LOGINSeorang perempuan berpakaian sederhana muncul dari balik pintu. Entah siapa dia tapi wajahnya terlihat ramah saat memandang Hanna.
"Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara lembut. Usianya mungkin sama dengan Hanna, hanya saja wajahnya terlihat biasa dengan tompel kecil yang ada di pipi sebelah kirinya. Hanna mengangguk. Ia merasa lega sebab bukan lelaki bertubuh besar dan menyeramkan yang muncul dari balik pintu. Perlahan perempuan itu pun duduk di depan Hanna, lalu memberikan sehelai gaun berwarna maroon yang tampak mahal. "Ganti bajumu yang basah itu dan pakailah gaun ini," ucapnya pelan. Hanna mengamati kaos oblong yang masih dikenakannya. Memang terasa lembab, mungkin oleh keringat, pikirnya. Lalu, ia pun mengambil gaun yang disodorkan ke arahnya. Tampak ragu terlebih setelah ia mengangkat dan mengamati gaun tersebut. "Pakai ini? Apa tidak salah?" tanya Hanna yang terkejut melihat pakaian yang terlihat tipis dan menerawang di depannya. Perempuan itu menggeleng. "Tidak. Memang pakaian ini yang harus kamu kenakan." "Tapi ...." "Cepatlah. Aku tidak ingin preman-preman itu datang dan malah menghukumku karena pekerjaan yang sepele ini." Kedua alis Hanna menyatu, 'Apa katanya? Pekerjaan sepele? Memakai baju yang akan memperlihatkan bagian tubuhku ia bilang pekerjaan sepele?' batin Hanna tak suka. "Kalau boleh tahu, memang aku ini ada di mana? Tempat apa ini?" Hanna mencoba mencari informasi. Hanna bisa melihat perubahan ekspresi pada perempuan di depannya tersebut. Aku akan menjawab asal kamu mau memakai pakaian itu sekarang." Hanna kembali menatap gaun di tangannya. Tapi, hatinya menolak. "Maaf. Aku tak bisa," katanya menggeleng. Tiba-tiba perempuan di depan Hanna itu berdiri. Sorot matanya tajam dan khawatir. Namun, belum sempat ia berkata, seseorang menggedor pintu dengan keras. "Hei, Jasmin! Apa tugasmu sudah selesai?" Suara seorang pria berteriak kesal. Perempuan yang ternyata bernama Jasmin itu menoleh menatap pintu. Lalu, ia kembali memandang Hanna dengan tatapan memohon sembari menunjuk kain di tangan Hanna tersebut. "Kamu dengar! Mereka sudah menunggu." "Menunggu apa?" tanya Hanna tak mengerti. "Hei! Perempuan bodoh! Buka pintunya sekarang!" Sekali lagi, suara pria di luar sana berteriak sambil menggedor pintu berkali-kali. Perempuan itu kembali menatap Hanna, tapi gelengan yang Hanna tunjukkan membuatnya pasrah dan memilih untuk berbalik, membuka pintu yang sebelumnya ia kunci. "Kau ini tuli atau bodoh? Aku bertanya dan kau malah diam saja tidak menjawab." Hanna mendengar seorang pria menggertak perempuan bernama Jasmin tadi. "Maafkan saya. Tadi saya sedang membujuknya supaya mau memakai gaun yang Anda berikan." "Jadi, dia masih belum berganti pakaian?" Pria itu berteriak marah. Tak ada sahutan, yang ada malah suara langkah berat yang terdengar semakin kencang ke arah Hanna. Lalu, sesosok pria berbadan besar —yang menculik Hanna, muncul di hadapannya. "Kenapa kamu masih belum memakai baju itu?" tanya si pria dengan tampang garang. "Aku tidak suka dengan baju ini. Aku tidak mau memakainya." Seketika seringai muncul di bibir pria tersebut. "Sekarang kamu sudah tidak bisa menawar. Apa yang kami perintahkan, kamu harus turuti," kata pria itu tersenyum menakutkan. Bibir yang hitam dan tebal menutupi deretan gigi kuning yang menyeramkan. "Lekas pakai baju itu kalau tidak mau aku paksa!" "Tidak." Hanna tetap bersikukuh. Tampak pria itu mulai tak bisa menahan emosi. "Ingat, kau itu sudah milik seseorang. Orang itu sudah membayar tubuhmu dengan harga yang sangat tinggi. Jadi, cepat ganti baju itu karena orang yang membayarmu sudah menunggu." Mendadak tubuh Hanna membeku. Ia terkejut mengetahui fakta bahwa Darma telah menjualnya. "Aku tidak mau," kata Hanna dengan suara pilu. Begitu pelan dan menyedihkan. Jasmin yang berdiri di belakang pria berbadan besar itu, merasa iba dan kasihan. Namun, sepertinya ia tidak bisa menolong. Terlebih ketika si pria mendekati Hanna dan menarik kedua tangan gadis itu ke besi tempat tidur, lalu mengikatnya. "Tidak! Lepaskan aku!" Hanna menjerit ketakutan. Tapi, teriakannya sama sekali tak didengar. "Kau jangan diam saja! Cepat ambil baju itu dan pakaikan ke tubuhnya!" Pria itu berkata pada Jasmin yang sejak tadi hanya diam menonton. Dengan langkah ragu dan sedikit terburu-buru, Jasmin mendekat seraya mengambil gaun dari atas ranjang. Ia terlihat tak tega ketika melihat Hanna meronta dengan air mata yang mulai menetes. Tapi, ia benar-benar tak bisa berbuat apapun selain mengikuti perintah si pria yang masih memegang kencang tangan Hanna. Tampak Hanna berusaha menendang, meronta, minta dibebaskan. Tapi, ia malah mendapat ejekan dari si pria berbadan besar tersebut yang menertawainya dengan sangat puas. Hanna menangis, ia ketakutan saat Jasmin sudah akan melepaskan pakaiannya. Namun, perempuan itu mengalami kesusahan saat akan melepaskan kaos dari tubuh Hanna. "Kalau tangannya diikat, kaos ini tak bisa dibuka," kata Jasmin memberi tahu. "Kalau begitu kamu paksa saja. Robek kaos itu." Jasmin menatap Hanna yang menggeleng supaya tidak melakukan apa yang si pria katakan. "Saya akan lakukan, tapi Anda harus pergi dari sini," ucap Jasmin membuat si pria menatap marah. "Pelanggan tidak akan membayar kalau sudah ada lelaki lain yang melihat tubuhnya," lanjut Jasmin menjelaskan. Alih-alih menolak, ternyata pria itu menurut. Ia pun pergi dengan perasaan kesal. Anak buah Darma itu tak bisa berbuat macam-macam sebab alasan Jasmin yang dianggapnya masuk akal. "Cepat kamu lakukan!" bentaknya seraya meninggalkan kamar. Kini hanya tinggal mereka berdua di ruangan tersebut. "Maafkan aku," ucap Jasmin seiring tangannya yang merobek paksa kaos oblong yang Hanna kenakan. Perempuan itu lalu memakaikan gaun berwarna maroon yang ada di tangannya ke tubuh Hanna. Tampak Hanna memejamkan matanya, menangis. Ia merasakan sesak di dada. Hatinya sakit saat tangan Jasmin melepas kaosnya dan mengganti dengan pakaian tipis itu dengan sangat cepat. Bayangan menjadi seorang pelacur kini benar-benar ada di hadapan Hanna. Dirinya yang sudah laku terjual, bersiap untuk dicicipi, dirasakan oleh laki-laki hidung belang yang membelinya dengan harga tinggi. Di tengah tangis Hanna yang membayangkan nasib tragisnya, tiba-tiba terdengar suara berisik di luar. Tak berselang lama pintu kamar pun didobrak, membuat dua perempuan di kamar tersebut kaget dan menatap waspada. Detik berikutnya, seorang pria muncul di hadapan mereka. ***Hening yang tercipta setelah pernyataan Rafael terasa begitu terasa hingga membuat Hanna sulit bernapas. Ibunya masih menggenggam tangannya, sementara Yoga menatapnya dengan campuran khawatir dan bersalah —seolah kejadian itu adalah kesalahannya, padahal sama sekali bukan.Rafael menatap keduanya, memastikan tidak ada luka, tidak ada sesuatu yang terlewat.“Bu,” ucap Rafael akhirnya, nadanya menurun namun tetap tegas, “mulai hari ini, kediaman Ibu akan dijaga. Saya akan kirim dua orang. Mereka tidak akan mengganggu aktivitas Ibu, tapi Ibu tidak boleh keluar sendirian untuk sementara.”Ibunya Hanna tampak hendak menolak, tetapi kemudian ia melihat lagi cara Rafael berdiri, tegap, terlihat bahaya, dan sepenuhnya mengambang pada satu hal —melindungi Hanna dan orang-orang sekitarnya.Ia mengangguk pelan. “Baik, Nak Rafael.”Yoga mengangkat tangan sebentar, suaranya pelan, “Aku juga akan dijaga?”Rafael menatapnya tanpa banyak ekspresi. “Ya.”Yoga hendak mengangguk, tetapi ia berhenti keti
Pagi baru saja menghangatkan teras kediaman Bachtiar ketika Hanna melangkah keluar dari ruang utama. Setelah percakapan berat dengan Hartono, kepalanya masih penuh suara-suara yang menyisakan decak ngeri. Ia berjalan dengan langkah pelan, seperti seseorang yang sedang belajar kembali mengatur napasnya sendiri.Rafael berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat. Begitu melihat Hanna keluar, ia segera menjauh dari dinding dan menghampirinya.“Hanna?” suaranya rendah, khawatir.Hanna mengangguk kecil. “Kita bicara di kamar nanti. Sekarang … aku butuh udara.”Rafael mengizinkan, tetap mengikuti beberapa langkah di belakangnya seperti bayangan yang tak mau hilang.Namun, baru lima langkah mereka berjalan, seorang pelayan berlari kecil dari arah gerbang utama.“Pak Rafael! Non Hanna! Ada tamu datang.”Rafael mengerutkan dahi. “Tamu? Siapa?”“Bu Sinta, ibunya Nona Hanna. Dan satu orang lagi —seorang laki-laki bernama Yoga.”Hanna terhenti.“Apa?” suaranya keluar le
“Kenapa ini terdengar sangat rumit dan berbahaya?” Hanna membatin, jari-jarinya menekan sampul map hingga memucat.Rasa dingin merambat perlahan dari tengkuk ke punggungnya. Bukan hanya karena apa yang baru saja ia dengar, tetapi karena tatapan Hartono dan Rafael sama-sama mengarah padanya.Sebagai pusat ancaman.Sebagai sasaran utama.Meski ia tidak pernah meminta satu pun dari semua ini.Rafael melangkah mendekat, berdiri tepat di samping kursi Hanna. Satu tangannya bergerak seolah ingin menyentuh bahu Hanna, namun ia tahan —mungkin takut menyulitkan perasaan Hanna, mungkin juga karena Hartono masih memperhatikan.“Hanna,” panggil Rafael lembut namun tegas.Hanna mendongak. Tatapan Rafael bukan belas kasihan. Bukan pula rasa bersalah. Melainkan ketegasan orang yang sedang membangun dinding pelindung di sekitarnya.“Aku tidak akan membiarkan satu pun menyentuhmu,” lanjutnya.Hanna menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan, sekaligus membuat dadanya sesak.“Rafael benar,” sambung Har
Hening menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Seolah udara ikut membeku bersama bayang-bayang masa lalu yang kembali hidup.Rafael perlahan berdiri. “Kek … kalau benar Rana kembali, dia tidak akan berhenti hanya dengan mengganggu Hanna. Dia akan menyasar perusahaan. Nama keluarga. Bahkan—”“Ya,” potong Hartono pelan, namun tegas. “Dan itu sebabnya kita tidak boleh lengah.”Hanna menatap keduanya, dada sesak. “Apa… Rana punya alasan untuk membalas dendam pada keluarga ini?”Hartono menghela napas. Dalam. Berat. Napas seorang lelaki yang sudah melewati banyak perang, tapi tak menyangka harus menghadapi yang satu ini.“Rana adalah orang yang Kakek anggap keluarga.” Hartono bersandar sedikit, wajahnya tampak lebih tua dari beberapa menit sebelumnya. “Ayahmu, Rafael, juga sangat mempercayainya. Dia masuk ke dalam lingkaran terdekat kami. Tetapi ketika proyek timur bermasalah … dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa menjelaskan apa pun.”Rafael menambahkan dengan suara rendah, “Dia pergi begi
Ruang utama itu selalu memiliki wibawa tersendiri. Pilar kayu jati menjulang kokoh, lukisan-lukisan lama keluarga Bachtiar menghiasi dinding, dan aroma teh pahit kesukaan Hartono masih menggantung di udara.Namun pagi ini, semuanya terasa lebih berat. Seolah ruangan itu sendiri menahan napas.Hartono duduk di kursi kepala meja panjang. Bahunya tegap meski usianya sudah lanjut, rambutnya memutih sempurna, namun matanya —mata yang dulu membangun Bachtiar Grup dari nol, masih setajam baja.Rafael memberi Hanna isyarat untuk duduk di sampingnya, lalu ia sendiri berdiri tegak di hadapan kakeknya.Hartono mengangkat pandangan ketika mereka tiba. “Duduklah, kalian berdua.” Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan tekanan yang membuat udara sejenak menegang.Hanna menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ia selalu menghormati Hartono. Bagaimana pun juga, lelaki tua itulah yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut —meski statusnya hanyalah kontrak.Namun, tatapan lelaki tua
Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai tipis kamar Hanna, membentuk garis-garis lembut di lantai marmer. Biasanya, pagi di rumah itu terasa hangat dan tenang. Namun hari ini, hawa ketakutan semalam masih menggantung seperti bayangan yang menolak pergi.Hanna duduk di pinggir ranjang, tangan memegangi map cokelat berisi catatan ayahnya. Rasa dingin dari sampul kertas itu seolah menembus kulitnya.Ia belum tidur —hanya menutup mata sebentar setelah Rafael memastikan semua penjagaan ditingkatkan dan pengawal ditempatkan di depan pintu.Ketukan lembut terdengar.Hanna menoleh. Rafael masuk tanpa suara, masih memakai kemeja hitam yang sama sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah —namun sorot matanya tajam dan fokus, seperti seseorang yang tidak boleh goyah walau tubuhnya ingin runtuh.“Kau bangun lebih pagi dari perkiraanku.” Rafael duduk di sampingnya. “Tidak bisa tidur?”Hanna menggeleng pelan. “Tidak setelah… semua itu.”Rafael menghela napas dan menyandarkan siku







