“Tapi bukan seperti ini caranya.”Kaivan menunduk, perlahan melepaskan tangan Aira yang membelit tubuhnya. Tubuhnya masih tegap dan sorot matanya tetap tajam meski usianya sudah melampaui enam puluh. Rambutnya memang mulai dipenuhi uban di pelipis, tetapi justru membuatnya terlihat semakin berwibawa. Rahangnya masih tegas, dan gaya bicaranya tetap tenang—mewakili sosok pria mapan yang tahu kapan harus bicara, dan kapan hanya cukup diam. Ia mungkin lelaki paruh baya, tapi aura maskulinnya belum luntur. Tidak heran jika Aira—meski terpaut tiga dekade lebih muda—mengaguminya dengan cara yang rumit.Ada pertempuran sunyi di dalam dadanya. Kaivan berusaha melawan nalurinya yang mulai salah arah, tetapi entah kenapa terasa setengah-setengah.Hingga akhirnya Kaivan bergeming ketika Aira begitu keras untuk melepas. Meski ia tahu seharusnya berhenti dan pulang, tetapi malah membiarkan wanita muda itu bersandar sejenak di dada, seperti anak kecil yang takut ditinggal superheronya. Memang tid
"Astaghfirullah, Aira! Jangan begini. Ini–“ Kaivan berusaha mundur, tetapi wanita sama sekali tidak ingin melepas.“Aku tahu ini salah, tapi aku juga gak tahu harus gimana, Om.” Suara itu penuh getar. Lirih, nyaris seperti gumaman. Akan tetapi, cukup jelas sampai ke telinga Kaivan, yang masih berdiri kaku di ruang tengah apartemen kecil itu.Pelukan Aira masih bertahan di tubuhnya. Ia tak menangis. Tidak juga memohon atau berkata-kata apa pun lagi. Namun, tangan kecilnya menggenggam erat baju Kaivan, seperti anak kecil yang tak ingin kehilangan pegangan terakhirnya.Kaivan sempat ingin mengangkat tangan untuk bmembalas pelukan itu. Namun, naluri sehatnya masih bekerja. Wajah Azzam yang marah-marah sore tadi masih terlalu lekat dalam ingatan. Seolah-olah menjadi bayang-bayang sebagai reminder batasan. Di samping itu, ada sesuatu dari dalam dirinya sendiri yang menghantui. Ia khawatir jika yang dituduhkan Azzam benar adanya. Ia takut tak berani mengelak.Dengan pelan Kaivan mengangkat
"Lu pikir gue ga tahu lu main belakang, 'kan?" geram Azzam lagi. "Gue gak habis pikir lu bisa lakuin ini, Kai." Kali ini kalimat Azzam tergambar jelas garis kekecewaan. Kaivan menatap lemah pada Azzam. "Tolong lu jelasin, salah gue apa?"Azzam tersenyum miring. Dia baru melepaskan kerah Kaivan, kemudian memutar tubuh."Apa menurut lu pantes lu main daun muda, Kai?"“Da–daun muda?" Kaivan setengah tertawa. "Lu ngomong apa, sih, sebenarnya?" Kaivan masih terlihat bingung.Azzam bergeming, masih menatap penuh intimidasi pada sahabatnya itu. "Lu kenal gue berapa lama? Apa lu pikir gue bisa lakuin hal gila seperti itu?" Kaivan kini melempar tanya."Gue, pikir enggak. Tapi sekarang kenyataan yang berbicara, Kai. Gue gak kebayang gimana kalau keluarga lu tahu ini." Azzam berkata lirih. Penuh dengan nada penyesalan.Kaivan kembali mengerutkan dahi, berusaha untuk berpikir keras. Ia tak merasa melakukan kesalahan seperti yang Azzam tuduhkan, tetapi kenapa Azzam begitu yakin jika dia melakuka
"Rava harus makan semuanya, Ma?"Suara itu pelan, tetapi cukup jelas menggantung di ruangan sempit itu. Di lantai dekat sofa, seorang anak laki-laki duduk dengan piring berisi nasi dan telur mata sapi di depannya. Mata sipitnya berkedip sesekali ketika menanti jawaban.Wanita yang dipanggil Mama menoleh dari dapur kecil. Wajah wanita itu sedikit pucat, rambutnya diikat seadanya. Berbeda sekali dengan kepribadian sebelumnya. Bahkan dia dulu yang tidak pernah ke dapur, sekarang mulai belajar memasak sendiri. Kembali pada kehidupan sebelum masa kejayaan dalam hidupnya."Kalau kamu kuat, habisin. Tapi kalau udah kenyang, gak apa-apa." Wanita itu menjawab sambil membalik gorengan terakhir di penggorengan kecil.Anak itu mengangguk lalu kembali bertanya, “Kalau makannya habis, Rava dikembalikan ke panti lagi gak?"Tangan wanita itu yang memegang spatula sempat berhenti. Ia menatap punggung kecil anak itu.“Kok nanyanya gitu? Memangnya kamu gak mau tinggal sama Mama untuk seterusnya?""Mau,
Lysandra tersenyum tipis, menatap Rayyan cukup lama, kemudian berkata, "Mas."Rayyan menoleh sesaat sambil terus fokus mengemudi. "Hemmm?""Kamu makin romantis aja sih sekarang."Rayyan mengulum senyum, matanya masih terus menatap ke depan. "Itu adalah salah satu cara aku untuk buat kamu makin betah di sisiku, Ly. Karena aku ga mau kamu pergi lagi. Jadi, sebisa mungkin aku gak akan izinkan kamu untuk mengeluh.""Duh, Maaas, meleleh hayati. Bisaaa aja kamu jawabnya," ucap Lysandra sambil kemudian membuang muka ke kaca jendela dan menyembunyikan senyum malunya."Gak usah disembunyiin gitu mukanya. Aku udah sering lihat mukamu yang tiba-tiba jadi pink, Ly. Manis banget tahu." Rayyan kembali berucap, seakan tak rela jika harus berhenti menggoda sang istri."Jangan-jangan jauh-jauh, ya. Jangan lepasin gandengan," ucap Rayyan setelah mereka akhirnya sampai di mal dan keluar dari mobil."Ih, Mas. Aku bukan anak kecil yang ke mana-mana harus digandeng," ucap Lysandra Manja, meski sebenarnya d
“Terima kasih kamu sudah datang memenuhi undangan saya." Kaivan mulai membuka percakapan dengan tenang. Menatap lawan bicaranya yang pernah dia lihat bersama putranya beberapa kali dulu. Aira."Saya harap kamu datang bukan karena merasa masih bisa mengendalikan semuanya?” lanjutnya lagi pelan. Namun, matanya tak pernah benar-benar menatap wajah perempuan yang duduk di seberangnya. Ia lebih sering menatap meja, cangkir kopinya, atau meja kasir kafe yang sering kosong.Kafe itu sepi, hanya ada dua pelanggan lain di sudut ruangan. Aira duduk kaku, mengenakan hoodie hitam dan celana longgar, berbeda dari tampilannya di media sosial yang glamor dan penuh percaya diri.“Bukan urusan Om deh kayaknya,” jawab Aira cuek dan cepat. Matanya menantang, berlawanan dengan suaranya yang gemetar.“Rayyan anak saya. Tentu jadi urusan saya kalau kamu terus menghancurkan hidupnya.”“Dia yang hancurin aku duluan, Om.” Aira menyandarkan punggung, menyilangkan tangan. "Jangan lupa."“Benarkah?” Kaivan menco