Share

Part 6

Weekend, hari yang paling di tunggu oleh Andini. Dia bisa bangun siang sesuka hatinya tanpa takut terlambat pergi bekerja. 

Tapi, harapan tinggal harapan. Angga memaksanya untuk bangun karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli isi kulkas dan perabotan yang lainnya yang belum ada di rumah baru mereka.

Belanja adalah hal yang membahagiakan bagi Andini. Tapi kali ini tidak karena belanjanya dengan lelaki yang dia rasa kini sangat menyebalkan baginya.

Andini seolah lupa kalau sebelum mereka di nikahkan, mereka adalah sepasang sahabat yang seperti tidak bisa di pisahkan oleh apapun. Tapi kini, Andini menganggap Angga seperti orang asing, yang baru saja masuk ke dalam hidupnya dan merusak tatanan hidupnya.

Terpaksa Andini mengikuti Angga meskipun dengan tampang kusutnya. Bibir mengerucut, tatapan matanya yang galak yang harus Angga nikmati sepanjang perjalanan ke mall.

"Beli mesin cuci dulu dan yang lainnya dulu ya, Ndin."

"Terserah kamu aja!" jawab Andini dengan sengit.

Keduanya langsung turun dari mobil. Melangkah berdua menuju toko elektronik yang ada di dalam mall. 

Kalau bayangannya mereka bergandengan tangan, kalian salah!

Keduanya menjaga jarak, lebih tepatnya Andini yang menjaga jarak dari Angga. Andini merasa begitu enggan berdekatan dengan Angga. Dia harus membatasi diri agar tidak terlalu dekat dengan Angga.

"Mau yang satu tabung atau dua tabung, Ndin?" tanya Angga saat melihat mesin cuci.

"Dua aja," jawab Andini enggan.

"Oke." Tanpa bertanya lagi Andini menginginkan mesin cuci yang seperti apa, Angga segera memilih mesin cuci pilihannya.

Andini hanya bisa melongo melihat total belanjaan mereka di toko elektronik. Tidak hanya mesin cuci, tapi mulai dari blender, rice cooker terbaru, food processor merk terbaru, dan beberapa alat dapur modern dengan merk dan kualitas terbaru.

Belum selesai keterkejutan Andini dengan harga elektronik yang mereka beli, Angga sudah menarik tangannya menuju tempat perbelanjaan bahan dapur dan keperluan yang lainnya.

"Ambil agak banyak sekalian untuk stok sebulan, Ndin," titah Angga pada Andini yang sedang memasukkan beberapa pasta gigi ke dalam troli.

Andini tidak menjawab, tapi gerak tangannya melakukan sesuai dengan titah Angga.

Setelah bagian sabun dan alat mandi lainnya, Andini berjalan menuju ke bagian keperluannya sendiri sebagai seorang perempuan. Tanpa rasa malu, Andini memasukkan beberapa kotak pembalut siang dan malam ke dalam troli.

"Banyak amat, Ndin? Nggak ada rencana buat hamil dalam waktu dekat?"

Nyali Angga menciut saat mendapat tatapan kesal dari Andini. "Nggak usah banyak komentar. Atau kamu selesaikan sendiri belanjanya."

"Oke, oke," jawab Angga sambil mengangkat kedua tangannya. Tanda dia menyerah dan mengalah melawan sikap Andini.

Acara belanja yang berlangsung selama hampir empat jam itu akhirnya selesai juga. Setelah makan siang di sebuah restoran, Andini dan Angga akhirnya pulang ke rumah.

Angga mengurus barang-barang elektronik yang baru saja tiba. Sedangkan Andini mengurus belanjaan yang lainnya seperti sabun, bahan makanan dan buah-buahan.

Mulai dari menata sayur-sayuran dan buah-buahan ke dalam kulkas. Menempatkan bahan makanan pada tempat yang sudah dia siapkan. Sabun dan lainnya juga sudah berada di tempatnya.

Pekerjaan mereka belum selesai. Mereka masih harus menata barang elektronik lainnya yang mereka beli tadi.

"Capek banget." Andini merebahkan tubuhnya di atas karpet yang ada di ruang keluarga di lantai satu.

Waktu sudah hampir maghrib tapi mereka baru saja selesai menata hunian mereka menjadi lebih rapi dan tertata.

"Minum dulu, Ndin. Ada es jeruk nih."

"Wah, seger, nih." Andini mengambil segelas es jeruk yang ada di atas meja yang di letakkan oleh Angga.

Menenggaknya sedikit demi sedikit. Membasahi kerongkongannya yang terasa kering, serta menghilangkan dahaga yang dia rasakan setelah lelah seharian ini.

Angga tersenyum senang melihat Andini meminum minuman yang dia bawakan.

"Mandi dulu, Ndin. Habis itu sholat dan langsung istirahat," ucap Angga saat melihat Andini telah menghabiskan segelas es jeruknya.

Andini mengangguk dan segera beranjak menuju kamarnya tanpa banyak bicara pada Angga. Bahkan hanya sekedar mengucapkan terimakasih atas minuman yang baru saja dia habiskan.

Tapi, Angga tak masalah akan hal itu. Semua butuh waktu, termasuk untuk menaklukkan hati Andini.

***

Kelelahan membuat Andini terlambat bangun pagi ini. Pukul tujuh, biasanya dia sudah berangkat, kini dia baru saja selesai mandi. Semua karena dia sangat kelelahan sehingga setelah sholat subuh, dia kembali tertidur.

Andini berlari menuruni tangga setelah merasa penampilannya sudah rapi. 

"Sarapan dulu, Ndin," ucap Angga dengan sedikit berteriak. Andini langsung keluar rumah tanpa menyapanya yang sedang duduk di meja makan.

"Enggak sempat. Aku udah telat," balas Andini dengan sedikit berteriak juga. 

"Mau naik apa? Aku antar, ya."

Andini menggeleng tanpa menatap Angga. Dia masih sibuk memakai sepatunya. "Aku naik ojek aja, lebih cepat."

Baru saja Angga ingin menahan Andini, sekedar ingin di pamiti sebelum Andini pergi, Andini sudah berlari keluar gerbang karena ojek yang dia pesan sudah sampai.

Angga hanya mampu terdiam. Menelan bulat-bulat kekecewaannya atas sikap Andini yang sepertinya sangat enggan membuka hati untuknya.

Angga berpikir, apa susahnya bagi Andini untuk merubah perasaannya yang semula rasa sayang sebagai sahabat menjadi rasa sayang sebagai suami istri?

Apa susahnya bagi Andini menjalani pernikahan yang sudah menjadi takdir mereka?

***

Hari ini Angga sudah mulai masuk kerja. Hanya saja dia ada jadwal jaga malam. Jadi di pukul setengah empat sore, Angga baru berangkat ke rumah sakit.

"Angga, pengantin baru, nih." Salah satu rekannya yang sesama dokter, Sandy, menggoda si pengantin baru yang hanya bisa tersenyum tipis menutupi nasib pernikahannya.

Kalau pengantin lain, mungkin mereka masih panas-panasnya dalam segala hal di dalam pernikahan. Termasuk dalam berkasihsayang dan bercinta layaknya pengantin yang lain. Tapi, hal itu tidak terjadi pada kehidupan pernikahan Angga.

"Selamat ya, Dokter Angga. Maaf, kemarin saya tidak bisa datang." Dokter Namira, turut memberikan ucapan.

Dokter Namira adalah sosok yang sempat mencuri hatinya. Namun Angga harus patah hati karena ternyata Dokter Namira sudah menikah dua tahun yang lalu.

Bahkan saat Angga mulai ada rasa dengan Dokter Namira, saat itu juga Dokter Namira telah mengandung buah hatinya bersama suaminya yang tercinta.

Terlalu sedih jika di ceritakan kisah cinta Angga ini. Tampan, tapi tak beruntung dalam asmara.

"Terimakasih, Dok. Tidak masalah, yang terpenting adalah do'nya," balasnya dengan membalas jabat tangan dari Dokter Namira.

Tidak hanya dari Dokter Namira saja Angga mendapatkan ucapan selamat. Tapi juga dari dokter senior dan dokter-dokter yang lainnya.

Para perawat pun tak ketinggalan untuk mengucapkan selamat untuk pernikahan Angga. Lucunya, ada dari mereka yang terang-terangan mengatakan kalau dia patah hati melihat Angga bersanding dengan Andini di pelaminan.

Angga mulai bekerja setelah dua minggu lamanya dia libur karena menikah. Karena terlalu fokus bekerja di hari pertamanya, ada satu hal yang telah Angga lupakan.

***

"Ini anak kemana, sih? Udah jam segini belum pulang juga."

Andini merasa gusar karena Angga belum juga pulang. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas.

Ingin rasanya Andini menelpon kedua mertuanya dan bertanya di mana Angga berada. Tapi dia enggan. Dia takut akan membuat keluarga Angga khawatir karena keberadaan Angga yang tidak dia ketahui.

Andini juga tidak mau kalau mereka mengira Angga dan Andini sedang berada di dalam masalah.

Berkali-kali Andini mencoba menelepon Angga. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Puluhan chat yang dia kirimkan juga tidak terbalas. Jangankan terbalas, terbaca saja tidak.

Berkali-kali juga Andini melihat postingan di grup F******k, barangkali ada berita kecelakaan atau yang lain yang menyangkut suaminya.

"Astaghfirullahaladzim... Pikiranku buruk sekali. Masa aku sampai mencari postingan tentang Angga di grup F******k." Andini merutuki kebodohannya. Dia sadar bahwa pikiran dan ucapan adalah bagian dari doa.

Setelah satu jam, suara mobil Angga sudah memasuki halaman rumah mereka. Andini yang menyadarinya pun langsung berlari untuk membuka pintu.

"Kamu kemana aja, sih? Aku telepon nggak bisa, aku chat nggak di buka." Andini menatap Angga dengan tatapan marah bercampur lega dan bahagia.

Marah karena Angga pulang malam tanpa mengabarinya. Lega dan bahagia karena Angga pulang dalam keadaan selamat tak kurang satu apapun.

Angga sempat terperangah mendengar ucapan Andini. Dia langsung mengambil handphonenya. Dan benar saja, puluhan panggilan dan puluhan chat dari Andini memenuhi pemberitahuannya.

"Maaf, Ndin. Aku lupa kalau aku sudah masuk kerja dan dapat jadwal jaga malam ini. Aku tidak sempat buka handphone karena tadi ada beberapa korban kecelakaan yang harus mendapatkan perawatan yang intensif."

Setetes air mata Andini lolos begitu saja dari matanya. "Kamu tahu, Ga? Meskipun aku masih nggak terima akan pernikahan ini, tapi aku sangat khawatir kamu belum pulang sampai larut malam begini. Apalagi kamu nggak bisa di hubungi. Aku khawatir, Ga. Aku takut kamu kenapa-kenapa."

Angga menarik Andini ke dalam pelukannya. Ajaib, Andini tidak menolaknya. Justru Andini membalas pelukan Angga tak kalah erat.

"Iya. Aku minta maaf, ya. Ini yang pertama dan terakhir kalinya aku tidak memberi kamu kabar."

Andini mengangguk. Masih berada di dalam pelukan Angga.

"Masuk, yuk. Udah larut malam, dingin. Udara malam nggak bagus buat kesehatan."

Andini tak menolak saat Angga merangkul pundaknya dan mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status