Share

Bab 7

"Pa, laper," ucap Key yang sedang dalam gendongan Mas Andra.

"Ya sudah, kita makan, ya?"

Kami pun masuk ke dalam restoran makanan. Tiga minggu menjadi istri Mas Andra membuatku mulai terbiasa dengan gaya makannya.

"Keysha tunggu di sini sama Mama, ya? Papa mau ke depan, pesan makanan."

Anak itu mengangguk. Mama. Baru kali ini ia membahasakan Mama untukku pada anaknya. Biasanya, ia hanya akan menunjukku.

Tak lama kemudian, Mas Andra daang membawa makanan yang sangat membuatku takjub.

"Mas, kenapa ayamnya banyak sekali? Satu juga cukup, kok!" protesku.

"Kamu ini, Dek, tinggal makan aja kok banyak protes." Aku hanya garuk-garuk kepala.

Baiklah, nanti saat pulang aku akan meminta yang satu dibungkus saja, untuk Desi di rumah.

--

Saat sampai di rumah, aku memberikan bungkusan makanan pada Desi dan Mbok Minah yang tengah duduk usai salat maghrib. Saking asyiknya kami main, jadi lupa waktu.

"Makasih banyak ya, Ning," ucap Mbok Minah. Aku mengangguk, kemudian masuk ke kamar mandi.

"Mau ngapain, Ning?" tanya Desi.

"Mau wudhu, maghrib tinggal dikit waktunya."

"Kenapa gak di kamarmu aja? Itu khusus untuk babu."

Aku menghentikan tangan yang sedang menggulung baju.

"Apa bedanya? Kita sama-sama manusia."

Apa juga si Desi itu? Kenapa juga sifat irinya tak hilang-hilang?

-

Malam hari.

Aku sudah berbaring di atas ranjang. Mencoba memejamkan mata karena ini sudah pukul delapan malam. Waktunya aku tidur.

"Dek."

Aku menoleh, lalu terlonjak saat wajah Mas Andra ternyata sudah berada di depanku.

"Duh, Mas, ngagetin aja tahu, nggak?"

"Hehe, maaf."

"Kenapa?"

"Nggak papa, Dek."

Sesaat, mata kami saling memandang. Lalu, ia mulai mengikis jarak di antara kami. Reflek, aku menutup mata. Ya Allah, jika memang ini waktu yang tepat, aku rela melayaninya.

Malam itu, kami lalui dengan panas. Mas Andra tidur begitu nyenyak.

Esok pagi.

Aku baru saja selesai mandi, rambutku pun masih basah. Mas Andrs tengah membaca koran di sofa. Tumben amat, biasanya jam segini dia sudah duduk di meja makan.

"Dek.'

"Ya?" jawabku.

"Yang semalem, makasih ya, dan juga, maaf."

Aku yang tengah menggosok rambutpun berhenti melakukannya.

"Maaf untuk apa?"

"Mungkin kamu belum siap."

Baru saja hendak menjawab, Ibu sudah teriak-teriak dari bawah. Mendengar itu, kami langsung turun ke bawah. Untung aku sudah berpakaian lengkap.

"Kenapa, Bu?" tanya Mas Andra begitu kami sampai ke bawah.

"Ada tamu. Itu!" tunjuknya pada seseorang yang berada di depan pintu.

Aku menoleh ke arah Mas Andra. Kenapa ia begitu terkejut? Siapa dia?

Wanita itu masuk sambil menyeret koper. Senyum tersungging di bibirnya. Aku yang berada di belakang Mas Andra pun hanya diam melihat. Sebenarnya, siapa dia?

"Mas!"

Aku terkejut saat wanita itu menghampiri dan memeluk Mas Andra. Aku begitu terkejut, tapi tidak dengan Ibu. Jangan-jangan, wanita ini...

"Aku kangen. Dah lama ga ketemu," ucapnya sambil mengecup pipi suamiku.

Dua kali aku terkejut, hingga kali ini aku sempat beristighfar. Sepertinya Mas Andra menyadari itu dan menjauhkan tubuh di wanita darinya.

Ibu menggenggam erat tanganku, tapi netranya tak lepas dari Mas Andra dan juga tamu itu. Aku tak henti-hentinya bertanya. Siapa dia? Kenapa memeluk suamiku? Kenapa menciumnya? Kenapa ngomong kangen? Begitu banyak pertanyaan hingga membuat tubuhku sedikit oleng.

"Ning!" seru Ibu sambil menahan tubuhku.

Mas Andra buru-buru berbalik dan menggendomg tubuhku menuju kamar. Entah kenapa, ada sakit yang menjalar di dalam sini. Mas Andra, siapa dia?

Ibu dan Wanita itu ikut naik ke atas, terlihat amarah di wajahnya. Ia memperhatikan sekeliling kamar, hingga menemukan foto pernikahan kami yang terpajang di dinding.

"Mas, kamu menikah lagi?" tanyanya.

Lagi? Berarti benar dugaanku, dia adalah istri Mas Andra. Bu Rosa. Bagaimana ini?

Mas Andra mengangguk sambil menggenggam tanganku. Ia sibuk mengatur rambut ini.

"Dia adalah istriku sekarang," jawab Mas Andra sambil menatapku, sangat lembut tatapan matanya.

"Apa?"

Wanita itu datang padaku, lalu..

"Ah!"

"Rosa, apa-apaan kamu?"

Mas Andra berusaha melepaskan tangan itu dari rambutku. Tak berhasil, malah yang ada makin sakit. Akhirnya, Mas Andra memeluknya. Wanita itu menangis, di pelukan suamiku.

Aku pun ikut menangis, bukan karena nyeri di kepala karena rambutku ditarik. Tapi, aku cemburu melihat Mas Andra memeluk wanita lain. Sekalipun itu adalah istri pertamanya.

Pintu kamar terbuka. Keysha sudah mandi, ditangannya ada sisir. Ia pasti meminta disisirkan rambutnya.

"Key?" panggilku.

Ia menatap Bu Rosa. Wanita itu pun menghentikan tangisnya.

"Mama!"

Bu Rosa merentangkan tangan, bersamaan dengan Keysha yang berlari ke arahnya.

"Sayang!"

Aku tersenyum kecut. Setelah ini, apakah aku akan dibuang? Mengingat istri pertama sekaligus ibunya Keysha itu sudah pulang kembali?

"Mama, Key mau disisirin rambutnya!"

Aku menatap anak itu yang kini berdiri di sampingku. Sedangkan Bu Rosa seakan terhenyak.

"Key, ini Mama!" Bu Rosa berusaha mendekat.

Anak kecil itu beringsut menghampiriku. Kemudian memeluk tangan ini.

"Bukan. Mamaku ya ini, kamu bukan mamaku!" seru Key.

Ada haru yang menyerubuk hati. Kuambil sisir itu dan mulai menyisirinya.

"Mas, apa yang sudah kamu lakukan pada anak kita?!" teriak Bu Rosa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status