MasukUdara malam menusuk kulit saat mereka keluar dari restoran. Satu per satu pegawai berpamitan, sebagian memilih naik taksi, sebagian diantar temannya.
Rey berjalan pelan ke arah mobilnya, lalu menoleh. "Marlina." Suara itu datar, tapi ada sesuatu yang memaksa Marlina berhenti. "Ya, Tuan Rey?" "Aku antar." Bukan pertanyaan, melainkan perintah. Marlina sempat ingin menolak, tapi tubuhnya sudah bergerak mengikuti langkah Rey. Akan sangat merepotkan jika dia menolak. Lelaki itu pasti berargumen dengan sangat pandai. Mereka masuk ke mobil, suasana langsung hening. Hanya suara AC yang terdengar. Beberapa menit pertama, Rey fokus menyetir. Tapi tatapannya beberapa kali bergeser ke arah Marlina. "Tadi," ucap Rey akhirnya, "Di permainan itu, kau bilang ada lelaki yang paling kau pikirkan.” Marlina melirik sekilas, lalu menatap ke luar jendela. "Iya. akhir-akhir ini, dia selalu di kepalaku. Mungkin ada satu lelaki, tapi lebih dari satu." "Siapa?" Nada suaranya terdengar santai, tapi genggaman tangannya di setir sedikit mengencang. Marlina tersenyum tipis. "Kalau kukatakan, suasana bisa berubah. Bukannya aku sudah bilang begitu?" Rey mengerutkan dahi. "Berubah seperti apa?" "Hm..." Marlina pura-pura berpikir, lalu memalingkan wajah lagi. "Entahlah. Mungkin jadi aneh. Mungkin malah rumit." Mobil kembali hening. Rey tidak bertanya lagi, tapi rahangnya mengeras. Di luar, lampu-lampu jalan berkelebatan, tapi di dalam mobil, atmosfernya padat, seolah ada banyak kata yang tidak diucapkan. Saat mobil berhenti di depan rumah Marlina, dia membuka sabuk pengamannya. Keluar menghirup udara segar yang menenangkan pikirannya. Matanya menatap lelaki itu. "Terima kasih, Tuan Rey." Suaranya lembut, mata mereka bertemu sesaat dan entah kenapa, tatapan itu terasa seperti tantangan yang sengaja dilemparkan Marlina. Rey hanya mengangguk. Dalam hatinya dia sudah memutuskan, akan mencari tahu siapa lelaki itu. Ketika Marlina baru saja masuk ke rumahnya, Rey tiba-tiba memanggil. "Marlina." Wanita itu menoleh dari dalam pintu. "Ada apa, Tuan Rey?" Rey berdiri di ambang pintu dengan wajah santai, meski matanya penuh hitungan. Memikirkan sebuah alasan, yang membuatnya bisa terdiam cukup lama. "Aku… minta air minum. Tadi di restoran terlalu banyak makan daging, tenggorokanku kering." Marlina sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, masuk sebentar." Rumah itu tidak besar, tapi hangat dan tertata rapi. Rey melangkah masuk, matanya bergerak cepat, merekam setiap detail warna sofa, aroma ruangan, tumpukan buku di meja kecil. Sementara Marlina ke dapur, Rey berjalan pelan, pura-pura melihat-lihat. Hingga matanya tertumbuk pada sebuah rak kecil di sudut ruang tamu. Di sana, di antara beberapa bingkai foto keluarga, ada satu foto Marlina berdiri berdekatan dengan seorang pria. Pria itu menatap kamera dengan senyum lebar, tangannya melingkari bahu Marlina. Mereka terlihat akrab—terlalu akrab. Rey mendekat, jemarinya hampir menyentuh kaca bingkai itu. Jantungnya berdegup tak beraturan, entah karena cemburu atau marah. "Ah, ini minumnya.” Suara Marlina membuatnya buru-buru menegakkan badan. Rey berbalik, menerima gelas itu dengan ekspresi datar, seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi Marlina sempat melihat arah tatapan Rey tadi, dan matanya sedikit membesar. "Jangan bilang Tuan lihat itu…" gumamnya, lebih seperti bicara pada diri sendiri. Rey mengangkat alis, pura-pura tidak mengerti. “Itu siapa?" Marlina hanya menghela napas, lalu memalingkan wajah. "Bukan urusan Tuan Rey." Nada suaranya datar, tapi tangannya yang memegang gelas sedikit bergetar. Rey tidak bertanya lagi, setidaknya malam itu. Tapi di dalam kepalanya, satu nama mulai dia pikirkan. Lelaki pengganggu, yang membuat Marlina berekspresi sedih. Keesokan harinya di kantor, Rey duduk di ruangannya dengan tatapan kosong menatap layar laptop. Laporan-laporan menumpuk, tapi pikirannya hanya kembali ke satu hal, foto kemarin. Foto Marlina bersama pria yang memegangnya dengan tatapan seolah dia miliknya. Dia memencet tombol interkom. "Johnny, masuk." Seorang pria berpenampilan rapi masuk. Johnny adalah asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Rey. Tipe orang yang bisa menjalankan perintah tanpa banyak bertanya. "Cari tahu tentang lelaki ini." Rey menunjukkan sebuah foto di ponselnya. Johnny menatap bingung, "Lelaki yang bersama sekertaris Tuan?" "Iya," jawab lelaki itu singat. "Baik, Tuan. Saya akan mencari tahu lelaki ini." Johnny pergi meninggalkan ruangan itu. Beberapa jam kemudian, dia kembali membawa kabar. Rey nampak antusias menyambut kedatangan lelaki itu. "David adalah mantan kekasih Marlina. Mereka berpacaran selama tiga tahun dan hampir menikah. Tapi pernikahan batal karena alasan pastinya tidak jelas, Firda tidak mau bicara terlalu banyak. Hanya bilang jtu masa sulit bagi Marlina." Rey menegakkan tubuhnya. "Hampir menikah?" "Ya, Tuan. Dan dari yang saya dengar, hubungan mereka cukup dalam. Mereka pernah tingg--" Rey memotong. "Cukup. Aku tidak ingin mendengarnya lebih jauh." Lelaki itu bersandar di kursinya, rahangnya mengeras. Marlina masih menyimpan foto itu, apa dia masih terus memikirkannya? Mereka bahkan pernah tinggal bersama. Rey tidak bisa membayangkan apa saja yang lelaki itu lakukan. Di rumah hangat, nyaman dan Marlina di dalamnya. Pikirannya kacau. Ada rasa gelisah yang menggerogoti, bercampur dengan marah pada hal yang bahkan bukan urusannya. Dia benci membayangkan Marlina tersenyum seperti di foto itu, tapi kepada lelaki lain. Di luar pintu, Marlina lewat sambil membawa tumpukan dokumen. Rey hanya menatap dari balik kaca, matanya mengikuti gerakan wanita itu. Dia tahu satu hal, David bukan hanya masa lalu. David adalah saingan, meski pria itu mungkin sudah lama pergi. Sejak mengetahui nama David, Rey seperti mendapat alasan baru untuk terus mengawasi Marlina. Tidak ada lagi jarak yang dulu dia jaga. Bahkan, Rey mulai mencari celah untuk berada di dekat wanita itu. Baik di dalam maupun di luar ruang kerja. Pagi itu, Marlina tengah menaruh setumpuk berkas di meja Rey. Saat dia membungkuk sedikit, Rey berdiri dari kursinya dan berjalan melewati belakangnya. Sengaja, bahunya menyentuh punggung Marlina. "Ah, maaf," ucapnya datar, tanpa sedikit pun ekspresi bersalah. Marlina hanya mengangguk cepat, tapi wajahnya terasa panas. Dia tahu Rey bukan tipe yang ceroboh. Sentuhan itu terlalu tepat sasaran untuk disebut kebetulan. Siang harinya, mereka sama-sama berada di pantry kantor. Marlina sedang meraih cangkir kopi di rak atas, tapi tubuhnya tak cukup tinggi. Tanpa bicara, Rey melangkah mendekat dari belakang, meraih cangkir itu dengan satu tangan. Tubuh kekarnya menempel pada punggung Marlina. "Ini... cangkirnya," bisiknya pelan, di telinga wanuta itu. Nenyodorkan cangkir dengan wajah netral. Marlina bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang kacau. Dan malamnya, saat mereka sama-sama lembur, Rey berdiri di sisi mejanya sambil memeriksa laporan. Jarang-jarang dia berada sedekat ini. Tiba-tiba jemarinya menyentuh punggung tangan Marlina, hanya sekilas, saat menunjuk sebuah bagian laporan. Tidak ada senyum, tidak ada tatapan genit, hanya wajah tenang khas Rey. Tapi Marlina tahu, itu tidak pernah kebetulan. Rey seakan menikmati membuatnya gugup, lalu bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Hal yang membuat Marlina makin bingung. Apakah ini hanya permainan, atau tanda dari sesuatu yang lebih berbahaya?Suara ketukan di pintu terdengar keras di tengah keheningan malam. Marlina mengerjap pelan, pikirannya masih setengah kabur oleh alkohol. Dia menyeret langkah, membuka pintu dengan kepala yang sedikit berdenyut. Dan di sana, berdiri sosok yang paling tidak ingin xia lihat malam itu. Rey. Dengan kemeja putih yang sudah kusut, wajah serius yang diterangi cahaya lampu luar, dan tatapan tajam yang langsung menyapu ke arah dirinya. Rey terdiam sesaat. Pemandangan di hadapannya membuatnya mengembus napas panjang. Rambut Marlina berantakan, matanya sembab, aroma alkohol tajam menyengat udara, rumahnya penuh kekacauan. Dan yang lebih membuat matanya hampir melompat keluar adalah pemandangan syurgawi. Ketika beberapa kacing kemeja wanita itu terbuka cukup banyak, menunjukkan dadanya yang bulat terekspos.Lelaki tampan itu pura-pura terbatuk, lalu memalingkan pandangannya sebentar."Marlina…" ucapnya pelan namun tegas, "Apa yang terjadi padamu?" Marlina tersentak sadar. Dia buru-buru menund
Jalanan sore itu terasa tenang. Langit mulai berganti warna, jingga tipis menghiasi ufuk barat. Marlina melangkah pelan, membiarkan angin sore membelai rambutnya. Karena Firda memilih menghabiskan waktu dengan kekasihnya, kali ini dia pulang sendirian. Sesekali dia mendesah, mengingat wajah bosnya yang akhir-akhir ini terlalu sering mengganggunya. Mulai dari tatapan jahil penuh rahasia, sikapnya yang suka jaim tapi ternyata cerewet, sampai momen-momen memalukan yang tanpa sadar dia ciptakan sendiri. Bibirnya melengkung tipis. Dasar Tuan Rey menyebalkan. Namun senyum itu perlahan menghilang saat langkahnya terhenti. Di seberang jalan kecil yang dia lalui, seorang lelaki berdiri tegak. Tinggi, bahunya bidang, rambut cokelatnya rapi seolah baru dipangkas. Cahaya lampu jalan yang mulai menyala membuat wajahnya terlihat jelas. Lelaki itu tersenyum ramah, senyum yang pernah membuat Marlina jatuh berkali-kali. Hatinya mencelos. "David…" bisiknya tanpa sadar. Lelaki itu melangkah
Keesokan paginya, Marlina berjalan masuk ke kantor dengan langkah sedikit ragu. Baju rapi, rambut tertata, tapi hatinya berantakan seperti tisu bekas. Begitu melewati meja resepsionis, dia langsung menyadari Rey sudah berada di ruangannya. Duduk tegak dengan laptop terbuka, seolah tidak pernah ada hujan, mati lampu, atau ciuman di kamar semalam. Tenang sekali dia, pikirnya. Marlina menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pura-pura normal. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Tidak ada gunanya heboh sendiri. Toh, dia sendiri yang rugi. "Pagi," sapanya lirih saat melewati meja Rey untuk menyerahkan dokumen. Rey hanya menoleh sebentar, mengangguk singkat, tapi jemarinya berhenti mengetik selama satu detik penuh. Tatapan itu, terlalu singkat untuk dibilang istimewa, tapi cukup untuk membuat Marlina merasa seluruh tubuhnya panas. Dan saat itulah Firda datang. Dengan senyum licik seperti kucing yang baru saja menemukan mainan baru. "Heh kadal mesir! Wajahmu kenapa? Merah b
"Silahkan masuk." Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan sabun cuci piring memenuhi ruangan. Rey masuk, mengamati sekeliling dengan tatapan yang terlalu nyaman untuk orang yang katanya 'sekadar singgah'. Marlina membuka kulkas. "Mau minum apa?" "Terserah," jawabnya singkat. Saat Marlina menuang air, Rey mendekat tanpa suara, berdiri di belakangnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat Marlina sadar bahwa jarak mereka terlalu dekat. "Kau selalu sendirian di rumah sebesar ini?", tanyanya pelan. Marlina mencoba fokus ke gelas di tangannya. "Iya. Kenapa?" "Takutnya, ada orang masuk tanpa kau sadari. Mungkin laki-laki." Nada suaranya terdengar serius, tapi tatapannya jelas mengarah ke dirinya sendiri sebagai laki-laki yang tak di undang. Di tengah suasana kikuk itu, hujan mulai turun deras. Rey duduk di sofa, menyandarkan kepala santai, tapi sesekali melirik Marlina yang mondar-mandir membereskan gelas. Dia seperti menikmati pemandangan itu. Wanita ceroboh
"Heh, kadal mesir! Kau gak niat cerita apapun?" Firda menatap tajam sahabatnya. Jarinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Hati wanita itu penuh kecurigaan, melihat tingkah kakunya di hadapan Rey. Marlina menghela napas panjang. "Karena memang gak ada yang perlu diceritain, Fir. Mobilnya mogok, kebetulan dekat rumahku. Ya udah." Firda tersenyum tipis, tatapannya penuh rasa penasaran. Yakin gak ada? pikirnya. Dia sudah cukup lama jadi sahabat Marlina untuk tahu, kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Baiklah," Firda berpura-pura menyerah, tapi dalam hati sudah menyusun rencana. Rencana untuk menjodohkan mereka. Sabtu pagi, halaman belakang gedung kantor ramai oleh pegawai yang bersiap latihan untuk event olahraga internal. Firda sudah datang lebih awal, memastikan semua rencana berjalan mulus. Begitu Rey muncul dengan kaos hitam polos dan celana training. Semua orang langsung melirik bos dingin itu jarang terlihat santai seperti ini. Marlina, yang baru datang
Sepanjang perjalanan menuju lokasi meeting, Rey beberapa kali meliriknya dari sudut mata. Setiap kali Marlina menyadarinya dan menoleh, Rey langsung mengalihkan pandangan pura-pura melihat ke luar jendela.Saat tiba di lobi hotel tempat pertemuan, Rey berjalan sedikit lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti dan berbalik."Pegang ini." Lelaki itu menyodorkan jasnya pada Marlina."Kenapa...""Karena kau terlihat kedinginan," potong Rey singkat, lalu melangkah lagi tanpa menoleh.Marlina hanya bisa memandang punggungnya sambil menahan senyum kecil. Dia tahu, alasan Rey mengajaknya hari ini mungkin hanyalah cari-cari cara untuk bisa dekat. Tapi lelaki itu terlalu pintar menyamarkannya dengan sikap dingin dan kata-kata singkat.Yang Marlina tidak tahu, di dalam kepala Rey hanya ada satu pikiran. Kalau dia tidak menemukannya di kantor hari ini, Rey bisa gila. Pertemuan dengan klien selesai lebih cepat dari perkiraan. Rey dan Marlina berjalan keluar hotel, tapi begitu pintu otomatis terbuka, su







