Share

Bab 6

Setelah beberapa menit, pesanan kami datang. Ayam goreng, ikan bakar, capcay, dan juga sambal dendeng.

Aku melongo melihatnya. Kenapa makanannya banyak banget?

"Kenapa, Dek? Nggak suka makanannya?"

"Eh? Suka kok Pak, eh Mas."

Oke, aku memang belum terbiasa dengan panggilan baru ini. Kami mulai menyantap hidangan. Aku hanya mengambil capcay dan juga sambal dendeng.

"Nih, makan," ucap Mas Andra saat aku menyuapi Key makan.

Aku tertegun saat Mas Andra menaruh daging ikan yang sudah terpisah dari durinya, ke atas nasiku. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.

Usai makan, Mas Andra mengantar kami pulang, lalu langsung pergi lagi menuju kantor. Saat masuk ke rumah, Ibu yang tengah menonton televisi segera menghampiri kami.

"Key, ke Mbak Desi dulu minta mandi, ya? Habis ini kita jalan-jalan sama Oma."

Mendengar kata jalan-jalan, Key segera pergi ke belakang seraya memanggil Desi. Tanganku segera ditariknya menuju sofa.

"Bagaimana, Ning?" tanya Ibu.

"Bagaimana apanya, Bu?"

"Ih! Ya makan siang di kantornya."

Hem, ternyata sosok Ibu yang kalem kini hilang dari pandanganku. Ternyata, beliau sama saja dengan ibu-ibu lainnya.

"Rantangnya hilang, Bu."

"Hilang?"

Melihat ekspresinya, aku jadi takut sendiri. Apalagi, melihat merknya yang memang sedang digandrungi ibu-ibu jaman sekarang. Harganya pun tak bisa dibilang murah.

"Maaf, Bu," ucapku takut-takut.

"Terus, gagal makan siang barengnya?"

"Jadi, kok. Kami makan di restoran."

Senyum merekah di wajah Ibu, lalu aku menceritakan semua termasuk dengan wanita yang tadi ada di dalam ruangan Mas Andra. Kupraktekan juga bagaimana cara kami berkenalan tadi. Ibu terbahak.

"Dia sekretaris Andra. Memang begitu orangnya. Dia juga teman Andra sedari kecil."

Aku hanya manggut-manggut.

"Temen sih temen, tapi nggak harus dempet gitu juga kali," gumamku.

"Kenapa, Ning?"

"Ah, nggak, Bu."

--

Satu minggu kemudian.

Hubunganku dengan Mas Andra sudah mulai dekat. Sekarang aku sudah mulai menyiapkan baju kerja dan tidurnya. Sudah hampir menjadi istri. Hanya saja, kami masih tidur terpisah. Bedanya, sekarang aku di ranjang sedangkan Mas Andra di sofa.

Usai makan malam, aku menemani Key di kamarnya. Membacakan dongeng seperti biasanya. Sekarang, ia semakin dekat denganku.

Tok-tok!

Tak lama kemudian, Mas Andra masuk.

"Dek, ada telepon."

Aku menaikkan alis, tanda bertanya karena Key sebentar lagi akan tidur. Matanya pun sudah merem-melek.

"Dari Ibu."

Senyumku merekah. Selama ini aku memang jarang membuka ponsel. Mungkin karena belum terbiasa. Setelah memastikan Key tertidur, aku segera keluar dan menelpon Ibu.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"W*'alaikum salam. Apa kabar, Nduk?"

"Alhamdulillah, baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah."

Lalu, kami mulai mengobrol. Tak usah kuceritakan, nanti bisa satu halaman jika kuceritakan semua, hihi.

Setelah selesai, kumatikan telepon. Bahagia rasanya meskipun hanya lewat suara.

"Ning, ini uang bulananmu. Khusus buat keperluanmu sendiri. Maaf jika sedikit."

Mataku melebar saat melihat tumpukan uang di dalam amplop. Setelah kuhitung, jumlahnya ada tujuh juta. Sedikit katanya?

Orang kaya memang beda.

-

"Mama, Key pengen sekolah!" ucap Key beberapa hari kemudian. Mas Andra sampai menoleh pada putri kecilnya itu.

Ini adalah hari minggu. Mas Andra mengajak kami untuk ke mall, membeli kado untuk temannya yang hendak menikah minggu depan.

"Sekolah?"

Key mengangguk. Aku menoleh ke arah Mas Andra, meminta persetujuan darinya. Setelah ia mengangguk, akupun mulai berbicara pada anak yang sedang dalam pangkuanku ini.

"Kasih saja, Dek. Lagipula, tiga bulan lagi dia berumur empat tahun."

"Ya sudah, nanti Mama carikan, ya?"

Anak kecil itu tersenyum cerah. Kemudian merangkulku. Mas Andra pun ikutan tersenyum. Ya Allah, andai saja di hatinya sudah tumbuh cinta untukku, mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia sekarang ini.

Sampai di Mall, kami langsung menuju toko baju anak-anak. Aku memilih dress oanjang dengan tali ke belakang, berwarna biru muda. Sangat cantik untuk Keysha.

Lalu, beralih ke pakaian wanita. Aku bingung hendak memilih yang mana karena semua bajunya mahal-mahal. Paling murah enam ratus ribu, aku menelan saliva. Ini namanya pemborosan.

"Sudah, Dek?"

Aku menggeleng.

"Kenapa? Nggak ada yang bagus?"

"Bukan, harganya mahal banget," ucapku berbisik, takut terdengar oleh karyawan sini.

Mas Andra terkekeh, seumur hidup baru kali ini aku melihatnya tertawa. Oh jantung, semoga kamu tetap aman!

"Ini saja!"

Aku terdiam sambil memegangi baju yang Mas Andra pilihkan dan taruh di tanganku. Ini memang yang kuincar tadi, tapi melihat harganya yang fantastis, aku urung membelinya.

"Jangan yang ini, Mas. Mahal banget. Tuh lihat, satu juta delapan ratus!" ucapku sambil melihatkan bandrol harga padanya.

"Gapapa, beli aja."

"Tapi nanti uang yang kemarin kamu kasih jadi berkurang banyak. Nggak ah, di rumah masih banyak gamis dan gaun bagus yang waktu itu Ibu isikan," jawabku.

Mas Andra menghela napas, lalu membawanya ke kasir. Loh, loh, kok dibawa ke sana? Akhirnya aku pasrah. Sampai di depan kasir, Mas Andra sudah selesai membayar baju Keysha. Aku harus rela uang ini terpotong, padahal niatku kan buat bayar uang sekolah Keysha nanti. Tapi, tak apalah.

"Kamu mau ngapain?" tanya Mas Andra saat melihatku membuka dompet.

"Bayar, lah!"

Mas Andra hanya diam, lalu menenteng paperbag dan menuntun Key.

"Berapa, Mbak?" tanyaku.

"Sudah dibayar sama Bapak tadi, Bu," ucapnya.

Loh? Aku menoleh ke arah pintu, di sana Mas Andra tengah nyengir tanpa dosa.

Ish!

Orang tampan dan dingin itu, bisa ngerjain juga?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status