"Auh, Raza sakit." Rania mencubit pinggang Reza, hal tersebut membuat pria beralis tebal itu mengaduh kesakitan. "Rania, sakit tahu." Reza memegangi pinggangnya yang terasa sakit, akibat ulah istrinya itu. "Salah kamu sendiri, kamu pikir nggak sakit apa jatuh ke lantai," ujar Rania. Ia berusaha untuk bangkit lalu masuk ke dalam kamar mandi, tetapi niatnya terhenti saat Reza memegang kakinya. "Kamu mau ke mana?" tanya Reza, lalu bangkit. "Mau ganti baju," jawab Rania. Ia masih merinding mengingat kejadian tadi. "Tanggung jawab dulu, kamu sudah membangunnya." Reza tersenyum nakal, meski pinggang masih terasa sakit. Rania mengernyitkan keningnya. "Membangunkan, membangunkan siapa.""Membangunkan ular tidur, sekarang kamu harus bertanggung jawab." Reza mendorong tubuh Rania hingga menempel di dinding. Wanita itu kembali gemetar saat melihat senyum nakal Reza. "Please, Za. Tahan dulu ya, soalnya aku sedang datang bulan," kata Rania. Seketika Reza memundurkan langkahnya, jujur ia mer
Lima belas menit kemudian, Reza sudah kembali ke mobil, ia panik saat melihat mata Rania terpejam. Buru-buru Reza melempar baju yang ia beli tadi lalu memeriksa kondisi Rania. Tubuhnya sangat dingin, sangat tidak mungkin Reza membawa pulang atau pun rumah sakit, karena jarak cukup jauh. "Rania maafkan aku, tapi ini demi kebaikanmu." Dengan tangan gemetar Reza membuka baju yang melekat di tubuh istrinya. Ia akan menggantinya agar suhu tubuhnya kembali hangat. Saat Reza hendak melepas pakaian Rania, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Reza. Seketika pria berkemeja navy itu terkejut lalu mengusap pipinya yang terasa sakit. "Aduh, sakit tahu." Reza masih mengusap pipinya. "Dasar mesum, cari kesempatan aja," semburnya. Rania membuka mata saat merasa jika Reza hendak melepas pakaiannya. "Bukan mesum, aku cuma mau ganti pakaian kamu saja," terangnya. "Karena aku pikir kamu pingsan.""Aku ngantuk, bukan pingsan." Rania menjelaskan. "Ya udah ini bajunya, kamu ganti dulu gih. Badan
Pukul enam pagi, Rania mulai mengerjapkan matanya, sinar mentari yang masuk ke dalam melalui jendela kaca membuat tidur nyenyak Rania terganggu. Setelah kelopak matanya terbuka sempurna, seketika Rania terkejut saat menyadari jika dirinya berada di ranjang, bukan sofa seperti tadi malam. "Astaghfirullah, semoga Reza nggak berbuat macam-macam." Rania mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Setelah itu, perlahan ia membuka selimut tersebut. "Alhamdulillah, untung Reza nggak ngapa-ngapain aku." Rania bernapas lega saat melihat pakaian yang membungkus tubuhnya masih utuh. Tiba-tiba pintu kamar mandi berderit, sontak Rania menoleh, terlihat jika Reza baru selesai mandi. Pria beralis tebal itu berjalan menuju koper dengan hanya memakai handuk. Jujur, Rania terpesona dengan bentuk tubuh Reza yang seperti roti potong itu. "Udah bangun kamu." Reza berjalan menuju ranjang seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. "Udah, kok aku bisa ada di sini, bukankah semalam aku tidur di s
Pukul enam pagi, Rania mulai mengerjapkan mata, setelah kelopak matanya terbuka sempurna, wanita berambut panjang itu mengedarkan pandangannya. Badannya terasa sakit semua, Rania ingat jika semalam ia telah memberikan haknya. Rania tersenyum saat mengingatnya, Reza benar-benar sangat menjaganya. Rania pikir malam pertama itu menyakitkan, tetapi ternyata ... memang sakit. Namun sakit yang memberikan kenikmatan, rasanya Rania ingin mengulanginya lagi. "Pagi-pagi udah senyum-senyum seperti itu, kesambet apaan kamu," ujar Reza yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Ish, apaan sih. Ganggu aja," cebiknya. Rania memiringkan tubuhnya dan kembali tersenyum. Semalam Reza melakukanya dengan sangat hati-hati. "Ehem, sepertinya ada yang sedang ... bagaimana yang semalam, mau lagi nggak," godanya. Seketika Rania menutup wajahnya dengan selimut. Reza tersenyum melihat tingkah istrinya itu, sangat menggemaskan. "Buruan mandi, atau mau aku mandiin." Reza membuka selimut yang menutupi wajah Rani
Setelah hampir setengah hari di rumah sakit, kini Reza sudah berada di rumah. Awalnya dokter menyarankan untuk dirawat, tetapi Reza kekeh untuk pulang. Trauma dengan jarum suntik, membuat Reza paling anti untuk berurusan dengan dokter atau rumah sakit. Beruntung, saat Reza dikejar oleh suster, Rania sudah tiba di rumah sakit. Layaknya anak kecil, Rania harus membujuk Reza agar mau diobati dan diperiksa oleh dokter. Dengan sabar Rania menemani suaminya saat dokter dan suster mengobati luka di kepala Reza. "Jadi kamu tidak tahu siapa pelakunya?" tanya Irwan. Reza menggelengkan kepala. "Enggak, Pa. Pelakunya pakai masker dan kaca mata hitam, serta topi.""Kamu tidak punya musuh kan," timpal Rudy, ayah mertua Reza. "Enggak, Pa." Reza kembali menggelengkan kepalanya. "Apa mungkin ini ulah, Evan." Dugaan Rania, membuat semua orang yang berada di kamar Reza menoleh. "Bisa jadi, Evan pasti nggak suka lihat kalian nikah. Tapi ini terjadi kan gara-gara ulah, Evan sendiri," sahut Indah, ib
Kini Reza dan Rania sudah tiba di rumah, awalnya Reza hendak membawa istrinya itu ke rumah sakit, tetapi Rania menolak dan meminta untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Reza langsung membaringkan istrinya di sofa ruang tengah. Hesty yang melihatnya bergegas menghampiri menantunya itu. "Reza, Rania kenapa, Sayang kamu kenapa?" tanya Hesty dengan raut wajah khawatir. "Biasa lah, Ma. Cemburu buta ya kaya gini," sahut Reza, seketika Rania mencubit lengan suaminya itu. Hesty tersenyum. "Wah mantu, mama sekarang nambah cinta ya sama, Reza. Tapi kok bajunya bisa kotor begini, terus itu kakinya kenapa.""Sepertinya terkilir, Ma. Mama bisa mijit kan, mau ke rumah sakit Rania nggak mau," jawab Reza. "Yang bisa mijit kan kamu, buktinya pas mama keseleo kamu yang mijit. Udah sana kamu bawa Rania ke kamar, jangan lupa bajunya diganti, setelah itu kakinya kamu pijit," perintahnya. Rania hanya bisa pasrah, toh kakinya memang benar-benar sakit. "Ya udah, Ma." Reza segera mengangkat tubuh is
Melihat Reza kembali tersungkur, Evan menarik paksa tangan Rania dan hendak membawanya pergi dari tempat tersebut. Reza yang melihat istrinya akan dibawa pergi tidak tinggal diam. Pria berjaket hitam itu bangkit lalu memukul tengkuk Evan. Bugh, saking kerasnya tubuh Evan ambruk ke ubin, melihat itu Reza langsung membawa pergi istrinya. Rasa sakit di kepala tidak sebanding jika harus kehilangan Rania. Kini mereka sudah ada di mobil, tetapi sebelum itu Rania telah membayar makanan yang telah dipesan. "Za, kita ke rumah sakit ya," kata Rania. "Enggak mau, kita pulang saja," tolaknya. "Tapi luka kamu .... ""Please, Rania. Tolong jangan bawa aku ke rumah sakit." Reza memotong ucapan istrinya itu. "Ya udah kita pulang." Rania segera menyalakan mesin mobilnya. Setelah itu mobil melaju meninggalkan halaman resto. Dalam perjalanan, Reza terus memegangi kepala bagian belakang, sementara Rania memilih fokus untuk menyetir. Sesekali Rania menoleh ke arah di mana suaminya duduk. Khawatir, i
Reza langsung mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke kamar. Di kamar Reza membaringkan Rania di atas tempat tidur, panik dan khawatir bercampur menjadi satu, bahkan Hesty langsung menelpon dokter untuk memeriksa kondisi menantunya itu. "Dokter mau ngapain?" tanya Reza saat melihat Dokter Andi hendak memeriksa kondisi Rania. "Mau memeriksa kondisi istri .... ""Jangan dipegang, apa lagi diraba. Tutup mata, jangan ngintip." Reza memotong ucapan Dokter Andi. Hal tersebut membuat kedua orang tuanya merasa heran dan juga bingung. "Za kamu apa-apaan sih, Dokter Andi itu mau memeriksa kondisi Rania, kamu nggak lihat istrimu itu pingsan," ujar Hesty. Ia sering bingung dengan kelakuan putranya itu. "Iya, tapi dilarang memegang anggota tubuh Rania. Apa lagi kalau sampai melihat dalamnya," sahut Reza. Seketika mereka saling pandang. "Aduh, Za. Kamu tuh ya, udah sekarang kamu duduk, lihat bagaimana Dokter Andi memeriksa kondisi Rania." Hesty mendudukkan putranya tepat di sebelah Rania.