Assalamu'alaikum, Readers. Terima kasih sudah baca sampai di sini. Perjalanan ini tak mudah. Penuh liku dan tantangan. Mulai dari bab ini adalah spin off cerita kehidupan anak-anak Alya dan Kaivan. Jangan lupa tap love untuk cerita ini dan berikan ulasan positif. Terima kasih😘💕
"Jadi, gimana? Kamu terima tawaran Papa atau bawa gadis itu ke rumah? Bukan hanya sebagai pacar, tapi sebagai calon istri," tegas Kaivan yang kini tengah berhadapan dengan putra sulungnya di ruang keluarga. "Papa pikir sudah cukup Papa memberikan waktu enam bulan untukmu mengambil keputusan dan juga tindakan."Rayyan menunduk, kemudian menghela napas dalam. Mulai menyusun kalimat untuk menjawab pertanyaan sang papa."Iya, Pa. Ray sudah ambil keputusan. Ray siap terima perjodohan ini.""Kamu yakin? Papa tekankan sekali lagi, Papa tidak memaksa, Papa cuma mau kamu nikah tahun ini."Rayyan mengangguk. Tanpa kata dan suara. "Oke, kalau gitu, besok kita ke rumah Om Azzam untuk melamar anak bungsunya, Lysandra," tambah Kaivan lagi sarat akan ketegasan. Rayyan menatap Kaivan lagi. "Besok, Pa?"Kaivan mengangguk. "Lebih cepat lebih baik. Niat baik tidak boleh ditunda, kan?"Rayyan terpaku. Ia tidak menyangka jika papanya akan bergerak secepat itu. "Emang gak perkenalan dulu gitu?" tanya Ra
"Nikah? Sekarang? Gak mungkin Ray. Aku belum siap untuk nikah," ucap seorang gadis berambut hitam setengah ikal menatap tak percaya. "Kamu tahu sendiri, perjalanan karirku masih panjang.""Sampe kapan, Ai? Kamu udah jadi dokter yang hebat," ucap pria beralis tebal itu.Wajah pria itu menampilkan garis kegusaran. Namun, tak mengurangi aura kehampanan yang terpancar. Membuat gadis cantik di hadapannya tak bosan menatap pada satu objek di hadapannya. Ya, dialah Rayyan Putra Satria—putra sulung Kaivan dan Alya."Tapi aku gak bisa menunggu lagi, Ai. Papa sudah mendesak untuk menikah tahun ini. Aku udah lelah debat sama Papa. Kalau dalam waktu dekat aku gak kenalin calon istri, Papa bakal jodohin aku sama anak sahabatnya," jelas Rayyan dengan kemudian.Tak sebanding dengan wajah Rayyan yang gusar, gadis di hadapannya tidak terkejut sama sekali. Jauh dari ekspektasi Rayyan sebelum bertemu kekasihnya."Ya udah nikah aja, Ray. Ikutin aja dulu kemauan papamu." Gadis itu berucap dengan santai.
Alya pun mengambil bingkai foto kecil di meja samping tempat tidur Haura. Dia kemudian menata bantal agar mereka dalam posisi duduk. Haura ia letakkan di atas pangkuannya."Haura, Sayang. Lihat ini deh," ucap Alya, memperlihatkan potret mereka berdua empat tahun lalu. Saat Haura berusia berusia enam bulan dalam pangkuan Alya yang sedang hamil besar. "Haura tahu ini siapa?" tunjuk Alya pada foto bayi Haura."Iya, itu Haura waktu bayi, kan, Ma?" jawab Haura dengan sangat yakin. Ia jelas tahu. Bingkai foto itu selalu di meja dekat tempat tidurnya. Ada tiga bingkai foto yang terpajang di sana. Foto Haura bayi bersama Alya, foto mereka berlima yang saat Rayyan baru masuk TK, dan foto Kinan bersama Haura satu tahun lalu."Kalau yang perut Mama ini siapa?" tanya Alya lagi."Itu adek Aisy masih di dalam perut Mama," jawab Haura yakin. "Kan Haura udah lahir, adek Aisy belum.""Pinter anak, Mama." Alya mencium rambut keriwil milik Haura."Hehehe," cengir Haura menunjukkan gigi susu yang teraw
"Cara apa, Mbak?"Kinan menunduk. "Aku harus mulai dari awal untuk mengambi hatinya, dan selama itu aku minta tolong sama kamu, Al. Kamu tolong jaga jarak dengan Haura."Kalimat itu Kinan ucapkan dengan perlahan dan suara rendah, tetapi sukses membuatkan Kaivan meninggikan suaranya."Kinan!" sentaknya tanpa bisa dikontrol. "Ternyata kamu masih belum berubah, Ki!"Sementara Alya tidak menjawab. Ia kehabisan kata-kata untuk merespons kalimat Kinan. Baginya permintaan Kinan cukup sulit. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Haura bila orang yang selama ini ia panggil mama, tiba-tiba menjauhinya."Tapi, Mas. Kalau gak seperti itu, Haura akan terus-terusan gak mau pisa–" Kinan mencoba berkeras meski nada bicaranya tidak setinggi Kaivan. Akan tetapi, Kaivan memotongnya dengan cepat. "Kalau itu yang kamu mau, kita ketemu di pengadilan saja. Biar hakim yang menentukan siapa yang paling berhak atas hak asuh Haura."Kinan mengerutkan dahi, mendadak wajahnya berubah cemas. "Mas, tolong
Bukan Kaivan dan Alya saja, Haura yang sejak tadi tengah asyik bersama Barbie-nya segera berlari dan bersembunyi di belakang punggung Alya.Ya, wanita itu adalah wanita yang empat tahun lalu menitipkan bayinya pada Alya untuk dibesarkan."Hanya sementara, beberapa tahun saja. Setelah aku bisa keluar dari sini, aku akan menjemputnya." Itu yang dia ucapkan saat Alya menyempatkan diri menjenguk Kinan di lapas setelah satu bulan Haura tinggal bersamanya. Butuh kesiapan mental khusus untuk menjenguk wanita yang selama ini begitu ingin menghancurkannya. Namun, Alya sudah berusaha berdamai dengan masa lalu.Pada akhirnya Kinan pun meminta maaf pada Alya. Tidak ada ada lagi tatapan kebencian atau dendam seperti dulu. "Saya tidak akan mungkin datang ke sini jika belum memaafkan Bu Kinan," ucap Alya kali itu. "Kamu masih memanggil saya ibu?" Alya menunduk. Sementara itu, Kaivan hanya berdiri sambil bersedekap menyaksikan interaksi keduanya. "Apa aku datang di waktu yang tidak tepat?" Suar
PoV 3"Papa! Mana kaus kakiku yang gambar Tyrex?!"Rayyan berteriak dari dalam kamar, diiringi suara gesekan pintu lemari yang dibuka paksa.Kaivan menyambar sepasang kaus kaki dari sofa lalu melangkah ke kamar. "Yang ini maksudnya, Nak?""Tapi itu gambarnya terastop … bukan Tyrex!" seru Rayyan sambil mengerucutkan bibir.Kaivan terkekeh. "Ini Triceratops, bukan terastop. Lagian, kamu bisa pakai ini dulu. Tyrex-nya entah di mana, mungkin semalam jalan-jalan dan belum pulang."Rayyan tertawa. "Huh, Papa. Mana bisa Tyrex-nya Ray jalan-jalan, Papa!"Sementara itu, di dapur, Alya menyusun bekal dalam kotak kecil bertema dinosaurus kesukaan Rayyan. Nasi kepal berbentuk telur dino, nugget berbentuk kaki Tyrannosaurus Rex atau tyrex, dan buah potong berbentuk hati.Haura, gadis kecil berambut keriting coklat muda, duduk di kursi kecil di dekat kaki Alya sambil mengunyah potongan apel."Mama, Haura mau ke sekolah juga. Kayak Abang Ray."Alya membungkuk, mengecup pipi Haura. "Tahun depan ya,
"Sayang, aku di sini," ucapnya lirih.Aku mengangguk. Namun, tak dapat bersuara. Ya, Allah Kenapa ini harus terjadi lagi? Aku harap ini hanya mimpi."Alya."Air mataku makin deras. Tak mungkin lagi bisa dibendung. Seperti darah yang mengalir deras dari perutnya. Aku tak bisa berbuat apa pun lagi."Mas, kenapa ini terjadi lagi?"Dia masih bisa tersenyum. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan.Aku teriak minta tolong. Namun, teriakanku seakan tak sampai di ujung lidah pun."Alya, sssstt!" Aku memeluk tubuhnya. Dia menepuk-nepuk punggungku."Alya, Sayang .... Alya!" Dia menyeka air mataku kemudian menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku bergeming. Menghela napas dalam. "Alya, bangun, Sayang." Tepukan di pipi makin keras.Aku mengerjap beberapa kali. Memutar pandanganku ke sekeliling. Sekarang aku di kamar, bukan lagi di dapur. Aku kembali menatap Mas Kaivan yang memangku kepalaku. Bukan aku yang memangku kepalanya seperti tadi.Dia mengusap keningku yang berkeringat. "Mas?" bisikku pelan.
Aku menunggu Mas Kaivan dengan gelisah. Dia pergi sejak siang setelah dijemput oleh Pak Arga, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda mereka pulang. Terakhir kali pria itu memberi kabar dan memintaku untuk bersiap-siap karena dia akan membawa bayi Bu Kinan pulang. Namun, kenapa sampai selarut ini belum juga sampai. Padahal aku sudah menyiapkan tempat khusus untuk baby Haura. Box bayi dengan kasur mungil lengkap dengan printilannya bernuansa pink yang kupesan via online tadi siang. Sore baru diantar kurir. Aku sengaja menggunakan fitur pengiriman same day agar bisa tiba di hari yang sama.Nomor Mas Kaivan tidak bisa dihubungi. Sementara itu, aku segan untuk menghubungi Pak Arga. Rayyan sudah berhasil kutidurkan sejak jam setengah malam tadi. Dja sempat menangis memanggil saat melihat foto papanya yang terpajang di nakas. Meski dengan mudah bisa ditenangkan, tetap saja aku masih gelisah hingga kini.Setelah beberapa kali menimbang akhirnya aku menelepon nomor Pak Arga. Satu kal
"Pagi, Sayang." Dia mengecup keningku lama begitu aku membuka mata. "Jam berapa, Mas?" tanyaku dengan nada masih mengantuk.Aku kembali merapatkan wajahku ke dadanya yang masih tak berlapis. "Bentar lagi azan subuh." Dia menjawab sambil mengeratkan pelukan."Astaghfirullah, tahajud lewat, dong." Aku terkejut dan menjauhkan kepala dari dadanya.Akan tetapi, dia menarik lagi. Membuat tubuh kami kembali tanpa sekat."Sekali-kali gak apa, Sayang. Kan udah diganti sunah yang lain semalam."Kalimatnya seketika membuatku pipiku terasa menghangat. "Ih, apaan, sih?"Aku kembali membenamkan wajah agar ia tak melihat pipiku yang mungkin semerah tomat.Dia terkekeh, seraya kembali mengeratkan pelukannya. Tak hanya sampai di situ, tangannya kembali bergerak mencari sesuatu yang tersembunyi dari bagian tubuhku."Mas, plis deh. Udah mau subuh nih. Kita harus gegas mandi.""Masih lama, Yang, subuhnya. Masih cukup kalau nambah satu lagi," ucapnya manja sembari mendaratkan beberapa kecupan di leher.