Share

08. Sekretaris Baru Untuk CEO Baru!

Darline tak bisa berkata-kata lagi saat menghadapi Willson yang malah menyecar dan menuduhnya telah melakukan sesuatu yang tidak benar. Bahkan dia dituduh sengaja menjebak dan memfitnah Willson.

Jika bukan karena Darline takut kebersamaannya dengan Paman Hayden terungkap, Darline tidak akan berdiam diri saat dicecar seperti itu.

Biar bagaimana pun sebagian dirinya merasa bersalah, tapi juga sebagian lainnya merasa Willson jauh lebih salah daripadanya. Darline hanya tidak bisa menekan Willson untuk mengakui kesalahannya.

Dalam tangis dan rasa perih yang mengukungnya itu, Darline mendengar deru mesin mobil Willson meraung pergi meninggalkan pekarangan rumah.

Tidak ada rasa yang merayap di hatinya. Darline hanya merasakan kekosongan.

                ***

“Aku butuh pekerjaan nih, Fen. Ada nggak ya yang bisa menerima karyawan sepertiku ini, yang sudah lama vakum bekerja. Sudah 2,5 tahun aku vakum, Fen.”

Dalam gelisahnya tadi, Darline pun mengajak Fenny, salah satu teman dekatnya saat kuliah untuk makan siang bersama. Beruntung, Fenny kali ini bersedia.

Namun sebelum pergi, Darline sempat menyamarkan luka di bibirnya dengan foundation yang cukup tebal sehingga luka itu tak terlihat.

Tanpa membuang waktu, Darline pun mengutarakan maksudnya mengajak Fenny bertemu.

Darline merasa dia tidak bisa terus begini. Hidup mengharapkan uang belanja dari Willson yang kapan saja bisa mencampakkannya, sangatlah riskan. Terlebih lagi dua tahun terakhir cinta Willson padanya seakan sudah terkikis begitu cepat.

Jika dia tidak juga bekerja, uang tabungannya sebentar lagi kosong. Dan dia juga akan semakin diremehkan ibu mertuanya.

“Kamu dulu bekerja sebagai apa, Lin?”

“Dulu aku customer service di sebuah perusahaan provider simcard ponsel, Fen.”

“Berapa lama?”

“Dua tahun.”

Fenny tampak mengangguk-angguk.

“Hmm. Di kantorku ada sih lowongan. Lagi butuh banget juga. Tapi sebagai sekretaris. Kamu bersedia?”

“Apa bisa? Aku mau saja, Fen, kalau memang bisa.”

Darline langsung berbinar-binar kedua matanya.

Apalagi saat Fenny mengangguk lagi. “Kebetulan aku wakil kepala HRD. Dan besok CEO baru dari Singapura sudah aktif bekerja. Aku bisa merekomendasikanmu ke Ibu Kepala HRD. Tapi, ini masih masa percobaan karena kamu nggak lewat jalur tes dan interview, tapi lewat jalur kenalan. Masa percobaannya tiga bulan dan selama itu gajimu masih UMR.”

“Wah, begitu saja aku sudah makasih banget, Fen. Ini berkah buatku. Tapi apa nggak apa-apa aku masuk lewat jalur kenalan?”

“Nggak apa-apa. Karena ini posisi sekretaris. Malah kita lebih suka kalau yang mengisinya memang sudah kita kenal. Karena posisi ini berhubungan langsung dengan Pak Boss. Lebih baik diberikan pada kenalan agar lebih bertanggung jawab.

Oh, tapi kalau bisa sore ini kamu serahkan CV dan data diri kamu ke kantor ya? Aku tunggu paling lambat jam 17.00.”

Darline menyanggupi dan dia pun bergegas pulang kembali ke rumahnya.

Ketika pulang, Darline baru menyadari bahwa rumah dalam keadaan sepi sejak Willson pergi dengan mobilnya.

‘Mungkinkah Ibu dan Lissa ikut bepergian tadi dengan Willson?’ hati kecil Darline bertanya. Tapi lalu hati kecilnya pun menjawabnya sendiri. ‘Tak perlu mempedulikan itu semua. Sekarang yang terpenting adalah mengurus semua berkas yang dibutuhkan untuk pekerjaan besok.’

Darline gegas menuju kamar dan mengumpulkan semua data yang dibutuhkannya lalu dia kembali lagi ke kantor tempat Fenny bekerja.

Di sana dia bertemu dengan kepala HRD, diinterview secara langsung, dan akhirnya pekerjaan itu pun didapatkan Darline.

“Besok kamu bisa mulai bekerja. Pakaian kantormu harus blazer. Bawahnya boleh rok bahan kain, boleh juga celana panjang kain. Rambut harus diikat yang rapi. Digelung atau dicepol gitu pokoknya rapi. Make up adalah keharusan dan tidak boleh terlalu berlebihan.”

“Baik, Bu,” sahut Darline menjawab Bu Alma yang menjadi atasannya secara tidak langsung.

Ketika pulang ke rumah, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

Darline mendapati rumah masih kosong dan sepi seperti sepanjang hari ini.

Itu berarti, Willson belum pulang, begitu pun Bu Mira dan Lissa.

Lagi-lagi, Darline tak ambil pusing. Dia pun gegas mengeluarkan lagi pakaian kerjanya yang lama untuk bisa dipakainya lagi besok. Setelah mencobanya dan ternyata pakaian itu masih pas di badannya, Darline lalu makan malam dan beranjak untuk tidur cepat.

Darline sudah tak peduli lagi saat Willson dan keluarganya masih juga belum pulang ketika jarum jam sudah menunjuk pukul 10 malam. Dia sudah berlayar di alam mimpi demi mempersiapkan tubuhnya untuk pekerjaan barunya besok.

Willson dan Bu Mira tidak boleh lagi meremehkannya.

Esok paginya, alarm Darline berbunyi di pukul 05.00 WIB. Wanita itu bangun dan bersiap kerja, mulai dari mandi, membuat sarapan, lalu berganti pakaian, dan bermake-up.

Tak lupa, Darline membubuhi foundation yang sewarna dengan warna kulitnya di bagian luka bibirnya akibat terkena lemparan remote Willson. Luka itu sudah mengering, tapi jadi melebar karena dia tutupi dengan foundation terus menerus.

Namun, Darline tak ambil pusing. Bukan luka kulit yang membuatnya sakit, tapi luka hati.

Selesai semua itu, Darline baru menyadari bahwa dia masih seorang diri di rumah ini. Willson serta ibu mertua dan adik iparnya itu masih belum kembali. Darline terheran-heran.

Kenapa mereka semua bisa tidak pulang semalam? Jika tak pulang, tidur di mana mereka semalam?’

Darline lalu melihat ponselnya. Tidak ada pesan maupun panggilan tak terjawab dari Willson sama sekali.

Apakah dirinya memang tak sepenting itu bagi Willson hingga ketika pria itu beserta keluarganya tidak kembali ke rumah ini, Darline tak dirasa perlu untuk dihubungi?

‘Sudah, Darline! Tidak perlu membuang waktu dan tenaga memikirkan mereka semua! Fokus bekerja saja, mumpung ada kesempatan kedua untukmu merintis karier kembali,’ bisik hati kecilnya Darline.

Karena itu jugalah, Darline pun tidak memikirkan semua keanehan dalam rumah ini lebih berlarut lagi. Dia lebih baik cepat menuju kantor agar jangan sampai telat di hari pertama bekerja.

Sementara itu ...

Di kantor 3L’s Empires Motor Co. Ltd, Hayden Lewis tiba tiga puluh menit lebih awal dari jam kantornya.

Hari ini adalah hari pertamanya resmi menjabat sebagai CEO baru di 3L’s Empires Motor, sebuah anak perusahaan yang bergerak di bidang otomotif dari perusahaan induk, yang bernama sama, yang berlokasi di Singapura.

Sekalipun ayah Hayden adalah pemegang saham terbesar 3L’s Empires Motor, Hayden memiliki ketertarikan yang besar untuk membuktikan kemampuannya membesarkan anak perusahaan mereka.

Karena itulah, dia menerima jabatan CEO demi bisa terjun langsung membesarkan 3L’s Empires Motor.

“Selamat pagi, Pak!”

“Selamat pagi, Pak!”

Sapaan demi sapaan didapatnya dari staff yang memang terbiasa tiba setengah jam sebelum jam kantor dimulai.

Hayden mengangguk saat mendapati sapaan itu tapi dia tidak tersenyum sama sekali. Raut wajahnya teramat serius, diikuti dengan tatapan mata yang tajam dan menyorot tegas penuh wibawa.

Langkah kakinya yang panjang terus tarayun tanpa ragu menuju ruangan yang terlihat paling mewah di antara ruangan lainnya. Bahkan ukiran di pintu ganda ruangannya dibuat sangat spesial, mengikuti selera elit, namun jantan dan liar Hayden.

Tak lama setelah Hayden memasuki ruang CEO-nya, Bu Alma, Kepala HRD mengetuk pintu.

“Masuk!” seru suara bariton Hayden penuh wibawa.

Bu Alma membuka pintu dan menyapa Hayden.

“Pagi, Pak Hayden. Saya Bu Alma, kepala HRD, seperti yang pernah diperkenalkan pada Bapak saat meeting internal seminggu lalu. Masih inget nggak ya, Pak?”

Hayden terlihat berpikir sejenak lalu mengangguk. “Tentu masih ingat.”

“Oh, baik kalau begitu, Pak Hayden,” sahut Bu Alma lagi dengan senyum lebar di wajahnya.

Dia lalu menunjuk ke pintu dan berkata lagi, “Di luar ada sekretaris Anda, saya panggilkan dan perkenalkan sekarang, ya, Pak?”

Hayden mengangguk lagi lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sebagai pertanda bahwa dia menunggu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status