bab selanjutnya menyusul yahhh 🤭🤭
....Leah mengetahui dari Evan bahwa kedua orang tuanya datang ke Evermore tadi pagi untuk menemuinya.Mereka jelas ingin bicara dengan Evan, meminta maaf—dengan tidak tulus—untuk melindungi diri mereka sendiri sebelum publik kembali menggali kejahatan yang mereka lakukan puluhan tahun silam lalu menjadikannya bahan hujatan.Secara kasar, Tuan James dan Nyonya Emma ingin satu hal, reputasi mereka terlindungi.Leah benar-benar malu.Ia malu pada Evan yang senantiasa diam dan menahan segala kebencian itu di dalam hatinya. Padahal jika mau, atau jika yang memikul rasa sakit ini adalah orang lain selain dirinya... mereka pasti bisa mempermalukan orang tuanya sejak bertandang ke Evermore.Tapi prianya itu memilih tidak bersikap seperti itu. Yang menunjukkan seberapa tinggi kualitasnya, yang jauh berbeda dengan ayah dan ibunya.Di jam istirahat makan siang ini, Leah baru saja keluar dari sedan miliknya yang ia berhentikan di depan kantor firma hukum milik ayah dan ibunya.Leah memang tidak
‘Pantas saja rasanya perih,’ batin Kayden, telapaknya kembali meraba bagian belakang lehernya sebelum ia memandang pada Evan yang tatapannya menyelidik.“Apa?!” tanya Kayden kala seringai Evan muncul teramat jelas.“Sepertinya saya tahu siapa yang mencakarnya.”“Jangan sok tahu!” Kayden mengatakannya sembari memutar tubuhnya dan gegas memasuki ruang kerjanya.Kayden tahu bekas ‘cakaran’ yang dikatakan oleh Evan itu adalah kuku-kuku Liora yang tadi malam menusuk lapisan terluar kulitnya saat ia mendapatkan kenikmatan batin sewaktu mereka bercinta.Ingatan tentang semalam yang terasa sangat manis di sofa ruang ganti seperti membayanginya kembali. Suara erangan Liora terngiang di indera pendengarnya, manis dan sensual.'Ah ... hmmh ....'Seperti tak akan bosan didengar oleh Kayden.Ia sangat suka saat melihat pipi merona Liora setiap kali istrinya itu menuju klimaks. Ia terlihat cantik saat menggigit bibir atau memanggil Kayden.Biasanya tidak meninggalkan bekas seperti ini. Tapi mungkin
.... Lebih dari pukul delapan pagi saat Evan yang mengemudikan sedan mewah milik Kayden melihat tuannya itu mengakhiri sebuah panggilan. "Rowan baru saja bilang padaku kalau ada sepertinya dia sudah menemukan di mana keberadaan penipu ayah dan ibumu, Evan," kata Kayden yang duduk di kursi penumpang bagian belakang. Mata mereka bersirobok selama beberapa detik di kaca spion sebelum Evan bertanya, "Di mana dia, Tuan Kayden?" "Sedang dekat dengan salah satu pemilik tempat golf yang rencananya akan membuka resort di West Seattle," jawabnya. "Aku rasa kamu tahu siapa pemilik tempat golf yang terkenal di kota ini." Evan mengangguk, membenarkannya. "Watson Lim, maksud Anda?" "Ya." "Selama ini kabar menyebar di antara para pebisnis kalau dia banyak menjebak para pejabat untuk main golf di tempatnya dan bermalam dengan wanita-wanita suruhannya, Watson mengancam akan menyebarkan video mereka kalau mereka tidak mau memberi uang atau izin pendirian bangunan," tutur Evan. "Jadi para pejabat
Kayden duduk dengan punggung yang terasa tegang di samping Liora. Matanya yang beriris gelap tampak berbinar diterpa cahaya lampu yang menerangi ruang ganti. Telunjuknya yang semula tampak kaku seperti sebatang kayu perlahan turun, menjauh dari pipi dan rahang Liora yang tengah diobatinya. Melihat ekspresinya yang lucu membuat Liora bertanya, "Kenapa, Dad?" "Tiba-tiba saja?" Kayden menutup lebih dulu jar berisi salep yang ia bawa, meletakkannya di atas meja sebelum kembali memandang Liora. "Kenapa memangnya? Bukankah kamu sudah biasa aku cium seperti itu?" Bukannya berhenti, Liora meraih wajah Kayden dengan kedua tangannya. Ia kembali mendekat, mendaratkan kecupan di bibirnya, sekali lagi. Sepasang netra Kayden yang masih terlihat kebingungan ikut terpejam seperti yang Liora lakukan. Akhirnya ia membalas ciuman manis itu dengan lumatan yang lembut. Ia merengkuh pinggang Liora, menariknya lebih dekat sehingga gadisnya itu berpindah ke pangkuannya. "Memang sudah biasa berciuman
Di dalam rumah besar Kayden, setelah perjamuan makan malam itu usai, Nyonya Rose pulang dengan diantar oleh sopir Kayden. Awalnya, beliau bertanya-tanya mengapa Adrian meninggalkannya dengan pulang terlebih dahulu. Tapi dengan satu jawaban ‘Aku yang mengusirnya’ yang dikatakan oleh Kayden, Nyonya Rose berhenti memprotes. Saat semua orang sudah membubarkan diri dan Liora masuk ke dalam kamarnya lebih dulu, ia rasanya sedikit ... trauma sewaktu berganti pakaian. Ia berulang kali memastikan bahwa pria yang tengah berada di dalam satu ruang ganti bersamanya itu benarlah Kayden, prianya yang peka dan tahu tentang dirinya bahkan sebelum Liora bicara. “Duduk, Sayang,” pinta Kayden saat Liora berdiri di depan lemari pakaian, hendak memilih gaun tidurnya setelah kembali dari kamar mandi. “Aku masih mau ambil baju,” jawabnya. “Aku tahu. Duduklah, biar aku yang ambilkan. Kamu lelah, ‘kan?” Liora hanya mengangguk samar. Ia menarik mundur kakinya dan memutuskan untuk duduk di sofa. Membiark
Adrian membawa gadis itu meninggalkan The Quiet Flame setelah ia membayar lebih pada pengelola tempat agar ia bisa lebih cepat pergi dari sana. Namanya Cherry, nama yang terdengar manis dan lugu jika dibandingkan dengan penampilannya beberapa saat yang lalu di atas meja bar. Di sebuah hotel yang tidak jauh dari klub malam tersebut, mereka masuk. Adrian sempat membawanya menepi untuk membelikannya sebuah gaun berwarna biru gelap seperti yang tadi dikenakan oleh Liora. Di dalam kamar yang mereka pesan, Cherry melemparkan tasnya ke atas meja. Ia melingkarkan kedua tangannya ke leher Adrian sembari berbisik penuh godaan. “Mana pernah terpikir kalau aku akan bermalam dengan si tampan Adrian Davis,” ucapnya. Cherry berjinjit, mengimbangi tinggi Adrian dan menggapai bibirnya. Lebih agresif dari kebiasaan para pria. Ciuman mereka berubah dari kecupan menjadi panas. Bibir mereka saling memagut, saling menuntut. Meski tubuh Adrian masih merasakan nyeri pada beberapa titik, hasratnya yang