Raras masih bersungut-sungut dengan masalah 'pertarungan' yang terjadi beberapa saat yang lalu. Wisnu tersenyum kecil, istrinya yang terbiasa menunjukkan wajah dewasa dan mandiri itu sekarang terlihat seperti remaja yang menggemaskan. Raras sedang asik menikmati es krim di depannya, cuaca panas membuat dia ingin melahap yang dingin-dingin."Ras, mulutmu belepotan," tegur Wisnu, dia mengusapkan jempolnya di sana. Padahal tidak ada es krim yang menempel di sana, semua itu hanya akal-akalan Wisnu. Raras menjauhkan jempol itu dengan wajah cemberut."Masih marah ya, Ras?" Wisnu tersenyum geli."Enggak," ketusnya."Wajahmu dari tadi cemberut terus""Aku masih marah sama kamu," bentaknya."Katanya nggak marah, sekarang bilang marah, yang benar yang mana, Ras?"Raras membuang muka, rambutnya masih basah. Mereka jadi batal pergi ke dokter gara-gara 'pertarungan' yang membuat lawan jadi KO dan cidera."Besok jangan pakai kekerasan!" ketus Raras."Kalau gak 'keras' ya gak bisa masuk , Ras." Wisn
Wisnu dan Raras langsung pulang setelah konsultasi rutin dengan dokter yang menanganinya selama ini. Dokter menyarankan untuk mulai memijakkan kaki yang masih di tupang kruk. Walau sedikit nyeri dan kaku, Wisnu mulai berjalan sedikit -sedikit dengan bergelayut ke lengan Raras.Wisnu memberi usul agar mereka langsung ke dokter kandungan. Namun Raras menolak, ada alasan tertentu baginya menolak itu semua. Dia takut Wisnu akan melarangnya bekerja jika dia terbukti hamil, padahal sekarang perusahaan sedang membutuhkannya.Raras mengambil telpon genggamnya yang berbunyi dari tadi, dia sedang fokus dengan jalan di depannya. Namun matanya membelalak kaget, saat melihat siapa yang tertera disitu."Ayah?" Katanya meminta pendapat pada suaminya sambil berbisik. Wisnu memberikan kode agar telpon itu diangkat saja. "Halo, ayah."" Pulanglah, Ras! Ayah perlu bicara dengan suamimu.""Baik, ayah." Raras meletakkan telpon genggamnya kembali. Memandang suaminya dengan senyum getir."Ayahmu bilang apa
Seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang tamu. Seperti biasa, sang ayah akan duduk di kursi khusus yang berbeda dengan yang lainnya. Di samping ayahnya, siapa lagi kalau bukan ibu tiri yang berpura-/pura manis dengan senyum yang dibuat -buat.Wisnu menegakkan bahunya. Dia adalah suami Raras, takkan sedikitpun dia menundukkan wajah lemah di depan keluarga ningrat yang terkadang secara terang-terangan merendahkannya. Dia tidak bicara apapun, pandangannya lurus ke depan menunggu apa yang akan disampaikan oleh laki-laki itu. Ayah Raras berdehem membersihkan tenggorokannya. Kemudian mulai membuka pembicaraan. "Kau serius dengan anakku?" Tanyanya dengan suara serak berat, khas ayah Raras."Tentu saja, Pak. Sejak ijab qabul di lafaskan, saya tidak main-main dengan pernikahan ini," tegas, lugas dan penuh keyakinan. Ibu tiri Raras mendecih mengejek, sedangkan Andini sibuk menatap Wisnu tanpa kedip. Raras membuang muka. Pembicaraan ini sangat tidak menarik baginya. Dia menjamin, pembicaraa
Satu jam berlalu. Raras merapikan rambutnya dan mengusap wajah sembabnya. Mereka belum beranjak dari pekarangan rumah. Saat ini Raras sudah agak tenang setelah meluapkan emosinya. Wisnu paham betul karakter istrinya yang memiliki tempramen tinggi. Wanita itu tipe yang tidak bisa di kerasi, dia akan memberikan apa saja pada orang terdekatnya jika hatinya senang dan melakukan apa saja jika hatinya sakit. Dia adalah wanita yang unik. Dia akan mengatakan tidak terhadap sesuatu yang tidak disukainya.Wisnu membelai rambut panjang itu, menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Dia tau betul, hanya dia yang dimiliki Raras setelah melihat bagaimana kerasnya ayah gadis itu memojokkannya. Kasihan istrinya itu, menjadi orang asing di rumahnya sendiri pasti sangat berat baginya."Kau sudah lihat bukan? Betapa sombong dan pongahnya keluargaku, sebenarnya ayahku adalah laki-laki yang baik, tapi entah sihir apa yang diberikan dua wanita itu sehingga ayah bisa tunduk kepada mereka.""Kebenaran akan t
Raras membuktikan ucapannya. Tanpa bisa dicegah, lima orang pekerja sudah berhasil menyingkirkan berbagai perabot dan hiasan milik Ibunya Andini. Ayah Raras tidak punya daya menghentikan anaknya itu. Dalam waktu kurang dari dua jam, rumah itu sudah kosong."Cat rumah ini dengan warna putih! Rumah ini lebih mirip taman kanak -kanak dengan warna-warni seperti ini," kata Raras mengamati cat berwarna ungu dan pink dipadu padankan di ruang tamu."Baik, Nona," kata pria itu sambil menanggalkan foto Andini dari pajangan. Ibu tirinya tak punya daya melawan Raras sendirian, karena Andini belum menampakkan batang hidungnya dari tadi malam. "Kenapa kau lakukan ini padaku?" ketus Ibu tirinya, suaranya hampir terdengar seperti akan menangis. Namun malawan Raras hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Wanita tua yang bergaya anak muda itu kesal sendiri dengan suaminya yang memilih meninggalkan rumah dengan alasan pekerjaan dari pada membelanya dari serangan Raras."Melakukan apa? Ini rumahku, sertif
Raras duduk tenang sambil menunggu dokter spesialis kandungan, rasanya seperti mau disidang, tegang dan cemas. Wisnu tak kalah deg-degan, dia memegang jemari Raras dan memberikan senyum terbaiknya pada istrinya itu.Dokter duduk di depan mereka, menjabat tangan Wisnu dan Raras sekilas. "Kapan haid terakhirnya, Bu?" Raras memandang Wisnu seolah bertanya," kapan aku haid?" Wisnu menggeleng, dia sendiri tidak tau masalah itu. Yang jelas selama mereka menikah, dia tidak pernah mengetahui apa Raras haid atau tidak. Wanita itu dulu juga tidak menunaikan shalat, jadi haid atau tidak, sama saja."Aduh, saya gak tau persis, Dok. Yang jelas, mungkin empat bulan yang lalu, tanggalnya gak tau pasti."Dokter itu geli sendiri, inilah pasien yang paling aneh, haid sendiri tidak tau. Bagaimana mau menghitung usia kandungan dan memprediksi waktu kelahiran."Kapan pertama kali kalian melakukannya?" Pertanyaan itu sebenarnya tidak pantas ditanyakan. Tapi tak ada jalan keluar lain. Dua orang ini benar-
Wisnu sudah pulang ke rumahnya tadi sore. Akhirnya perpisahan terjadi juga walaupun cuma tiga hari. Alangkah lamanya waktu tiga hari itu bagi mereka.Saat ini dia merancang strategi bagaimana cara menyingkirkan dua ular di rumahnya itu. Raras tak habis fikir, kenapa Andini bisa keluar dari tempat rehabilitasi setelah tertangkap dan sudah menjadi pecandu selama lima tahun ini.Saat ini Raras duduk di samping Andini, dia sengaja membuat wanita berambut coklat itu tidak nyaman berada di rumah. Setelah kejadian mengganti seluruh perabot dan menurunkan semua foto dan mengganti dengan foto ibunya, suasana rumah semakin panas.Ayahnya tidak lagi ikut campur, dia lebih memilih menyendiri. Terkadang Raras melihat, ayahnya termangu sendiri setelah mendapati foto ibunya di seluruh ruangan. Mulai dari foto pernikahan mereka, sampai foto keluarga menjelang ibunya meninggal dunia.Ada kesedihan mendalam di wajah tua itu setiap melihat foto mendiang istrinya. Mungkin rindu dan rasa bersalah, bagaima
Ayah Raras mengetatkan rahangnya, dia tak peduli dengan wanita yang bersimpuh memegang kakinya sambil menangis penuh penyesalan. Laki-laki tua itu sangat marah, saking marahnya dia tidak bisa lagi mengucapkan sepatah kata pun. Tak ada kalimat yang bisa mewakili betapa terluka dan kecewanya dia, di tipu mentah-mentah dan dibodohi selama ini. Matanya memandang lurus foto ibu Raras yang terpajang di dinding. Mungkin ini adalah hukuman baginya, yang berbuat zalim pada istri pertamanya. Bagaimana istri keduanya itu bisa setega itu, ternyata kebangkrutannya juga di sebabkan karena istri keduanya itu memelihara pria muda dan memberikan fasilitas yang mewah.Mengingat beberapa menit yang lalu. Tiba-tiba saja foto-foto istrinya itu terletak manis di meja kerjanya, foto yang bahkan sangat menjijikkan, istrinya itu bertingkah seperti ABG yang baru jatuh cinta. Disertai dengan adanya video rekaman pengakuan seorang pria muda yang bahkan umurnya sama dengan Raras.Video itu dikirim oleh nomor tida