Zia terdiam sesaat. Bukan karena ajakan lelaki di hadapannya, tetapi tatapan Sean yang terlihat berat. Berbeda dengan sebelumnya, Sean selalu menatapnya penuh semangat. “Tapi, aku belum mandi, Tuan,” jawab Zia setenang mungkin. “Hanya sebentar saja!” ucap Sean diakhiri senyuman tipisnya dan tetap tatapannya terlihat berat. Wajah Zia terlihat berpikir sejenak, kemudian ia mengangguk dan melebarkan pintu kamarnya. Sean pun langsung berjalan memasuki kamarnya. Lantas Zia mengekorinya dan duduk di kursi hadapan Sean. Hingga lima detik setelah mereka duduk saling berhadapan dan menciptakan suasana hening. Zia hanya bisa menunduk bingung. Ya, baru ini ia melihat Sean terlihat berat. Sean berdeham pelan, tampaknya ia menyadari keheningan tersebut karena dirinya. “Ini foto-foto ayahmu sebelum menjalani operasi,” ucap Sean seraya menyerahkan beberapa lembar kertas foto. Zia kembali terdiam. Benar, ia hampir melupakan ayahnya. Langsung saja ia meraih lembar foto pemberian Sean. Senyuman Z
“Berarti aku tidak perlu membayar uang yang aku curi dulu, ‘kan?” tanya Zia dengan nada ragu. Sean tersentak. Sepolos itukah gadis kecilnya? Bukankah seharusnya Zia terharu dengan pengakuan cintanya. Sayangnya, Zia memang sedang menatapnya polos dan cemas. “A—aku memang berencana mengembalikan uang itu, tapi tidak sekarang. Masalahnya, sekarang aku tidak punya uang sebanyak itu,” sambung Zia sedikit gagap. “Aku kan belum gajian dari hasil menulis biografinya Paman. Tapi kalau udah gajian, aku pasti balikin kok,” Benar, Zia lebih fokus dengan pembahasan uang yang ia curi daripada pengakuan cintanya Sean. Lelaki di hadapannya tertawa lepas kembali. Ia bisa menduga kalau gadis kecilnya belum pernah menjalin kasih dengan seorang laki-laki. Bukankah itu sangat menguntungkan untuknya. Tentu saja Zia memasang wajah bingung. Kali ini, tawa Sean tak selama sebelumnya. Ia lebih cepat mengendalikan dirinya. “Tidak perlu, Gadis Kecil,” katanya setelah Sean benar-benar bisa mengendalikan tawan
“Jadi, kamu melihat pak Sadin di rumah bordil? Untuk apa?” tanya nyonya Felicia seraya membulatkan kedua bola matanya.Sedetik kemudian kedua bola matanya berbinar-binar dan senyumannya mengembang sempurna. Niko, anaknya yang sedang berbincang dengannya menaikkan satu alisnya dan diikuti senyuman tipis nan licik. Nyonya Felicia tertawa girang.“Kamu harus mencari tahu tentang hal itu! Mama yakin, itu akan jadi kelemahan Sean,” titah nyonya Felicia dengan nada penuh semangat.“Tenang saja, Mama! Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” jawab Niko lugas. Keduanya lantas menyeruput teh hangat dari cangkir mereka dengan wajah ceria. Senyuman mereka terus mengembang sempurna, menggambarkan nuansa cerah sore di teras rumah megahnya tuan Alan. Ya, mereka selalu pantang menyerah mencari kelemahan Sean.“Mama, aku penasaran dengan gadis yang ada di mansion Sean. Apa kata ayah?” tanya Niko seraya menatap penasaran pada nyonya Felicia.Wanita yang menjadi ibunya menurunkan cangkir teh miliknya dan
“Maksudmu, pria tua ini memesan sebuah kamar di ruang VVIP?” tanya Niko meyakinkan pendengarannya seraya menunjuk potret pak Sadin. “Apa suaraku tidak cukup jelas?” sahut Resa seraya memajukan bibirnya. Wajah Niko langsung berubah panik. “Mm ... bukan begitu, Mami. Tolong jangan salah paham, aku menghargai informasimu,” ucapnya seraya merogoh saku celananya. Niko mengeluarkan sebuah amplop coklat panjang dan memberikannya pada Resa. Tentu saja bibir Resa langsung mengukir senyuman lebar. Tanpa permisi, ia langsung mengintip isi amplop pemberian pemuda di hadapannya. “Hm, Mami, apakah ada kamar kosong lain di ruang VVIP? Khususnya di samping ruangan itu. Hanya ruang kosong saja!” pinta Niko dengan tatapan antusias. Resa memasang wajah berpikir. Kemudian ia memasang wajah ragu. “Bisa saja, tapi jika Tuan memesannya secara mendadak harganya bisa naik mendadak,” katanya seraya memasang wajah tak bersalah. “Jangan pedulikan itu!” sahut Niko melebarkan senyumannya. Lelaki di hadapan R
Sementara Niko yang sudah berada di dalam kamar tersebut langsung mencumbu gadis pemberian Resa tanpa ampun. Ia melumat rakus bibir gadis itu. Tak peduli si gadis kesulitan bernapas. “Sayang sekali jika gadis sepertimu dianggurin,” ucapnya seraya mendorong kasar gadis tersebut. “Ah, Tuan nakal sekali,” sahut si gadis yang menyukai perlakuan Niko. Ya, gadis itu tak merasa risih dengan perlakuan Niko yang sedikit kasar. Bahkan saat ia baru saja mencoba bangkut untuk meraih tubuh Niko, lelaki itu mendorongnya kasar lagi ke atas kasur. Tampaknya gadis itu pantang menyerah pada Niko, ia terus bangkit hingga berhasil membawa tubuh lelaki itu tersungkur di atas kasur. Tanpa ampun gadis itu langsung menimpa tubuh Niko yang sudah terlentang di ranjang empuk. “Aku akan memuaskanmu, Tuan,” seru si gadis itu dengan nada nakal. Niko tak berdaya. Bukan tak berdaya, ia tampaknya menikmati perlakuan gadis nakal di atas tubuhnya. Ia tak menolak gadis itu menyusup pada tubuhnya dan melucuti satu p
Niko mendorong tubuh Resa kasar, mengalirkan rasa kesalnya sebelum ia memutar tubuhnya menatap tajam pada sosok Sean yang berdiri tak jauh darinya. Benar, Sean berada di sana menemui salah satu pengunjung yang keluar dari pintu belakang bordil tersebut. indera penglihatannya berselancar mengikuti gerak tubuh Sean.“Frans?” gumannya lagi.Langkah kaki Niko bergerak cepat mengikuti keberadaan Sean. Tubuhnya terasa terbakar penuh emosi. Ia merasa dipermainkan dan terjebak dalam permainan saudara tirinya.Benar, itu adalah rencana Sean. Setelah Niko keluar dari ruang kerjanya, ia tengah menyelidiki perkembangan hotel yang dikelola oleh saudara tirinya. Ia menerima keluhan beberapa koleganya yang menanam saham pada hotel tersebut.Sean tak pernah membiarkan seluruh perusahaan ayahnya lepas dari kendalinya. Semuanya berada di bawah tanggung jawabnya. Hingga ia tertuju pada salah satu koleganya dan percakapan pak Sadin saat memberikan laporan tentang Resa.Tangan Sean langsung meraih laci me
“Terima kasih, Tuan Sean. Saya tidak akan melupakan kebaikanmu,” ucap seorang lelaki paruh baya yang duduk di kursi belakang kemudi pada Sean.“Sama-sama, Tuan Samuel. Saya harap kita akan terus saling bekerja sama dan saling membantu,” jawab Sean sesantun mungkin.“Tentu saja, Tuan Sean. Saya menghargai usahamu!”Lelaki tersebut yang bernama Samuel, melirik sebentar ke arah kursi depan samping kemudi. Di sana Frans, pemuda yang disambut Sean saat keluar dari rumah bordil. Pemuda itu adalah anak lelaki Samuel.Potret pemuda itulah yang membuat senyuman Sean mengembang sempurna saat siang tadi. Dia adalah anak dari salah satu pemegang saham yang berencana menarik sahamnya dari hotel yang dikelola oleh Niko. Sean menggunakan Frans yang s
Sudah lewat tengah malam, kedua bola Zia masih enggan tertutup. Ia masih gelisah di atas ranjangnya dengan pikiran tak karuan. Kemudian ia langsung bangkit dari baringnya dan meraih ponselnya.“Apa yang sedang kamu rencanakan, Paman? Sore kamu memberikan pengakuan cinta, tetapi langsung menghilang. Seharusnya ‘kan malam ini kita sedang berdua bermesraan kek, atau apa kek,” gerutu gadis itu kesal. “Bahkan kamu pergi saja tanpa ngasih tahu,”Wajah Zia terlihat memerah menahan emosinya. Tangannya lalu bergulir pada layar ponselnya, mencari kontak nama Sean. Ia tak bisa menahan rasa penasarannya.Ya, sejujurnya Zia masih belum sepenuhnya percaya kalau Sean mengatakan menyukainya dan menunggunya. Ia hanya ingin memastikan kalau pamannya tidak mempermainkan dirinya. Jari telunjuknya langsung menekan tombol panggil.“Aku tidak peduli kamu sudah tidur atau belum, di kamar kamu tidak ada,” ocehnya pada layar ponselnya yang sedang melakukan panggilan telepon.Kedua bola matanya membulat sempurn