Plak, buk. Rania memukul lengan dan juga hidung Reza. Detik itu juga Reza memegangi hidungnya, beruntung tidak mengeluarkan darah. Entah kenapa Rania selalu seperti itu saat dekat dengan Reza, padahal mereka sudah sah menjadi suami istri.
"Kasar banget jadi cewek, aku kutuk jadi istri penurut baru tahu rasa," ujar Reza seraya mengusap hidungnya yang masih terasa sakit."Salah kamu sendiri, kenapa ... aaa." Rania kembali menjerit saat mendengar petir. Bukan itu saja, Rania juga memeluk tubuh Reza seperti sebelumnya."Tuh kan, yang meluk dulu siapa," sindirnya. Seketika Rania terdiam, lalu membuka matanya. Detik itu juga Rania melepas pelukannya."Maaf, itu reflek. Bukan kesengajaan," kata Rania pelan. Raut wajahnya sudah memerah, karena malu."Nggak apa-apa kok, rezeki nomplok nggak bakal ditolak," sahut Reza. Rania melotot mendengar hal itu, seolah-olah Reza menggunakan kesempatan dalam kesempitan."Nggak usah melotot kaya gitu, nanti itu biji mata jatuh siapa juga yang repot," ujar Reza, seraya menunjuk ke arah mata Rania.Suasana menjadi hening, sementara hujan bertambah deras. Tiba-tiba saja Reza teringat untuk menelpon ibunya. Gegas Reza meraih ponselnya lalu menghubungi nomor ibunya. Hesty yang mendapat kabar dari putranya jika mereka terjebak hujan, dengan segera menyuruh supir untuk menjemput Reza serta Rania.Pukul delapan malam mereka sudah berada di rumah, bahkan usai makan malam bersama Reza serta Rania memilih untuk beristirahat. Badan yang lelah membuat Rania memilih untuk tidur, karena besok ia juga harus kembali bekerja."Ran, hujan-hujan begini enaknya ngapain ya," ucap Reza."Tidur, besok kan harus kerja," jawab Rania. Tiba-tiba saja Rania bersin."Kamu kenapa?" tanya Reza dengan raut wajah khawatir."Enggak apa-apa kok, paling gejala pilek." Rania kembali bersin."Beneran nggak apa-apa." Reza memeriksa kening Rania."Kamu masuk angin ya," ujar Reza."Sepertinya iya, Za." Rania mengangguk. Setelah itu Reza turun dari tempat tidur dan berjalan menuju laci.Beberapa menit kemudian, Reza kembali dengan membawa koin dan juga minyak kayu putih. Pria beralis tebal itu kembali naik ke atas ranjang, kemudian duduk. Rania masih diam, ia tidak tahu apa yang akan Reza lakukan."Sekarang duduk hadap sana," titah Reza."Kamu mau ngapain?" tanya Rania was-was."Udah nurut aja, sekarang duduk," jawab Reza. Dengan terpaksa Rania bangkit dan duduk seperti yang Reza perintahkan."Buka bajunya," perintah Reza. Mendengar hal tersebut, sontak Rania terkejut."Jangan sembarangan deh, Za. Dasar tukang .... ""Aku bilang nurut, aku mau ngerok punggung kamu biar anginnya keluar." Reza memotong ucapan istrinya. Seketika Rania diam, rupanya ia sudah salah sangka.Pernah Rania membuka kaos yang membungkus tubuhnya. Jujur, Rania benar-benar malu, tapi apa boleh buat. Setelah itu, kini tinggal Reza yang beraksi, dengan telaten dan hati-hati, Reza mulai mengerok punggung wanitanya itu."Ternyata Reza perhatian juga," batin Rania. Sesekali ia meringis menahan sakit di punggungnya."Sudah, sekarang bajunya kamu pakai lagi," titah Reza. Setelah itu ia turun dari ranjang lalu keluar, entah mau ke mana, Rania tidak tahu.Sepuluh menit kemudian, Reza kembali dengan membawa secangkir teh anget. Reza berjalan menghampiri istrinya lalu duduk di tepi ranjang."Kamu minum ini dulu, setelah ini tidur," titah Reza."Itu apaan?" tanya Rania."Teh anget, biar badan kamu tidak dingin lagi," jawab Reza. Dengan segera Rania menerima teh tersebut, lalu mulai menyeruputnya."Terima kasih," ucap Rania."Sama-sama, ya udah sekarang tidur gih," sahut Reza. Setelah itu Rania merebahkan tubuhnya dan mulai kemeja matanya.***Hari telah berganti, pukul setengah enam pagi Rania baru terbangun dari tidurnya. Ia mengerjap matanya, wajah yang pertama kali ia lihat adalah wajah Reza. Hampir saja Rania berteriak jika tidak mengingat semalam, kalau Reza telah merawat dirinya."Za, terima kasih ya untuk semalam. Ternyata kamu tidak pernah berubah, kamu selalu baik," ucap Rania."Sama-sama, Sayang." Reza membuka matanya, hal itu membuat Rania terkejut. Hampir saja Rania menonjok hidung Reza, jika lelaki itu tidak mencekal pergelangan tangan istrinya."Mau nonjok lagi iya, eh hidungku bisa pesek kalau tiap hari kamu tonjok," ujar Reza."Salah kamu sendiri, kenapa .... ""Udah siang, debatnya untuk nanti saja. Eh gimana badan kamu udah enakan apa belum." Reza memotong ucapan Rania."Udah, aku mau mandi dulu," sahut Rania."Kamu mandinya nanti, wanita kalau mandi pasti akan membutuhkan waktu satu abad." Reza bangkit dan segera turun lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi."Huh, nyebelin banget sih." Rania menghela napas."Tapi walau jutek dan suka nyebelin, Reza baik dan perhatian," gumamnya dengan tersenyum."Ih, apaan sih, nanti jadi ke-pedean kalau tahu aku memujinya," gumamnya lagi.Selang berapa menit, Reza keluar dengan rambut yang basah, serta handuk melilit di pinggang. Sejenak Rania terpesona oleh tubuh Reza yang seperti roti potong itu. Namun sebisa mungkin Rania bersikap biasa."Sana mandi, airnya sudah aku siapkan," titah Reza sembari menggosok rambutnya dengan handuk kecil."I-iya, terima kasih." Rania buru-buru turun dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Jantungnya terasa mau copot, terlebih saat mengingat kejadian yang dulu, sewaktu handuk Reza melorot.Dua puluh menit kemudian Rania keluar, sementara Reza sudah siap dengan pakaian kantornya. Saat ini Reza sedang mencari jam tangan miliknya yang sering ia pakai. Itu adalah salah satu kelemahan Reza, sering lupa ketika meletakkan barang."Ran, kamu lihat jam tangan aku nggak?" tanya Reza."Kemarin kamu taruh di mana," jawab Rania."Kalau ingat, aku nggak bakal nanya," sahut Reza. Dengan terus mencari jam tangan miliknya itu."Makanya kalau nyari yang bener, wong ada di meja rias. Kamu nyarinya di sofa ya nggak ketemu," ujar Rania seraya membuka lemari pakaian."Hhehehe, maaf soalnya lupa." Reza berjalan menuju meja rias.Tiba-tiba saja, saat Rania hendak mengambil pakaian, ia melihat seekor cicak sedang merayap di pintu lemari. Karena kaget, dan juga takut, Rania menjerit lalu berlari menghampiri Reza.Bahkan Rania sampai loncat ke tubuh suaminya itu."Aaaaa, cicak." Rania memejamkan matanya seraya mengeratkan kedua tangannya di leher Reza, sementara kedua kakinya di pinggang."Reza buang cicaknya, aku takut," ucap Rania seraya mengeratkan kedua tangan serta kakinya. Beruntung Reza tidak hilang keseimbangan, jika iya mereka pasti akan jatuh."Sama cicak aja takut, kan gede kamu dari pada .... " Reza menggantung ucapannya saat matanya melihat handuk yang melilit tubuh Rania hampir terlepas."Rezeki nomplok pagi-pagi, bikin panas dingin aja," batin Reza. Lelaki itu sampai menelan salivanya sendiri, membayangkan jika handuk yang Rania pakai terlepas.Waktu terus bergulir, tidak terasa pernikahan Reza dan Rania kini menginjak tujuh tahun. Suka dan duka mereka lalui bersama, tak jarang pertengkaran dan rasa cemburu ikut mewarnai kehidupan mereka. Namun, keduanya mampu melawan dan melaluinya bersama. "Mama, kaos kakinya mana!" teriak Sean dan Sheina secara bersamaan. "Sebentar, Sayang," sahut Rania dari dalam kamar. "Astaghfirullah, Mas kamu tuh kebiasaan banget sih. Udah aku bilang, jangan naruh handuk sembarangan," omelnya, saat melihat Reza menaruh handuk basah di atas kasur. "Aku buru-buru, Sayang." Reza mengambil kemeja lalu memakainya.Rania menggelengkan kepala, lalu keluar dari kamar, dan masuk ke dalam kamar si kembar. Sean dan Sheina nampak sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kini keduanya sudah duduk di bangku sekolah dasar. "Ini kaos kakinya." Rania menyerahkan kaos kaki tersebut pada si kembar. "Ma, iketin rambut Sheina," pinta Sheina. "Iya, Sayang sebentar ya." Rania segera mengambil sisir serta dua ikat rambut
Butuh waktu setengah jam untuk imunisasi si kembar, pasalnya Reza yang takut jarum suntik membuat Lina sedikit kewalahan. Sementara Rania hanya bisa menggelengkan kepala, heran. Ia pikir setelah punya anak, rasa takut terhadap jarum suntik akan hilang, tapi ternyata tidak. "Sheina kamu memang hebat, nggak kaya papa kamu. Sama jarum suntik aja takut," pujinya. Lina baru saja selesai melakukan tugasnya itu. "Nggak usah nyindir deh," sahut Reza yang merasa sedikit kesal. "Aku nggak nyindir, tapi ini kan fakta. Sheina sama Sean nggak nangis waktu disuntik," kata Lina. "Ish nyebelin banget sih." Reza berdecih. Setelah selesai mereka bergegas untuk pulang, Rania terus tersenyum saat mengingat kejadian tadi saat berada di rumah sakit. "Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Reza. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang. "Nggak papa, ingat tadi aja waktu .... ""Mau ikutan nyindir iya, sama kaya Lina." Reza memotong ucapan istrinya, sementara Rania hanya tersenyum. "Sayang, nanti k
Sepuluh menit kemudian Reza sudah mengganti kemejanya, bahkan pria itu harus kembali mandi. Kini Reza sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, sementara Rania masih sibuk memberikan ASI untuk Sean. "Sayang, aku pergi sekarang ya." Reza mencium kening istrinya. "Iya, hati-hati di jalan," ujar Rania. "Iya, Sayang papa pergi dulu ya. Jangan rewel kasihan mama." Reza mencium pipi Sean, lalu mencium pipi Sheina. Setelah itu Reza bergegas keluar dari kamar. Selang beberapa menit, pintu kamar kembali terbuka, terlihat Hesty berjalan menghampiri menantunya itu. Sementara Rania baru saja merebahkan tubuh Sean di ranjangnya. "Wah, cucu-cucu nenek udah pada kenyang ya." Hesty mencium pipi si kembar secara bergantian. "Sayang kamu sarapan dulu sana, apa mau mama bawakan ke sini," ujar Hesty. "Nggak usah, Ma. Aku turun saja," sahut Rania. "Ya sudah, si kembar biar sama mama," balas Hesty. Setelah itu Rania beranjak keluar dari kamarnya, lalu turun ke lantai bawah. Setibanya di ruang makan
Satu jam kemudian, Rania sudah dipindahkan ke ruang perawatan, tak lupa kedua buah hatinya diletakkan di box. Rania melahirkan bayi kembar, baby girl dan baby boy, Reza benar-benar bahagia karena dalam satu kali hamil, istrinya bisa melahirkan dua bayi sekaligus, terlebih sang istri melahirkan anak laki-laki, seperti keinginannya. Reza terus menghujani sang istri dengan kecupan, tak peduli jika mereka masih berada di rumah sakit."Ehem." Deheman Lina membuat Reza dan Rania menoleh."Ish, mengganggu saja kau. Ada apa, Lin," ujar Reza, kini pria merubah posisi duduknya."Ish, aku nggak ada urusan denganmu, tapi istrimu." Lina berjalan mendekati brangkar di mana Rania terbaring."Aku akan memeriksa kondisinya sekarang," ujar Lina. Reza hanya mendengus kesal, lalu segera bangkit dan berdiri di sebelah brangkar."Aku periksa dulu ya," ucap Lina, sementara Rania hanya mengangguk.Lina segera memeriksa kondisi Rania, kondisinya memang sudah stabil, mungkin hanya tubuhnya yang masih membutuhk
Hari ini Reza terpaksa tidak pergi ke kantor, dan semua itu gara-gara Rania. Namun bagi Reza tidak masalah, asal bisa membuat wanita yang sangat dicintainya bahagia dan tersenyum. Apa pun akan Reza lakukan. Saat ini Rania dan Reza sedang duduk santai di depan televisi. Rania sedang sibuk menyantap rujak mangga muda buatannya sendiri. Sementara Reza memilih sibuk bermain game di ponselnya. "Enak rujaknya?" tanya Reza tanpa mengalihkan pandangan. "Enak banget, mau coba." Rania menyodorkan sepotong mangga muda yang sudah berlumuran bumbu rujak. "Enggak, buat kamu aja," tolaknya. "Cobain dulu, dijamin nanti ketagihan," bujuknya."Enggak, Sayang. Buat kamu aja, nggak usah aneh-aneh deh," tolaknya, tetapi Rania terus membujuk Reza untuk memakan rujak tersebut. "Yang ngidam kan kamu, masa aku yang makan rujaknya," sambungnya. "Aku ngidam pengen lihat kamu makan rujak," kata Rania, mendengar itu mata Reza langsung melotot. "Rania, Sayang. Kamu minta apa pun aku mau nurutin, tapi pleas
Panik, itu yang Rania rasakan, walaupun sudah sering melihat dalam keadaan seperti saat ini. Rania tetap saja merasa malu, dengan panik ia mengambil handuk kimono lalu memakaikannya pada sang suami. "Maaf, a-aku tadi kaget jadi reflek deh." Rania nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. Reza hanya menggelengkan kepala lalu beranjak keluar dari kamar mandi. Dengan masih menutup hidungnya menggunakan tangan, Reza memilih untuk duduk di sofa. Rasa sakit di hidungnya masih terasa, bahkan kepalanya sedikit pening. Melihat Reza diam, Rania langsung berlari menyusul suaminya itu, ada rasa bersalah karena sudah sering sekali membuat Reza terluka. Sementara Reza, ia diam karena merasa sakit, bukan karena marah. "Coba aku lihat, Za." Rania meminta Reza untuk menurunkan tangannya. Dengan perlahan Reza menuruti apa yang Rania inginkan. "Astagfirullah." Rania langsung mengambil tisu untuk mengelap darah yang keluar dari hidung suaminya itu. "Lama-lama hidung aku pesek gara-gara kamu