Share

Bab 4

Penulis: Ummu Amay
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-12 15:27:37

"Lepaskan dia!"

Sontak semua orang menengok, mencari asal suara, termasuk Hanna yang berharap mendapatkan pertolongan atas penangkapan paksa yang dilakukan oleh anak buah Darma.

Sepuluh meter dari tempat Hanna berdiri, tampak sesosok pria dengan penampilan khas seorang eksekutif muda, berdiri menatap tajam ke arahnya.

'Dia lelaki yang kemarin di rumah sakit bukan?' batin Hanna teringat insiden tubrukan di rumah sakit saat dirinya hendak ke bagian administrasi.

Anak buah Darma yang ditugaskan menjadi jubir, melepaskan pegangan di tangan Hanna. Ia kemudian mendekati si pria asing tersebut tampak tersinggung.

"Jangan ikut campur atas sesuatu yang bukan urusanmu!"

"Perempuan itu urusan saya," kata si pria asing menjawab dengan tenang.

Seketika Hanna terkejut demi mendengar ucapan pria itu. Ia tidak kenal dan baru bertemu sekali —itupun dalam insiden tak mengenakan. Lantas, bagaimana bisa dia berkata demikian?

"Heh! Jangan mengada-ada. Sepanjang kami mengenal perempuan itu, tidak ada orang-orang yang mau mengurusnya. Apalagi kamu, yang sepertinya ...." Sejenak si Jubir memindai penampilan lelaki asing di depannya. "Memiliki level yang berbeda darinya, " lanjutnya sembari menoleh ke arah Hanna, yang kali ini setuju dengan ucapan si Jubir.

"Kalau begitu kalian keliru. Kalian belum benar-benar mengenalnya bila tidak tahu siapa saya." Pria itu tersenyum mengejek.

Hanna benar-benar tak mengerti, kenapa pria asing itu berkata seolah-olah mereka saling mengenal.

Saat si Jubir berusaha mengintimidasi si pria asing —yang sedikit pun tidak terpengaruh, Hanna mencoba memandang dan menerka-nerka apakah sebenarnya ia mengenalnya. Dan tanpa sengaja keduanya pun saling menatap. Dua mata mereka bertemu, menyelam ke dalam pikiran masing-masing.

'Aku tak tahu siapa dia.' Hanna membatin bingung. Tak ada clue yang membuat otaknya mencerna mengenai siapa lelaki asing yang sudah membuat anak buah Darma terusik.

Hanna benar-benar merasa frustrasi. Ia yang masih berada dalam dekapan dua laki-laki bertubuh besar, di kanan kirinya, mencoba meronta dan berusaha melepaskan diri. Air matanya masih bertahan di kelopaknya, meski bisa dipastikan cairan bening itu akan tumpah jika pria asing di depannya tak mampu menyelamatkan.

"Kau pikir hal itu penting untuk kami tahu?" Suara si Jubir membuat Hanna mengalihkan pandangan. "Tak peduli kamu siapa, yang penting perempuan itu sudah menjadi milik kami. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya," lanjut si Jubir.

"Hem, perbuatan apa yang sudah seorang perempuan lemah sepertinya lakukan? Sampai-sampai lima pria berbadan besar seperti kalian mengepungnya."

Hanna melihat si Jubir melangkah, semakin mendekati si pria asing. Sebelum bicara, lelaki berbadan besar itu sempat memandang Hanna dan tampak menyeringai, mengerikan.

"Dia tidak mampu melunasi hutang-hutang orang tuanya. Dan sebagai konsekuensinya, perempuan itu harus bekerja di tempat kami karena sudah melewati batas waktu yang kami berikan."

Seketika Hanna membeku. Ketakutan yang ia rasakan sejak kemarin kembali hadir. Bayangan dirinya menjadi seorang pelacur semakin nyata di depan mata.

"Pekerjaan apa yang harus ia jalani?" tanya pria asing tampak tak mengerti atau mungkin pura-pura bodoh karena gelagatnya yang terlihat santai.

Reaksi puas sekaligus melecehkan tampak di wajah si Jubir. "Jadi pelacur!" ucapnya sedikit berbisik namun penuh penekanan, lalu diakhiri tawa lebar yang disambut oleh teman-temannya yang lain.

Bulu kuduk Hanna meremang. Suara yang terdengar di telinganya memang pelan, tapi mampu membuatnya mematung.

"Kalau begitu saya terpaksa menahannya. Dia tidak akan kemana-mana apalagi ikut dengan kalian." Tiba-tiba si pria asing bereaksi.

"Kalau begitu kamu juga terpaksa berhadapan dengan kami," balas si Jubir dengan ekspresi menantang.

Sepersekian detik kemudian Hanna sudah melihat pria asing tersebut diserang oleh anak buah Darma. Tapi, terlihat mampu menahan beberapa pukulan dan tendangan yang mengarah tajam ke arahnya.

Tak berapa lama, dua anak buah Darma yang lain ikut bergabung melawan si pria asing. Satu lawan tiga jelas tidak seimbang. Namun, pria itu masih terlihat mampu bertahan bahkan melawan.

Perkelahian yang terjadi menjadi perhatian para pengunjung taman. Beberapa dari mereka ada yang acuh —tak peduli, tapi sebagian yang lain memilih merekam perkelahian tersebut dengan ponsel masing-masing, tak ada satu pun dari mereka mendekat untuk membantu. Mereka tak memiliki empati, bahkan hanya untuk sekedar mencari bantuan atas insiden yang seharusnya bisa dicegah.

Satu momen yang tidak terduga terjadi, satu sabetan dari belati yang anak buah Darma keluarkan mengenai lengan kanan si pria asing.

"Kyaa!" pekik Hanna kaget. Ia melihat darah mengucur dari balik jas hitam yang pria asing itu kenakan.

Namun, entah mengapa sesaat setelah momen sabetan yang mengenai lengan si pria asing terjadi, kedua anak buah Darma yang sejak tadi memegangi tangan Hanna, tiba-tiba membawa gadis itu pergi meninggalkan tempat.

"Lepaskan aku!" teriak Hanna, masih mencoba bertahan agar tidak dibawa kabur.

Gadis itu memberontak sambil berteriak. Beberapa pengunjung taman yang ia lewati, masih bersikap diam —tak tampak ingin menolongnya.

"Tolong!" Lagi-lagi Hanna berteriak.

Dalam langkah yang dilakukan kedua lelaki berbadan besar itu Hanna diseret, dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil van yang kemudian melaju cepat meninggalkan area taman.

"Lepaskan aku!" Hanna masih berusaha.

Seorang lelaki yang bertugas menjadi supir, menengok ke belakang dan mengatakan sesuatu pada temannya.

"Lakukan sesuatu padanya. Kalau tidak kita akan jadi pusat perhatian orang-orang di luar."

Hanna menatap bingung. Dan sebelum ia menyadari sesuatu lelaki di sebelahnya menutup hidung dan mulutnya dengan sesuatu seperti tisu. Tak lama ia pun tak sadarkan diri? Gadis itu pingsan dalam perjalanan menuju satu tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

**

Dalam kondisi tak sadarkan diri Hanna bermimpi. Ia memimpikan ibunya yang masih tergolek lemas di ranjang rumah sakit. Operasi yang berjalan lancar telah membuat wanita yang amat disayanginya itu akhirnya bisa membuka mata dan kembali tersenyum.

Perasaan Hanna sangat bahagia. Hampir dua pekan sang ibu berada di rumah sakit, satu tempat yang paling ia hindari karena rasa trauma atas kepergian ayahnya beberapa tahun yang lalu.

Namun, dalam mimpinya itu sang ibu tidak bicara. Wanita itu hanya tersenyum, lalu setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Seketika hal tersebut membuat Hanna terbangun dari pingsannya. Ia tak tahu berapa lama dirinya tak sadarkan diri. Tapi, feeling-nya mengatakan bahwa ia baru sebentar berada di tempat tersebut.

Perlahan kemudian gadis itu bangun. Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang mirip seperti kamar. Sebuah kamar yang tampak indah dan rapi.

Tak ada ornamen aneh di ruangan tersebut selain beberapa hiasan yang menggantung di dinding. Satu hal yang membuat Hanna terbuai adalah adanya rangkaian bunga mawar berwarna merah dan biru muda dalam vas besar yang menciptakan sensasi wangi di dalam ruangan tersebut.

Ruangan itu didominasi warna putih dengan kelambu dan beberapa gorden berwarna biru langit. Tampak serasi dengan ruangan yang tertata begitu rapi.

Awalnya Hanna merasa tenang dan damai, tapi ia tiba-tiba ingat momen sebelum dirinya pingsan. Alhasil, saat itu juga ia pun berpikir untuk membebaskan diri.

Namun sayangnya, belum sempat ia beranjak turun dari tempat tidur, terdengar suara pintu dibuka dari luar. Seketika perasaan takut menghampiri jiwanya.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 5

    Seorang perempuan berpakaian sederhana muncul dari balik pintu. Entah siapa dia tapi wajahnya terlihat ramah saat memandang Hanna."Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara lembut. Usianya mungkin sama dengan Hanna, hanya saja wajahnya terlihat biasa dengan tompel kecil yang ada di pipi sebelah kirinya. Hanna mengangguk. Ia merasa lega sebab bukan lelaki bertubuh besar dan menyeramkan yang muncul dari balik pintu. Perlahan perempuan itu pun duduk di depan Hanna, lalu memberikan sehelai gaun berwarna maroon yang tampak mahal. "Ganti bajumu yang basah itu dan pakailah gaun ini," ucapnya pelan. Hanna mengamati kaos oblong yang masih dikenakannya. Memang terasa lembab, mungkin oleh keringat, pikirnya. Lalu, ia pun mengambil gaun yang disodorkan ke arahnya. Tampak ragu terlebih setelah ia mengangkat dan mengamati gaun tersebut. "Pakai ini? Apa tidak salah?" tanya Hanna yang terkejut melihat pakaian yang terlihat tipis dan menerawang di depannya. Perempuan itu menggeleng. "Tidak. Mem

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 4

    "Lepaskan dia!"Sontak semua orang menengok, mencari asal suara, termasuk Hanna yang berharap mendapatkan pertolongan atas penangkapan paksa yang dilakukan oleh anak buah Darma. Sepuluh meter dari tempat Hanna berdiri, tampak sesosok pria dengan penampilan khas seorang eksekutif muda, berdiri menatap tajam ke arahnya. 'Dia lelaki yang kemarin di rumah sakit bukan?' batin Hanna teringat insiden tubrukan di rumah sakit saat dirinya hendak ke bagian administrasi. Anak buah Darma yang ditugaskan menjadi jubir, melepaskan pegangan di tangan Hanna. Ia kemudian mendekati si pria asing tersebut tampak tersinggung. "Jangan ikut campur atas sesuatu yang bukan urusanmu!""Perempuan itu urusan saya," kata si pria asing menjawab dengan tenang. Seketika Hanna terkejut demi mendengar ucapan pria itu. Ia tidak kenal dan baru bertemu sekali —itupun dalam insiden tak mengenakan. Lantas, bagaimana bisa dia berkata demikian? "Heh! Jangan mengada-ada. Sepanjang kami mengenal perempuan itu, tidak ad

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 3

    Di ruang kerjanya, Rafael tengah mengingat cerita sang kakek yang terus membicarakan sosok perempuan bernama Hanna. Seseorang yang katanya telah menyelamatkan laptop miliknya ketika dicuri dari dalam mobil ketika mereka baru menjenguk seorang kerabat di rumah sakit. "Kalau bukan karenanya, mungkin laptop yang berisi dokumen-dokumen penting itu sudah hilang berpindah tangan."Penambahan cerita yang seolah dibuat dramatis, membuat Rafael menyisir rambutnya dengan jarinya yang besar. "Argh!" geramnya antara kesal sekaligus bingung. Beberapa detik kemudian ia memilih untuk menghubungi seseorang, yang tak lain adalah sahabatnya, Bastian."Aku mau minta tolong padamu.""Hei! Kau meneleponku tiba-tiba saat aku sedang rapat, tanpa salam dan sapa, malah memberondongku untuk minta dibuatkan surat perjanjian. Apa kau sudah tidak waras, Rafael?"Rafael sama sekali tak peduli dengan reaksi sahabatnya itu. Ia justru menambah level kekesalan Bastian dengan permintaannya. "Aku mau hari ini kamu b

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 2

    Sepersekian detik Hanna terdiam. Ia mencoba memahami kalimat yang lelaki tua di depannya katakan. "Maaf, Pak, saya sedang terburu-buru, dan saya tidak bisa memenuhi permintaan Anda."Setelahnya Hanna pun berbalik pergi. "Kalau kamu tidak terburu-buru berarti kamu mau jadi menantu saya?" tanya lelaki tua itu setengah berteriak, masih memaksa. Namun, Hanna hanya tersenyum dan tidak menanggapi ucapan lelaki tua yang kemudian didatangi oleh seorang pria muda. "Kakek tidak apa-apa?" tanya pria itu dengan wajah cemas. Sang kakek menggeleng. "Tidak. Kakek baik- baik saja. Laptop milikmu juga selamat," ucapnya seraya menyerahkan tas hitam kepada si pria yang adalah cucunya itu. Pria itu mengambil tas tersebut dari tangan si kakek. Ia merasa bersyukur karena barang yang teramat penting itu selamat dari aksi pencurian yang baru saja digagalkan. "Kakek bicara dengan siapa tadi?" Pria tampan yang siang itu mengenakan jas hitam menutupi kemeja putih dan dasi biru tuanya, bertanya sembari men

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 1

    "Dug! Dug! Dug!"Suara gedoran pintu di luar terdengar sangat keras tepat saat Hanna baru keluar dari kamar mandi. Tak ada jeda, suara itu masih terdengar —malah semakin kencang dan cepat. "Buka pintunya!" Suara teriakan dari seorang pria menyatu dengan suara gedoran pintu yang Hanna yakin telah membuat beberapa tetangganya berdatangan. Ini bukan pertama kali terjadi, sudah beberapa kali dalam sebulan suara yang tak asing ini menyambangi kediaman Hanna. "Sebentar!" teriak Hanna si empu rumah. Gadis itu melangkah cepat, tak ingin jika suara kencang dan keras itu semakin membuat kerumunan warga di lingkungan tempatnya tinggal bertambah banyak. Saat pintu dibuka, tampak ada sekitar lima orang pria berpakaian preman berdiri di depan pintu rumah Hanna dengan ekspresi seram dan mengintimidasi. "Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya Hanna sedikit berteriak, mencoba memberanikan diri. Salah seorang dari mereka mendekat, "Mana uang yang kamu janjikan?" tanyanya dengan suara pelan,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status