Cermin besar di kamar rehabilitasi itu memantulkan sosok Leonardo yang begitu jelas.
Tubuhnya sedikit membungkuk, tangannya bergetar mencengkeram alat bantu berdiri yang ada di depannya. Wajahnya pucat, napasnya berat. Tapi tatapannya sangat tajam. Menyala. Kakinya pun gemetar hebat. Otot-ototnya lemah, tidak terbiasa menopang beban tubuh karena bertahun-tahun terlalu lama membiasakan diri untuk duduk. Setiap kali ia mencoba berdiri tegak, lututnya seperti hendak menyerah begitu saja. Tapi dia tidak ingin jatuh. Tidak untuk kali ini. “Kau hanya trauma… bukan cacat, Leonardo.” Kalimat Wilson kembali terngiang di kepalanya. Dan meskipun itu menyakitkan, itulah satu-satunya kalimat yang berhasil mengguncang dunia batinnya. Semua memang adalah benar. Dengan rahangnya yang mengeras dan dahi yang berkeringat, Leonardo mulai menggertakkan gigi. Pelan-pelaPagi itu, sinar matahari menyinari kaca besar gedung kantor tempat Karina bekerja. Dengan setelan formal yang elegan namun tetap ringan, Karina melangkah masuk ke kantor dengan senyum cerah dan langkah penuh rasa percaya diri. Para staf yang biasa melihat Karina dengan wajah tegang dan dingin, belakangan ini takjub dengan perubahan suasananya. Wajah Karina lebih segar, sorot matanya hidup, dan senyum itu tidak bisa disembunyikan. “Pagi, Manajer Karina!” sapa salah satu stafnya. Karina menoleh dan tersenyum ramah. “Pagi! Jangan lupa briefing jam sepuluh nanti, ya!” Ia menuju ruang kerjanya, membuka laptop, dan langsung tenggelam dalam pekerjaannya. Tangannya lincah mengetik, pandangannya tajam membaca laporan, seolah seluruh energinya telah kembali penuh. Salah satu rekan kerja sempat berbisik pelan pada rekannya, “Nona Karina sekarang ceria sekali, ya? Dulu seram sekali, apalagi saat dia sedang marah.” “Mungkin dia sedang jatuh cinta?” bisik rekannya dengan geli. Dan m
Siang itu, suasana kafe terlihat tenang. Juliet sedang duduk di meja sudut, memeriksa laporan pemesanan dan logistik.m mingguan. Tidak lama, pintu masuk terbuka. Seorang pria muda melangkah masuk, mengenakan setelan santai tapi juga terlihat sangat rapi. Dia menoleh ke sekeliling… hingga pandangannya jatuh pada Juliet. Juliet baru sadar ketika Daren sudah berdiri tidak jauh dari mejanya. “Selamat siang, Nona Juliet,” sapa Daren dengan senyum yang terlihat sopan. Juliet terkejut sebentar, lalu segera membalas ramah, “Oh… selamat siang. Tuan Daren, kan? Anak dari Pak Andrew?” Daren mengangguk, lalu duduk setelah dipersilakan. “Saya ke sini bukan cuma karena penasaran dengan rasa dari kopi di kafe ini… tapi juga karena ingin menyampaikan rasa terima kasih langsung. Waktu itu, saya terlalu tergesa-gesa di rumah sakit.” Juliet tersenyum tipis. “Saya hanya melakukan apa yang semestinya dilakukan, Tuan. Untung semua berj
Suasana siang itu di kafe cukup ramai. Beberapa pelanggan menikmati makan siang sambil bercengkerama bersama teman, keluarga, atau padangan sekalipun. Juliet berdiri di dekat meja bar, mengecek laporan stok sambil sesekali memperhatikan kinerja staf cafe. Hari ini dia memang sengaja datang untuk mengawasi saja, bukan untuk ikut turun langsung seperti biasanya. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dari salah satu meja dekat jendela. “Tuan! Tuan?! Tolong...!” Seorang pelanggan pria paruh baya yang tengah makan siang tampak terhuyung lalu ambruk ke samping. Beberapa pelanggan langsung berdiri, panik. Salah satu pelayan berlari memanggil Juliet dengan terburu-buru. “Kak Juliet! Ada yang pingsan! Sepertinya serangan jantung!” Tanpa pikir panjang, Juliet segera berlari ke meja tersebut. Dia melihat pria itu sudah kesulitan bernapas, dadanya naik turun dengan sangat cepat, dan wajahnya mul
Keesokan harinya, saat Karina baru saja tiba di apartemennya sepulang kantor, ponselnya berdering. Nomor yang tidak dikenalnya muncul di layar ponselnya. Karina sempat ragu, tetapi ia akhirnya menjawab. “Karina di sini.” Suara seorang wanita terdengar dari seberang, tenang tapi terdengar tajam. “Ini Ibunya Reiner.” Karina langsung terdiam. Detak jantungnya melambat. Ia berdiri di ambang pintu ruang tamunya, bingung harus menjawab apa dan bagaimana memulai percakapan. “Aku ingin bicara sebentar, itu jika kau tidak keberatan,” lanjut wanita itu. “Iya. Silakan, Bibi...” ucap Karina pelan, sedikit ia merasa gugup. Suara di seberang justru terdengar lebih tegas. Padahal Karina makin gugup sekarang. “Aku mohon padamu dengan sangat, jangan pengaruhi Reiner lagi. Anak itu makin keras kepala, dan kau pas
Reiner membuka pintu rumah orang tuanya dengan napas panjang yang terasa berat. Langkahnya mantap, tapi sorot matanya menyimpan ketegangan. Begitu memasuki ruang tamu, kedua orang tuanya sudah menunggu. Ibunya duduk anggun dengan secangkir teh di tangannya, sementara ayahnya berdiri di dekat rak buku, menyilangkan tangan dengan ekspresi wajah datar. Tanpa mau bertele-tele, Reiner langsung berkata, “Ayah, Ibu, maaf... Aku tidak bisa melanjutkan rencana perjodohan ini. Aku akan menikah dengan Karina.” Cangkir teh hampir jatuh dari tangan sang ibu. Ayahnya melangkah maju dengan sorot mata yang tajam. “Reiner! Mau berapa kali kau akan mempermalukan keluarga ini, hah?!” “Aku tidak berniat untuk mempermalukan siapa-siapa,” jawab Reiner tenang, meski nadanya tegas. “Aku hanya memilih sendiri jalan hidupku. Maaf, aku tahu ayah dan ibu kecewa lagi untuk keputusanku ini. Tapi, aku janji, kali in
Aura menatap layar ponselnya dengan frustrasi. Sudah lebih dari dua jam dia menggalinya, mengunjungi berbagai platform media sosial, membaca ulang artikel-artikel lama, dan bahkan mencoba masuk ke forum-forum gosip yang biasanya menyebarkan rumor yang paling aneh sekalipun. Tapi hasilnya tetap saja nihil. Setiap pencarian tentang Juliet selalu hanya menampilkan sisi profesional, bahkan sekarang ini yang baru adalah tentang kafe, testimoni pelanggan, dan pujian atas manajemen bisnisnya. Tidak ada satu pun yang menyentuh ranah pribadinya. Tidak ada informasi tentang masa kecilnya, keluarganya, bahkan foto-foto kehidupan sehari-hari pun sangat minim di forum pencarian. “Kenapa bisa sebersih ini sih kehidupan wanita itu...” desis Aura sambil menyipitkan mata. Ia lalu mencoba jalur lain. Karina dengan nama belakang yang sama. Tapi hasilnya juga tidak ada. Yang muncul hanya berita-berita lama tentang dunia fashion, bisnis, dan itupun