Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00.
Darline tahu seharusnya dia membangunkan Willson dari pukul 06.00 tadi agar bisa bersiap ke kantor. Pekerjaan Willson sebagai seorang staff keuangan senior di sebuah perusahaan swasta membuat Willson tak seharusnya terlambat.
Seharusnya juga Darline mempersiapkan sarapan yang bergizi ditambah minuman hangat yang bisa meredakan sakit kepala yang dirasakan suaminya karena telah mabuk-mabukan semalam.
Bahkan jika bisa, seharusnya juga Darline menyiapkan sebutir paracetamol agar tubuh Willson kembali segar dan siap menghadapi pekerjaannya.
Seharusnya seperti itu.
Namun, rasa sakit dan penasaran yang menusuk hati Darline akibat penemuan kondom bekas pakai tadi membuat Darline tak sanggup melakukan semua kebaikan itu.
Dia bukan malaikat.
“Darliiiiiine!!! Darline sialan!” teriak Willson dari arah kamar.
Darline sudah memperkirakan ini semua. Saat Willson bangun dari tidur, pria itu pasti akan menyadari dirinya terlambat pergi ke kantor dan pada akhirnya hanya akan mengamuk besar.
Darline bukan tidak gemetar mendengar betapa besar dan kasar teriakan Willson. Jantungnya masih melompat takut, tapi Darline sudah mempersiapkan diri.
Dia sudah berpikir tenang sedari tadi dan menumbuhkan tekad dalam hatinya.
‘Kondom seperti itu bisa ditemukan di saku celana Willson, pastilah karena habis dipakai. Hanya saja ... kenapa Willson tidak membuangnya, malah disimpan di saku dan dibawa pulang? Apakah Willson sengaja membawa pulang barang itu agar aku menemukannya?’ batin Darline sedari tadi ketika memikirkan bagaimana mungkin ada pria yang mengantongi kondom bekas pakainya. Ini sedikit tidak masuk akal.
Tumben Willson seceroboh itu. ‘Atau memang dia sebodoh itu dan aku baru menyadarinya?’ hati kecilnya kembali bertanya-tanya dengan sinisnya.
“DARLIIIIIINE! KAMU BUDEK ATAU TULI, HAH?!”
Teriakan Willson makin besar hingga Lisa dan Bu Mira pun ikut bersuara.
“Apa-apaan sih kalian ini teriak-teriak?” Darline mendengar suara Bu Mira. “Mau rumah ini ambruk?”
Hati kecil Darline semakin miris mendengar kata-kata ibu mertuanya itu. Jelas-jelas hanya anak lelakinya yang berteriak, tapi dia menggunakan kata ‘kalian’ dalam bertanya.
Sekejap kemudian, ibu mertuanya itu sudah berada di ambang pintu belakang rumah.
“Hei, Darline! Kamu nggak denger apa suamimu teriak kenceng begitu manggilin kamu? Dasar istri durjana! Sana hampiri!”
“Iya, Bu,” kata Darline pelan seraya meletakkan sapu yang digunakannya untuk menyapu halaman belakang.
Darline memang sengaja menyapu halaman belakang karena tidak ingin berada di kamar dan tidak tahu harus melakukan apa di dapur karena dia tidak hendak menyiapkan apa-apa untuk Willson.
Jika bukan karena Darline pun memiliki kesalahan satu malam dengan Paman Hayden, Darline tidak akan mungkin bersedia merajut sabarnya seluas ini untuk Willson.
Semua ini dia lakukan hanya karena dia pun memiliki dosa besar pada suaminya itu. Dalam hatinya, Darline berharap, jika memang Willson tidak sengaja jajan di luar, Darline akan sanggup memaafkannya kali ini. Anggap saja maaf nya ini merupakan hukuman yang pantas dia dapatkan karena sudah berdosa tidur dengan Paman Hayden.
“Ya, Will, ada ap—”
Bruk!
Belum selesai pertanyaan pelan penuh sabar dari Darline mengudara, remote AC sudah melayang dan mendarat keras di bibir Darline.
“Aduh! Willson, apa-apaan ini?!” seru Darline terkejut, tidak terima, apalagi mendadak terasa perih menyengat di sudut bibirnya.
Darline mengelap sudut yang perih dan ternyata noda darah menempel di jarinya.
“Willson! Kenapa sih kamu harus kasar begini?” tanya Darline lagi dengan menaikkan nada suaranya.
Dalam relung hatinya, Darline sebenarnya ketakutan. Suara Willson begitu menggelegar marah, ditambah lemparan remote, perlakuan Willson yang seperti ini jauh lebih parah dari perilakunya dua tahun belakangan ini.
“Kamu masih tanya kenapa harus kasar? Kamu itu istri apaan coba? Kamu nggak lihat sudah jam berapa ini? Kenapa kamu nggak bangunin aku dari jam enam tadi, hah?!”
“Willson, kamu pulangnya saja fajar, dalam keadaan mabuk. Jam enam tadi, aku bangunin kamu nggak bangun-bangun. Masa aku harus seret kamu turun dari ranjang sampai ke kamar mandi? Nggak kuat aku!”
“Halah, banyak alasan kamu! Nggak mungkin aku nggak terbangun kalau jam enam tadi kamu ada membangunkanku?!”
Darline menatap balik delikan kemarahan suaminya itu. Dengan cepat dia menghirup napasnya dalam-dalam dan berkata dengan suara tenang.
“Aku bukan banyak alasan, Will,” katanya dengan suara bergetar menahan sakit hatinya memikirkan Willson sudah jajan di luar.
“Tapi fajar tadi, pas kamu pulang, aku menemukan itu di saku celanamu,” katanya lagi sambil menunjuk ke arah lantai, di depan pintu kamar mandi.
Di situ tergeletak celana yang Willson pakai semalam. Di atas celana itu terdapat kondom bekas yang ditemukannya terjatuh dari saku.
Darline tidak jadi membuang benda itu dan tidak jadi mencuci celana pendek itu karena berpikir dia harus menanyakan hal ini, selagi barang bukti masih ada.
Terlihat raut wajah Willson yang membelalak kaget.
Dia sempat gelagapan, tapi sekejap kemudian, tatapan nyalangnya sudah menghadang Darline. “Apa maksudmu dengan itu?” raungnya marah. “Kamu mau menjebakku?”
“Lho, menjebak gimana? Itu kutemukan di saku celanamu!”
“Hah! Maksudmu, aku memakai itu trus menyimpannya di saku?” Willson menunjuk pelipisnya dengan telunjuk. “Pikir dong pakai otak! Kalau aku memang ada main di luar sana, ngapain aku menyimpan barang bukti?!”
Darline pun sudah menduga ini.
Willson memang memiliki kemampuan mendesak dan mendebat yang cukup piawai. Menurut Darline ini dikarenakan Willson sempat mengecap kuliah di bidang hukum selama satu tahun lamanya.
Entah mengapa, Willson tidak melanjutkannya tapi malah pindah ke jurusan ekonomi sehingga suaminya itu berkarier di perusahaan swasta tingkat menengah nasional sebagai staff keuangan.
Herannya, kemampuan tuding menuding kerap dipraktekkannya terhadap Darline.
Darline sudah hapal desakan Willson yang seperti ini. Inilah yang membuatnya muak, lelah hati dan pikirannya. Seakan-akan, jika Darline belum mencapai titik terbawahnya, Willson belum merasa puas.
Sungguh perilaku ‘gaslighting’ Willson seperti ini sangat mengikis mental Darline.
“Aku nggak tau apa tujuanmu menyimpannya di saku. Bisa jadi kamu kelupaan. Tapi, aku pun nggak ada alasan untuk menjebakmu dengan tuduhan ini.
Untuk apa aku memasukkan benda itu hanya demi menuduhmu?”
“Halaaah, masih bilang nggak ada alasan untuk menuduhku! Jadi maksudmu aku benar-benar menyimpan kondom bekas itu di saku celana? Itu nggak masuk akal! Mana ada orang yang menyimpan barang bekas itu? Kalau sudah dipakai, ya dibuang!
Jadi, kalau bukan kamu mau memfitnahku, apa lagi?”
“Aku nggak memfitnahmu, Willson! Aku memang menemukannya di saku celanamu!” Darline makin frustrasi semakin dia berusaha menunjukkan bahwa dia memang menemukan barang itu di saku celana Willson.
Namun, lagi-lagi, pria itu bertanya lagi, “Mana buktinya kalau begitu?”
Darline terhenyak menatap Willson. “Ya, itu buktinya! Mau bukti gimana lagi?”
“Itu mana bisa dijadiin bukti! Kan sudah kubilang, kalau aku memakainya, aku nggak akan menyimpan! Selesai pakai, ya pasti langsung kubuang! Jadi, barang itu pastilah kamu yang memasukkannya diam-diam ke saku celanaku waktu aku masih tertidur!
Dan sekarang dengan mudahnya kamu berkata kamu menemukannya di sakuku!”
“Aku memang menemukannya di sakumu, Willson!”
“Kalau memang begitu, buktikan!”
Darline makin frustrasi. Bicara dengan Willson seperti bicara pada tembok yang memantulkan kembali pertanyaan dan segala kata-katanya.
“Buktikan gimana lagi? ITU-lah buktinya!”
“Kasih saksi dong kalau memang kamu menemukan di saku, bukan kamu yang memasukkannya sendiri!”
Darline kembali terkesiap mendengar alasan demi alasan yang dikemukakan Willson. Dia saja tidak sengaja menemukan barang itu dari saku celananya Willson, bagaimana mungkin dia bisa memanggil saksi sebelum dia mengebas-ngebaskan celana itu?
Lagipula, seisi rumah ini adalah keluarga Willson, apa mungkin mereka mau menjadi saksi yang memberatkan Willson?
Sungguh Darline tak habis pikir, segala yang dia kemukakan selalu dipentalkan lagi. Sekalipun bukti ditunjukkan di depan mata, dengan mudahnya Willson berkata buktikan lagi. Ini sangat tidak masuk di akal. Semua yang dia kemukakan terasa sia-sia belaka.
“Aku nggak mengerti, kenapa kamu harus sengotot ini!”
“Aku ngotot? Ngotot bagaimana? Kamu itu yang mencurigakan! Malam kemarin, kamu di mana? Kalau kamu tidak berbuat yang tidak-tidak, buktikan! Aku butuh bukti, bukan hanya kata-kata!”
Darline tak bisa berkata-kata lagi saat menghadapi Willson yang malah menyecar dan menuduhnya telah melakukan sesuatu yang tidak benar. Bahkan dia dituduh sengaja menjebak dan memfitnah Willson. Jika bukan karena Darline takut kebersamaannya dengan Paman Hayden terungkap, Darline tidak akan berdiam diri saat dicecar seperti itu. Biar bagaimana pun sebagian dirinya merasa bersalah, tapi juga sebagian lainnya merasa Willson jauh lebih salah daripadanya. Darline hanya tidak bisa menekan Willson untuk mengakui kesalahannya. Dalam tangis dan rasa perih yang mengukungnya itu, Darline mendengar deru mesin mobil Willson meraung pergi meninggalkan pekarangan rumah. Tidak ada rasa yang merayap di hatinya. Darline hanya merasakan kekosongan. *** “Aku butuh pekerjaan nih, Fen. Ada nggak ya yang bisa menerima karyawan sepertiku ini, yang sudah lama vakum bekerja. Sudah 2,5 tahun aku vakum, Fen.” Dalam gelisahnya tadi, Darline pun mengajak Fenny, salah satu teman dekatnya saat
Antusias dan kegugupan melebur menjadi satu dalam diri Darline. Ketika tiba di kantor untuk hari pertama kerjanya tadi, selama lebih dari lima belas menit Darline mendapatkan pengarahan dari Bu Alma apa saja yang menjadi tugasnya sebagai sekretaris.Darline mempelajari dengan seksama dan bertekad untuk bekerja dengan baik.Namun, tetap saja dia merasa gugup.3L’s Empires Motor merupakan perusahaan besar. Ini bisa terlihat dari segala segi. Iklan dan marketing mereka yang teramat gencar. Produk otomotif yang inovatif dan seringkali menjadi trend setter baru di kalangan pecinta otomotif.Selain itu juga, jajaran direksi dan hierarkie manajemen yang berlapis-lapis dalam perusahaan ini menunjukkan kredibilitas 3L’s Empires Motor tidaklah main-main.Terakhir, fisik kantor yang sangat modern dan elegan.Begitu menginjakkan kaki di sini, Darline langsung jatuh cinta berharap dia bisa menjadi staff tetap dan berkarier di 3L’s Empires Motor.Saat dia sudah mampu hidup mandiri nantinya, Darline
Huuuufftt ... fiuuuuuuh ...Darline menyempatkan diri menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya, lalu mengembuskannya, ketika dia telah tiba di pintu ruang CEO dan hendak mengetuknya.Setelah tiga kali tarik dan hela napas panjang, Darline pun akhirnya mengetuk.“Masuk!” titah suara bariton dari dalam ruangan.Hanya mendengar suara itu saja degup jantung Darline meningkat drastis lagi.Darline membuka pintu, berusaha agar tangannya tidak terlihat gemetar, lalu melangkah masuk, dengan setenang mungkin.‘Apa yang Paman Hayden pikirkan tentang diriku ini? Jangan-jangan, Paman Hayden mengira aku sengaja melamar pekerjaan di kantornya ini demi berdekatan dengannya!’Darline tanpa sengaja sibuk berpikir sementara tubuhnya berbalik dari pintu untuk menuju meja kerja Hayden.Untungnya, pria itu masih menatap layar laptop dengan teramat serius. Darline jadi tak sengaja malah mengamati Paman Hayden yang begitu seriusnya.Dari pengamatannya ini Darline baru menyadari bahwa Paman Hayden sebenarny
Darline merasa tak enak hati karena ketahuan berbohong. Dia pun hanya menundukkan wajah. Melihat Darline menunduk, Hayden menaikkan wajah itu dengan jari di dagu Darline. “Jawab aku. Darline, sejujur-jujurnya. Kamu sekarang sekretarisku, Darline. Jika kau berbohong, aku akan langsung memecatmu sekarang juga!” Tiba-tiba suara dominasi itu bercampur kuasa yang tak bisa ditampik Darline. Wanita itu cukup terkejut mendengar Hayden sampai menuntut kejujuran darinya dengan sekeras ini. Darline yang tadinya bertekad menutupi prahara rumah tangganya dengan Willson erat-erat dari Hayden, kini tak berani membantah lagi. Dia pun menjawab lirih, “Iya, Paman. ini—” “Apa yang dia lakukan hingga kau terluka seperti ini? Apa dia menggigitmu?” tanya Hayden lagi dengan pandangan yang menyorot marah. Darline terhenyak, kenapa Paman Hayden bisa serisau ini hanya karena luka kecil di bibirnya? “Nggak, Paman. Dia nggak menggigit.” “Kalau tidak menggigit, lalu dia apakan?” Geramannya yang tertahan
Darline terperangah melihat apa yang tertera di medsosnya ini. ‘Apakah yang tadi itu aku salah lihat? Atau memang Willson baru saja meng-unfollow Laura Bella? Kalau iya, kenapa?’‘Jika Willson baru saja meng-unfol Laura Bella, berarti Willson sedang online.’Sangat ingin tahu, gegas Darline menuju inbox, lalu mencari kontak Willson di jajaran friend list miliknya.Ada 900-an friends yang dimiliki Darline. Dia mengetik nama Willson, tapi yang muncul adalah dua akun bernama Willson, tapi bukanlah Willson suaminya.Darline bingung, ‘Kenapa akun Willson tidak bisa kudapatkan?’“Mungkin aku salah ketik,” gumam Darline pada dirinya sendiri.Darline lalu mencoba lagi. Tapi hasilnya tetap sama seperti tadi. Hanya muncul dua akun bernama Willson, tapi bukan suaminya.Darline semakin heran dan penasaran. Dia pun menuju akun Laura Bella lagi. Dari friend list Laura Bella yang jumlahnya sekitar 5000, dia mengetikkan nama Willson.Muncul seratusan akun bernama Willson. Terpaksa Darline melihat sat
“Pam—paman.”Darline mendorong tubuh Hayden ketika dia berhasil meraih kesadarannya.Meskipun saat tangannya menjauhkan dada bidang pria itu dia pun telah menerima beberapa cecapan lembut Hayden, bahkan membiarkan lidah pria itu membelai lidahnya.Mendengar suara Darline –terutama karena Darline masih memanggilnya Paman—Hayden pun seperti tersadar dari mimpi siang bolongnya.“Ma—maaf. Aku ...”Wajahnya teramat menyesal dan Darline bisa melihat kini Hayden tengah kikuk memikirkan bagaimana bersikap terhadapnya.“Jam berapa Willson biasanya pulang?” tanya Hayden akhirnya, setelah mereka terdiam cukup lama.“Biasanya jam begini sudah sampai,” sahut Darline lagi. Hayden pun mengangguk.“Oh. Tapi kenapa sepertinya rumahmu tidak ada orang sama sekali.”“Err, sepertinya begitu. Mungkin Ibu dan Lissa sedang pergi.”Jawaban itu mendapatkan tolehan kepala dari Hayden. Pria itu menatapnya lagi teramat lekat, seakan lupa atas ciuman yang seharusnya tak terjadi barusan.Entah apa arti tatapan Hayd
“Darline! Darline!” seru tamu Darline dari luar pintu. Seruan yang cukup keras itu membuat Darline buru-buru membuka pintu, sebelum tetangga sebelah rumah mendengar dan mengira yang tidak-tidak. “Paman! Ada apa?” tanya Darline pada Hayden yang terlihat resah. Belum sedetik, tampak kedua bola mata Hayden membelalak lebar. “Darl ... darl ... Darline,” serunya lagi dengan susah payah, terbata-bata, sambil menelisik tampilan Darline. Darline ikut memindai tubuhnya sendiri dan baru menyadari dia hanya mengenakan jubah mandi dengan rambut panjangnya dililit handuk. “Arrgh! Tung—tunggu bentar, Paman!” ‘Ini memalukan!’ seru Darline dalam hati. Dia gegas berlari masuk ke kamar dan berpakaian dengan pantas. Lima menit kemudian, dia sudah mengenakan blus dengan celana pendek selututnya. “Paman ngapain, kenapa masih di sini?” tanya Darline cemas. Di rumah hanya ada dirinya. Dia takut ada tetangga yang memergoki mereka berdua di sini dan malah menjadi fitnah. “Aku—aku melihat kau sendir
Hari pertama di negeri singa, Darline langsung mengekor Hayden menghadiri rapat produk terbaru mereka, yang mana perusahaan akan meluncurkan mobil sport limited edition yang hanya diproduksi satu saja di satu negara.Hayden tampak begitu berkharisma dan penuh wibawa saat menyampaikan presentasinya. Darline sampai tak bisa memalingkan tatapannya dari pria matang itu.Ada rasa yang berbeda mengalir di penjuru nadinya setiap kali dia menatap ke arah Hayden dan pandangan mata mereka berdua saling bertemu.‘Oh, Tuhan, ini tidak baik buatku. Aku bisa jatuh dalam dosa lagi kalau terlalu sering memandangi Hayden!’ Rintihan hati kecil Darline membuat wanita itu tak tenang. Namun tetap saja, tidak mungkin bagi Darline untuk tidak memandangi Hayden.Belum satu menit dia berdoa dan bertekad untuk tidak menatap ke arah Hayden terus menerus, Darline sudah mendapati dirinya kembali menatap ke wajah tampan nan matang pak boss nya itu.Di hari ke-dua, mereka menghadiri acara balap mobil yang disponso