Sementara itu, di apartemen kecil, beberapa menit setelah Kaivan pergi, Aira memandangi pantulan wajahnya di cermin kecil di dapur. Matanya sembap, rambutnya berantakan. Tangan kecilnya menggenggam mug berisi teh jahe hangat yang tak disentuh.Akan tetapi, yang mengganggunya bukan rasa sakit fisik. Melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam.Aira mengingat lagi momen sebelum Kaivan berdiri. Ia masih bisa merasakan hangat dada pria itu saat ia menyandarkan kepalanya. Bau samar sabun dan kopi menyatu dalam udara malam.Ia ingat jari-jarinya sempat bergerak, hendak mengangkat dagu Kaivan. Hanya beberapa inci bibirnya nyaris menyentuh.Namun, Kaivan tiba-tiba berdiri. Wajahnya tegang. “Saya pulang." Dia terlihat menghela napas berat. "Maaf, Aira. Saya menyayangi keluarga saya. Saya tidak mungkin membiarkan ini terjadi karena itu akan membuat keluarga yang kami bangun puluhan tahun hancur."Kaivan sudah pergi. Meninggalkan kalimat yang masih terngiang di kepala saat Aira tanpa sadar nyaris m
Kaivan seperti mengalami dejavu—tuduhan perselingkuhan di masa mudanya. Namun, kali ini ia seperti tak punya kemampuan untuk menampiknya. Jika dulu ia bisa membuktikan dengan mudah, kali ini bahkan, ia tidak tahu bagaimana memberikan alasan. Kaivan seperti tak menemukan alasan untuk mengelak. Berbeda jauh ketika ia menerima intimidasi dari Azzam tadi.Kaivan setengah berlari mengejar Alya yang hampir menggapai pintu."Al, Sayang. Aku–" Suara Kaivan terhenti di depan pintu, karena detik saat ia sampai di sana pintu sudah ditutup dengan keras oleh Alya. Wanita itu, bahkan mengunci dari dalam. "Al, buka pintunya, Sayang. Kita harus bicara. Kamu hanya salah paham." Kaivan mencoba berbicara, meskipun tidak yakin Alya mendengarnya.“Al, tolong buka, Sayang." Kaivan masih belum menyerah. Suaranya masih terus terdengar dari balik pintu kamar utama yang tertutup rapat. Tangannya menempel di daun pintu. Suaranya tertahan, rendah, tetapi penuh harap. Di dalam, tidak ada sahutan. Hanya sunyi.I
“Tapi bukan seperti ini caranya.”Kaivan menunduk, perlahan melepaskan tangan Aira yang membelit tubuhnya. Tubuhnya masih tegap dan sorot matanya tetap tajam meski usianya sudah melampaui enam puluh. Rambutnya memang mulai dipenuhi uban di pelipis, tetapi justru membuatnya terlihat semakin berwibawa. Rahangnya masih tegas, dan gaya bicaranya tetap tenang—mewakili sosok pria mapan yang tahu kapan harus bicara, dan kapan hanya cukup diam. Ia mungkin lelaki paruh baya, tapi aura maskulinnya belum luntur. Tidak heran jika Aira—meski terpaut tiga dekade lebih muda—mengaguminya dengan cara yang rumit.Ada pertempuran sunyi di dalam dadanya. Kaivan berusaha melawan nalurinya yang mulai salah arah, tetapi entah kenapa terasa setengah-setengah.Hingga akhirnya Kaivan bergeming ketika Aira begitu keras untuk melepas. Meski ia tahu seharusnya berhenti dan pulang, tetapi malah membiarkan wanita muda itu bersandar sejenak di dada, seperti anak kecil yang takut ditinggal superheronya. Memang tid
"Astaghfirullah, Aira! Jangan begini. Ini–“ Kaivan berusaha mundur, tetapi wanita sama sekali tidak ingin melepas.“Aku tahu ini salah, tapi aku juga gak tahu harus gimana, Om.” Suara itu penuh getar. Lirih, nyaris seperti gumaman. Akan tetapi, cukup jelas sampai ke telinga Kaivan, yang masih berdiri kaku di ruang tengah apartemen kecil itu.Pelukan Aira masih bertahan di tubuhnya. Ia tak menangis. Tidak juga memohon atau berkata-kata apa pun lagi. Namun, tangan kecilnya menggenggam erat baju Kaivan, seperti anak kecil yang tak ingin kehilangan pegangan terakhirnya.Kaivan sempat ingin mengangkat tangan untuk bmembalas pelukan itu. Namun, naluri sehatnya masih bekerja. Wajah Azzam yang marah-marah sore tadi masih terlalu lekat dalam ingatan. Seolah-olah menjadi bayang-bayang sebagai reminder batasan. Di samping itu, ada sesuatu dari dalam dirinya sendiri yang menghantui. Ia khawatir jika yang dituduhkan Azzam benar adanya. Ia takut tak berani mengelak.Dengan pelan Kaivan mengangkat
"Lu pikir gue ga tahu lu main belakang, 'kan?" geram Azzam lagi. "Gue gak habis pikir lu bisa lakuin ini, Kai." Kali ini kalimat Azzam tergambar jelas garis kekecewaan. Kaivan menatap lemah pada Azzam. "Tolong lu jelasin, salah gue apa?"Azzam tersenyum miring. Dia baru melepaskan kerah Kaivan, kemudian memutar tubuh."Apa menurut lu pantes lu main daun muda, Kai?"“Da–daun muda?" Kaivan setengah tertawa. "Lu ngomong apa, sih, sebenarnya?" Kaivan masih terlihat bingung.Azzam bergeming, masih menatap penuh intimidasi pada sahabatnya itu. "Lu kenal gue berapa lama? Apa lu pikir gue bisa lakuin hal gila seperti itu?" Kaivan kini melempar tanya."Gue, pikir enggak. Tapi sekarang kenyataan yang berbicara, Kai. Gue gak kebayang gimana kalau keluarga lu tahu ini." Azzam berkata lirih. Penuh dengan nada penyesalan.Kaivan kembali mengerutkan dahi, berusaha untuk berpikir keras. Ia tak merasa melakukan kesalahan seperti yang Azzam tuduhkan, tetapi kenapa Azzam begitu yakin jika dia melakuka
"Rava harus makan semuanya, Ma?"Suara itu pelan, tetapi cukup jelas menggantung di ruangan sempit itu. Di lantai dekat sofa, seorang anak laki-laki duduk dengan piring berisi nasi dan telur mata sapi di depannya. Mata sipitnya berkedip sesekali ketika menanti jawaban.Wanita yang dipanggil Mama menoleh dari dapur kecil. Wajah wanita itu sedikit pucat, rambutnya diikat seadanya. Berbeda sekali dengan kepribadian sebelumnya. Bahkan dia dulu yang tidak pernah ke dapur, sekarang mulai belajar memasak sendiri. Kembali pada kehidupan sebelum masa kejayaan dalam hidupnya."Kalau kamu kuat, habisin. Tapi kalau udah kenyang, gak apa-apa." Wanita itu menjawab sambil membalik gorengan terakhir di penggorengan kecil.Anak itu mengangguk lalu kembali bertanya, “Kalau makannya habis, Rava dikembalikan ke panti lagi gak?"Tangan wanita itu yang memegang spatula sempat berhenti. Ia menatap punggung kecil anak itu.“Kok nanyanya gitu? Memangnya kamu gak mau tinggal sama Mama untuk seterusnya?""Mau,