Setelah beberapa menit, pesanan kami datang. Ayam goreng, ikan bakar, capcay, dan juga sambal dendeng.
Aku melongo melihatnya. Kenapa makanannya banyak banget?"Kenapa, Dek? Nggak suka makanannya?""Eh? Suka kok Pak, eh Mas."Oke, aku memang belum terbiasa dengan panggilan baru ini. Kami mulai menyantap hidangan. Aku hanya mengambil capcay dan juga sambal dendeng."Nih, makan," ucap Mas Andra saat aku menyuapi Key makan.Aku tertegun saat Mas Andra menaruh daging ikan yang sudah terpisah dari durinya, ke atas nasiku. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.Usai makan, Mas Andra mengantar kami pulang, lalu langsung pergi lagi menuju kantor. Saat masuk ke rumah, Ibu yang tengah menonton televisi segera menghampiri kami."Key, ke Mbak Desi dulu minta mandi, ya? Habis ini kita jalan-jalan sama Oma."Mendengar kata jalan-jalan, Key segera pergi ke belakang seraya memanggil Desi. Tanganku segera ditariknya menuju sofa."Bagaimana, Ning?" tanya Ibu."Bagaimana apanya, Bu?""Ih! Ya makan siang di kantornya."Hem, ternyata sosok Ibu yang kalem kini hilang dari pandanganku. Ternyata, beliau sama saja dengan ibu-ibu lainnya."Rantangnya hilang, Bu.""Hilang?"Melihat ekspresinya, aku jadi takut sendiri. Apalagi, melihat merknya yang memang sedang digandrungi ibu-ibu jaman sekarang. Harganya pun tak bisa dibilang murah."Maaf, Bu," ucapku takut-takut."Terus, gagal makan siang barengnya?""Jadi, kok. Kami makan di restoran."Senyum merekah di wajah Ibu, lalu aku menceritakan semua termasuk dengan wanita yang tadi ada di dalam ruangan Mas Andra. Kupraktekan juga bagaimana cara kami berkenalan tadi. Ibu terbahak."Dia sekretaris Andra. Memang begitu orangnya. Dia juga teman Andra sedari kecil."Aku hanya manggut-manggut."Temen sih temen, tapi nggak harus dempet gitu juga kali," gumamku."Kenapa, Ning?""Ah, nggak, Bu."--Satu minggu kemudian.Hubunganku dengan Mas Andra sudah mulai dekat. Sekarang aku sudah mulai menyiapkan baju kerja dan tidurnya. Sudah hampir menjadi istri. Hanya saja, kami masih tidur terpisah. Bedanya, sekarang aku di ranjang sedangkan Mas Andra di sofa.Usai makan malam, aku menemani Key di kamarnya. Membacakan dongeng seperti biasanya. Sekarang, ia semakin dekat denganku.Tok-tok!Tak lama kemudian, Mas Andra masuk."Dek, ada telepon."Aku menaikkan alis, tanda bertanya karena Key sebentar lagi akan tidur. Matanya pun sudah merem-melek."Dari Ibu."Senyumku merekah. Selama ini aku memang jarang membuka ponsel. Mungkin karena belum terbiasa. Setelah memastikan Key tertidur, aku segera keluar dan menelpon Ibu."Assalamu'alaikum, Bu.""W*'alaikum salam. Apa kabar, Nduk?""Alhamdulillah, baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah."Lalu, kami mulai mengobrol. Tak usah kuceritakan, nanti bisa satu halaman jika kuceritakan semua, hihi.Setelah selesai, kumatikan telepon. Bahagia rasanya meskipun hanya lewat suara."Ning, ini uang bulananmu. Khusus buat keperluanmu sendiri. Maaf jika sedikit."Mataku melebar saat melihat tumpukan uang di dalam amplop. Setelah kuhitung, jumlahnya ada tujuh juta. Sedikit katanya?Orang kaya memang beda.-"Mama, Key pengen sekolah!" ucap Key beberapa hari kemudian. Mas Andra sampai menoleh pada putri kecilnya itu.Ini adalah hari minggu. Mas Andra mengajak kami untuk ke mall, membeli kado untuk temannya yang hendak menikah minggu depan."Sekolah?"Key mengangguk. Aku menoleh ke arah Mas Andra, meminta persetujuan darinya. Setelah ia mengangguk, akupun mulai berbicara pada anak yang sedang dalam pangkuanku ini."Kasih saja, Dek. Lagipula, tiga bulan lagi dia berumur empat tahun.""Ya sudah, nanti Mama carikan, ya?"Anak kecil itu tersenyum cerah. Kemudian merangkulku. Mas Andra pun ikutan tersenyum. Ya Allah, andai saja di hatinya sudah tumbuh cinta untukku, mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia sekarang ini.Sampai di Mall, kami langsung menuju toko baju anak-anak. Aku memilih dress oanjang dengan tali ke belakang, berwarna biru muda. Sangat cantik untuk Keysha.Lalu, beralih ke pakaian wanita. Aku bingung hendak memilih yang mana karena semua bajunya mahal-mahal. Paling murah enam ratus ribu, aku menelan saliva. Ini namanya pemborosan."Sudah, Dek?"Aku menggeleng."Kenapa? Nggak ada yang bagus?""Bukan, harganya mahal banget," ucapku berbisik, takut terdengar oleh karyawan sini.Mas Andra terkekeh, seumur hidup baru kali ini aku melihatnya tertawa. Oh jantung, semoga kamu tetap aman!"Ini saja!"Aku terdiam sambil memegangi baju yang Mas Andra pilihkan dan taruh di tanganku. Ini memang yang kuincar tadi, tapi melihat harganya yang fantastis, aku urung membelinya."Jangan yang ini, Mas. Mahal banget. Tuh lihat, satu juta delapan ratus!" ucapku sambil melihatkan bandrol harga padanya."Gapapa, beli aja.""Tapi nanti uang yang kemarin kamu kasih jadi berkurang banyak. Nggak ah, di rumah masih banyak gamis dan gaun bagus yang waktu itu Ibu isikan," jawabku.Mas Andra menghela napas, lalu membawanya ke kasir. Loh, loh, kok dibawa ke sana? Akhirnya aku pasrah. Sampai di depan kasir, Mas Andra sudah selesai membayar baju Keysha. Aku harus rela uang ini terpotong, padahal niatku kan buat bayar uang sekolah Keysha nanti. Tapi, tak apalah."Kamu mau ngapain?" tanya Mas Andra saat melihatku membuka dompet."Bayar, lah!"Mas Andra hanya diam, lalu menenteng paperbag dan menuntun Key."Berapa, Mbak?" tanyaku."Sudah dibayar sama Bapak tadi, Bu," ucapnya.Loh? Aku menoleh ke arah pintu, di sana Mas Andra tengah nyengir tanpa dosa.Ish!Orang tampan dan dingin itu, bisa ngerjain juga?"Pa, laper," ucap Key yang sedang dalam gendongan Mas Andra. "Ya sudah, kita makan, ya?" Kami pun masuk ke dalam restoran makanan. Tiga minggu menjadi istri Mas Andra membuatku mulai terbiasa dengan gaya makannya. "Keysha tunggu di sini sama Mama, ya? Papa mau ke depan, pesan makanan." Anak itu mengangguk. Mama. Baru kali ini ia membahasakan Mama untukku pada anaknya. Biasanya, ia hanya akan menunjukku. Tak lama kemudian, Mas Andra daang membawa makanan yang sangat membuatku takjub. "Mas, kenapa ayamnya banyak sekali? Satu juga cukup, kok!" protesku. "Kamu ini, Dek, tinggal makan aja kok banyak protes." Aku hanya garuk-garuk kepala. Baiklah, nanti saat pulang aku akan meminta yang satu dibungkus saja, untuk Desi di rumah. --Saat sampai di rumah, aku memberikan bungkusan makanan pada Desi dan Mbok Minah yang tengah duduk usai salat maghrib. Saking asyiknya kami main, jadi lupa waktu. "Makasih banyak ya, Ning," ucap Mbok Minah. Aku mengangguk, kemudian masuk ke kamar mandi.
Mas Andra membawa Bu Rosa keluar. Aku tahu, ia pasti tak ingin bertengkar di hadapan anaknya."Mama, tadi itu siapa?" tanyanya. Aku menatap Bu Mega. Bingung harus menjawab apa? Karena memang seusianya pasti belum mengetahui apa itu ibu kandung dan juga ibu tiri?"Nanti kita kasih tahu. Keysha sudah sarapan?" tanya Bu Mega. "Belum, Oma. Kan mau sarapan bareng Papa, Mama, sama Oma." Bu Mega tersenyum, kemudian pamit keluar. Beliau pasti ingin tahu alasan Bu Rosa ke mana saja selama ini. Setelah mengikat rambut Keysha, aku membawa anak itu naik ke atas ranjang. Untung, semalam sprei ini sudah kuganti dengan yang bersih. "Key, mau dibacain dongeng, nggak?" tawarku. "Mau dong, Ma." Karena tak ada buku di sini, maka aku mengambil koran. Dulu, biasanya di halaman tengah suka ada dongeng atau cerita yang dikirimkan oleh penulis ke perusahaan koran tersebut. Key ikut duduk di sofa, lalu tubuhnya memelukku. Ya Allah, aku memang belum punya anak, tapi melihatnya begini, aku sudah merasa
Sekarang, kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Aku menghela napas panjang, menghampiri suami yang masih duduk di sisi ranjang Mbak Rosa. "Biarkan aku yang pergi, Mas. Aku sadar diri. Memang sebaiknya, dari awal aku tak pernah menyetujui pernikahan ini," ucapku. Mas Andra mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dek. Kamu tak perlu pergi. Apa kalian tak bisa hidup satu atap bersama? Atau, Rosa, bagaimana jika kamu pergi dari sini?" Mata Mbak Rosa melebar. Ia pasti tak menyangka akan diusir oleh suaminya. "Nggak, Mas! Suamiku ada di sini, begitupula dengan anakku. Kenapa nggak pelakor itu aja?!" "Mbak, aku ini bukan pelakor! Kenapa selalu saja memanggilku dengan sebutan itu?!" "Karena kamu memang pelakor." Aku tersenyum sinis. Kesabaranku benar-benar diuji oleh wanita itu. "Ya, katakanlah aku pelakor. Setidaknya, aku tak akan pernah meninggalkan anak dan suamiku, aku mengurus anak yang ditinggalkan oleh orang yang menuduhku pelakor. Aku mengurus suami oleh oran
Andra mendongak, kedua matanya terus memandangi wanita di hadapannya itu. "Apa maksudmu?" "Kamu memang lebih mencintai wanita itu, kan? Jawab, Mas! Kamu memang telah berubah. Hiks." Andra termenung. Benarkah ia sudah mencintai Nining? Gadis desa yang terpaksa dinikahinya itu? Rosa mulai menangis. Awalnya hanya isakan saja, tapi lama kelamaan berubah menjadi kencang. Andra pusing mendengarnya. Ia sudah mengorbankan waktunya, seharusnya ia sudah berangkat kerja tadi pagi. "Argh!" Andra bangkit dan keluar. Tak mempedulikan Rosa yang mencoba menarik perhatiannya lewat tangisan. "S*al!" Rosa memukul ranjang, rahangnya mengeras. Baru kali ini, ia merasa diremehkan. Andra, memang sudah berubah padanya. Sebuah seringai jahat, terbit di bibir seksi milik Rosa. Wanita itu mulai menggumam."Lihat saja, Mas. Apa kamu masih dapat membela Nining dan cuek padaku nantinya?"-Pov Nining Beberapa hari setelah insiden kedatangan Mbak Rosa, akhirnya diputuskanlah kalau aku dan Mbak Rosa akan ti
"Key, nanti dulu, kan belum sisiran." Citra datang dengan napas tersengal-sengal. Aku menatap ke arah Keysha. "Key, tadi pakai bajunya sambil lari-larian, ya?" tanyaku dengan nada tegas."Iya, Ma."Kulepaskan pelukan ditubuhya, lalu menatap manik berwarna cokelat itu. "Kan sudah Mama bilang, jangan seperti itu. Kasihan Mbak Citra." Key hanya mengangguk, detik kemudian aku dan dia tertawa. Selalu seperti ini, aku tak bisa marah padanya. S*al emang. "Sini, Cit, biar saya aja yang nyisirin rambutnya. Kamu istirahat aja."Tak sengaja, aku melihat Mbak Rosa tengah menatapku tajam. Aku hanya melengos. Jika dibiarkan, wanita itu bisa saja terus memperlakukanku begitu. "Mas ikut ke sekolahan, Ning."Aku menoleh padanya yang sedari tadi fokus makan. Begitupun dengan Mbak Rosa. "Baik, Mas," jawabku sambil tersenyum. "Ehm, kan ibu kandungnya Keysha itu saya, jadi biar saya saja yang pergi. Kamu di rumah," ucap Mbak Rosa tiba-tiba. Aku dan Mas Andra sama-sama terkejut, apalagi lelaki itu
Genggaman tangan Mas Andra padaku tiba-tiba terlepas. Apa ini? Kenapa aku memiliki firasat buruk? "Mas?" Aku memanggil, namun ia hanya diam dan memandang lurus ke arah Mbak Rosa. "Bisa tidak, jangan menyulut pertengkaran pagi-pagi, Ros?" Kali ini Mas Andra berbicara pada Mbak Rosa. Wanita itu memandang ke arahku, lalu ke arah Ibu. Senyum sinis tersungging di wajahnya. "Harusnya kamu sadar, Mas, melek! Yang bikin kita bertengkar itu ibumu. Kamu lupa, kalau dia yang mengusulkanmu untuk menceraikanku? Kenapa jadi aku yang salah?" Kali ini Mas Andra diam. Ia seperti kena skak mat oleh Mbak Rosa. Ibu hanya menghela napas sembari mengelus dadanya. "Sudah, Mas, lebih baik kita keluar, biarkan Ibu istirahat."Aku mendorong Mas Andra keluar, sementara Mbak Rosa mendengus melihatku yang melewatinya. Aku harus belajar untuk tak mempedulikan wanita itu. Bisa-bisa, aku yang stress. "Eh, mau ke mana kalian?" tanya Mbak Rosa saat aku sudah mengambil tas."Aku akan pergi dengan Rosa saja, Nin
Mendengar nama anak bungsunya kusebut, Ibu segera menghampiri. Bukannya memeluk, beliau malah memukul kepala adik iparku itu. "Aw, Ibu!" sungutnya. "Dasar! Ke mana saja kamu selama ini? Kenapa nggak ada kabar?" Mas Kino meringis, kemudian memeluk erat ibunya. Ibu memang selalu bercerita bahwa ia merindukan anak bungsunya itu. Ditambah nomor Mas Kino memang jarang aktif. Tak ada signal, alasannya. Aku tersenyum melihat pasangan anak dan ibu itu melepas kerinduan. Aku segera ke belakang, berniat membuatkan minum untuk mereka. "Bu, mau ngapain?" tanya Mbok Minah saat melihatku tengah di dapur. "Ini, Mbok, mau bikin minum. Mas Kino pulang." Desi yang sedari tadi di dalam kamar, terlihat buru-buru keluar. Ia celingukan melihat ke depan. "Ada Mas Kino, Ning?" "Desi, panggil yang betul!" hardik Mbok Minah. "Sudah, nggak papa, Mbok. Lagipula memang Nining yang meminta. Risih dipanggil Ibu sama Desi. Mbok juga kalau mau manggil nama juga gapapa, tapi kalau di depan Ibu jangan, ya," u
"Hah?" Ibu bertanya. "Nggak, Bu. Kino mau ke kamar dulu. Capek, Bu," ucap Mas Kino sambil mengangkat tasnya dan masuk ke dalam kamarnya yang tepat berada di sisi ruang tamu. Tak lama kemudian, terdengar deru suara mobil masuk ke halaman. Aku tak berniat untuk membukakan pintu, biar saja. Benar saja, pintu terbuka kemudian terlihat Keysha masuk sambil cemberut. Kenapa anak itu? "Mama!" Keysha datang padaku dan langsung memeluk. Mbak Rosa dan Mas Andra datang bersamaan di belakangnya. Melihat Keysha yang memelukku, Mbak Rosa segera mengambil Keysha. "Lepas!" Keysha menghentakkan tangan ibu kandungnya itu. "Lihat, Ning! Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Kenapa dia jadi membangkang begini?!" Aku yang tak mengerti, hanya menoleh pada Mas Andra. Berharap ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi? "Sudahlah, Rosa. Lagipula, ini salahmu juga. Kenapa kamu pergi ninggalin kami selama ini? Inilah akibatnya. Anakmu malah dekat dengan orang lain daripada dirimu sendiri!" ucap Mas