Share

Bab 6

Author: Viona
Roni tidak berkata apa-apa lagi, dia menjejalkan payung ke tangan Lyra, dan berjalan pergi sendirian di tengah hembusan angin dan salju.

Tangan Lyra yang membeku menggenggam gagang payung yang dipegangnya, masih tersisa kehangatan di gagang payung itu.

Sedikit kehangatan itu terasa sepanas api yang menghidupkan kembali semangat Lyra bersama dengan berita yang dibawa Roni.

Pada saat itu, semua salju dan rasa dingin seperti menjauhinya. Hanya ada satu pikiran yang berputar di dalam hatinya...

Orang itu telah kembali.

Orang itu benar-benar menepati janjinya dan kembali ketika dia akan meninggalkan istana.

Dia pernah berkata bahwa dia akan kembali untuk menikahinya setelah lima tahun.

Dia tidak mengingkari janjinya.

Air mata mengaburkan pandangannya, dan sosok Roni yang tinggi dan tegap perlahan-lahan berjalan menjauh di tengah hebusan angin dan salju.

Lyra ingin menyusulnya dan bertanya di mana orang itu sekarang dan seberapa jauh dia dari ibu kota.

Namun, dia menahan diri, berdiri diam di sana, memperhatikan orang itu berjalan menjauh dari jangkauan cahaya lentera istana tanpa menoleh ke belakang. Perlahan-lahan, hanya bayangan samarnya saja yang tersisa.

Kemudian, bahkan bayangannya pun tidak terlihat.

"Lyra, ini lentera untukmu." Raka datang sambil membawakan lentera yang dapat menahan angin, "Jalannya licin karena salju, Guru khawatir kamu akan jatuh, jadi aku diminta untuk membawakanmu lentera."

Lyra mengalihkan pandangannya dan membungkuk kepada Toni yang berdiri di koridor.

Toni melambaikan tangannya, memberi isyarat agar dia segera kembali.

Lyra pun mengambil lentera itu, tersenyum kepada Raka, dan berbalik sebelum air matanya jatuh.

Raka menatap senyum sedihnya yang disertai linangan air mata, dan berdiri di sana sebentar, memperhatikannya berjalan pergi, lalu kembali ke sisi gurunya, membersihkan salju di tubuhnya dan berkata, "Guru, aku nggak sangka Tuan Roni itu bisa sangat baik. Ini aneh sekali."

Toni menghela napas panjang.

Bahkan orang yang dipanggil Raja Neraka itu pun tergerak oleh rasa simpati, tetapi Kaisar malah tidak merasa kasihan padanya.

Bisa dilihat bahwa hati Kaisar ternyata tiga kali lebih kejam daripada orang itu.

Setelah malam ini, hanya tersisa dua hari lagi. Semoga tidak akan ada lagi masalah dan gadis malang itu bisa meninggalkan istana dengan lancar!

Lyra terhuyung-huyung kembali ke kamarnya. Ruangan itu sedingin es. Hanya mampu menghalangi hembusan angin, namun dinginnya tidak berbeda sama sekali dengan di luar.

Sebenarnya tinggal sendirian di satu kamar adalah fasilitas untuk dayang senior. Tetapi dalam cuaca seperti itu, lebih baik tidur berdesakan dengan para dayang istana yang tinggal di ranjang susun besar agar tetap hangat.

Dia menggosok-gosok tangannya, sambil berjalan ke sudut kamar dan melihat bahwa air yang tersisa di ember telah membeku.

Saat dia sedang berpikir apakah akan pergi ke ruang teh untuk mengambil air panas, seseorang mengetuk pintu dari luar.

Ketika dia membuka pintu, Raka sudah berdiri di luar pintu dengan ketel tembaga di satu tangan dan sebotol air di tangan lainnya.

"Lyra, Guru memintaku membawakan air panas untukmu. Air dalam botol ini bisa menghangatkan selimutmu sepanjang malam, dan bisa dipakai untuk cuci mukamu besok pagi."

Lyra sangat berterima kasih dan segera mengambil barang-barang itu, lalu mempersilakan Raka untuk duduk.

Raka mengeluarkan dua plester koyo dari tangannya dan berkata, "Nggak usah, aku harus segera kembali untuk melayani Yang Mulia. Tempelkan plester ini di lututmu sebelum tidur. Ini sangat manjur."

Dia menyerahkan koyo itu kepada Lyra dan pergi dengan tergesa-gesa.

Lyra mendengar suara derit telapak kakinya di atas salju, dan matanya terasa perih.

Ternyata masih ada kehangatan di tempat terdingin, dan harapan di situasi yang paling putus asa.

Seperti mereka, Toni, Raka, Roni, Dona, dan orang itu yang sedang bergegas untuk bisa menemuinya.

Dia hanya perlu bertahan sedikit lebih lama, sedikit lagi...

Salju turun sepanjang malam dan tidak berhenti sampai keesokan paginya.

Esoknya, seluruh komplek istana tertutup salju, dan pemandangannya ditutupi dengan nuansa keperakan di mana-mana.

Salju pertama turun begitu lebat, berarti musim dingin kali ini pasti sangat berat.

Untungnya, hari ini adalah hari libur bagi para pejabat, jadi Kaisar tidak perlu bangun pagi untuk menghadiri rapat pagi, dan para pelayan juga bisa bermalas-malasan lebih lama di dalam selimut.

Lyra bangun pagi-pagi sekali, sementara semua orang masih tidur. Dia lalu mencuci muka dan berpakaian rapi, mengambil payung yang diberikan Roni, dan keluar melangkah di atas salju tebal.

Ada pohon kesemek berusia seabad di sudut timur laut istana para selir. Entah sejak kapan dimulai, namun ada pepatah di istana yang berkata bahwa pohon kesemek ini punya penunggunya. Jika kita membuat permintaan padanya ketika salju pertama turun setiap tahun, permintaan kita akan menjadi kenyataan.

Lyra tidak tahu apakah legenda itu benar atau tidak, tetapi sejak memasuki istana, dia selalu datang ke sini untuk membuat permohonan setiap tahunnya saat salju pertama turun.

Hari-hari di istana terasa sulit, jadi benar atau tidaknya berita itu, dia hanya butuh sesuatu untuk diharapkan.

Alasan mengapa dia bangun pagi-pagi sekali adalah karena ingin membuat permohonan pertama sebelum yang lain, berharap itu akan membuatnya lebih efektif.

Salju saat itu sangat tebal. Lyra berjalan terseok-seok ke arah pohon kesemek hingga keringat mengucur di sekujur tubuhnya.

Karena itu adalah pohon permohonan, tidak ada yang berani memetik buah kesemek di pohon itu. Ratusan kesemek merah yang bergelantungan di cabang-cabang seperti lentera merah yang berpadu dengan salju putih di antara cabang-cabang itu terlihat sangat indah.

Ada tangga kayu di bawah pohon. Entah siapa yang meletakkannya di sana untuk membantu menggantungkan kantong permohonan itu. Karena itu berguna, selama bertahun-tahun tak ada yang memindahkannya.

Lyra melihat sekeliling dan saat tidak menemukan jejak kaki di dekatnya, dia merasa sangat senang.

Ini adalah permohonan terakhirnya sebelum meninggalkan istana, dan dia adalah orang pertama yang datang, jadi permintaannya kali ini pasti akan terwujud.

Dia meletakkan payungnya, menyatukan kedua tangannya dan membuat permohonan, mengeluarkan kantong sulam buatannya sendiri, memanjat tangga, dan menggantungkan kantong itu di dahan tertinggi yang bisa dia jangkau.

Hembusan angin bertiup, kantong merah miliknya, ratusan buah kesemek, dan pita-pita kantong merah yang digantung entah sejak kapan bergoyang-goyang tertiup angin.

Merah melambangkan harapan. Dan, pohon kesemek ini sudah membawa begitu banyak harapan orang-orang.

Sekawanan burung bersiul beterbangan melintasi tembok istana, tatapannya mengikuti arah suara burung-burung itu dan melihat jauh ke luar tembok istana.

Di kejauhan, di balik angin dan salju, ada ibunya yang sudah lima tahun ini tidak dia temui.

'Alangkah hebatnya jika dia bisa terbang keluar dari tembok istana yang tinggi bersama angin,' pikirnya melamun sambil memeluk batang pohon.

Di kejauhan, sosok berjubah kuning terang sedang menatapnya dengan diam di tengah hembusan angin dan salju.

Tubuhnya yang kurus tergantung di udara, dan angin meniup jubah putihnya yang sudah mulai usang, membuatnya tampak seperti layang-layang yang bisa putus kapan saja.

Setelah lima tahun, dia akhirnya akan terbang bebas.

Lyra memperkirakan waktu dan tidak berani tinggal di sana terlalu lama. Dia segera menuruni tangga, membungkuk tiga kali ke arah pohon kesemek, lalu mengambil payung dan pergi.

Setelah dia pergi, Kaisar keluar dari balik pohon pinus di arah lain, menatap pohon kesemek dengan tangan di belakang, dan memerintahkan Raka yang mengikutinya, "Pergi dan ambil kantong itu."

"Baik, Yang Mulia."

Raka memanjat dengan gesit, mengambil kantong itu dan menyerahkannya kepada Kaisar.

Kaisar mengambilnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya.

Di kertas itu, terdapat sebuah kata yang ditulis dengan aksara kecil yang indah...[Keamanan].

Keamanan.

Lagi-lagi Keamanan.

Selama lima tahun, dia selalu datang untuk membuat permohonan setiap tahunnya. Dan, setiap tahun isinya hanya tertulis kata ini.

Apa dia benar-benar hanya menginginkan keamanan?

Apa dia mengharapkan keamanan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain?

Apa keamanan ini memang keinginannya atau ada makna lain di dalamnya?

Kaisar tanpa sadar teringat senyum yang dia tunjukkan di malam sebelumnya saat dayang lain berharap dia akan menemukan suami idamannya.

Dia mencibir, merobek kertas itu, dan melemparkan potongannya ke udara. Kertas itu beterbangan bersama turunnya salju.

Raka terdiam, merasakan sesak di dada dan menghela napas pelan.

Lyra datang untuk membuat permohonan setiap tahun pada turunnya salju pertama, tetapi dia tidak pernah tahu bahwa setiap kali dia membuat permohonan, permohonan itu selalu dirobek dan dibuang oleh Kaisar.

Hari ini adalah permohonan terakhirnya sebelum meninggalkan istana, dan nasibnya pun tidak berbeda.

Apa sebenarnya yang dipikirkan Kaisar?

Apa Lyra masih bisa meninggalkan istana dengan aman?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 130

    Kaisar merasakan tangan kecil di telapak tangannya menegang sejenak, seolah ingin menariknya keluar, tetapi dia terlalu malu untuk benar-benar menariknya keluar.Sepertinya Lyra masih menolaknya.Namun, ini hal yang wajar.Setelah kejadian sebelumnya, dia tidak berharap Lyra akan langsung menerimanya sepenuh hati.Damian berkata bahwa dia harus bersabar.Lagipula, dia punya banyak waktu, jadi dia tidak keberatan menunggu sedikit lebih lama.Memikirkan hal itu, dia berkata dengan lembut, "Aku hanya khawatir kau akan kedinginan, jadi aku memintamu untuk kembali dan beristirahat lebih awal. Jangan khawatir, kita akan tetap tidur terpisah."Lyra benar-benar merasa terkejut. Sejak bertemu Kaisar, dia tidak pernah sebaik ini.Namun, siapa yang peduli? Selama dia tidak dipaksa tidur dengannya, tidak ada masalah.Mari kita lalui malam ini saja dulu.Dia mengikuti Kaisar ke kamar dengan patuh, membantunya mandi dan berganti pakaian, lalu berbaring di tempat tidur Kaisar.Kaisar belum mengantuk

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 129

    Kaisar lanjut berkata, "Kalau ibumu bersedia meninggalkan Keluarga Serena, aku akan mengambil keputusan untuknya. Jika dia nggak mau, aku akan meminta Toni memperingatkan semua orang di keluarga itu untuk nggak menindasnya. Bagaimana kalau begitu? " Lyra sebenarnya ingin membujuknya, tetapi sebelum dia melakukan apa pun, Kaisar malah berinisiatif untuk menenangkannya dan berbicara dengan lembut kepadanya. Sebagai seorang Kaisar, dia tidak bisa meminta lebih banyak untuk seorang selir menteri. Lyra hanya bisa mengangguk dan berterima kasih padanya. Kaisar sangat senang karena dia berperilaku baik dan patuh, dan amarahnya pun mereda. Begitu amarahnya mereda, dia merasa lapar, lalu berteriak ke luar untuk memberi tahu Damian agar menyiapkan makan malam. "Aku belum makan seharian." Dia mengusap perutnya dan berkata, "Kamu pasti juga lapar, tunggu sebentar untuk temani aku makan, lalu tidurlah yang nyenyak. Setelah pertemuan besok pagi, aku akan menyuruh Toni pergi ke rumahmu." Lyra m

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 128

    Lyra menarik napas dalam-dalam, mengatur ekspresinya, dan melangkah maju dengan hormat sambil menundukkan kepala. Dia berlutut dan bersujud tiga langkah darinya.Kaisar tidak menyangka Lyra akan datang. Jantungnya berdebar kencang. Mata elangnya menatap Lyra dari atas ke bawah.Setelah beberapa saat, dia mendengus dan berkata, "Bukannya kau nggak mau berurusan denganku lagi? Kenapa kau ke sini lagi?"Sebelum Lyra bergerak, Damian tersenyum dan mengambil kesempatan, lalu berkata, "Hamba sudah memberi tahu bahwa Yang Mulia sudah menghukum Bangsawan Andrian. Oleh karena itu, Lyra datang untuk berterima kasih kepada Yang Mulia.""Benarkah?" Kaisar sama sekali tidak mempercayainya. Dia mengubah posisinya, menekuk satu kaki, dan meletakkan lengan di atasnya. Jari-jemarinya yang ramping dengan santai memainkan untaian manik-manik cendana merah. Terakhir kali dia memberikan untaian manik doa miliknya kepada Damian, dia lalu menggantinya dengan untaian manik-manik cendana merah dan baru menggu

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 127

    Lyra sedikit terkejut, lalu mencibirnya.Dia berkata tidak akan masalah membunuhnya, tetapi pada akhirnya dia hanya dilucuti gelarnya.Meskipun pencabutan gelarnya memang merupakan hukuman yang sangat berat bagi Bangsawan Andrian, apa itu bisa menebus penderitaan ibunya?Gelarnya dicabut, tetapi dia tetap bisa hidup mewah, tetapi ibunya sudah kehilangan satu jarinya.Ibunya telah menunggu putrinya kembali selama lima tahun ini, tetapi sekarang dia malah mengalami penderitaan seperti itu.Bagaimana dengan rasa sakit di hati ibunya?Ibunya yang malang pasti sedang menangis saat ini, ‘kan?Mungkin Bangsawan Andrian marah dan terhina karena pencabutan gelarnya, dan dia akan kembali melampiaskan amarahnya kepada ibunya lagi.Sedangkan, istri pertama dan para selir lainnya dalam keluarga, entah bagaimana mereka akan mempermalukan dan menyiksa ibunya.Kaisar memperlakukan Bangsawan Andrian dengan begitu santai, seharusnya itu karena dia masih berguna baginya, dan mustahil baginya untuk membun

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 126

    Ternyata Fiona yang masuk membawa nampan berisi teh dan camilan."Lyra, Kaisar khawatir kamu akan lapar, jadi memintaku membawakan teh dan camilan untukmu." Sambil berbicara, dia meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur.Lyra tidak berkata apa-apa, menatapnya dengan mata merah.Fiona melirik ke luar dan berkata dengan keras, "Cepat makan, jangan sampai kamu lapar."Setelah itu, dia segera menarik tangan Lyra dan memasukkan bola kertas kecil ke tangannya.Lyra tertegun, dan sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, Fiona sudah melangkah pergi, "Lyra, cepat makan, aku akan datang lagi untuk membersihkannya nanti."Ucapnya sambil menutup pintu dan pergi.Lyra menggenggam bola kertas itu erat-erat, jantungnya berdebar kencang, dia berlari ke balik pintu, menyandarkan punggungnya ke pintu, dan membuka bola kertas itu dengan tangan gemetar.Hanya ada empat huruf dengan goresan tegas dan penuh semangat, [Hatiku setegar batu karang!] Tenggorokan Lyra tercekat, dan air matanya p

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 125

    Bangsawan Andrian akhirnya menyadari bahwa dia bukan hanya gagal mendapat untung, tetapi juga sudah membuat Kaisar marah. Dia segera bangkit dan bersujud memohon belas kasihan, "Yang Mulia, mohon ampuni hamba. Hamba bingung dan salah memahami kehendak Yang Mulia. Hamba bersalah. Mohon maafkan hamba, Yang Mulia!""Memaafkanmu?" Kaisar mencibir, "Kalau aku memaafkanmu, bukannya itu berarti aku membiarkanmu berbuat sewenang-wenang? Melindungi kejahatanmu? Apa menurutmu ini adil untuk Lyra dan ibunya?"Bangsawan Andrian tertegun dan berkata dengan was-was, "Ibunya hanyalah seorang selir, dan dia juga...""Kau masih berani berdalih?" Kaisar berkata dengan marah, "Sepertinya kau nggak menyesal sama sekali dan nggak sadar sama kesalahanmu. Pengakuanmu ini jelas tak tulus!""Nggak, bukan begitu Yang Mulia. Hamba benar-benar menyesal dari lubuk hati. Hamba sadar kalau hamba salah. Mohon maafkan hamba, Yang Mulia." Bangsawan Andrian berulang kali meminta maaf dan menoleh memanggil Lyra, "Anak b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status