Bab 4
Saya terima nikah dan kawinnya Ningsih Setya Dewi dengan mas kawin emas lima gram dan seperangkat alat salat dibayar, tunai!" ucap Pak Andra lantang.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"Sah!" sahut saksi dan juga tamu yang datang.
Setelah menandatangani buku nikah, lalu aku diminta mencium takzim tangan Pak Andra. Entah bagaimana, tiba-tiba Pak Andra malah menarikku dan mencium kening ini.
Deg!
Jantung, tolong baik-baik saja!
--
Setelah akad tadi, aku langsung dibawa ke kota. Tak ada kata istirahat buat Pak Andra. Ya aku paham, dia adalah seorang pembinis. Membuang waktunya, sama saja dengan membuang uang.
Aku sudah berada di kamar. Kamar Pak Andra maksudnya. Kulirik jam, pukul sebelas malam. Kini, Pak Andra tengah mandi, sekalian melepas penat.
"Kamu gak mau mandi juga, Ning?"
Aku terkesiap saat mendengar suaranya, terlebih lagi, saat melihatnya hanya memakai handuk saja.
Ia berjalan mendekat, semakin dekat, hingga melaluiku begitu saja. Setelah berpakaian lengkap, Pak Andra mengambil satu kasur lantai.
Dahiku mengernyit. Jangan bilang....
"Kamu tidur di bawah ya, Ning!"
Makjleb!
Bye-bye malam pertama yang indah.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Kemudian mengambil baju dan mandi. Selama mandi, sekalian saja aku menenangkan diri. Kukeramas rambut karena kering bekas disasak tadi pagi sekaligus menggunakan hair spray.
Apakah menikah dengan Pak Andra merupakan satu pilihan yang benar?
"Ning."
"Iya?" jawabku saat sudah merebahkan diri di atas kasur.
"Ambilkan saya minum."
Aku mengangguk, kemudian berjalan ke dapur. Kulihat Nyonya Mega sedang duduk di meja makan.
"Nya...."
Ia menoleh.
"Ngapain kamu manggil saya Nyonya? Panggil saja saya Ibu."
"I-iya, Bu."
"Kamu sudah keramas aja, Ning."
Beliau melihat ke arah rambut, lalu mengulum senyum. Aku hanya nyengir saja, toh menjelaskan pun percuma. Yang ada, ia malah bakal kecewa padaku dan Pak Andra.
"Ibu belum tidur?"
"Belum mengantuk."
Aku mengangguk, kemudian mengambil teko dan mengisinya dengan air putih.
"Buat Andra?"
"Iya, Bu. Permisi."
Segelas air kusodorkan pada Pak Andra. Ah, aku harus memanggil apa? Pak? Mas? Jangan berharap panggil Sayang, karena itu hanyalah mimpi!
"Terima kasih, Ning. Tidurlah."
Aku mengangguk, kemudian merebahkan diri di atas kasur lantai yang tipis. Nasib-nasib!
-
Aku terbangun saat mendengar suara orang mengobrol di luar. Kulirik jam di dinding. Astaga! Sudah jam enam?!
Dan yang lebih membuatku terkejut lagi adalah, kenapa aku bisa tidur di atas ranjang ini?
Aku segera beringsut turun begitu Pak Andra masuk lagi ke kamar. Meskipun aku tak sadar kalau pindah ke atas ranjang, tetap saja rasanya tak enak jika majikan sekaligus suamiku itu melihatnya.
"Pak..."
Pak Andra hanya diam tak menghiraukanku. Eh, kenapa? Apa dia marah karena aku telah memasuki 'area pribadinya'?
Aku membuntutinya yang sedang membuka lemari. Bingung, harus bagaimana ngomongnya? Sedangkan itu bukan kesalahan yang sengaja aku buat.
"Emm ... Pak..."
Lagi-lagi, ia hanya melewatiku dan berjalan menuju kamar mandi yang sudah menyatu dengan ruangan ini.
"Ck! Kamu mau ikut mandi bareng?"
"Eh?"
Mataku membesar saat melihat satu kaki Pak Andra sudah menginjak lantai kamar mandi.
"Eh, anu, Pak..."
"Dari tadi anu-anu terus. Ada apa? Saya sudah kesiangan ini!"
"Eh? Iya, maaf. Kalau begitu, saya permisi," ucapku sambil menundukkan kepala. Pagi ini, kenapa Pak Andra terlihat senewen sekali?
Aku segera turun ke bawah. Ini sudah siang, bisa gawat kalau Nyonya Mega marah melihatku yang baru bangun.
"Eh, tunggu. Bagaimana kalau tadi Pak Andra habis dimarahi sama Nyonya Mega karena aku bangun kesiangan? Bisa jadi, kan? Terus Pak Andra jadi marah gitu sama aku. Iya, pasti begitu, kan?" ucapku bermonolog.
Aku melanjutkan langkah menuju belakang. M*mpus! Nyonya Mega sudah duduk rapi di meja makan. Wajar, sebentar lagi pukul tujuh, sudah waktunya sarapan.
Aku hanya menunduk saat melewatinya. Beliau sedang memainkan ponsel. Semoga saja tidak menyadari aku yang lewat.
"Lho, Ning!"
Ah!
"I-iya, Nya..."
"Nya lagi?"
Aku mendongak. Kulihat wajahnya masam.
"Eh iya, Bu."
"Kamu mau ngapain?"
"Mau bantu Mbok Minah nyiapin sarapan."
"Ck! Ngapain? Sudah sini duduk. Biar itu urusan Mbok Minah. Lagipula, hari ini akan ada asisten rumah tangga yang baru. Kamu duduk saja di sini," ucapnya lembut.
Dengan ragu, aku duduk di sebelah kanan Nyonya, eh, Bu Mega. Beliau terlihat tersenyum sambil melirik ke arahku.
Aku melihat ke arah tangan, kaki, badan. Apakah ada yang salah dariku?
"Kenapa, Bu?"
"Oh, tidak."
Hening. Hanya bunyi keypad yang dimainkan oleh Bu Mega.
Aku menoleh ke arah kamar Keysha. Anak itu pasti belum bangun. Aku segera berdiri, tapi lagi-lagi dicekal oleh Bu Mega.
"Mau ke mana kamu?"
"Itu, Key belum bangun. Jadi mau bangunin dia dulu, Bu."
"Nggak usah. Dia pasti kecapekan."
Aku kembali duduk. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah menuruni tangga. Itu pasti Pak Andra. Senyum di bibir Bu Mega semakin lebar saja. Aku malah jadi takut bibirnya nanti robek, eh?
Pak Andra duduk di hadapanku. Ia terlihat semakin tampan saja. Ditambah habis keramas gitu, duh meleleh.
'Sadar, Ning! Dia juga pasti terpaksa nikah sama kamu!' batinku.
Mbok Minah datang bersama Desi. Tangan mereka memegang mangkuk besar, dan juga piring berisi makanan.
"Silakan, Nya, Pak, Ning."
Tanganku terulur akan menerimanya, tapi Mbok Minah malah menggelengkan kepalanya.
"Ehm, Mbok, mulai sekarang jangan panggil Nining, ya!" perintah Bu Mega yang sukses membuatku membulatkan mata.
"Kenapa, Nya?" Kali ini aku yang bertanya.
"Kamu ini istrinya Andra, masa mereka manggil nama ke kamu? Harusnya Ibu." Bu Mega terlihat mengerucutkan bibirnya.
"Oh, iya. Maafkan saya, Bu Nining."
Aku hanya tersenyum kecut. Risih sekali, dipanggil Ibu oleh rekan kerja sendiri.
"Iya, gapapa, Mbok."
Usai sarapan, aku berniat masuk ke kamar Keysha, membangunkan anak itu. Biar bagaimanapun, anak perempuan harus bangun pagi. Itu yang diajarkan oleh ibuku.
Saat melewati sofa, kulihat sebuah benda pipih ada di sana. Loh, ini kan ponselnya Pak Andra.
Aku berlari ke depan, tapi suamiku itu malah sudah pergi bersama mobilnya.
Suami. Kata-kata itu membuatku tersenyum sendiri. Kugetok kepala, lalu tersenyum lagi. Ya Allah, aku pasti sudah gila. Kugetok kepala, tapi bibir tak hentinya tersenyum.
Sadar, Nining!
Aku masuk lagi ke dalam, kulihat Bu Mega baru keluar dari kamar. Di rumah ini, seluruh kamar memang berada di bawah, hanya kamar Pak Andra saja yang berada di atas.
"Dari mana, Ning?"
"Ini, Bu, ponsel Pak Andra ketinggalan. Tadinya mau-"
"Pak Andra?" ulang Bu Mega.
"Ning, sepertinya kamu harus mengubah kebiasaanmu. Dia itu suamimu, loh. Setidaknya, panggil dia Mas. Jangan Pak seperti itu!"
Yaelah, salah lagi!
"Iya, Bu."
Bu Mega tersenyum, kemudian menyuruhku untuk menyimpan ponselnya. Aku naik ke atas, lalu menutup pintu. Saat hendak menaruh ponsel di atas nakas, aku terdiam saat layar ponsel itu terbuka.
Wallpapernya!
Bab 5Seorang wanita memakai busana kebaya, tampak anggun. Di sebelahnya berdirj seorang pria. Lelaki dengan senyum yang bahkan hanya beberapa kali kulihat. Pak Andra, tersenyum. Aku tak percaya, foto pernikahan kami menjadi wallpapernya. Aku pun belum pernah melihat album pernikahan kami karena belum jadi. Insya Allah, besok baru diantarkan. Tapi, dari mana Pak Andra dapat ini? Di sana memang aku tak melihat ke layar, aku tengah menatap ke arah lain. Perlahan, kurasa pipiku memanas. Pak Andra, ternyata bisa sweet juga. Ah, Ibu, putrimu memang sedang jatuh cinta! -Jarum jam di dinding sudah pukul satu siang. Sambil menunggu Keysha bangun, aku berjalan menuju kamar belakang. Berniat membantu Desi dan Mbok Minah yang biasanya tengah menyetrika di jam segini. "Enak ya, Mbok, jadi Nining. Aku juga mau, lah, kenapa harus dia, coba?" Aku berhenti saat mendengar suara Desi berbicara pada Mbok Minah. "Hust! Jangan ngawur, kamu. Coba kamu pikir lagi. Si Nining itu banyak kelebihannya.
Setelah beberapa menit, pesanan kami datang. Ayam goreng, ikan bakar, capcay, dan juga sambal dendeng. Aku melongo melihatnya. Kenapa makanannya banyak banget? "Kenapa, Dek? Nggak suka makanannya?" "Eh? Suka kok Pak, eh Mas." Oke, aku memang belum terbiasa dengan panggilan baru ini. Kami mulai menyantap hidangan. Aku hanya mengambil capcay dan juga sambal dendeng. "Nih, makan," ucap Mas Andra saat aku menyuapi Key makan. Aku tertegun saat Mas Andra menaruh daging ikan yang sudah terpisah dari durinya, ke atas nasiku. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Usai makan, Mas Andra mengantar kami pulang, lalu langsung pergi lagi menuju kantor. Saat masuk ke rumah, Ibu yang tengah menonton televisi segera menghampiri kami. "Key, ke Mbak Desi dulu minta mandi, ya? Habis ini kita jalan-jalan sama Oma."Mendengar kata jalan-jalan, Key segera pergi ke belakang seraya memanggil Desi. Tanganku segera ditariknya menuju sofa. "Bagaimana, Ning?" tanya Ibu. "Bagaimana apanya,
"Pa, laper," ucap Key yang sedang dalam gendongan Mas Andra. "Ya sudah, kita makan, ya?" Kami pun masuk ke dalam restoran makanan. Tiga minggu menjadi istri Mas Andra membuatku mulai terbiasa dengan gaya makannya. "Keysha tunggu di sini sama Mama, ya? Papa mau ke depan, pesan makanan." Anak itu mengangguk. Mama. Baru kali ini ia membahasakan Mama untukku pada anaknya. Biasanya, ia hanya akan menunjukku. Tak lama kemudian, Mas Andra daang membawa makanan yang sangat membuatku takjub. "Mas, kenapa ayamnya banyak sekali? Satu juga cukup, kok!" protesku. "Kamu ini, Dek, tinggal makan aja kok banyak protes." Aku hanya garuk-garuk kepala. Baiklah, nanti saat pulang aku akan meminta yang satu dibungkus saja, untuk Desi di rumah. --Saat sampai di rumah, aku memberikan bungkusan makanan pada Desi dan Mbok Minah yang tengah duduk usai salat maghrib. Saking asyiknya kami main, jadi lupa waktu. "Makasih banyak ya, Ning," ucap Mbok Minah. Aku mengangguk, kemudian masuk ke kamar mandi.
Mas Andra membawa Bu Rosa keluar. Aku tahu, ia pasti tak ingin bertengkar di hadapan anaknya."Mama, tadi itu siapa?" tanyanya. Aku menatap Bu Mega. Bingung harus menjawab apa? Karena memang seusianya pasti belum mengetahui apa itu ibu kandung dan juga ibu tiri?"Nanti kita kasih tahu. Keysha sudah sarapan?" tanya Bu Mega. "Belum, Oma. Kan mau sarapan bareng Papa, Mama, sama Oma." Bu Mega tersenyum, kemudian pamit keluar. Beliau pasti ingin tahu alasan Bu Rosa ke mana saja selama ini. Setelah mengikat rambut Keysha, aku membawa anak itu naik ke atas ranjang. Untung, semalam sprei ini sudah kuganti dengan yang bersih. "Key, mau dibacain dongeng, nggak?" tawarku. "Mau dong, Ma." Karena tak ada buku di sini, maka aku mengambil koran. Dulu, biasanya di halaman tengah suka ada dongeng atau cerita yang dikirimkan oleh penulis ke perusahaan koran tersebut. Key ikut duduk di sofa, lalu tubuhnya memelukku. Ya Allah, aku memang belum punya anak, tapi melihatnya begini, aku sudah merasa
Sekarang, kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Aku menghela napas panjang, menghampiri suami yang masih duduk di sisi ranjang Mbak Rosa. "Biarkan aku yang pergi, Mas. Aku sadar diri. Memang sebaiknya, dari awal aku tak pernah menyetujui pernikahan ini," ucapku. Mas Andra mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dek. Kamu tak perlu pergi. Apa kalian tak bisa hidup satu atap bersama? Atau, Rosa, bagaimana jika kamu pergi dari sini?" Mata Mbak Rosa melebar. Ia pasti tak menyangka akan diusir oleh suaminya. "Nggak, Mas! Suamiku ada di sini, begitupula dengan anakku. Kenapa nggak pelakor itu aja?!" "Mbak, aku ini bukan pelakor! Kenapa selalu saja memanggilku dengan sebutan itu?!" "Karena kamu memang pelakor." Aku tersenyum sinis. Kesabaranku benar-benar diuji oleh wanita itu. "Ya, katakanlah aku pelakor. Setidaknya, aku tak akan pernah meninggalkan anak dan suamiku, aku mengurus anak yang ditinggalkan oleh orang yang menuduhku pelakor. Aku mengurus suami oleh oran
Andra mendongak, kedua matanya terus memandangi wanita di hadapannya itu. "Apa maksudmu?" "Kamu memang lebih mencintai wanita itu, kan? Jawab, Mas! Kamu memang telah berubah. Hiks." Andra termenung. Benarkah ia sudah mencintai Nining? Gadis desa yang terpaksa dinikahinya itu? Rosa mulai menangis. Awalnya hanya isakan saja, tapi lama kelamaan berubah menjadi kencang. Andra pusing mendengarnya. Ia sudah mengorbankan waktunya, seharusnya ia sudah berangkat kerja tadi pagi. "Argh!" Andra bangkit dan keluar. Tak mempedulikan Rosa yang mencoba menarik perhatiannya lewat tangisan. "S*al!" Rosa memukul ranjang, rahangnya mengeras. Baru kali ini, ia merasa diremehkan. Andra, memang sudah berubah padanya. Sebuah seringai jahat, terbit di bibir seksi milik Rosa. Wanita itu mulai menggumam."Lihat saja, Mas. Apa kamu masih dapat membela Nining dan cuek padaku nantinya?"-Pov Nining Beberapa hari setelah insiden kedatangan Mbak Rosa, akhirnya diputuskanlah kalau aku dan Mbak Rosa akan ti
"Key, nanti dulu, kan belum sisiran." Citra datang dengan napas tersengal-sengal. Aku menatap ke arah Keysha. "Key, tadi pakai bajunya sambil lari-larian, ya?" tanyaku dengan nada tegas."Iya, Ma."Kulepaskan pelukan ditubuhya, lalu menatap manik berwarna cokelat itu. "Kan sudah Mama bilang, jangan seperti itu. Kasihan Mbak Citra." Key hanya mengangguk, detik kemudian aku dan dia tertawa. Selalu seperti ini, aku tak bisa marah padanya. S*al emang. "Sini, Cit, biar saya aja yang nyisirin rambutnya. Kamu istirahat aja."Tak sengaja, aku melihat Mbak Rosa tengah menatapku tajam. Aku hanya melengos. Jika dibiarkan, wanita itu bisa saja terus memperlakukanku begitu. "Mas ikut ke sekolahan, Ning."Aku menoleh padanya yang sedari tadi fokus makan. Begitupun dengan Mbak Rosa. "Baik, Mas," jawabku sambil tersenyum. "Ehm, kan ibu kandungnya Keysha itu saya, jadi biar saya saja yang pergi. Kamu di rumah," ucap Mbak Rosa tiba-tiba. Aku dan Mas Andra sama-sama terkejut, apalagi lelaki itu
Genggaman tangan Mas Andra padaku tiba-tiba terlepas. Apa ini? Kenapa aku memiliki firasat buruk? "Mas?" Aku memanggil, namun ia hanya diam dan memandang lurus ke arah Mbak Rosa. "Bisa tidak, jangan menyulut pertengkaran pagi-pagi, Ros?" Kali ini Mas Andra berbicara pada Mbak Rosa. Wanita itu memandang ke arahku, lalu ke arah Ibu. Senyum sinis tersungging di wajahnya. "Harusnya kamu sadar, Mas, melek! Yang bikin kita bertengkar itu ibumu. Kamu lupa, kalau dia yang mengusulkanmu untuk menceraikanku? Kenapa jadi aku yang salah?" Kali ini Mas Andra diam. Ia seperti kena skak mat oleh Mbak Rosa. Ibu hanya menghela napas sembari mengelus dadanya. "Sudah, Mas, lebih baik kita keluar, biarkan Ibu istirahat."Aku mendorong Mas Andra keluar, sementara Mbak Rosa mendengus melihatku yang melewatinya. Aku harus belajar untuk tak mempedulikan wanita itu. Bisa-bisa, aku yang stress. "Eh, mau ke mana kalian?" tanya Mbak Rosa saat aku sudah mengambil tas."Aku akan pergi dengan Rosa saja, Nin