Share

07. Buktikan Fitnahanmu!

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00.

Darline tahu seharusnya dia membangunkan Willson dari pukul 06.00 tadi agar bisa bersiap ke kantor. Pekerjaan Willson sebagai seorang staff keuangan senior di sebuah perusahaan swasta membuat Willson tak seharusnya terlambat.

Seharusnya juga Darline mempersiapkan sarapan yang bergizi ditambah minuman hangat yang bisa meredakan sakit kepala yang dirasakan suaminya karena telah mabuk-mabukan semalam.

Bahkan jika bisa, seharusnya juga Darline menyiapkan sebutir paracetamol agar tubuh Willson kembali segar dan siap menghadapi pekerjaannya.

Seharusnya seperti itu.

Namun, rasa sakit dan penasaran yang menusuk hati Darline akibat penemuan kondom bekas pakai tadi membuat Darline tak sanggup melakukan semua kebaikan itu.

Dia bukan malaikat.

“Darliiiiiine!!! Darline sialan!” teriak Willson dari arah kamar.

Darline sudah memperkirakan ini semua. Saat Willson bangun dari tidur, pria itu pasti akan menyadari dirinya terlambat pergi ke kantor dan pada akhirnya hanya akan mengamuk besar.

Darline bukan tidak gemetar mendengar betapa besar dan kasar teriakan Willson. Jantungnya masih melompat takut, tapi Darline sudah mempersiapkan diri.

Dia sudah berpikir tenang sedari tadi dan menumbuhkan tekad dalam hatinya.

‘Kondom seperti itu bisa ditemukan di saku celana Willson, pastilah karena habis dipakai. Hanya saja ... kenapa Willson tidak membuangnya, malah disimpan di saku dan dibawa pulang? Apakah Willson sengaja membawa pulang barang itu agar aku menemukannya?’ batin Darline sedari tadi ketika memikirkan bagaimana mungkin ada pria yang mengantongi kondom bekas pakainya. Ini sedikit tidak masuk akal.

Tumben Willson seceroboh itu. ‘Atau memang dia sebodoh itu dan aku baru menyadarinya?’ hati kecilnya kembali bertanya-tanya dengan sinisnya.

“DARLIIIIIINE! KAMU BUDEK ATAU TULI, HAH?!”

Teriakan Willson makin besar hingga Lisa dan Bu Mira pun ikut bersuara.

“Apa-apaan sih kalian ini teriak-teriak?” Darline mendengar suara Bu Mira. “Mau rumah ini ambruk?”

Hati kecil Darline semakin miris mendengar kata-kata ibu mertuanya itu. Jelas-jelas hanya anak lelakinya yang berteriak, tapi dia menggunakan kata ‘kalian’ dalam bertanya.

Sekejap kemudian, ibu mertuanya itu sudah berada di ambang pintu belakang rumah.

“Hei, Darline! Kamu nggak denger apa suamimu teriak kenceng begitu manggilin kamu? Dasar istri durjana! Sana hampiri!”

“Iya, Bu,” kata Darline pelan seraya meletakkan sapu yang digunakannya untuk menyapu halaman belakang.

Darline memang sengaja menyapu halaman belakang karena tidak ingin berada di kamar dan tidak tahu harus melakukan apa di dapur karena dia tidak hendak menyiapkan apa-apa untuk Willson.

Jika bukan karena Darline pun memiliki kesalahan satu malam dengan Paman Hayden, Darline tidak akan mungkin bersedia merajut sabarnya seluas ini untuk Willson.

Semua ini dia lakukan hanya karena dia pun memiliki dosa besar pada suaminya itu. Dalam hatinya, Darline berharap, jika memang Willson tidak sengaja jajan di luar, Darline akan sanggup memaafkannya kali ini. Anggap saja maaf nya ini merupakan hukuman yang pantas dia dapatkan karena sudah berdosa tidur dengan Paman Hayden.

“Ya, Will, ada ap—”

Bruk!

Belum selesai pertanyaan pelan penuh sabar dari Darline mengudara, remote AC sudah melayang dan mendarat keras di bibir Darline.

“Aduh! Willson, apa-apaan ini?!” seru Darline terkejut, tidak terima, apalagi mendadak terasa perih menyengat di sudut bibirnya.

Darline mengelap sudut yang perih dan ternyata noda darah menempel di jarinya.

“Willson! Kenapa sih kamu harus kasar begini?” tanya Darline lagi dengan menaikkan nada suaranya.

Dalam relung hatinya, Darline sebenarnya ketakutan. Suara Willson begitu menggelegar marah, ditambah lemparan remote, perlakuan Willson yang seperti ini jauh lebih parah dari perilakunya dua tahun belakangan ini.

“Kamu masih tanya kenapa harus kasar? Kamu itu istri apaan coba? Kamu nggak lihat sudah jam berapa ini? Kenapa kamu nggak bangunin aku dari jam enam tadi, hah?!”

“Willson, kamu pulangnya saja fajar, dalam keadaan mabuk. Jam enam tadi, aku bangunin kamu nggak bangun-bangun. Masa aku harus seret kamu turun dari ranjang sampai ke kamar mandi? Nggak kuat aku!”

“Halah, banyak alasan kamu! Nggak mungkin aku nggak terbangun kalau jam enam tadi kamu ada membangunkanku?!”

Darline menatap balik delikan kemarahan suaminya itu. Dengan cepat dia menghirup napasnya dalam-dalam dan berkata dengan suara tenang.

“Aku bukan banyak alasan, Will,” katanya dengan suara bergetar menahan sakit hatinya memikirkan Willson sudah jajan di luar.

“Tapi fajar tadi, pas kamu pulang, aku menemukan itu di saku celanamu,” katanya lagi sambil menunjuk ke arah lantai, di depan pintu kamar mandi.

Di situ tergeletak celana yang Willson pakai semalam. Di atas celana itu terdapat kondom bekas yang ditemukannya terjatuh dari saku.

Darline tidak jadi membuang benda itu dan tidak jadi mencuci celana pendek itu karena berpikir dia harus menanyakan hal ini, selagi barang bukti masih ada.

Terlihat raut wajah Willson yang membelalak kaget.

Dia sempat gelagapan, tapi sekejap kemudian, tatapan nyalangnya sudah menghadang Darline. “Apa maksudmu dengan itu?” raungnya marah. “Kamu mau menjebakku?”

“Lho, menjebak gimana? Itu kutemukan di saku celanamu!”

“Hah! Maksudmu, aku memakai itu trus menyimpannya di saku?” Willson menunjuk pelipisnya dengan telunjuk. “Pikir dong pakai otak! Kalau aku memang ada main di luar sana, ngapain aku menyimpan barang bukti?!”

Darline pun sudah menduga ini.

Willson memang memiliki kemampuan mendesak dan mendebat yang cukup piawai. Menurut Darline ini dikarenakan Willson sempat mengecap kuliah di bidang hukum selama satu tahun lamanya. 

Entah mengapa, Willson tidak melanjutkannya tapi malah pindah ke jurusan ekonomi sehingga suaminya itu berkarier di perusahaan swasta tingkat menengah nasional sebagai staff keuangan.

Herannya, kemampuan tuding menuding kerap dipraktekkannya terhadap Darline.

Darline sudah hapal desakan Willson yang seperti ini. Inilah yang membuatnya muak, lelah hati dan pikirannya. Seakan-akan, jika Darline belum mencapai titik terbawahnya, Willson belum merasa puas.

Sungguh perilaku ‘gaslighting’ Willson seperti ini sangat mengikis mental Darline.

“Aku nggak tau apa tujuanmu menyimpannya di saku. Bisa jadi kamu kelupaan. Tapi, aku pun nggak ada alasan untuk menjebakmu dengan tuduhan ini.

Untuk apa aku memasukkan benda itu hanya demi menuduhmu?”

“Halaaah, masih bilang nggak ada alasan untuk menuduhku! Jadi maksudmu aku benar-benar menyimpan kondom bekas itu di saku celana? Itu nggak masuk akal! Mana ada orang yang menyimpan barang bekas itu? Kalau sudah dipakai, ya dibuang!

Jadi, kalau bukan kamu mau memfitnahku, apa lagi?”

“Aku nggak memfitnahmu, Willson! Aku memang menemukannya di saku celanamu!” Darline makin frustrasi semakin dia berusaha menunjukkan bahwa dia memang menemukan barang itu di saku celana Willson.

Namun, lagi-lagi, pria itu bertanya lagi, “Mana buktinya kalau begitu?”

Darline terhenyak menatap Willson. “Ya, itu buktinya! Mau bukti gimana lagi?”

“Itu mana bisa dijadiin bukti! Kan sudah kubilang, kalau aku memakainya, aku nggak akan menyimpan! Selesai pakai, ya pasti langsung kubuang! Jadi, barang itu pastilah kamu yang memasukkannya diam-diam ke saku celanaku waktu aku masih tertidur!

Dan sekarang dengan mudahnya kamu berkata kamu menemukannya di sakuku!”

“Aku memang menemukannya di sakumu, Willson!”

“Kalau memang begitu, buktikan!”

Darline makin frustrasi. Bicara dengan Willson seperti bicara pada tembok yang memantulkan kembali pertanyaan dan segala kata-katanya.

“Buktikan gimana lagi? ITU-lah buktinya!”

“Kasih saksi dong kalau memang kamu menemukan di saku, bukan kamu yang memasukkannya sendiri!”

Darline kembali terkesiap mendengar alasan demi alasan yang dikemukakan Willson. Dia saja tidak sengaja menemukan barang itu dari saku celananya Willson, bagaimana mungkin dia bisa memanggil saksi sebelum dia mengebas-ngebaskan celana itu?

Lagipula, seisi rumah ini adalah keluarga Willson, apa mungkin mereka mau menjadi saksi yang memberatkan Willson?

Sungguh Darline tak habis pikir, segala yang dia kemukakan selalu dipentalkan lagi. Sekalipun bukti ditunjukkan di depan mata, dengan mudahnya Willson berkata buktikan lagi. Ini sangat tidak masuk di akal. Semua yang dia kemukakan terasa sia-sia belaka.

“Aku nggak mengerti, kenapa kamu harus sengotot ini!”

“Aku ngotot? Ngotot bagaimana? Kamu itu yang mencurigakan! Malam kemarin, kamu di mana? Kalau kamu tidak berbuat yang tidak-tidak, buktikan! Aku butuh bukti, bukan hanya kata-kata!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status