah, bibirnya terbuka untuk kembali bicara, tapi Rey menutupnya lagi dengan ciuman. Kali ini lebih dalam, lebih mendesak. Lidahnya menyapu lembut, lalu menuntut, membuat Marlina terperangkap dalam pusaran rasa yang tidak pernah dia bayangkan. Tangan Rey kini berada di sisi wajahnya, jemarinya menyapu rahang Marlina dengan lembut sebelum turun ke lehernya. Sentuhan itu membuat napasnya tak karuan. Marlina merasakan tubuh Rey begitu dekat, otot dadanya menekan dadanya sendiri, panas tubuh mereka berpadu, tidak ada celah. "Tuan… kita… tidak bisa…" suaranya bergetar, setengah terputus oleh ciuman yang tak memberinya waktu bernapas. "Kita sudah melewati batas, dan kau ingin berhenti sampai disini?" jawabnya tegas, seolah tak ada hal lain yang lebih pasti di dunia ini. Mereka bergeser tanpa sadar, tubuh Marlina terdorong ke sisi tempat tidur. Rey menunduk, menatapnya seperti menatap sesuatu yang paling dia inginkan. "Kau mabuk…" Marlina mencoba meraih alasan. "Aku memang mabuk, tapi aku bisa mengingat setiap detail tentangmu. Senyummu… suaramu… bahkan caramu menatapku saat kau pikir aku tidak melihat." Jemari Rey mengusap perlahan bibir Marlina, lalu dia kembali mendekat, kali ini tanpa terburu-buru. Ciuman itu dalam, basah, dan penuh obsesi. Rey seolah sedang menandai setiap inci dari dirinya, menyatakan jika wanita itu miliknya. Marlina merasa lututnya lemas, tubuhnya hampir jatuh ke ranjang jika Rey tidak menahannya. Rey tidak memberi Marlina kesempatan untuk menjauh. Dia langsung meraih pergelangan tangan wanita itu, menariknya dengan kekuatan yang tak bisa dibantah. Tubuh Marlina terhempas lembut ke atas ranjang. Punggungnya tenggelam di antara lipatan sprei yang dingin, bersama Rey di atasnya. Napas lelaki itu memburu, matanya memantulkan kilat dari luar jendela. "Katakan padaku kalau kau tidak menginginkannya, maka aku akan berhenti," ucapnya pelan, tapi nadanya seperti ancaman yang manis. Marlina terdiam. Dia ingin bicara, tapi bibir Rey sudah kembali menaklukkan bibirnya. Kali ini lebih dalam, lebih ganas, seolah ciuman itu adalah satu-satunya bahasa yang dia pahami. Jemari Rey menyusuri sisi wajahnya, lalu turun ke garis rahang, leher, hingga bahu, membakar setiap inci yang disentuhnya. Marlina menggenggam kemeja Rey, tidak tahu apakah itu untuk menariknya lebih dekat atau menolaknya. Tapi Rey menangkap gerakan itu sebagai undangan. Dia mempererat pelukan, tubuh mereka kini hanya dipisahkan oleh lapisan kain tipis. "Kau membuatku gila, Marlina…" desis Rey di telinganya. Napasnya panas, menggetarkan kulit lehernya. Marlina menggigit bibir, tubuhnya merespons dengan cara yang membuatnya takut namun menginginkan lebih. Rey mendorong sedikit, memberi ruang agar tatapan mereka bertemu. Matanya tajam, namun ada bara di dalamnya. Dia kembali merunduk, menelusuri leher Marlina dengan bibirnya. Ciuman ringan itu berubah menjadi gigitan halus yang membuat Marlina mengerang pelan tanpa sadar. Di luar, hujan semakin deras. Di dalam, dunia mereka menyempit hanya pada detak jantung yang berpacu, napas yang berpadu, dan sentuhan yang semakin berani. Rey menahan diri sekuat mungkin, namun tatapan Marlina yang setengah mabuk itu membuatnya kehilangan logika. Tanpa sadar dia melucuti pakaiannya sendiri, menunjukkan tubuh kekar yang indah, pada wanita itu. Marlina menatapnya, pipi panas, napas kacau. Rey tersenyum kecil, penuh percaya diri. Lengan kekarnya membelai mesra wajah mungil Marlina, lalu turun ke bahu, membuka perlahan dress hitam sederana yang menempel di tububnya. "Kau milikku malam ini..."Suara ketukan di pintu terdengar keras di tengah keheningan malam. Marlina mengerjap pelan, pikirannya masih setengah kabur oleh alkohol. Dia menyeret langkah, membuka pintu dengan kepala yang sedikit berdenyut. Dan di sana, berdiri sosok yang paling tidak ingin xia lihat malam itu. Rey. Dengan kemeja putih yang sudah kusut, wajah serius yang diterangi cahaya lampu luar, dan tatapan tajam yang langsung menyapu ke arah dirinya. Rey terdiam sesaat. Pemandangan di hadapannya membuatnya mengembus napas panjang. Rambut Marlina berantakan, matanya sembab, aroma alkohol tajam menyengat udara, rumahnya penuh kekacauan. Dan yang lebih membuat matanya hampir melompat keluar adalah pemandangan syurgawi. Ketika beberapa kacing kemeja wanita itu terbuka cukup banyak, menunjukkan dadanya yang bulat terekspos.Lelaki tampan itu pura-pura terbatuk, lalu memalingkan pandangannya sebentar."Marlina…" ucapnya pelan namun tegas, "Apa yang terjadi padamu?" Marlina tersentak sadar. Dia buru-buru menund
Jalanan sore itu terasa tenang. Langit mulai berganti warna, jingga tipis menghiasi ufuk barat. Marlina melangkah pelan, membiarkan angin sore membelai rambutnya. Karena Firda memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya, kali ini dia pulang sendirian. Sesekali dia mendesah, mengingat wajah bosnya yang akhir-akhir ini terlalu sering mengganggunya. Mulai dari tatapan jahil penuh rahasia, sikapnya yang suka jaim tapi ternyata cerewet, sampai momen-momen memalukan yang tanpa sadar dia ciptakan sendiri. Bibirnya melengkung tipis. Dasar Tuan Rey menyebalkan. Namun senyum itu perlahan menghilang saat langkahnya terhenti. Di seberang jalan kecil yang dia lalui, seorang lelaki berdiri tegak. Tinggi, bahunya bidang, rambut cokelatnya rapi seolah baru dipangkas. Cahaya lampu jalan yang mulai menyala membuat wajahnya terlihat jelas. Lelaki itu tersenyum ramah, senyum yang pernah membuat Marlina jatuh berkali-kali. Hatinya mencelos. "David…" bisiknya tanpa sadar. Lelaki itu melangkah
Keesokan paginya, Marlina berjalan masuk ke kantor dengan langkah sedikit ragu. Baju rapi, rambut tertata, tapi hatinya berantakan seperti tisu bekas. Begitu melewati meja resepsionis, dia langsung menyadari Rey sudah berada di ruangannya. Duduk tegak dengan laptop terbuka, seolah tidak pernah ada hujan, mati lampu, atau ciuman di kamar semalam. Tenang sekali dia, pikirnya. Marlina menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pura-pura normal. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Tidak ada gunanya heboh sendiri. Toh, dia sendiri yang rugi. "Pagi," sapanya lirih saat melewati meja Rey untuk menyerahkan dokumen. Rey hanya menoleh sebentar, mengangguk singkat, tapi jemarinya berhenti mengetik selama satu detik penuh. Tatapan itu, terlalu singkat untuk dibilang istimewa, tapi cukup untuk membuat Marlina merasa seluruh tubuhnya panas. Dan saat itulah Firda datang. Dengan senyum licik seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru. "Heh kadal mesir! Wajahmu kenapa? Merah b
"Silahkan masuk." Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan sabun cuci piring memenuhi ruangan. Rey masuk, mengamati sekeliling dengan tatapan yang terlalu nyaman untuk orang yang katanya 'sekadar singgah'. Marlina membuka kulkas. "Mau minum apa?" "Terserah," jawabnya singkat. Saat Marlina menuang air, Rey mendekat tanpa suara, berdiri di belakangnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat Marlina sadar bahwa jarak mereka terlalu dekat. "Kau selalu sendirian di rumah sebesar ini?", tanyanya pelan. Marlina mencoba fokus ke gelas di tangannya. "Iya. Kenapa?" "Takutnya, ada orang masuk tanpa kau sadari. Mungkin laki-laki." Nada suaranya terdengar serius, tapi tatapannya jelas mengarah ke dirinya sendiri sebagai laki-laki yang tak di undang. Di tengah suasana kikuk itu, hujan mulai turun deras. Rey duduk di sofa, menyandarkan kepala santai, tapi sesekali melirik Marlina yang mondar-mandir membereskan gelas. Dia seperti menikmati pemandangan itu. Wanita ceroboh
"Heh, kadal mesir! Kau gak niat cerita apapun?" Firda menatap tajam sahabatnya. Jarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Hati wanita itu penuh kecurigaan, melihat tingkah kakunya di hadapan Rey. Marlina menghela napas panjang. "Karena memang gak ada yang perlu diceritain, Fir. Mobilnya mogok, kebetulan dekat rumahku. Ya udah." Firda tersenyum tipis, tatapannya penuh rasa penasaran. Yakin gak ada? pikirnya. Dia sudah cukup lama jadi sahabat Marlina untuk tahu, kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Baiklah," Firda berpura-pura menyerah, tapi dalam hati sudah menyusun rencana. Rencana untuk menjodohkan mereka. Sabtu pagi, halaman belakang gedung kantor ramai oleh pegawai yang bersiap latihan untuk event olahraga internal. Firda sudah datang lebih awal, memastikan semua rencana berjalan mulus. Begitu Rey muncul dengan kaos hitam polos dan celana training. Semua orang langsung melirik bos dingin itu jarang terlihat santai seperti ini. Marlina, yang baru datang
Sepanjang perjalanan menuju lokasi meeting, Rey beberapa kali meliriknya dari sudut mata. Setiap kali Marlina menyadarinya dan menoleh, Rey langsung mengalihkan pandangan pura-pura melihat ke luar jendela.Saat tiba di lobi hotel tempat pertemuan, Rey berjalan sedikit lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti dan berbalik."Pegang ini." Lelaki itu menyodorkan jasnya pada Marlina."Kenapa...""Karena kau terlihat kedinginan," potong Rey singkat, lalu melangkah lagi tanpa menoleh.Marlina hanya bisa memandang punggungnya sambil menahan senyum kecil. Dia tahu, alasan Rey mengajaknya hari ini mungkin hanyalah cari-cari cara untuk bisa dekat. Tapi lelaki itu terlalu pintar menyamarkannya dengan sikap dingin dan kata-kata singkat.Yang Marlina tidak tahu, di dalam kepala Rey hanya ada satu pikiran. Kalau dia tidak menemukannya di kantor hari ini, Rey bisa gila. Pertemuan dengan klien selesai lebih cepat dari perkiraan. Rey dan Marlina berjalan keluar hotel, tapi begitu pintu otomatis terbuka, su







