Share

Bab 5

Penulis: Viona
Lyra menggelengkan kepala dengan tergesa-gesa, anting mutiara putih di telinganya pun bergoyang lembut.

Tatapan Kaisar menyipit dan menatap dua mutiara yang bergoyang itu lalu berkata, "Aku nggak percaya kecuali kau membuktikannya padaku."

Lyra mengangkat kelopak mata dan menatapnya dengan tatapan ingin tahu, dia tidak tahu bagaimana harus membuktikannya.

Kaisar menepuk ranjangnya dan berkata dengan acuh, "Naik ke sini."

Hati Lyra makin takut dan secara naluriah dia ingin bersembunyi kembali.

Tapi pupil mata Kaisar tiba-tiba mengecil, dan sorot matanya dingin dan setajam pisau, lalu berkata, "Kenapa kau bersembunyi kalau nggak membenciku? Aku paling benci wanita yang ucapan dan perbuatannya nggak sama. Kau itu pembohong sama seperti kakakmu!"

Lyra sontak berlutut dan bersujud.

"Kau hanya bisa bersujud, apa lagi yang bisa kau lakukan selain bersujud?" Kaisar tiba-tiba meraih kerah bajunya dan menariknya ke depan, menjepitnya di antara kedua kakinya.

Tubuh Lyra tiba-tiba dijepit oleh dua kaki yang kuat, dan sebuah tangan besar memegang bagian belakang kepalanya dan menekannya ke perut lelaki itu, dahinya pun membentur kuatnya otot perut pria itu.

Dalam keadaan linglung, dia tampaknya memahami niat Kaisar. Kepalanya berdengung, dan dia tidak bisa tetap bersikap tenang lagi. Lyra langsung menggigit perutnya dengan keras, dan di saat Kaisar sedang kesakitan, dia mencoba yang terbaik untuk bisa melepaskan diri dari antara kedua kakinya, bangkit dan berlari keluar.

"Kembali ke sini!"

Kaisar meraung dari arah belakang.

Lyra mengabaikannya dan berlari ke arah keluar tanpa melihat ke belakang.

Dia tidak tahu harus lari ke mana, dia merasa sangat putus asa.

Air mata mengalir keluar dan mengaburkan pandangannya. Istana yang cantik namun dingin ini begitu besar sehingga seakan-akan dia tidak akan pernah bisa melarikan diri.

Di belakangnya, Kaisar menyusul dan meraih pakaiannya dari belakang sebelum dia sempat mencapai pintu.

Dia mencengkeramnya begitu keras seperti cakar elang yang dapat langsung menembus daging dan menarik keluar jantungnya yang berdarah.

"Ah! Ah..."

Lyra mengeluarkan suara ketakutan yang mengerikan sembari berjuang dengan sekuat tenaga.

Kekuatan karena putus asa ini begitu besar sehingga dia berhasil melepaskan diri dari tangan Kaisar, dan tubuhnya seakan tidak bisa berhenti berlari ke depan.

"Lyra!" Kaisar memanggil namanya tak terkendali.

Di luar pintu terlihat satu sosok, dia mengenakan jubah piton emas dengan sulaman warna hitam. Dia muncul di pintu berbarengan dengan hembusan angin dingin. Tubuh Lyra pun menabrak lengan pria itu.

Tubuh rampingnya ditopang dengan kuat oleh pria itu, lalu suara sindiran lembut terdengar di atas kepalanya.

"Oh, ada apa dengan Lyra hari ini? Bisa-bisanya melemparkan dirinya ke pelukanku. Apa kamu tertarik padaku?"

Ketika Lyra mendengar suaranya, air matanya langsung mengalir deras.

Tetapi dia tidak boleh menangis di depan Kaisar. Jadi setelah Lyra bersandar di pelukannya, membiarkan kain bersulam emas itu menyerap air matanya, dia pun perlahan berdiri dan menundukkan kepalanya dengan ketakutan.

Kaisar Alvaren perlahan meletakkan tangannya ke belakang, berdeham, dan kembali bersikap tenang.

"Ada apa Tuan Roni datang ke sini malam-malam?"

Roni Legian, si pejabat pun membungkuk hormat kepada Kaisar dan berkata, "Pasukan Pengintai telah menemukan petunjuk tentang sisa-sisa pendukung Pangeran Pertama. Saya datang ke sini untuk melaporkannya pada Yang Mulia."

Setelah itu, dia melirik Lyra dan berkata, "Sepertinya saya datang di waktu yang salah. Apa Yang Mulia sedang bermain kejar-kejaran dengan Lyra?"

Kaisar mengerutkan kening dan berkata dengan tidak senang, "Berhenti bicara omong kosong. Ikut denganku."

"Apa Lyra juga ikut?" tanya Roni.

Kaisar mendengus dingin dan berkata, "Biarkan dia berlutut di luar. Dia harus berlutut sampai aku menyuruhnya bangun."

Lyra segera mematuhi perintah itu, dia berjalan keluar dan berlutut.

Roni meliriknya lagi, lalu masuk, dan menutup pintu istana.

Orang-orang yang berjaga di luar pintu tampak sangat ketakutan. Mereka bahkan tidak bisa bernapas lega sampai pintu istana ditutup.

Toni ragu-ragu sejenak, berjalan ke arah Lyra dengan tongkat bulu di tangannya, dan bertanya dengan suara pelan, "Kenapa kamu menyinggung Yang Mulia?"

Tapi Lyra tidak menjawab. Dia hanya berlutut di lantai tanpa bergerak, tanpa mengangkat kepalanya.

Toni pun menghela napas, menggelengkan kepalanya dan berjalan menjauh.

Senja tiba, lentera istana sudah mulai dinyalakan, angin dingin bertiup kencang di pelataran istana yang kosong, dan lonceng angin di atap berdentang.

Lyra saat ini masih berlutut di atas lantai yang dingin dan keras, lututnya terasa nyeri.

Di istana, jarang ada dayang dan kasim memiliki lutut yang baik. Mereka biasanya harus berdiri selama setengah hari, dan berlutut ketika melihat tuannya, bahkan harus berlutut lebih lama ketika tuan mereka tidak merasa senang. Mereka juga tidak memiliki sistem pemanas di kamar mereka, jadi mereka akan merasa sangat kedinginan di musim dingin.

Dia memasuki istana relatif terlambat yaitu pada usia lima belas tahun. Banyak orang mulai memasuki istana pada usia sebelas atau dua belas tahun. Para dayang dapat meninggalkan istana pada usia dua puluh tahun, tapi keadaan lutut mereka saat itu tentu saja sudah setara dengan orang tua seusia 40-an tahun.

Para kasim bahkan lebih buruk lagi, karena mereka tinggal di istana seumur hidup.

Pikiran Lyra melayang ke mana-mana, entah sudah berapa lama dia berlutut, kini lututnya perlahan-lahan kebas dan mati rasa.

Angin bertiup semakin kencang dan menembus melalui setiap celah pakaiannya. Rasanya sangat dingin menggigit.

Toni dan beberapa kasim junior berkali-kali menatapnya, mereka semua merasa kasihan padanya.

Tetapi Kaisar sedang menghukumnya untuk berlutut, jadi tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan hukuman itu untuknya. Mereka hanya bisa berharap berita yang dibawa oleh Tuan Roni akan menyenangkan hati Kaisar. Jika Kaisar senang, dia mungkin akan membebaskannya dari hukuman.

Setelah menunggu beberapa saat, langit sudah menjadi gelap gulita, angin sedikit melemah, dan butiran salju halus jatuh dari langit ke atap istana dan menimbulkan suara lembut.

Raka bertanya pelan kepada Toni, "Guru, salju sudah turun, bagaimana dengan Lyra?"

"Mana aku tahu?" Toni berkata, "Apa lagi yang bisa kulakukan selain memberinya dua koyo untuk lukanya?"

Raka pun menciutkan kembali lehernya dan terdiam.

Pada saat itu, pintu istana berderit terbuka dan Roni melangkah keluar.

Toni menjentikkan tongkatnya dan tersenyum serta menyapanya, "Apa Anda sudah selesai berbicara dengan Yang Mulia?"

"Iya." Roni menjawab dengan suara sengau, tatapan matanya tertuju pada sosok kurus yang sedang berlutut tegak di bawah bayangan cahaya lentera.

Entah sejak kapan butiran salju berubah menjadi kepingan, berputar dan menari-nari di bawah cahaya lentera istana, jatuh di sekujur tubuhnya, menjadikannya seperti patung salju di depan istana.

"Turun salju?" Roni menengadah ke langit. Wajahnya yang tanpa cela tampak lembut dalam lingkaran cahaya kekuningan.

Orang kepercayaan Kaisar ini memang cantik, tetapi juga sangat kejam. Orang-orang menyebutnya Kecantikan Yang Mematikan.

Istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan wanita ini ternyata malah sangat sesuai untuknya.

"Iya, Tuan. Ini salju pertama tahun ini." Toni menanggapi dan melambaikan tangan kepada Raka. "Anak bodoh, cepat ambilkan payung untuk Tuan Roni."

Raka dengan cepat merespon, dan dengan senang hati membawakan payung itu, membukanya dan menaungi di atas kepala Roni, "Tuan Roni, saya antarin ya."

"Nggak perlu, aku bisa bawa sendiri." Roni mengambil payung darinya dan melangkah ke tengah salju.

"Tuan..." Toni memanggilnya.

Roni pun menoleh ke belakang dan berkata, "Ada apa, Tuan Toni?"

"Maaf, Tuan." Toni berbisik sambil melirik ke arah Lyra, "Tuan, lihatlah salju ini. Bisakah tolong kasihani Lyra dan mintakan ampunan pada Yang Mulia?"

Roni tidak berkata apa pun, dia berbalik dan berjalan ke arah Lyra.

"Lyra, bangunlah. Yang Mulia sudah mengampunimu. Kamu bisa kembali dan beristirahat."

Mereka pun terdiam.

Toni dan Raka saling memandang.

Ternyata Kaisar telah mengampuninya, tetapi mengapa Roni tidak mengatakannya lebih awal, dan membuatnya berlutut lebih lama.

Lyra menopang dirinya di lantai dan berdiri dengan susah payah.

Rasa sakit yang tajam datang dari lututnya yang kaku, dan dia terhuyung-huyung sampai hampir jatuh.

Toni dan Raka sama-sama terkejut melihat ini.

Untungnya, Roni sigap menangkapnya.

"Lyra, berhati-hatilah. Kalau kau terluka, kau nggak akan bisa melayani Yang Mulia," ucapnya keras.

Lalu dia berbisik, "Bertahanlah sedikit lagi. Dia sedang berusaha untuk datang. Dia bilang akan menjemputmu di gerbang istana saat kau keluar nanti."

Lyra tiba-tiba mengangkat kepalanya, dan wajahnya yang membeku akhirnya menunjukkan sedikit emosi.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 356

    Kaisar menundukkan kepala, membungkukkan pinggang rampingnya, dan tanpa ragu mencium bibir Lyra yang terkatup rapat karena kesal.Lyra tak bisa menghindar, jadi dia menggertakkan giginya sebagai perlawanan terakhir.Kaisar mengerang pelan, tangan yang menopang dagunya meluncur turun ke lekuk lehernya, lalu menekannya lembut di satu titik.Lyra tanpa sadar menjerit pelan, lidah Kaisar akhirnya memanfaatkan kesempatan itu untuk menembus paksa mulutnya yang setengah terbuka, membangkitkan badai gairah di dalam mulutnya.Lyra membeku, dengan perasaan terhina dan pasrah menanggung badai nafsu yang dibawanya.Meskipun pemandangan musim semi yang semarak, hatinya terasa seperti tertinggal di tengah dinginnya musim dingin.Dia menutup matanya, tak lagi melihat, tak lagi berpikir...Gairah Kaisar yang membara tak terbalas, dia perlahan menghentikan gerakannya. Melihat matanya terpejam rapat, bulu matanya yang gemetar basah oleh air mata, dia tertegun. Hasrat membara di hatinya terasa seperti d

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 355

    Kaisar melihat keseriusan Lyra dan berasumsi bahwa apa pun yang akan dia katakan bukanlah sesuatu yang menyenangkan hati.Namun, dia menatapnya tajam, bayangan dirinya terpantul di matanya yang jernih bak danau itu.Setidaknya saat ini, di mata wanita itu hanya ada dirinya."Sungguh, katakan saja. Aku janji nggak akan marah," dia meyakinkannya, nadanya luar biasa lembut, seperti awan yang perlahan melayang di langit yang biru.Lyra menatapnya sejenak, mengingat tatapannya yang mematikan saat terakhir kali dia meminta obat kontrasepsi. Pikirannya berkecamuk, dan pada akhirnya, dia tetap masih tak berani bicara.Namun, Kaisar menatapnya, masih menunggunya bicara. Jika dia mengalihkan pembicaraan begitu saja, Kaisar pasti tak akan membiarkannya.Dia berpikir sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, "Yang Mulia sudah berjanji akan memberi hamba surat pernyataan tadi malam. Kapan kira-kira Anda akan membuatnya?"Alis Kaisar sedikit berkerut, wajahnya tampak murung.Jantung Lyra berdebar kenc

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 354

    Tadi malam, dia begitu khawatir hingga tak memperhatikan apa pun. Hari ini, begitu melangkah keluar kamar, dia melihat dua pohon pir tua di halaman, dengan bunga seputih salju.Angin sepoi-sepoi bertiup, memenuhi halaman dengan aroma lembut bunga pir.Di bawah pohon itu berdiri sebuah kursi goyang anyaman, kosong dan dipenuhi kelopak bunga yang berserakan di atasnya.Lyra sangat menikmatinya. Dia berjalan mengelilingi pohon beberapa kali, merasa lelah, lalu membersihkan kelopak bunga, dan berbaring di kursi untuk beristirahat.Kursi itu bergoyang pelan, menimbulkan suara berderit halus.Kelopak bunga terus berjatuhan seperti kepingan salju yang segera menutupi tubuhnya.Dia memejamkan mata, dalam keadaan setengah tertidur, di tengah suara samar para petapa membaca doa dan ketukan kayu, dia berpikir bahwa menjadi petapa sama sekali tidak buruk.Mencukur rambut, kenakan jubah, menjauh dari kekhawatiran hiruk-pikuk duniawi, sendirian dalam kedamaian dan kebebasan.Celakanya, takdirnya mem

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 353

    Lyra takut dia akan berulah lagi, jadi berkata lirih, "Hamba bukannya nggak mau, tapi hamba takut akan menularkan penyakit pada Yang Mulia. Tubuh Anda sangat berharga, dan tak boleh sedikit pun terluka.""Aku nggak takut. Kita juga sudah melakukannya, kalau memang tertular, sudah sejak tadi tertularnya."Kaisar bersikap tegas. Dia langsung melepas sepatu dan mantelnya, mengangkat selimut, dan tanpa sungkan masuk ke dalamnya, lalu menarik Lyra ke dalam pelukannya.Tempat tidur kecil itu tiba-tiba terasa sesak, membuat Lyra tak punya tempat untuk bersembunyi. Dia memiringkan kepala dan mendesah pelan.Tangan Kaisar menyelinap di bawah lehernya, memaksa kepalanya berputar dan menekannya ke leher Kaisar.Kaisar tahu Lyra enggan.Terus memangnya kenapa?Seberapa pun enggannya, dia kini berada dalam pelukan Kaisar.Dia memejamkan mata, merasakan napas hangat Lyra menerpa telinganya, perasaan tenang dan puas menyelimuti hatinya, dia merasakan kedamaian dan ketenangan, seolah akhirnya semuanya

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 352

    Lyra melihat ekspresi Kaisar dan tahu bahwa kesabarannya sudah habis. Dia sebenarnya juga mengerti bahwa Kaisar sudah melangkah sejauh ini untuknya, itu saja sudah sulit baginya.Namun, dia tidak punya cara lain untuk menyelamatkan Roni, jadi dia terpaksa memanfaatkan rasa bersalah Kaisar saat ini dan bersikap keras demi bertahan."Aku mau dua-duanya. Kau harus buat surat pernyataannya sekarang, dan setelah kembali ke ibu kota, kau harus memberinya Lencana Emas Pengampunan."Kaisar sangat marah dan tak bisa berkata-kata lagi.Dia benar-benar tahu cara memanfaatkan orang lain.Dia bahkan menginginkan keduanya.Mengapa dia tidak sekalian saja meminta Roni sebagai hadiah untuknya?Apakah dia menyadari bahwa dirinya sekarang adalah seorang buronan dan bahwa Kaisar memimpin pasukan ke sini untuk menangkapnya?Apa haknya sebagai seorang buronan untuk bernegosiasi dengannya?Dia sudah keterlaluan!Kaisar memelototinya dengan penuh amarah, tatapannya perlahan berubah dingin dan mengancam.Lyra

  • Malam Terakhir di Singgasana   Bab 351

    Setelah Kaisar memberi instruksi kepada Pangeran Andre, dia memintanya untuk pergi keluar dan membuatkan obat untuk Lyra.Karena khawatir Pangeran Andre mungkin tak bisa dipercaya, Kaisar mengancamnya, "Rania sangat merindukanmu di ibu kota."Ekspresi Pangeran Andre sedikit berubah, lalu dia tersenyum kecut. "Jangan khawatir, aku sekarang sudah melepaskan diri dari urusan duniawi. Kalau nggak, aku pasti sudah bertindak sejak hari pertama bertemu Lyra.""Aku lebih suka menghabiskan hidupku di sini dengan pelita dan kitab suci. Satu-satunya harapanku adalah Rania bisa hidup dengan tenang. Kau menahannya bukannya agar bisa terus mengendalikanku, kan? Jadi, tolong jangan mempersulit hidupnya.""Itu tergantung pada sikapmu," kata Kaisar acuh tak acuh. "Kalau kau baik, dia baik. Kalau kau macam-macam, dia akan mati!"Pangeran Andre menggenggam manik-manik doanya dan menatapnya dalam diam. "Ternyata kau memang lebih cocok menjadi Kaisar."Kaisar mencibir, bibirnya melengkung mengejek. "Setela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status