Share

Bab 11

Author: Viona
Keesokan paginya, cuaca masih suram.

Lyra bangun tepat waktu, dia berganti pakaian dengan berat hati, dan pergi ke Istana Langit Emas.

Ada kabut tebal menggantung di luar, dan semuanya tampak berwarna putih, membuat hatinya merasa bingung dan kosong.

Lyra berjalan di jalanan istana yang sempit dan bersalju. Dia merasa seolah-olah kabut itu seperti binatang buas raksasa yang menelan dirinya dan seluruh Kompleks Istana.

Masa depannya pun tampak terperangkap dalam kabut tak berujung ini, seperti jalanan di depannya, membingungkan dan tidak jelas.

Ketika dia tiba di Istana Langit Emas, Kaisar baru saja keluar dari gerbang istana dan bersiap untuk pergi menghadiri rapat pagi.

Sepanjang perjalanan ke istana, Lyra memilih pasrah dan mencoba untuk tenang. Tahu bahwa dia tidak bisa melarikan diri lagi, jadi dia maju untuk memberi hormat seolah-olah dia sudah siap menerima nasibnya.

Di belakangnya, terlihat istana yang diselimuti kabut tebal, dan di atas kepalanya menggantung lentera istana yang berwarna kekuningan. Di hari yang suram dan remang-remang ini, dia mengenakan gaun merah muda seperti bunga persik yang menyambut musim semi, berdiri di tengah udara dingin yang menusuk dan menyita perhatian semua orang.

"Lyra cantik sekali!" Raka memuji dengan suara berbisik.

Meskipun pelan, Kaisar tetap bisa mendengarnya. Dia meletakkan tangannya ke belakang dan menatap wajah Lyra dengan tenang.

Wajahnya memerah karena kedinginan, seperti pemerah pipi terbaik, dan rambut hitamnya ternoda kabut putih, seolah-olah kecantikannya telah memutih dalam semalam.

Kaisar merasa dadanya berdegup kencang tanpa alasan, seolah-olah ada jarum yang menusuk inti jantungnya.

Rasa sakit itu tidak kentara, tetapi dapat membuatnya mengerutkan kening.

Gadis itu memang sedikit mirip dengan kakaknya, tetapi temperamennya sama sekali berbeda.

Kakaknya adalah putri pertama dari keluarga bangsawan. Dia anggun dan sombong, seperti bunga yang mekar di musim semi.

Sedangkan Lyra, seperti bunga liar yang dapat dilihat di seluruh padang rumput, tampak lembut, tetapi memiliki vitalitas yang kuat. Bahkan jika badai dan salju menghancurkannya sekalipun, selama masih ada musim semi, dia akan kembali mekar memenuhi pegunungan dan dataran.

"Yang Mulia, waktunya sudah tiba." Toni mengingatkan.

Kaisar menyadari dia sempat teralihkan, lalu berdeham untuk menutupinya.

"Kerjakan tugasmu dengan baik, jangan bermalas-malasan hanya karena ini hari terakhir. Kalau kamu nggak kelihatan nanti siang, itu berarti kamu sudah mengabaikan tugasmu."

Dia berkata dingin dan pergi dengan diiringi oleh para pelayan.

Para dayang istana yang bertugas di istana tidak tahu bahwa Lyra berpakaian seperti itu karena perintah Kaisar, mereka semua memandangnya dengan tatapan aneh.

"Kenapa dia ke sini dengan berpakaian seperti itu?"

"Mana aku tahu, dia seharusnya nggak perlu datang hari ini."

"Apa dia nggak jadi pergi dan ingin memikat Yang Mulia dengan kecantikannya agar bisa berada di sampingnya?"

"Mau secantik apa pun, kalau bisu, apa gunanya? Yang Mulia nggak akan mungkin tergoda."

"Belum tentu. Kudengar Yang Mulia kemarin demi dia..."

"Kenapa kalian berbisik-bisik? Sudah, pergi bekerja!" Damian datang dan berteriak keras.

Mereka langsung berhamburan seperti burung yang terkejut.

Damian menatap Lyra sambil tersenyum dan berkata, "Lyra berpakaian seperti ini, bahkan bidadari surga pun kalah cantiknya."

Lyra tidak tahan melihat senyumnya, lalu berjalan masuk.

Beberapa dayang istana yang dulu mempelajari etiket istana darinya pun mengikuti dengan ekspresi curiga.

Siapa di antara mereka yang terpilih, seharusnya sudah diputuskan kemarin.

Mereka bahkan sudah menunggu dengan cemas selama seharian, namun kedua Kepala Kasim tidak mengatakan apa-apa, dan juga tidak ada tindakan dari Kaisar.

Sekarang, Lyra yang seharusnya tidak perlu datang, malah muncul di Istana dengan berpakaian seperti itu. Hal itu membuat mereka sedikit bingung.

Apa Lyra benar-benar tidak ingin pergi?

Namun, dia selama ini selalu menghindari Kaisar dan menentangnya.

Mungkinkah dia bersikap sok jual mahal untuk mempermainkan Kaisar?

Jika dia benar-benar tidak pergi, bukankah usaha mereka untuk belajar etiket akan menjadi sia-sia sekarang?

Setiap orang punya pikiran masing-masing, dan mereka tidak lagi merasa hormat pada Lyra.

Lyra tidak peduli. Dia hanya membersihkan kamar tidur dan keluar. Dia berdiri di koridor, menatap langit kelabu dan tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya.

Saat ini, dia seharusnya pergi ke berbagai biro bersama gadis-gadis lain yang akan meninggalkan istana untuk mengurus prosedur dan serah terima tugas, tetapi sekarang, dia bahkan tidak tahu bisa pergi atau tidak.

"Lyra, apa yang kamu lakukan di sini?" Seseorang datang memanggilnya dari aula depan.

Lyra kembali tersadar dan melihat bahwa itu adalah Fiona Andasta, dayang penyaji teh Istana Langit Emas, jadi dia membungkuk untuk menyambutnya.

"Ayo, kita pergi sarapan." Fiona datang dan menggandeng lengannya tanpa berkata apa-apa.

Tapi mendadak Damian muncul entah dari mana, lalu berkata, "Fiona, Yang Mulia berpesan kalau Lyra nggak boleh bermalas-malasan. Kamu mau bawa dia ke mana?"

Fiona berkata dengan tegas, "Kenapa sarapan disebut malas? Apa Yang Mulia juga bilang kalau dia nggak boleh makan? Damian, kau harus berhenti menggunakan tongkatmu untuk menindas yang lain."

Damian tidak berani menjawab, dia terpaksa membiarkan mereka pergi.

Meskipun Fiona hanyalah seorang dayang penyaji teh, kakak laki-lakinya adalah komandan Pengawal Kekaisaran, jadi Damian tidak berani menyinggungnya seenaknya.

Keduanya pun berjalan menjauh menyusuri sepanjang koridor. Fiona melihat sekeliling dan saat yakin tidak ada seorang pun di sekitar mereka, dia berbisik kepada Lyra, "Tuan Roni menyuruhku untuk memberitahumu setelah makan, kamu harus serah terima tugas dan mengurus semua prosedur. Jangan khawatir nggak bisa keluar. Dia sudah punya rencana."

Lyra merasa sangat senang, dan kekhawatiran yang telah menggantung sejak semalam akhirnya berakhir.

Sejak Roni mendirikan Pasukan Pengintai dan berhasil menangkap beberapa pejabat berkuasa atas perintah Kaisar, dia semakin dipercaya. Kaisar bahkan hampir selalu mendengarkan ucapannya.

Jika dia secara khusus meminta Fiona untuk menyampaikan pesan, berarti dia sudah yakin dengan pengaturannya.

Lyra merasa lega, dia berlutut untuk berterima kasih kepadanya. Tatapan matanya dipenuhi dengan senyum dan semangat.

Fiona suka melihat senyumnya, ketika dia tersenyum, bahkan langit yang paling suram pun akan tampak cerah.

"Tuan Roni memang memiliki selera yang bagus. Kamu terlihat sangat cantik mengenakan gaun ini." Dia membantu Lyra berdiri dan memuji dengan tulus.

Gaun ini diberikan Roni untuk Lyra melalui dirinya. Pada hari itu, Lyra baru mengetahui bahwa semua dayang penyaji teh Kaisar adalah orang-orangnya Roni.

Di satu sisi, dia mengagumi kemampuan Roni, tetapi di sisi lain, dia juga khawatir bahwa Roni akan bertindak terlalu jauh dan dapat menarik perhatian Kaisar, sehingga terkena masalah.

Ketika mereka berdua bertemu sendirian, Lyra juga selalu mengingatkannya.

Roni memintanya untuk tidak perlu khawatir. Dia mengatakan bahwa semua itu dilakukan untuk melindunginya. Ketika dia sudah meninggalkan istana dengan selamat, dia akan menyingkirkan orang-orangnya yang ditempatkan di sekitar Kaisar. Dia memastikan tidak akan terjadi apa-apa.

Namun, Lyra masih merasa khawatir, jadi dia beri isyarat kepada Fiona untuk memberi tahu Roni agar berhati-hati dan tidak terlalu mengekspos diri hanya demi dirinya.

Setelah sarapan, Lyra meluangkan waktu untuk kembali ke kamar, mengambil pakaian istana dan kartu akses untuk keluar masuk Istana Langit Emas. Dia pergi ke Biro Administrasi Istana dengan beberapa dayang yang dikenalnya untuk mengurus prosedur keluar istana.

Setelah berkeliling di beberapa tempat, mereka akhirnya berhasil mendapatkan surat izin untuk meninggalkan istana besok. Melihat surat izin dan stempel merah besar di atasnya, gadis-gadis itu tidak dapat menahan rasa gembira. Mereka saling berpelukan, tertawa dan melompat.

Lyra juga dipeluk oleh mereka. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, dia tersenyum begitu cerah hingga langit berkabut di atas kepalanya pun terlihat seakan ikut tampak cerah.

Gadis-gadis itu tidak perlu bekerja hari ini, jadi mereka pergi berkeliling untuk berpamitan dengan teman-teman baik mereka.

Hanya Lyra yang paling menderita, karena dia harus kembali ke Istana Langit Emas untuk melanjutkan pekerjaannya.

Meskipun semua orang bersimpati padanya, mereka tidak berani mempertanyakan keputusan Kaisar, jadi mereka menyuruhnya untuk berhati-hati dan bertemu di gerbang istana besok pagi.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 360

    Menyaksikan bibirnya bergerak turun, membakar ke setiap tempat yang disentuhnya.Menyaksikan dia terus turun..."Jangan, jangan lakukan itu..." Lyra gemetar, tubuhnya tertutup keringat sebesar butiran beras.Kaisar mengabaikan semua protesnya, dia sudah bertekad untuk melihat reaksi yang berbeda darinya.Lyra menolak dalam hati, tetapi tubuhnya mulai bereaksi berbeda.Saat air matanya mengalir, batas-batas pertahanannya pun jebol.Seperti banjir yang menghantam bendungan, menghancurkan pertahanan yang tadinya tak tertembus..."Bunuh aku, bunuh saja aku..." Dia menangis dengan rasa penuh kehinaan.Pria yang menyalakan api itu memiliki hati terdingin di dunia.Dia tidak akan membunuhnya.Lelaki itu tidak ingin dia mati, dia hanya ingin dirinya menderita sampai mati."Lyra, apa kau sudah melihatnya dengan jelas?"Bahkan saat itu, nadanya tetap dingin."Apa kau sudah melihat dengan jelas?""Apakah hatimu yang berbohong atau mulutmu?""Jawab aku."Kaisar memaksanya menjawab. Dia menggeleng

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 359

    Lyra menatap wadah obat itu dengan kaget, jantungnya berdebar kencang. Dia tak percaya Kaisar akan mengabulkan keinginannya dengan begitu mudah.Kaisar baru saja mengatakan ingin memiliki seorang putra darinya, tetapi dia justru sudah menyiapkan obat kontrasepsi untuknya malam ini?Apakah itu benar-benar obat kontrasepsi?Lyra ragu, dia berdiri diam di tempat, tak bergerak."Kenapa? Apa kau nggak percaya?"Kaisar mengangkat sebelah alis, nadanya dingin dan kasar. "Sudah kubilang, aku akan membiarkanmu minum sebanyak yang kau mau. Wanita tak berperasaan sepertimu hanya akan melahirkan anak-anak yang juga tak berperasaan. Aku nggak butuh."Kata-kata kasar seperti itu terasa tajam dan menyakitkan, meskipun Lyra memang benar tidak ingin punya anak dengan Kaisar. Dia menoleh dan menatapnya sekilas."Kenapa? Nggak mau minum?" Kaisar membalas tatapannya dan mencibirnya. "Jangan-jangan kau menganggap serius omonganku tadi pagi, ya?""Bukan, hamba hanya nggak menyangka kalau Yang Mulia begitu p

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 358

    "Tuan Roni hari ini sudah menghukum mati beberapa pedagang licik di kota yang sengaja menggelembungkan harga obat-obatan. Membuat semua apotek dan pedagang obat langsung diam tak berkutik. Kalau seperti itu, sepertinya Yang Mulia memang lebih cocok membawa Tuan Roni ke sini daripada Guru. "Lyra terkejut.Tadi saat dia menyambut mereka di luar gerbang, baik Kaisar maupun Roni tampak biasa-biasa saja.Saat Lyra bertanya tentang wabah di kota, Roni juga menjawabnya dengan acuh tak acuh.Ternyata mereka baru saja membunuh orang.Kaisar membenci pejabat dan pedagang yang mengambil untung dari bencana nasional. Dulu, ketika terjadi banjir di selatan, Kaisar membunuh lebih dari selusin pejabat sekaligus, tetapi masih belum puas. Dia begitu marah hingga menolak makan, dan menolak mendengarkan nasihat siapa pun.Kemudian, Toni membujuknya untuk mencoba menemuinya. Lyra tahu bahwa orang yang sudah kelaparan tidak bisa makan sesuatu yang terlalu berminyak, jadi dia membuat semangkuk mi polos den

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 357

    Pangeran Andre skeptis dengan kata-katanya dan merenung, "Kondisi fisik Anda saat ini memang nggak cocok untuk hamil, tapi apa Anda sudah bertanya kepada Yang Mulia tentang hal ini?"Lyra menggelengkan kepalanya, "Belum."Pangeran Andre mengamati ekspresinya, dan mungkin bisa menebak kekhawatirannya. Dia dengan canggung melantunkan pujian pada Tuhan, "Aku ini petapa dan nggak boleh membunuh. Aku nggak bisa meresepkan obat ini. Sebaiknya Anda tanyakan dulu pada Yang Mulia. Kalau beliau setuju, aku akan meminta tabib istana meresepkannya untukmu."Lyra tidak menyangka bahwa mencegah kehamilan juga bisa dianggap sebagai pembunuhan. Mendengarnya mengatakan hal itu, dia tentu saja tidak bisa memaksanya. "Ya sudah, kalau begitu aku akan pikirkan lagi. Tolong jangan beri tahu Yang Mulia dulu."Pangeran Andre tersenyum kecut, "Beliau bahkan nggak mau melihatku, jadi bagaimana mungkin dia akan mendengarkanku? Jangan khawatir, aku nggak akan memberi tahu siapa pun."Lyra mengangguk dan hendak pe

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 356

    Kaisar menundukkan kepala, membungkukkan pinggang rampingnya, dan tanpa ragu mencium bibir Lyra yang terkatup rapat karena kesal.Lyra tak bisa menghindar, jadi dia menggertakkan giginya sebagai perlawanan terakhir.Kaisar mengerang pelan, tangan yang menopang dagunya meluncur turun ke lekuk lehernya, lalu menekannya lembut di satu titik.Lyra tanpa sadar menjerit pelan, lidah Kaisar akhirnya memanfaatkan kesempatan itu untuk menembus paksa mulutnya yang setengah terbuka, membangkitkan badai gairah di dalam mulutnya.Lyra membeku, dengan perasaan terhina dan pasrah menanggung badai nafsu yang dibawanya.Meskipun pemandangan musim semi yang semarak, hatinya terasa seperti tertinggal di tengah dinginnya musim dingin.Dia menutup matanya, tak lagi melihat, tak lagi berpikir...Gairah Kaisar yang membara tak terbalas, dia perlahan menghentikan gerakannya. Melihat matanya terpejam rapat, bulu matanya yang gemetar basah oleh air mata, dia tertegun. Hasrat membara di hatinya terasa seperti d

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 355

    Kaisar melihat keseriusan Lyra dan berasumsi bahwa apa pun yang akan dia katakan bukanlah sesuatu yang menyenangkan hati.Namun, dia menatapnya tajam, bayangan dirinya terpantul di matanya yang jernih bak danau itu.Setidaknya saat ini, di mata wanita itu hanya ada dirinya."Sungguh, katakan saja. Aku janji nggak akan marah," dia meyakinkannya, nadanya luar biasa lembut, seperti awan yang perlahan melayang di langit yang biru.Lyra menatapnya sejenak, mengingat tatapannya yang mematikan saat terakhir kali dia meminta obat kontrasepsi. Pikirannya berkecamuk, dan pada akhirnya, dia tetap masih tak berani bicara.Namun, Kaisar menatapnya, masih menunggunya bicara. Jika dia mengalihkan pembicaraan begitu saja, Kaisar pasti tak akan membiarkannya.Dia berpikir sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, "Yang Mulia sudah berjanji akan memberi hamba surat pernyataan tadi malam. Kapan kira-kira Anda akan membuatnya?"Alis Kaisar sedikit berkerut, wajahnya tampak murung.Jantung Lyra berdebar kenc

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status