LOGIN"Lepaskan dia!"
Sontak semua orang menengok, mencari asal suara, termasuk Hanna yang berharap mendapatkan pertolongan atas penangkapan paksa yang dilakukan oleh anak buah Darma. Sepuluh meter dari tempat Hanna berdiri, tampak sesosok pria dengan penampilan khas seorang eksekutif muda, berdiri menatap tajam ke arahnya. 'Dia lelaki yang kemarin di rumah sakit bukan?' batin Hanna teringat insiden tubrukan di rumah sakit saat dirinya hendak ke bagian administrasi. Anak buah Darma yang ditugaskan menjadi jubir, melepaskan pegangan di tangan Hanna. Ia kemudian mendekati si pria asing tersebut tampak tersinggung. "Jangan ikut campur atas sesuatu yang bukan urusanmu!" "Perempuan itu urusan saya," kata si pria asing menjawab dengan tenang. Seketika Hanna terkejut demi mendengar ucapan pria itu. Ia tidak kenal dan baru bertemu sekali —itupun dalam insiden tak mengenakan. Lantas, bagaimana bisa dia berkata demikian? "Heh! Jangan mengada-ada. Sepanjang kami mengenal perempuan itu, tidak ada orang-orang yang mau mengurusnya. Apalagi kamu, yang sepertinya ...." Sejenak si Jubir memindai penampilan lelaki asing di depannya. "Memiliki level yang berbeda darinya, " lanjutnya sembari menoleh ke arah Hanna, yang kali ini setuju dengan ucapan si Jubir. "Kalau begitu kalian keliru. Kalian belum benar-benar mengenalnya bila tidak tahu siapa saya." Pria itu tersenyum mengejek. Hanna benar-benar tak mengerti, kenapa pria asing itu berkata seolah-olah mereka saling mengenal. Saat si Jubir berusaha mengintimidasi si pria asing —yang sedikit pun tidak terpengaruh, Hanna mencoba memandang dan menerka-nerka apakah sebenarnya ia mengenalnya. Dan tanpa sengaja keduanya pun saling menatap. Dua mata mereka bertemu, menyelam ke dalam pikiran masing-masing. 'Aku tak tahu siapa dia.' Hanna membatin bingung. Tak ada clue yang membuat otaknya mencerna mengenai siapa lelaki asing yang sudah membuat anak buah Darma terusik. Hanna benar-benar merasa frustrasi. Ia yang masih berada dalam dekapan dua laki-laki bertubuh besar, di kanan kirinya, mencoba meronta dan berusaha melepaskan diri. Air matanya masih bertahan di kelopaknya, meski bisa dipastikan cairan bening itu akan tumpah jika pria asing di depannya tak mampu menyelamatkan. "Kau pikir hal itu penting untuk kami tahu?" Suara si Jubir membuat Hanna mengalihkan pandangan. "Tak peduli kamu siapa, yang penting perempuan itu sudah menjadi milik kami. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya," lanjut si Jubir. "Hem, perbuatan apa yang sudah seorang perempuan lemah sepertinya lakukan? Sampai-sampai lima pria berbadan besar seperti kalian mengepungnya." Hanna melihat si Jubir melangkah, semakin mendekati si pria asing. Sebelum bicara, lelaki berbadan besar itu sempat memandang Hanna dan tampak menyeringai, mengerikan. "Dia tidak mampu melunasi hutang-hutang orang tuanya. Dan sebagai konsekuensinya, perempuan itu harus bekerja di tempat kami karena sudah melewati batas waktu yang kami berikan." Seketika Hanna membeku. Ketakutan yang ia rasakan sejak kemarin kembali hadir. Bayangan dirinya menjadi seorang pelacur semakin nyata di depan mata. "Pekerjaan apa yang harus ia jalani?" tanya pria asing tampak tak mengerti atau mungkin pura-pura bodoh karena gelagatnya yang terlihat santai. Reaksi puas sekaligus melecehkan tampak di wajah si Jubir. "Jadi pelacur!" ucapnya sedikit berbisik namun penuh penekanan, lalu diakhiri tawa lebar yang disambut oleh teman-temannya yang lain. Bulu kuduk Hanna meremang. Suara yang terdengar di telinganya memang pelan, tapi mampu membuatnya mematung. "Kalau begitu saya terpaksa menahannya. Dia tidak akan kemana-mana apalagi ikut dengan kalian." Tiba-tiba si pria asing bereaksi. "Kalau begitu kamu juga terpaksa berhadapan dengan kami," balas si Jubir dengan ekspresi menantang. Sepersekian detik kemudian Hanna sudah melihat pria asing tersebut diserang oleh anak buah Darma. Tapi, terlihat mampu menahan beberapa pukulan dan tendangan yang mengarah tajam ke arahnya. Tak berapa lama, dua anak buah Darma yang lain ikut bergabung melawan si pria asing. Satu lawan tiga jelas tidak seimbang. Namun, pria itu masih terlihat mampu bertahan bahkan melawan. Perkelahian yang terjadi menjadi perhatian para pengunjung taman. Beberapa dari mereka ada yang acuh —tak peduli, tapi sebagian yang lain memilih merekam perkelahian tersebut dengan ponsel masing-masing, tak ada satu pun dari mereka mendekat untuk membantu. Mereka tak memiliki empati, bahkan hanya untuk sekedar mencari bantuan atas insiden yang seharusnya bisa dicegah. Satu momen yang tidak terduga terjadi, satu sabetan dari belati yang anak buah Darma keluarkan mengenai lengan kanan si pria asing. "Kyaa!" pekik Hanna kaget. Ia melihat darah mengucur dari balik jas hitam yang pria asing itu kenakan. Namun, entah mengapa sesaat setelah momen sabetan yang mengenai lengan si pria asing terjadi, kedua anak buah Darma yang sejak tadi memegangi tangan Hanna, tiba-tiba membawa gadis itu pergi meninggalkan tempat. "Lepaskan aku!" teriak Hanna, masih mencoba bertahan agar tidak dibawa kabur. Gadis itu memberontak sambil berteriak. Beberapa pengunjung taman yang ia lewati, masih bersikap diam —tak tampak ingin menolongnya. "Tolong!" Lagi-lagi Hanna berteriak. Dalam langkah yang dilakukan kedua lelaki berbadan besar itu Hanna diseret, dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil van yang kemudian melaju cepat meninggalkan area taman. "Lepaskan aku!" Hanna masih berusaha. Seorang lelaki yang bertugas menjadi supir, menengok ke belakang dan mengatakan sesuatu pada temannya. "Lakukan sesuatu padanya. Kalau tidak kita akan jadi pusat perhatian orang-orang di luar." Hanna menatap bingung. Dan sebelum ia menyadari sesuatu lelaki di sebelahnya menutup hidung dan mulutnya dengan sesuatu seperti tisu. Tak lama ia pun tak sadarkan diri? Gadis itu pingsan dalam perjalanan menuju satu tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. ** Dalam kondisi tak sadarkan diri Hanna bermimpi. Ia memimpikan ibunya yang masih tergolek lemas di ranjang rumah sakit. Operasi yang berjalan lancar telah membuat wanita yang amat disayanginya itu akhirnya bisa membuka mata dan kembali tersenyum. Perasaan Hanna sangat bahagia. Hampir dua pekan sang ibu berada di rumah sakit, satu tempat yang paling ia hindari karena rasa trauma atas kepergian ayahnya beberapa tahun yang lalu. Namun, dalam mimpinya itu sang ibu tidak bicara. Wanita itu hanya tersenyum, lalu setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Seketika hal tersebut membuat Hanna terbangun dari pingsannya. Ia tak tahu berapa lama dirinya tak sadarkan diri. Tapi, feeling-nya mengatakan bahwa ia baru sebentar berada di tempat tersebut. Perlahan kemudian gadis itu bangun. Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang mirip seperti kamar. Sebuah kamar yang tampak indah dan rapi. Tak ada ornamen aneh di ruangan tersebut selain beberapa hiasan yang menggantung di dinding. Satu hal yang membuat Hanna terbuai adalah adanya rangkaian bunga mawar berwarna merah dan biru muda dalam vas besar yang menciptakan sensasi wangi di dalam ruangan tersebut. Ruangan itu didominasi warna putih dengan kelambu dan beberapa gorden berwarna biru langit. Tampak serasi dengan ruangan yang tertata begitu rapi. Awalnya Hanna merasa tenang dan damai, tapi ia tiba-tiba ingat momen sebelum dirinya pingsan. Alhasil, saat itu juga ia pun berpikir untuk membebaskan diri. Namun sayangnya, belum sempat ia beranjak turun dari tempat tidur, terdengar suara pintu dibuka dari luar. Seketika perasaan takut menghampiri jiwanya. ***Hening yang tercipta setelah pernyataan Rafael terasa begitu terasa hingga membuat Hanna sulit bernapas. Ibunya masih menggenggam tangannya, sementara Yoga menatapnya dengan campuran khawatir dan bersalah —seolah kejadian itu adalah kesalahannya, padahal sama sekali bukan.Rafael menatap keduanya, memastikan tidak ada luka, tidak ada sesuatu yang terlewat.“Bu,” ucap Rafael akhirnya, nadanya menurun namun tetap tegas, “mulai hari ini, kediaman Ibu akan dijaga. Saya akan kirim dua orang. Mereka tidak akan mengganggu aktivitas Ibu, tapi Ibu tidak boleh keluar sendirian untuk sementara.”Ibunya Hanna tampak hendak menolak, tetapi kemudian ia melihat lagi cara Rafael berdiri, tegap, terlihat bahaya, dan sepenuhnya mengambang pada satu hal —melindungi Hanna dan orang-orang sekitarnya.Ia mengangguk pelan. “Baik, Nak Rafael.”Yoga mengangkat tangan sebentar, suaranya pelan, “Aku juga akan dijaga?”Rafael menatapnya tanpa banyak ekspresi. “Ya.”Yoga hendak mengangguk, tetapi ia berhenti keti
Pagi baru saja menghangatkan teras kediaman Bachtiar ketika Hanna melangkah keluar dari ruang utama. Setelah percakapan berat dengan Hartono, kepalanya masih penuh suara-suara yang menyisakan decak ngeri. Ia berjalan dengan langkah pelan, seperti seseorang yang sedang belajar kembali mengatur napasnya sendiri.Rafael berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat. Begitu melihat Hanna keluar, ia segera menjauh dari dinding dan menghampirinya.“Hanna?” suaranya rendah, khawatir.Hanna mengangguk kecil. “Kita bicara di kamar nanti. Sekarang … aku butuh udara.”Rafael mengizinkan, tetap mengikuti beberapa langkah di belakangnya seperti bayangan yang tak mau hilang.Namun, baru lima langkah mereka berjalan, seorang pelayan berlari kecil dari arah gerbang utama.“Pak Rafael! Non Hanna! Ada tamu datang.”Rafael mengerutkan dahi. “Tamu? Siapa?”“Bu Sinta, ibunya Nona Hanna. Dan satu orang lagi —seorang laki-laki bernama Yoga.”Hanna terhenti.“Apa?” suaranya keluar le
“Kenapa ini terdengar sangat rumit dan berbahaya?” Hanna membatin, jari-jarinya menekan sampul map hingga memucat.Rasa dingin merambat perlahan dari tengkuk ke punggungnya. Bukan hanya karena apa yang baru saja ia dengar, tetapi karena tatapan Hartono dan Rafael sama-sama mengarah padanya.Sebagai pusat ancaman.Sebagai sasaran utama.Meski ia tidak pernah meminta satu pun dari semua ini.Rafael melangkah mendekat, berdiri tepat di samping kursi Hanna. Satu tangannya bergerak seolah ingin menyentuh bahu Hanna, namun ia tahan —mungkin takut menyulitkan perasaan Hanna, mungkin juga karena Hartono masih memperhatikan.“Hanna,” panggil Rafael lembut namun tegas.Hanna mendongak. Tatapan Rafael bukan belas kasihan. Bukan pula rasa bersalah. Melainkan ketegasan orang yang sedang membangun dinding pelindung di sekitarnya.“Aku tidak akan membiarkan satu pun menyentuhmu,” lanjutnya.Hanna menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan, sekaligus membuat dadanya sesak.“Rafael benar,” sambung Har
Hening menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Seolah udara ikut membeku bersama bayang-bayang masa lalu yang kembali hidup.Rafael perlahan berdiri. “Kek … kalau benar Rana kembali, dia tidak akan berhenti hanya dengan mengganggu Hanna. Dia akan menyasar perusahaan. Nama keluarga. Bahkan—”“Ya,” potong Hartono pelan, namun tegas. “Dan itu sebabnya kita tidak boleh lengah.”Hanna menatap keduanya, dada sesak. “Apa… Rana punya alasan untuk membalas dendam pada keluarga ini?”Hartono menghela napas. Dalam. Berat. Napas seorang lelaki yang sudah melewati banyak perang, tapi tak menyangka harus menghadapi yang satu ini.“Rana adalah orang yang Kakek anggap keluarga.” Hartono bersandar sedikit, wajahnya tampak lebih tua dari beberapa menit sebelumnya. “Ayahmu, Rafael, juga sangat mempercayainya. Dia masuk ke dalam lingkaran terdekat kami. Tetapi ketika proyek timur bermasalah … dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa menjelaskan apa pun.”Rafael menambahkan dengan suara rendah, “Dia pergi begi
Ruang utama itu selalu memiliki wibawa tersendiri. Pilar kayu jati menjulang kokoh, lukisan-lukisan lama keluarga Bachtiar menghiasi dinding, dan aroma teh pahit kesukaan Hartono masih menggantung di udara.Namun pagi ini, semuanya terasa lebih berat. Seolah ruangan itu sendiri menahan napas.Hartono duduk di kursi kepala meja panjang. Bahunya tegap meski usianya sudah lanjut, rambutnya memutih sempurna, namun matanya —mata yang dulu membangun Bachtiar Grup dari nol, masih setajam baja.Rafael memberi Hanna isyarat untuk duduk di sampingnya, lalu ia sendiri berdiri tegak di hadapan kakeknya.Hartono mengangkat pandangan ketika mereka tiba. “Duduklah, kalian berdua.” Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan tekanan yang membuat udara sejenak menegang.Hanna menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ia selalu menghormati Hartono. Bagaimana pun juga, lelaki tua itulah yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut —meski statusnya hanyalah kontrak.Namun, tatapan lelaki tua
Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai tipis kamar Hanna, membentuk garis-garis lembut di lantai marmer. Biasanya, pagi di rumah itu terasa hangat dan tenang. Namun hari ini, hawa ketakutan semalam masih menggantung seperti bayangan yang menolak pergi.Hanna duduk di pinggir ranjang, tangan memegangi map cokelat berisi catatan ayahnya. Rasa dingin dari sampul kertas itu seolah menembus kulitnya.Ia belum tidur —hanya menutup mata sebentar setelah Rafael memastikan semua penjagaan ditingkatkan dan pengawal ditempatkan di depan pintu.Ketukan lembut terdengar.Hanna menoleh. Rafael masuk tanpa suara, masih memakai kemeja hitam yang sama sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah —namun sorot matanya tajam dan fokus, seperti seseorang yang tidak boleh goyah walau tubuhnya ingin runtuh.“Kau bangun lebih pagi dari perkiraanku.” Rafael duduk di sampingnya. “Tidak bisa tidur?”Hanna menggeleng pelan. “Tidak setelah… semua itu.”Rafael menghela napas dan menyandarkan siku







