Aldi yang semula diam karena terkejut, ia menggeleng sambil tersenyum, berusaha gembira di hadapan sahabatnya.
"Gue... gue bekerja sama dengan salah satu perusahaan, yang di mana keuntungan itu mencapai miliaran." "Hah, beneran? Wahh, selamat, Bro. Gue salut banget sama Lo!" Andika semakin merasa bahagia, ia memeluk Aldi dengan tawa, sedangkan Aldi memejamkan mata untuk mengikhlaskan semuanya. "Saat aku sudah mengikhlaskan kamu, kenapa Tuhan malah mempersatukan kita berdua, Ran," gumam Aldi, ia ingin menyeruput kembali kopinya, tapi ternyata sudah kosong, hanya tersisa hampasnya saja. Pria itu tersenyum miring, ia bingung dengan permainan Tuhan yang diberikan padanya. Takdir apa ini? Dulu Ia ambil kekasih hatinya, sekarang Ia mengambil sahabatnya. "Andai waktu bisa berputar kembali, bisa kan kita mencintai wanita yang berbeda? Mungkin dengan itu kita akan bahagia sekarang, An." Aldi kini hanya bisa menghela napas pelan. Semuanya telah terjadi, ia kini memiliki kekasih yang dulu telah lama pergi. Tapi sekarang, sang sahabat yang meninggalkan dirinya pergi untuk selamanya. Antara sedih dan bahagia yang Aldi rasakan. Ia masih sungkan pada Andika jika untuk berbuat semaunya pada Rania. Padahal kini, wanita itu sudah menjadi miliknya seutuhnya. *** Hari Senin datang, semua orang sibuk di meja masing-masing, begitu juga dengan Rania yang sedang berkutik dengan pekerjaannya. Ia kemudian membuka laporan, ada satu yang harus ditandatangani oleh Aldi. Wanita itu masih ragu untuk bertemu dengan suaminya itu, bahkan sejak kemarin ia tidak melihat Aldi. Tidur pun terpaksa di kamar sang anak yang hanya ada satu kasur kecil yang hanya cukup untuk Azka saja. "Heh, anak baru. Beliin gue kopi, dong." Rania menatap perempuan yang ada di depannya itu. "Ini kan masih jam kerja, nanti aja pas istirahat ya." "Kalau gue bilang sekarang ya sekarang. Gimana sih." "Iya tapi, kan—" "Lo mau dipecat dari sini?" Perempuan bernama Nita itu mendekat. "Lo tau, kalau gue ini keponakan Pak Susanto." Melihat kesombongan perempuan itu, ingin sekali rasanya Rania berkata bahwa ia lebih berkuasa di sini karena dirinya adalah istri dari seorang bos. Tapi, urung wanita itu lakukan. Ia juga tak mau mengakui kalau dirinya adalah istri Aldi. Masih tak percaya rasanya bahwa dia sekarang sudah menikah untuk yang ke dua kalinya. "Iya aku beliin. Uangnya?" Wanita itu menadahkan tangan pada Nita. "Ya pake dulu uang Lo, lah." Rania berdiri dengan tangan yang sedikit menggebrak meja. Kemudian pergi dengan wajah yang masam. Panas terik membuat dia semakin emosi, ditambah lagi tempat untuk membeli kopi antri. Makin pusing Rania rasanya. "Nyebelin banget, huh! Semoga dia yang kena pecat. Kok ada orang modelan begitu." Sambil ngedumel, Rania menunggu antrian. Sampai akhirnya ia mendapatkan es kopi itu dan kembali ke kantor. "Uangnya?" Rania kembali menadahkan tangan saat kopi itu sudah berada di tangan Nita. "Apa? Uang? Ya Lo yang beliin lah, lawak kali minta uang segala." Nita mendelik sambil berlalu dari hadapan Rania. Membuat wanita itu mengepalkan tangan, ingin rasanya ia mencopot sepatunya dan melemparkan pada kepala Nita. Sedang kesal-kesalnya, seseorang memanggil Rania karena dicari oleh Aldi. Wanita itu semakin lesu rasanya, kenapa banyak sekali cobaan yang harus dicobain hari ini. Ketukan pintu ia lakukan, kemudian masuk dengan menunduk. Sama sekali tidak menatap Aldi. Pria itu yang menatapnya merasa aneh, kenapa Rania hanya diam menunduk seperti keberatan beban di pundaknya itu. "Dokumen yang kemarin mana?" "Yang mana?" tanya Rania balik, sambil tetap menunduk. "Bisa gak kalau lagi bicara angkat kepala terus tatap lawan bicara kamu." Dengan cemberut Rania mendongak dan menatap suaminya itu. Kening Aldi mengerut melihat itu, ia tak tau apa yang terjadi membuat wanita yang keras kepala itu diam dengan wajah yang masam. "Kenapa kamu?" "Gak papa." "Gak papa kenapa cemberut begitu." "Ya gak papa." Aldi mengusap wajahnya sambil menggaruk kepala. Panjang urusan kalau sudah seperti ini. "Ada yang ganggu kamu di sini?" Rania berpikir, sepertinya asik kalau ia mengadu soal Nita yang seenak jidat memperlakukan dia tadi. "Enggak, Mas. Cuma di sini kalau orang baru selalu disuruh sama harus ngeluarin uang buat beliin senior sesuatu gitu ya? Mana aku baru kerja belum gajian, malah dipalakin." Dengan nada yang disedih-sedihkan ia mengatakan hal itu. "Siapa yang berani lakuin itu sama kamu?" "Emm... namanya Nita." "Nita?" Aldi menatap tajam ke arah pintu, kemudian ia bangkit dan pergi dari ruangannya. Melihat itu Rania mengintip kepergian suaminya, ia cekikikan. Dia yakin, kalau Aldi akan memarahi perempuan licik itu. "Ternyata begini rasanya jadi istri bos. Eh, kok?" Rania keceplosan, ia menutup mulutnya sambil pelan-pelan keluar dari ruangan Aldi untuk mengintip keadaan Nita setelah ini."Meskipun belum semua, tapi aku ingat kalau kamu mencintaiku selama tujuh tahun, Mas!" ujar Ayumi... yang ternyata dia memanglah Rania. "Tuhan... Semoga ini bukan mimpi, semoga ini bukan mimpi." "Ini nyata, Mas. Kita bertemu lagi setelah tiga tahun lamanya aku di sini hidup tanpa siapa pun!" "Maafkan aku, maaf... aku terlambat datang jemput kamu." Rania menggeleng, baginya ini sudah menjadi takdir dan ujian. Apakah mereka bisa melewati ujian ini, atau mereka menyerah tanpa saling tahu satu sama lain. Dan sekarang, di tengah kebun teh yang hijau, Tuhan melihat mereka bisa melewati ujian yang diberikan. Mereka kembali bersama dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu pun. "Jangan pergi lagi, Rania... aku mencintaimu." "Aku janji, Mas. Akan terus ada di sisi kamu. Selamanya...." * Rania menatap kebun hijau di dekat jendela kamar Aldi, air matanya mengalir deras saat mengetahui jika sang anak sudah pergi meninggalkan dirinya saat dia tidak ada di sampingnya. "Maaf karena aku
Mentari pagi sangat cerah memasuki kamar Aldi, di sana Ayumi masih tertidur saat kemarin malam merasakan sakit kepala. Matanya mulai terbuka, orang pertama yang ia lihat adalah Aldi yang tengah berkutik dengan laptopnya. "Sudah tujuh tahun." "Tujuh tahun, Rania aku mencintaimu...." Suara dan bayangan itu kembali datang. Ayumi memegangi kepalanya dan berdesis. Membuat Aldi berbalik menatapnya dan langsung menghampiri. "Kamu udah bangun?" tanyanya, dengan wajah yang panik. "Apa masih sakit?" Perempuan itu menggeleng pelan. "Mau sarapan apa?" Ayumi tak menjawab, ia malah menatap Aldi tanpa berkedip. Hatinya campur aduk, antara percaya atau tidak bahwa dia adalah istri seorang pria yang sedang berada di hadapannya itu. "Bisa kamu tunjukan momen-momen bersama istrimu?" Aldi yang merasa bingung karena dia meminta itu pun, berdiri dan mengambil laptopnya. Ia kembali duduk di samping Ayumi. Pria itu menjelaskan saat Rania pertama kali kerja di kantornya, saat dia di kerjain
Sudah dua hari, Aldi masih setia menunggu kabar dari Ai, setiap malam yang ia bayangkan hanyalah Rania, dan masih sangat berharap bahwa perempuan itu memanglah istrinya. Malam sedingin ini, Aldi hanya diam berdiri di balkon, melihat kebun teh dengan suara jangkrik yang menemaninya. Ia bosan, ingin pergi tapi ke mana. Kemudian pria itu baru teringat bahwa ia ingin seuatu tempat. Bergegas dia menyambar jaket karena dingin, lalu pergi. Sebuah sungai kecil tapi suara air yang mengalir membuatnya merasa tenang. Tidak jauh dari saung, pria itu memutuskan untuk jalan kaki saja. Namun, saat diperjalanan dia melihat ada yang sedang ribut. Suara perempuan itu membuat Aldi bergegas lari menghampiri. "Hutangnya mana! Kita mah gak butuh tangisan kamu!" "Bayar sekarang atau kita bakar rumah kalian!" "Jangan... jangan, Pak. Tolong kasih saya waktu lagi." "Ahhhh lamaa!" "Woyy!" Aldi datang dan meninju wajah orang-orang itu saat mereka sudah melayangkan tangan ingin memukul Ayumi, dengan n
Aldi yang terkejut langsung menghampiri perempuan itu takut jika sampai dia salah paham lagi. Tapi lagi-lagi Ayumi memberikan bogeman, ia menendang Aldi sampai tersungkur ke lantai. "Dasar mesum! Kamu pikir aku perempuan apaan, hah!" teriak Ayumi nyaring, sampai semua pegawai termasuk Teh Ai datang menghampiri mereka. Melihat Teh Ai datang, Ayumi langsung turun dari ranjang dan memeluknya dengan penuh ketakutan. "Tolong, Teh... dia mau perikosa aku!" ujar Ayumi dengan tubuh yang gemetar. Teh Ai melihat kancing baju anak buahnya itu terbuka. Kemudian ia menatap Aldi yang sedang berusaha berdiri. "Sumpah, saya gak ada maksud buat begitu," jawab Aldi membela. "Terus apa maksud kamu buka-buka kancing baju saya! Udah salah masih aja mengelak, jangan karena kamu punya banyak uang jadi bisa seenaknya pada orang miskin sepertiku. Ingat, biarpun miskin tapi aku masih punya harga diri!" teriak Ayumi. Aldi diam dengan mata menatap Ayumi, dia merasa sangat bersalah karena membuat pe
Ayumi memeluk sang nenek erat sembari menangis. Dia masih bingung, siapa dia sebenarnya dan kenapa bisa ada di sana? Kenapa dia bisa hilang ingatan tiga tahun lalu itu. Apakah dia sudah menikah atau masih lajang? Setiap malam Ayumi memikirkan hal itu. Apakah keluarganya masih utuh, apakah dia mempunyai kekasih? Dia benar-benar tidak mengingat sedikitpun kenangan dulu. Perempuan itu pamit pada sang nenek. Ia kembali ke saung dengan wajah yang ceria, setidaknya sekarang dia tidak terlalu memikirkan dari mana mendapatkan uang. Sejak kemarin dia sudah frustasi, jika keluar dari kerjaan, ke mana lagi dia akan mencari uang. "Yumi, tolong siapkan air hangat untuk kamar 08, ya." Perempuan itu sontak menatap sang bos. Tangannya saling bertautan karena takut. Bagaimana jika dia melakukan hal yang kemarin lagi? Bisakah dia menolak? Tapi... apa mungkin bosnya itu akan memberikan kesempatan dua kali? "Ba-Baik... Teh." Dengan cepat ia berjalan menuju kamar Adli, di depan pintu Ayum
Setelah sekian kali mengetuk, akhirnya ada yang nyaut juga. "Siapa—" Raut wajahnya berubah saat melihatku. Dengan cepat ia menutup pintu, tapi tanganku lebih cepat untuk menahannya. "Mau apa Bapak ke sini?" "Saya mau bertemu dengan kamu." "Atas dasar apa? Saya tidak mau bertemu dengan Bapak. Pulanglah!" "Tunggu. Saya minta maaf perihal yang tadi. Maaf jika saya lancang, demi apa pun, saya tidak bermaksud untuk melakukan itu." Sembari menatapku dengan kemarahan yang mulai mereda, dia kemudian membukakan pintu dan mengizinkanku untuk masuk. Lantai kayu yang sudah bolong-bolong begitu juga dengan dinding anyaman bambu. Kenapa dia tinggal di rumah seperti ini, apakah tidak ada yang lebih layak dari ini? "Duduklah." Dia sibuk mengambilkan air kemudian menaruhnya di hadapanku. "Maaf di sini tidak ada kursi," ujarnya, kemudian duduk berhadapan denganku. "Kamu tinggal sendiri?" "Tidak. Saya tinggal dengan Nenek saya, tapi dia sudah renta. Jadi tidak bisa ke mana-mana." "Oh..