"Pa, laper," ucap Key yang sedang dalam gendongan Mas Andra.
"Ya sudah, kita makan, ya?"Kami pun masuk ke dalam restoran makanan. Tiga minggu menjadi istri Mas Andra membuatku mulai terbiasa dengan gaya makannya. "Keysha tunggu di sini sama Mama, ya? Papa mau ke depan, pesan makanan."Anak itu mengangguk. Mama. Baru kali ini ia membahasakan Mama untukku pada anaknya. Biasanya, ia hanya akan menunjukku.Tak lama kemudian, Mas Andra daang membawa makanan yang sangat membuatku takjub."Mas, kenapa ayamnya banyak sekali? Satu juga cukup, kok!" protesku."Kamu ini, Dek, tinggal makan aja kok banyak protes." Aku hanya garuk-garuk kepala.Baiklah, nanti saat pulang aku akan meminta yang satu dibungkus saja, untuk Desi di rumah.--Saat sampai di rumah, aku memberikan bungkusan makanan pada Desi dan Mbok Minah yang tengah duduk usai salat maghrib. Saking asyiknya kami main, jadi lupa waktu."Makasih banyak ya, Ning," ucap Mbok Minah. Aku mengangguk, kemudian masuk ke kamar mandi."Mau ngapain, Ning?" tanya Desi."Mau wudhu, maghrib tinggal dikit waktunya.""Kenapa gak di kamarmu aja? Itu khusus untuk babu."Aku menghentikan tangan yang sedang menggulung baju."Apa bedanya? Kita sama-sama manusia."Apa juga si Desi itu? Kenapa juga sifat irinya tak hilang-hilang?-Malam hari.Aku sudah berbaring di atas ranjang. Mencoba memejamkan mata karena ini sudah pukul delapan malam. Waktunya aku tidur."Dek."Aku menoleh, lalu terlonjak saat wajah Mas Andra ternyata sudah berada di depanku."Duh, Mas, ngagetin aja tahu, nggak?""Hehe, maaf.""Kenapa?""Nggak papa, Dek."Sesaat, mata kami saling memandang. Lalu, ia mulai mengikis jarak di antara kami. Reflek, aku menutup mata. Ya Allah, jika memang ini waktu yang tepat, aku rela melayaninya.Malam itu, kami lalui dengan panas. Mas Andra tidur begitu nyenyak.Esok pagi.Aku baru saja selesai mandi, rambutku pun masih basah. Mas Andrs tengah membaca koran di sofa. Tumben amat, biasanya jam segini dia sudah duduk di meja makan."Dek.'"Ya?" jawabku."Yang semalem, makasih ya, dan juga, maaf."Aku yang tengah menggosok rambutpun berhenti melakukannya."Maaf untuk apa?""Mungkin kamu belum siap."Baru saja hendak menjawab, Ibu sudah teriak-teriak dari bawah. Mendengar itu, kami langsung turun ke bawah. Untung aku sudah berpakaian lengkap."Kenapa, Bu?" tanya Mas Andra begitu kami sampai ke bawah."Ada tamu. Itu!" tunjuknya pada seseorang yang berada di depan pintu.Aku menoleh ke arah Mas Andra. Kenapa ia begitu terkejut? Siapa dia?Wanita itu masuk sambil menyeret koper. Senyum tersungging di bibirnya. Aku yang berada di belakang Mas Andra pun hanya diam melihat. Sebenarnya, siapa dia?"Mas!"Aku terkejut saat wanita itu menghampiri dan memeluk Mas Andra. Aku begitu terkejut, tapi tidak dengan Ibu. Jangan-jangan, wanita ini..."Aku kangen. Dah lama ga ketemu," ucapnya sambil mengecup pipi suamiku.Dua kali aku terkejut, hingga kali ini aku sempat beristighfar. Sepertinya Mas Andra menyadari itu dan menjauhkan tubuh di wanita darinya.Ibu menggenggam erat tanganku, tapi netranya tak lepas dari Mas Andra dan juga tamu itu. Aku tak henti-hentinya bertanya. Siapa dia? Kenapa memeluk suamiku? Kenapa menciumnya? Kenapa ngomong kangen? Begitu banyak pertanyaan hingga membuat tubuhku sedikit oleng."Ning!" seru Ibu sambil menahan tubuhku.Mas Andra buru-buru berbalik dan menggendomg tubuhku menuju kamar. Entah kenapa, ada sakit yang menjalar di dalam sini. Mas Andra, siapa dia?Ibu dan Wanita itu ikut naik ke atas, terlihat amarah di wajahnya. Ia memperhatikan sekeliling kamar, hingga menemukan foto pernikahan kami yang terpajang di dinding."Mas, kamu menikah lagi?" tanyanya.Lagi? Berarti benar dugaanku, dia adalah istri Mas Andra. Bu Rosa. Bagaimana ini?Mas Andra mengangguk sambil menggenggam tanganku. Ia sibuk mengatur rambut ini."Dia adalah istriku sekarang," jawab Mas Andra sambil menatapku, sangat lembut tatapan matanya."Apa?"Wanita itu datang padaku, lalu.."Ah!""Rosa, apa-apaan kamu?"Mas Andra berusaha melepaskan tangan itu dari rambutku. Tak berhasil, malah yang ada makin sakit. Akhirnya, Mas Andra memeluknya. Wanita itu menangis, di pelukan suamiku.Aku pun ikut menangis, bukan karena nyeri di kepala karena rambutku ditarik. Tapi, aku cemburu melihat Mas Andra memeluk wanita lain. Sekalipun itu adalah istri pertamanya.Pintu kamar terbuka. Keysha sudah mandi, ditangannya ada sisir. Ia pasti meminta disisirkan rambutnya."Key?" panggilku.Ia menatap Bu Rosa. Wanita itu pun menghentikan tangisnya."Mama!"Bu Rosa merentangkan tangan, bersamaan dengan Keysha yang berlari ke arahnya."Sayang!"Aku tersenyum kecut. Setelah ini, apakah aku akan dibuang? Mengingat istri pertama sekaligus ibunya Keysha itu sudah pulang kembali?"Mama, Key mau disisirin rambutnya!"Aku menatap anak itu yang kini berdiri di sampingku. Sedangkan Bu Rosa seakan terhenyak."Key, ini Mama!" Bu Rosa berusaha mendekat.Anak kecil itu beringsut menghampiriku. Kemudian memeluk tangan ini."Bukan. Mamaku ya ini, kamu bukan mamaku!" seru Key.Ada haru yang menyerubuk hati. Kuambil sisir itu dan mulai menyisirinya."Mas, apa yang sudah kamu lakukan pada anak kita?!" teriak Bu Rosa.Mas Andra membawa Bu Rosa keluar. Aku tahu, ia pasti tak ingin bertengkar di hadapan anaknya."Mama, tadi itu siapa?" tanyanya. Aku menatap Bu Mega. Bingung harus menjawab apa? Karena memang seusianya pasti belum mengetahui apa itu ibu kandung dan juga ibu tiri?"Nanti kita kasih tahu. Keysha sudah sarapan?" tanya Bu Mega. "Belum, Oma. Kan mau sarapan bareng Papa, Mama, sama Oma." Bu Mega tersenyum, kemudian pamit keluar. Beliau pasti ingin tahu alasan Bu Rosa ke mana saja selama ini. Setelah mengikat rambut Keysha, aku membawa anak itu naik ke atas ranjang. Untung, semalam sprei ini sudah kuganti dengan yang bersih. "Key, mau dibacain dongeng, nggak?" tawarku. "Mau dong, Ma." Karena tak ada buku di sini, maka aku mengambil koran. Dulu, biasanya di halaman tengah suka ada dongeng atau cerita yang dikirimkan oleh penulis ke perusahaan koran tersebut. Key ikut duduk di sofa, lalu tubuhnya memelukku. Ya Allah, aku memang belum punya anak, tapi melihatnya begini, aku sudah merasa
Sekarang, kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Aku menghela napas panjang, menghampiri suami yang masih duduk di sisi ranjang Mbak Rosa. "Biarkan aku yang pergi, Mas. Aku sadar diri. Memang sebaiknya, dari awal aku tak pernah menyetujui pernikahan ini," ucapku. Mas Andra mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dek. Kamu tak perlu pergi. Apa kalian tak bisa hidup satu atap bersama? Atau, Rosa, bagaimana jika kamu pergi dari sini?" Mata Mbak Rosa melebar. Ia pasti tak menyangka akan diusir oleh suaminya. "Nggak, Mas! Suamiku ada di sini, begitupula dengan anakku. Kenapa nggak pelakor itu aja?!" "Mbak, aku ini bukan pelakor! Kenapa selalu saja memanggilku dengan sebutan itu?!" "Karena kamu memang pelakor." Aku tersenyum sinis. Kesabaranku benar-benar diuji oleh wanita itu. "Ya, katakanlah aku pelakor. Setidaknya, aku tak akan pernah meninggalkan anak dan suamiku, aku mengurus anak yang ditinggalkan oleh orang yang menuduhku pelakor. Aku mengurus suami oleh oran
Andra mendongak, kedua matanya terus memandangi wanita di hadapannya itu. "Apa maksudmu?" "Kamu memang lebih mencintai wanita itu, kan? Jawab, Mas! Kamu memang telah berubah. Hiks." Andra termenung. Benarkah ia sudah mencintai Nining? Gadis desa yang terpaksa dinikahinya itu? Rosa mulai menangis. Awalnya hanya isakan saja, tapi lama kelamaan berubah menjadi kencang. Andra pusing mendengarnya. Ia sudah mengorbankan waktunya, seharusnya ia sudah berangkat kerja tadi pagi. "Argh!" Andra bangkit dan keluar. Tak mempedulikan Rosa yang mencoba menarik perhatiannya lewat tangisan. "S*al!" Rosa memukul ranjang, rahangnya mengeras. Baru kali ini, ia merasa diremehkan. Andra, memang sudah berubah padanya. Sebuah seringai jahat, terbit di bibir seksi milik Rosa. Wanita itu mulai menggumam."Lihat saja, Mas. Apa kamu masih dapat membela Nining dan cuek padaku nantinya?"-Pov Nining Beberapa hari setelah insiden kedatangan Mbak Rosa, akhirnya diputuskanlah kalau aku dan Mbak Rosa akan ti
"Key, nanti dulu, kan belum sisiran." Citra datang dengan napas tersengal-sengal. Aku menatap ke arah Keysha. "Key, tadi pakai bajunya sambil lari-larian, ya?" tanyaku dengan nada tegas."Iya, Ma."Kulepaskan pelukan ditubuhya, lalu menatap manik berwarna cokelat itu. "Kan sudah Mama bilang, jangan seperti itu. Kasihan Mbak Citra." Key hanya mengangguk, detik kemudian aku dan dia tertawa. Selalu seperti ini, aku tak bisa marah padanya. S*al emang. "Sini, Cit, biar saya aja yang nyisirin rambutnya. Kamu istirahat aja."Tak sengaja, aku melihat Mbak Rosa tengah menatapku tajam. Aku hanya melengos. Jika dibiarkan, wanita itu bisa saja terus memperlakukanku begitu. "Mas ikut ke sekolahan, Ning."Aku menoleh padanya yang sedari tadi fokus makan. Begitupun dengan Mbak Rosa. "Baik, Mas," jawabku sambil tersenyum. "Ehm, kan ibu kandungnya Keysha itu saya, jadi biar saya saja yang pergi. Kamu di rumah," ucap Mbak Rosa tiba-tiba. Aku dan Mas Andra sama-sama terkejut, apalagi lelaki itu
Genggaman tangan Mas Andra padaku tiba-tiba terlepas. Apa ini? Kenapa aku memiliki firasat buruk? "Mas?" Aku memanggil, namun ia hanya diam dan memandang lurus ke arah Mbak Rosa. "Bisa tidak, jangan menyulut pertengkaran pagi-pagi, Ros?" Kali ini Mas Andra berbicara pada Mbak Rosa. Wanita itu memandang ke arahku, lalu ke arah Ibu. Senyum sinis tersungging di wajahnya. "Harusnya kamu sadar, Mas, melek! Yang bikin kita bertengkar itu ibumu. Kamu lupa, kalau dia yang mengusulkanmu untuk menceraikanku? Kenapa jadi aku yang salah?" Kali ini Mas Andra diam. Ia seperti kena skak mat oleh Mbak Rosa. Ibu hanya menghela napas sembari mengelus dadanya. "Sudah, Mas, lebih baik kita keluar, biarkan Ibu istirahat."Aku mendorong Mas Andra keluar, sementara Mbak Rosa mendengus melihatku yang melewatinya. Aku harus belajar untuk tak mempedulikan wanita itu. Bisa-bisa, aku yang stress. "Eh, mau ke mana kalian?" tanya Mbak Rosa saat aku sudah mengambil tas."Aku akan pergi dengan Rosa saja, Nin
Mendengar nama anak bungsunya kusebut, Ibu segera menghampiri. Bukannya memeluk, beliau malah memukul kepala adik iparku itu. "Aw, Ibu!" sungutnya. "Dasar! Ke mana saja kamu selama ini? Kenapa nggak ada kabar?" Mas Kino meringis, kemudian memeluk erat ibunya. Ibu memang selalu bercerita bahwa ia merindukan anak bungsunya itu. Ditambah nomor Mas Kino memang jarang aktif. Tak ada signal, alasannya. Aku tersenyum melihat pasangan anak dan ibu itu melepas kerinduan. Aku segera ke belakang, berniat membuatkan minum untuk mereka. "Bu, mau ngapain?" tanya Mbok Minah saat melihatku tengah di dapur. "Ini, Mbok, mau bikin minum. Mas Kino pulang." Desi yang sedari tadi di dalam kamar, terlihat buru-buru keluar. Ia celingukan melihat ke depan. "Ada Mas Kino, Ning?" "Desi, panggil yang betul!" hardik Mbok Minah. "Sudah, nggak papa, Mbok. Lagipula memang Nining yang meminta. Risih dipanggil Ibu sama Desi. Mbok juga kalau mau manggil nama juga gapapa, tapi kalau di depan Ibu jangan, ya," u
"Hah?" Ibu bertanya. "Nggak, Bu. Kino mau ke kamar dulu. Capek, Bu," ucap Mas Kino sambil mengangkat tasnya dan masuk ke dalam kamarnya yang tepat berada di sisi ruang tamu. Tak lama kemudian, terdengar deru suara mobil masuk ke halaman. Aku tak berniat untuk membukakan pintu, biar saja. Benar saja, pintu terbuka kemudian terlihat Keysha masuk sambil cemberut. Kenapa anak itu? "Mama!" Keysha datang padaku dan langsung memeluk. Mbak Rosa dan Mas Andra datang bersamaan di belakangnya. Melihat Keysha yang memelukku, Mbak Rosa segera mengambil Keysha. "Lepas!" Keysha menghentakkan tangan ibu kandungnya itu. "Lihat, Ning! Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Kenapa dia jadi membangkang begini?!" Aku yang tak mengerti, hanya menoleh pada Mas Andra. Berharap ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi? "Sudahlah, Rosa. Lagipula, ini salahmu juga. Kenapa kamu pergi ninggalin kami selama ini? Inilah akibatnya. Anakmu malah dekat dengan orang lain daripada dirimu sendiri!" ucap Mas
Mas Kino membawaku ke sebuah danau. Terhampar luas, indah, namun sepi. Tak ada seorang pun. Hanya aku dan Mas Kino di sini. Kuhela napas barang sebentar. Menikmati semilir angin yang terasa menyejukkan, meskipun hatiku tengah berkemelut hebat. "Bagaimana bisa kamu menikah dengan Mas Andra, Ning? Kamu tahu sendiri, dia itu masih punya istri."Aku bergeming. Bingung harus memulai dari mana cerita yang bahkan aku sendiri tak memiliki kendali di dalamnya. "Ning?" "Nining juga nggak tahu, Mas. Semuanya terjadi begitu saja. Karena kebaikan Bu Mega dan kasih sayangku pada Keysha, aku nggak bisa menolak, Mas."Mas Kino menghela napas. Kupindai raut wajahnya, ada setitik rasa kecewa di dua manik itu. "Kenapa?" tanyanya. Aku menoleh, tak paham dengan pertanyaannya. Apanya yang kenapa? "Maksudnya?""Kenapa harus Mas Andra?" Aku terdiam, juga bingung harus menjawab apa. Mungkin memang sudah takdirnya aku bersama Mas Andra, kan? "Kenapa nggak sama aku aja, Ning?" Lagi, ia berbicara seaka