Bab 5
Seorang wanita memakai busana kebaya, tampak anggun. Di sebelahnya berdirj seorang pria. Lelaki dengan senyum yang bahkan hanya beberapa kali kulihat. Pak Andra, tersenyum.
Aku tak percaya, foto pernikahan kami menjadi wallpapernya. Aku pun belum pernah melihat album pernikahan kami karena belum jadi. Insya Allah, besok baru diantarkan.
Tapi, dari mana Pak Andra dapat ini? Di sana memang aku tak melihat ke layar, aku tengah menatap ke arah lain.
Perlahan, kurasa pipiku memanas. Pak Andra, ternyata bisa sweet juga. Ah, Ibu, putrimu memang sedang jatuh cinta!
-
Jarum jam di dinding sudah pukul satu siang. Sambil menunggu Keysha bangun, aku berjalan menuju kamar belakang. Berniat membantu Desi dan Mbok Minah yang biasanya tengah menyetrika di jam segini.
"Enak ya, Mbok, jadi Nining. Aku juga mau, lah, kenapa harus dia, coba?"
Aku berhenti saat mendengar suara Desi berbicara pada Mbok Minah.
"Hust! Jangan ngawur, kamu. Coba kamu pikir lagi. Si Nining itu banyak kelebihannya. Dia juga santun, nggak kaya kamu yang gubras-gabres gini."
"Hih, Mbok selalu aja belain dia."
"Sudahlah, Des, mungkin memang rezekinya Nining sedang bagus. Semoga kamu juga bisa mendapatkan suami yang lebih dari Pak Andra, terutama lebih sayang sama kamu."
"Aamiin," ucap Desi. Diam-diam akupun meng-aamiinkan.
"Mbok yakin, mungkin Nining pun terpaksa menerima lamaran Nyonya, karena tak enak dan juga demi Keysha. Kamu tahu sendiri, mereka itu kaya perangko," lanjut perempuan berusia empat puluh tiga tahun itu.
Aku mengangguk, meskipun mereka tak dapat melihatnya. Mereka pasti mengira hidupku enak karena dalam waktu dua minggu ini bisa menjadi istri dari seorang pengusaha. Tapi, mereka tak tahu bagaimana dalam hatiku. Tidur di lantai, dicuekin.
Eh, tapi, tunggu, aku masih belum mengerti dengan peristiwa tadi pagi, kenapa aku bisa naik ke atas ranjang?
Jika aku naik sendiri, sudah pasti aku bakal sadar. Masa, digendong Pak Andra buat naik ke atas?
Aku menggelengkan kepala. Tak mungkin. Lelaki itu tak mungkin dengan baik hatinya menggendongku ke atas.
"Lho, Ning, ngapain?"
Aku tersentak saat Mbok Minah memanggil namaku. Aku gelagapan, mereka tak boleh tahu kalau sedari tadi aku menguping pembicaraan mereka.
"Ini, Mbok, baru aja mau masuk ke dalem, cuma kok rada sakit perut."
"Sakit, kah?"
Aku menggeleng, kemudian masuk ke dalam kamar. Mengambil pakaian dalam dan melipatnya. Khusus pakaian dalam, memang tak disetrika. Nantinya akan melar.
"Kamu nggak papa di sini memangnya, Ning?" Desi bertanya setelah dari tadi diam.
"Ya nggak. Memangnya kenapa?"
"Nanti nyonya malah marah. Udah sana ke kamarmu. Tidur."
Aku terhenyak mendengar nada suara Desi. Apa dia sungguh-sungguh iri denganku?
"Nining!" Suara Ibu terdengar dari meja makan.
Aku segera keluar.
"Iya, Bu?"
"Bawakan suamimu makan siang."
"Tapi, Bu, biasanya juga kan Pak-eh Mas Andra nggak pernah bawa bekal."
"Ish, kamu ini kan istrinya. Biar mereka tahu, siapa Nyonya Andra sekarang."
Aku menggaruk tengkuk. Jujur saja, aku tak percaya diri ketika Ibu menyuruhku ke kantor suamiku.
"Mbak Nining!" panggil Keysha dengan tangan mengucek mata. Aku tersenyum kemudian menghampirinya.
"Key, panggil Mbak Nining dengan sebutan Mama, ya!" perintah Ibu.
Keysha menatapku, ada binar di sana.
"Jadi, boleh, Oma? Yes, Key punya Mama!" ucapnya girang sambil memelukku.
"Key, mau ikut Mbak-eh Mama ke kantor Papa, nggak?"
"Mau ngapain?" tanyanya.
"Mau nganterin makan."
Keysha mengangguk cepat. Ia juga meminta untuk dibekalkan punyanya karena ingin makan bersama papanya.
"Ning, kamu mau ke kantor dengan pakaian seperti itu?"
Aku melihat pakaianku. Iya, sih. Ini kampungan, pasti Pak Andra bakal malu nantinya.
"Di lemari sebelah baju Andra, ada khusus buat kamu. Kemarin, saya suruh orang buat isikan."
Aku mengangguk, kemudian beranjak ke kamar atas setelah meminta tolong Mbok Minah untuk membantu Keysha cuci muka.
--
"Mama, kita mau makan siang bareng Papa, kan?"
Aku mengangguk. Bocah itu tampak sangat bahagia. Kini kami sudah dalam perjalanan menuju kantor. Aku memakai gamis berwarna pink dengan renda, dan juga pasmina dengan warna senada dengan gamis.
Sampai di kantor, aku segera membayar taksi dan turun untuk masuk ke dalam. Saat sampai di lobi, seorang satpam menghampiri.
"Maaf, Bu, mau bertemu siapa?"
"Pak Santo, kami mau ketemu Papa!"
"Eh, Neng Keysha? Oh, iya, bisa-bisa, mau diantarkan?" Mungkin satpam tadi belum melihat Keysha, sehingga ia bertanya pada kami.
Kami pun diantar oleh Pak Santo sampai di lantai lima belas. Lalu berhenti di sebuah ruangan dengan pintu kayu jati.
"Silakan, Neng dan Bu...?"
"Nining."
"Pak Santo, dia ini Mamaku."
Pak Santo melebarkan matanya. Sepertinya berita pernikahan kami ini memang belum menyebar.
Keysha berusaha menggapai kenop pintu, lalu aku membantunya.
Kriiet!
Pintu terbuka, lalu aku tertegun saat melihat ke dalam ruangan. Ada seorang wanita di sana. Berpakaian rapi khas orang kantoran, duduk berdekatan dengan Mas Andra. Di dalam sini, ada sesuatu yang terasa dicubit. Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum kecut.
"Lho, Ning?!" Mas Andra terkejut melihat kedatanganku dan putrinya.
"Apa kami mengganggu, Mas?"
Mas Andra melihat perempuan di sebelahnya. Perempuan itu terlihat cemberut. Fix! Bau-bau pelakor datang ke kehidupan pernikahan yang baru sehari ini.
Akhirnya, aku masuk ke dalam bersama Keysha, lalu duduk di seberang Mas Andra dan perempuan itu.
"Ning?"
"Iya, Sayang, kenapa?"
Mas Andra terbatuk. Kenapa dia? Apa keselek ludah sendiri?
"Maaf, ini siapa, ya, Pak?" tanya wanita yang bernama Susan itu, terlihat dari name tagnya.
"Perkenalkan, saya Ningsih, biasa dipanggil Nining. Saya, istrinya Mas Andra."
Kini, Mas Andra yang tengah minum, berhasil menyemburkan isinya ke samping. Aku tersenyum dengan anggun, sementara Keysha menatap ke arahku dan Mas Andra bergantian.
--
Kami sudah berada di restoran. Ya, karena kecerobohanku tadi, rantang makanan justru tertinggal di taksi.
"Bisa-bisanya rantangnya ketinggalan, Ning," ucapnya sambil menggelengkan kepala.
"Maaf, Pak."
"Pak?" ulangnya.
"Ya?"
"Bukannya tadi kamu manggil saya Mas?"
Mendadak aku grogi. Jantungku berdebar dengan tak semestinya. Astaga, kenapa tiba-tiba jadi canggung begini?
"Maaf," kataku.
"Kenapa maaf? Karena sudah terlanjur, ya panggil Mas aja," ucapnya dengan senyum tipis di bibirnya. Aku, tak salah lihat, kan?
Aku hanya mengangguk. Tak dapat kupungkiri, aku pun tersenyum sendiri. Wajahku terasa memanas.
"Mama, Key mau ayam goreng," ucap Key tiba-tiba.
"Eh? Iya, Sayang, Mama pesenin, ya?"
"Mama?" tanya Mas Andra.
"Iya, tadi Ibu yang nyuruh ... Mas." Ah, lagi-lagi aku merasa deg-degan hanya karena memanggilnya begitu.
"Ah, iya, Dek."
Deg!
Dek, katanya?
Siapapun, tolong panggil ambulance! Kurasa sebentar lagi bakal pingsan!
Setelah beberapa menit, pesanan kami datang. Ayam goreng, ikan bakar, capcay, dan juga sambal dendeng. Aku melongo melihatnya. Kenapa makanannya banyak banget? "Kenapa, Dek? Nggak suka makanannya?" "Eh? Suka kok Pak, eh Mas." Oke, aku memang belum terbiasa dengan panggilan baru ini. Kami mulai menyantap hidangan. Aku hanya mengambil capcay dan juga sambal dendeng. "Nih, makan," ucap Mas Andra saat aku menyuapi Key makan. Aku tertegun saat Mas Andra menaruh daging ikan yang sudah terpisah dari durinya, ke atas nasiku. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Usai makan, Mas Andra mengantar kami pulang, lalu langsung pergi lagi menuju kantor. Saat masuk ke rumah, Ibu yang tengah menonton televisi segera menghampiri kami. "Key, ke Mbak Desi dulu minta mandi, ya? Habis ini kita jalan-jalan sama Oma."Mendengar kata jalan-jalan, Key segera pergi ke belakang seraya memanggil Desi. Tanganku segera ditariknya menuju sofa. "Bagaimana, Ning?" tanya Ibu. "Bagaimana apanya,
"Pa, laper," ucap Key yang sedang dalam gendongan Mas Andra. "Ya sudah, kita makan, ya?" Kami pun masuk ke dalam restoran makanan. Tiga minggu menjadi istri Mas Andra membuatku mulai terbiasa dengan gaya makannya. "Keysha tunggu di sini sama Mama, ya? Papa mau ke depan, pesan makanan." Anak itu mengangguk. Mama. Baru kali ini ia membahasakan Mama untukku pada anaknya. Biasanya, ia hanya akan menunjukku. Tak lama kemudian, Mas Andra daang membawa makanan yang sangat membuatku takjub. "Mas, kenapa ayamnya banyak sekali? Satu juga cukup, kok!" protesku. "Kamu ini, Dek, tinggal makan aja kok banyak protes." Aku hanya garuk-garuk kepala. Baiklah, nanti saat pulang aku akan meminta yang satu dibungkus saja, untuk Desi di rumah. --Saat sampai di rumah, aku memberikan bungkusan makanan pada Desi dan Mbok Minah yang tengah duduk usai salat maghrib. Saking asyiknya kami main, jadi lupa waktu. "Makasih banyak ya, Ning," ucap Mbok Minah. Aku mengangguk, kemudian masuk ke kamar mandi.
Mas Andra membawa Bu Rosa keluar. Aku tahu, ia pasti tak ingin bertengkar di hadapan anaknya."Mama, tadi itu siapa?" tanyanya. Aku menatap Bu Mega. Bingung harus menjawab apa? Karena memang seusianya pasti belum mengetahui apa itu ibu kandung dan juga ibu tiri?"Nanti kita kasih tahu. Keysha sudah sarapan?" tanya Bu Mega. "Belum, Oma. Kan mau sarapan bareng Papa, Mama, sama Oma." Bu Mega tersenyum, kemudian pamit keluar. Beliau pasti ingin tahu alasan Bu Rosa ke mana saja selama ini. Setelah mengikat rambut Keysha, aku membawa anak itu naik ke atas ranjang. Untung, semalam sprei ini sudah kuganti dengan yang bersih. "Key, mau dibacain dongeng, nggak?" tawarku. "Mau dong, Ma." Karena tak ada buku di sini, maka aku mengambil koran. Dulu, biasanya di halaman tengah suka ada dongeng atau cerita yang dikirimkan oleh penulis ke perusahaan koran tersebut. Key ikut duduk di sofa, lalu tubuhnya memelukku. Ya Allah, aku memang belum punya anak, tapi melihatnya begini, aku sudah merasa
Sekarang, kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Aku menghela napas panjang, menghampiri suami yang masih duduk di sisi ranjang Mbak Rosa. "Biarkan aku yang pergi, Mas. Aku sadar diri. Memang sebaiknya, dari awal aku tak pernah menyetujui pernikahan ini," ucapku. Mas Andra mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dek. Kamu tak perlu pergi. Apa kalian tak bisa hidup satu atap bersama? Atau, Rosa, bagaimana jika kamu pergi dari sini?" Mata Mbak Rosa melebar. Ia pasti tak menyangka akan diusir oleh suaminya. "Nggak, Mas! Suamiku ada di sini, begitupula dengan anakku. Kenapa nggak pelakor itu aja?!" "Mbak, aku ini bukan pelakor! Kenapa selalu saja memanggilku dengan sebutan itu?!" "Karena kamu memang pelakor." Aku tersenyum sinis. Kesabaranku benar-benar diuji oleh wanita itu. "Ya, katakanlah aku pelakor. Setidaknya, aku tak akan pernah meninggalkan anak dan suamiku, aku mengurus anak yang ditinggalkan oleh orang yang menuduhku pelakor. Aku mengurus suami oleh oran
Andra mendongak, kedua matanya terus memandangi wanita di hadapannya itu. "Apa maksudmu?" "Kamu memang lebih mencintai wanita itu, kan? Jawab, Mas! Kamu memang telah berubah. Hiks." Andra termenung. Benarkah ia sudah mencintai Nining? Gadis desa yang terpaksa dinikahinya itu? Rosa mulai menangis. Awalnya hanya isakan saja, tapi lama kelamaan berubah menjadi kencang. Andra pusing mendengarnya. Ia sudah mengorbankan waktunya, seharusnya ia sudah berangkat kerja tadi pagi. "Argh!" Andra bangkit dan keluar. Tak mempedulikan Rosa yang mencoba menarik perhatiannya lewat tangisan. "S*al!" Rosa memukul ranjang, rahangnya mengeras. Baru kali ini, ia merasa diremehkan. Andra, memang sudah berubah padanya. Sebuah seringai jahat, terbit di bibir seksi milik Rosa. Wanita itu mulai menggumam."Lihat saja, Mas. Apa kamu masih dapat membela Nining dan cuek padaku nantinya?"-Pov Nining Beberapa hari setelah insiden kedatangan Mbak Rosa, akhirnya diputuskanlah kalau aku dan Mbak Rosa akan ti
"Key, nanti dulu, kan belum sisiran." Citra datang dengan napas tersengal-sengal. Aku menatap ke arah Keysha. "Key, tadi pakai bajunya sambil lari-larian, ya?" tanyaku dengan nada tegas."Iya, Ma."Kulepaskan pelukan ditubuhya, lalu menatap manik berwarna cokelat itu. "Kan sudah Mama bilang, jangan seperti itu. Kasihan Mbak Citra." Key hanya mengangguk, detik kemudian aku dan dia tertawa. Selalu seperti ini, aku tak bisa marah padanya. S*al emang. "Sini, Cit, biar saya aja yang nyisirin rambutnya. Kamu istirahat aja."Tak sengaja, aku melihat Mbak Rosa tengah menatapku tajam. Aku hanya melengos. Jika dibiarkan, wanita itu bisa saja terus memperlakukanku begitu. "Mas ikut ke sekolahan, Ning."Aku menoleh padanya yang sedari tadi fokus makan. Begitupun dengan Mbak Rosa. "Baik, Mas," jawabku sambil tersenyum. "Ehm, kan ibu kandungnya Keysha itu saya, jadi biar saya saja yang pergi. Kamu di rumah," ucap Mbak Rosa tiba-tiba. Aku dan Mas Andra sama-sama terkejut, apalagi lelaki itu
Genggaman tangan Mas Andra padaku tiba-tiba terlepas. Apa ini? Kenapa aku memiliki firasat buruk? "Mas?" Aku memanggil, namun ia hanya diam dan memandang lurus ke arah Mbak Rosa. "Bisa tidak, jangan menyulut pertengkaran pagi-pagi, Ros?" Kali ini Mas Andra berbicara pada Mbak Rosa. Wanita itu memandang ke arahku, lalu ke arah Ibu. Senyum sinis tersungging di wajahnya. "Harusnya kamu sadar, Mas, melek! Yang bikin kita bertengkar itu ibumu. Kamu lupa, kalau dia yang mengusulkanmu untuk menceraikanku? Kenapa jadi aku yang salah?" Kali ini Mas Andra diam. Ia seperti kena skak mat oleh Mbak Rosa. Ibu hanya menghela napas sembari mengelus dadanya. "Sudah, Mas, lebih baik kita keluar, biarkan Ibu istirahat."Aku mendorong Mas Andra keluar, sementara Mbak Rosa mendengus melihatku yang melewatinya. Aku harus belajar untuk tak mempedulikan wanita itu. Bisa-bisa, aku yang stress. "Eh, mau ke mana kalian?" tanya Mbak Rosa saat aku sudah mengambil tas."Aku akan pergi dengan Rosa saja, Nin
Mendengar nama anak bungsunya kusebut, Ibu segera menghampiri. Bukannya memeluk, beliau malah memukul kepala adik iparku itu. "Aw, Ibu!" sungutnya. "Dasar! Ke mana saja kamu selama ini? Kenapa nggak ada kabar?" Mas Kino meringis, kemudian memeluk erat ibunya. Ibu memang selalu bercerita bahwa ia merindukan anak bungsunya itu. Ditambah nomor Mas Kino memang jarang aktif. Tak ada signal, alasannya. Aku tersenyum melihat pasangan anak dan ibu itu melepas kerinduan. Aku segera ke belakang, berniat membuatkan minum untuk mereka. "Bu, mau ngapain?" tanya Mbok Minah saat melihatku tengah di dapur. "Ini, Mbok, mau bikin minum. Mas Kino pulang." Desi yang sedari tadi di dalam kamar, terlihat buru-buru keluar. Ia celingukan melihat ke depan. "Ada Mas Kino, Ning?" "Desi, panggil yang betul!" hardik Mbok Minah. "Sudah, nggak papa, Mbok. Lagipula memang Nining yang meminta. Risih dipanggil Ibu sama Desi. Mbok juga kalau mau manggil nama juga gapapa, tapi kalau di depan Ibu jangan, ya," u