Share

Part 4

Hari yang dinanti oleh keluarga Angga dan Andini akhirnya tiba. Hari Minggu, 3 November 20xx menjadi hari dimana dua insan itu di persatukan dalam ikatan yang suci.

Andaikan semua ini sesuai dengan pernikahan yang diimpikan oleh Andini dan juga pasangan yang Andini inginkan, pasti akan terasa membahagiakan bagi Andini. 

Sayangnya, dirinya hanya pengantin dadakan yang di minta untuk mengganti posisi Vika untuk menjadi pendamping Angga. Dirinya hanya di jadikan alat agar orangtua Angga tidak malu karena pernikahan anaknya gagal.

Ya, harusnya Andini sadar akan hal ini sejak awal. Tapi Andini justru terlalu larut dalam kesedihannya. Sehingga tidak sadar bahwa hari pernikahannya telah tiba.

Andini menuruni tangga. Dia terlihat sangat cantik dalam balutan gaun dengan detail kerah V-neck yang cantik. Gaun dengan aksen bordir bunga yang elegan dan warna pastel memberikan tampilan yang anggun dan manis secara instan. Gaun brokat yang modern dengan penambahan detail kerah V-neck. Aksen kerah V-neck yang didapatkan dari bahan satin yang warnanya senada dengan bahan gaun dan hijab. Gaun yang di pakai Andini dapat memberikan ilusi tubuh lebih jenjang dan ramping. 

Angga juga terlihat begitu tampan dengan jas hitamnya yang membentuk pas tubuhnya yang tegap dan kekar. Untuk sesaat, keduanya sama-sama saling mengagumi.

Dulu setiap melihat Angga berbalut jas dokternya, Andini merasa biasa saja. Tapi entah kenapa saat ini ketampanan Angga di mata Andini meningkat berkali-kali lipat.

Sentuhan tangan Angga saat menyambutnya menggetarkan hati Andini.

Tidak. Andini dengan keras menolak perasaan itu. Andini tidak ingin terbuai. Baginya, pernikahan ini hanyalah sebagai alat agar keluarga Angga tidak malu. Itu saja, tidak lebih.

Dan masih tidak terpikirkan oleh Andini, kenapa keluarga Andini mau-mau saja saat keluarga Angga melamar dirinya. Tidak sadarkah mereka bahwa anak mereka sedang dijadikan alat agar mereka tidak malu? Pikir Andini.

"Kamu cantik, Ndin," bisik Angga tepat di telinga Andini. Keduanya sudah duduk di depan penghulu untuk melaksanakan ijab qobul.

Kalau perempuan lain, harusnya dia tersipu mendengar pujian itu. Tapi tidak dengan Andini. Justru hatinya di penuhi dengan rasa yang tidak bisa didefinisikan lagi. Antara marah, benci, kesal. Entahlah. 

Andini memejamkan matanya saat tangan ayahnya menjabat tangan Angga lalu mengucapkan ijab atas dirinya.

Dan dalam satu tarikan napas, Angga menerimanya dengan tegas. "Saya terima nikah dan kawinnya Andini Fajrina binti Seno Hutami dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Sah?"

"Sah."

"Sah."

"Alhamdulillah..."

Tadinya, Andini berharap ini semua hanya mimpi. Tapi di saat dia membuka matanya, semua itu nyata. 

Matanya langsung menangkap ayahnya yang menunduk berdoa dan  mengusap ujung matanya. Andini tahu itu adalah air mata haru. Ayahnya pasti bahagia dengan pernikahannya dengan Angga.

Setelah menandatangani berkas pernikahan, Andini dan Angga di minta untuk berdiri untuk melakukan penyerahan mas kawin secara simbolis dan langsung di dokumentasikan.

Sejumlah uang mainan yang biasa di rangkai dan di bentuk lalu dimasukkan ke dalam bingkai kayu. Sedangkan uang asli sudah di serahkan secara langsung kepada Andini.

Cincin emas putih di lingkarkan Angga pada jari manis Andini. Tangan Andini yang terasa dingin membuat Angga menarik kedua sudut bibirnya.

Selanjutnya, Andini juga memakaikan cincin di jari manis Angga. Bedanya, untuk Angga bukan emas karena memang dalam Islam seorang laki-laki tidak di perbolehkan menggunakan perhiasan emas. Untuk Angga, cincin yang dia pakai terbuat dari palladium.

Setelah keduanya selesai memasangkan cincin kawin dan fotografer pun sudah mendokumentasikannya, Andini di minta untuk mencium tangan Angga, dan Angga pun di minta untuk mencium kening Andini.

Ribuan kupu-kupu terasa berterbangan di perut Andini saat benda kenyal milik Angga menempel di keningnya. Andini memejamkan mata menikmati kecupan lembutnya. 

Tuhan... Aku hanya wanita biasa yang pasti merasa lemah ketika di perlakukan seperti ini langsung baper.

Nyatanya, rasa benci dan amarah yang dia rasakan kini sudah mulai berkurang saat Angga sudah mengucapkan ijab qobul atas dirinya. Berganti dengan rasa deg-degan saat perlahan kulit mereka saling bersentuhan. 

Tentu rasanya berbeda dengan dulu saat status mereka hanya seorang sahabat saja.

Bagaimanapun, surga nerakanya kini ada pada Angga. Angga sudah bertanggungjawab atas dirinya.

Kemudian Angga meletakkan satu tangannya di kepala Andini dan satu tangannya lagi menengadah seraya berdoa, “Allahumma inni as'aluka min khoirihaa w* khoirimaa jabaltahaa 'alaih. W* a'udzubika min syarrihaa w* syarrimaa jabaltaha 'alaih.”

Yang artinya: ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya.

***

Angga dan Andini sudah ada di kamar Andini yang sudah di dekorasi sedemikian rupa. Andini masih tidak habis pikir untuk apa dekorasi itu di pasang di kamarnya. Hanya akan menambah sempit, sumpek, dan berantakan saja.

Keluarga Andini belum mengadakan resepsi pernikahan karena persiapannya yang singkat. Hanya satu minggu. Seno dan Dewi memutuskan untuk mengadakan akad nikah saja. Untuk resepsi, bisa dipikirkan lagi nanti kalau sudah waktu mereka sudah cukup longgar. 

Tapi, di rumah Angga akan tetap di adakan acara ngunduh mantu dua hari lagi karena persiapan disana jauh lebih matang. 

Andini melepas satu persatu aksesoris yang ada di kepalanya. Termasuk jarum-jarum yang digunakan untuk menyatukan aksesoris dengan jilbab yang di pakai Andini.

Hari sudah sore dan Andini sudah tidak tahan lagi memakai gaun yang menurutnya ribet dan membatasi geraknya. Rasanya ingin segera melepaskannya lalu menyiram tubuhnya dengan air dingin agar terasa segar.

"Hey, aku duluan yang mandi." Teriakan Andini menahan langkah Angga yang akan masuk ke kemar mandi yang ada di kamar Andini.

Angga mengusap dadanya seolah dia terkejut. "Pelan-pelan aja kenapa, sih, Ndin? Suamimu ini belum tuli, ya."

Andini bergidik jijik mendengar Angga menyebut dirinya sebagai suami.

"Kenapa ekspresinya begitu? Mau mandi bareng?"

"Ih, ogah. Udah, aku duluan yang mandi."

Andini mengangkat gaunnya agar bisa melangkah dengan cepat. Lalu menyingkirkan tubuh Angga dari depan pintu kamar mandi.

"Eits." Tahan Angga dengan memegang lengan Andini. "Aku duluan."

"Ya Allah... Ini kamar mandi kamarku, biasanya aku pakai sesuka hati aku tapi kenapa sekarang susah sekali." Andini mengeluh dramatis. Seolah dia sedang teraniaya.

"Nggak usah lebay, deh. Minggir dulu. Kalau nggak mau minggir tak aku bawa kamu ke kamar mandi dan kita mandi berdua."

Seketika Andini langsung bergeser setelah mendengar ucapan Angga. "Jangan mimpi, ya!" Andini kembali duduk di atas ranjang.

***

Malam harinya, keduanya sudah bersiap untuk tidur. Tapi Andini masih merasa aneh saat melihat Angga keluar masuk kamarnya dengan bebas. Rasanya masih tidak percaya bahwa sahabatnya itu kini telah menjadi suaminya.

Andini merasa gugup. Bagaimanapun juga, meskipun dia sahabat Andini sejak kecil, namun tidak pernah sekalipun mereka berada di dalam kamar hanya berdua begini.

Tidak ada lelaki lain yang masuk ke kamarnya selain ayah dan adiknya. Tentu saja. Siapa juga laki-laki yang akan masuk ke kamarnya?

Andini yang sedang duduk di depan meja rias sambil mengusap krim malam diwajahnya pun sedikit melirik Angga. Dia terlihat tenang berbaring di atas tempat tidur dengan satu tangan di jadikan bantal, dan tangan satunya untuk memegang handphone.

Mengabaikan rasa gugupnya, Andini ikut berbaring di samping Angga yang kosong. Tentu dengan guling menjadi pembatas antara dirinya dengan Angga.

"Kenapa gulingnya harus ditengah?" protes Angga.

Andini tersenyum paksa. "Biar nggak jatuh. Kasian kalau di pinggir sendiri."

"Di pindah aja kenapa, sih?"

"Eeehhh..." Andini menarik kembali guling yang sudah hampir di buang oleh Angga. "Biarkan tetap disini. Ini pembatas di antara kita."

"Kenapa harus_"

"Ssstt!" Andini menempelkan telunjuknya ke atas bibir sebagai kode agar Angga diam. "Jangan banyak omong. Aku mau tidur, capek."

Angga ingin menjawab lagi, tapi saat Andini menaikkan selimutnya dan berbaring memunggunginya, Angga hanya bisa menelan kembali apa yang ingin dia ucapkan.

"Ndin, boleh unboxing nggak?" tanya Angga setelah mereka saling diam.

Andini merubah posisinya menjadi berbaring. "Apanya? Kado-kado di atas lemari itu?" Mata Andini terarah pada tumpukan kado yang di susun rapi di atas lemari oleh kedua sepupunya.

"Bukan."

"Terus apa?"

"Unboxing kamu, dong."

Andini memukul lengan Angga yang keras, lalu berbalik badan menjadi membelakangi Angga. "Dasar mesum! Udah mending aku nggak nyuruh kamu pulang ke rumah kamu sendiri."

"Yah..." Angga mendesah kecewa. "Padahal yang di bawah udah meronta-ronta, Ndin."

"Bodoh amat," sahut Andini dengan cepat.

"Kamu tega, Ndin?"

"Nggak peduli."

"Ndin..."

"Iih. Bisa diam nggak?" Andini melayangkan pukulan pada Angga menggunakan guling. "Mau tidur aja susah banget, sih, karena ada kamu. Keluar aja kalau nggak bisa diam."

Angga langsung terdiam. Tak bergerak apalagi bersuara. Matanya terus menatap Andini yang kembali merebahkan tubuhnya sambil menggerutu kesal.

"Baru sehari jadi suami aja nyebelinnya minta ampun. Gimana besok-besok? Bisa mati muda kalau hidup sama kamu terus."

Dari sini, Angga paham. Andini belum sepenuhnya menerima pernikahan mereka. Angga tidak marah, Angga juga tidak kecewa. Ini semua salahnya. Jadi dia harus terima apapun resikonya. 

Dan tugas Angga adalah, menunjukkan pada Andini bahwa dia mampu membuat Andini bahagia. 

Yang kata Andini dirinya begitu mengesalkan, akan dia buktikan bahwa dirinya akan menjadi orang yang paling membahagiakan Andini.

Akan Angga tunjukkan pada Andini bahwa dia mampu menjadi suami yang baik untuk Andini. Juga ayah yang baik untuk anak-anak mereka nanti. 

Tunggu, Angga berpikir lagi. 

Bagaimana bisa punya anak kalau yang di ajak buat anak saja galaknya minta ampun?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status