Share

Bab 3 Bayangan Kabut Es

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-09-19 13:36:07

Lidia tergopoh-gopoh memasuki aula kuliah praktik, sepuluh menit lebih lambat dari jadwal yang ditetapkan Dr. Bima. Napasnya terengah, rambutnya masih acak-acakan sehabis bangun tidur – atau lebih tepatnya, bangun dari kasur seseorang yang tidak seharusnya ia tiduri. Wajahnya lesu, kulit pucat, dan bibirnya sedikit bengkak, seperti orang habis begadang berat. Entah dari mana datangnya bau alkohol samar yang masih menempel di jaket praktiknya. Ini benar-benar "muka bantal" dalam level ekstrem.

Kevin, yang sudah rapi duduk di barisan paling depan, langsung menoleh saat merasakan keributan kecil di ambang pintu. Raut khawatir kentara di wajah tampannya begitu matanya menangkap sosok Lidia. Di sisi lain, Dr. Riris dan Viska yang duduk berdekatan di baris kedua tampak cekikikan geli, melirik Lidia yang berusaha seprofesional mungkin tapi jelas sekali terlihat kacau balau. Mereka pasti tahu Lidia "hilang" semalam.

Kevin bangkit dari kursinya, sedikit berlari kecil menghampiri Lidia yang baru saja duduk di baris paling belakang, jauh dari sorotan Dr. Bima yang sedang berbicara di depan.

"Ke mana saja kau? Aku mencarimu semalaman!" bisik Kevin dengan nada khawatir sekaligus kesal.

Lidia menoleh sekilas, tatapan matanya tajam dan penuh lelah. Rasanya ingin menimpuk Kevin dengan tumpukan buku tebal yang ia pegang. Menurutnya, Kevin-lah sumber utama semua kekacauan dan tragedi hari ini. Ia seolah ingin berkata, Kalau saja kau tidak menghubungiku semalam, kalau saja kita tidak bertengkar, aku tidak akan berakhir mabuk di pelukan Bima!

"Bukan urusanmu," jawab Lidia acuh tak acuh, tanpa berniat menjelaskan apa pun. Nada suaranya dingin dan jengkel.

Kevin memutar bola mata, memasang wajah yang jelas menunjukkan kekesalannya. "Jelas urusanku! Kau masih pacarku!"

Pembicaraan mereka, meski berbisik, sepertinya berhasil menarik perhatian sang dosen praktik. Dr. Bima menghentikan penjelasannya tentang teknik steril dengan alis terangkat dan tatapan setajam elang. Seluruh pasang mata di ruangan itu sontak mengarah ke sumber suara bisikan yang kini senyap. Kevin menelan ludah, baru sadar betapa bahayanya situasi ini.

"Hmm… bisakah kau membantuku, Dr. Kevin, daripada membuat insiden yang tidak relevan dengan kuliah kita hari ini?" Dr. Bima menegur dengan suara rendah dan dingin yang membuat seluruh tulang punggung Kevin menegang.

Kevin segera mengangguk, kembali ke tempat duduknya tanpa suara, malu bukan kepalang.

Tatapan Dr. Bima beralih pada Lidia. Sebuah seringai tipis, seolah menyimpan makna tersembunyi, terukir di bibirnya. Seringai yang hanya Lidia yang mengerti arti dibaliknya, membuat seluruh syaraf Lidia mendadak menegang. Perutnya sedikit bergejolak. Apakah ini balas dendam? Atau ejekan terselubung?

"Dan kau, Nona Lidia," lanjut Dr. Bima, nadanya kini sedikit lebih tajam, "selesai kuliah ada tugas tambahan dari saya karena kau terlambat datang."

Lidia mendesah pelan, tapi segera menyembunyikannya. Dalam hatinya, ia sudah menduga hal ini. Tentu saja, Dr. Bima tidak akan pernah melewatkan kesempatan emas seperti ini untuk menimpuknya. "Baik, Dokter," jawabnya lirih, memaksa bibirnya untuk tidak mengerucut protes.

Dr. Bima kemudian melanjutkan khotbahnya yang ia namakan "kode keras profesi", pandangannya mengitari seisi ruangan tapi selalu berhenti di mata Lidia. "Ingat, saat di ruang operasi, keselamatan pasien adalah yang utama. Jadi, aku paling tidak suka ada hubungan cinta di antara sejawat, apalagi kalau pertengkaran pribadi dibawa ke ruang operasi. Itu tidak relevan! Fokusmu hanyalah keselamatan, keamanan, dan kenyamanan pasien. Itu kode keras dalam profesi kita!"

Lidia menelan ludah. Hatinya seperti dirobek antara ingin tertawa dan ingin menangis. Khotbah tentang kode etik dan profesionalisme? Dokter ini sungguh punya selera humor yang gelap! Lidia mendongak, matanya bertemu tatap dengan Dr. Bima. Sebuah ironi yang pahit sekali. Dr. Bima bicara tentang etika, sementara hanya beberapa jam yang lalu, ia dan Dr. Bima berbaring seranjang, sama-sama mabuk dan tanpa etika, tanpa batas, tanpa... apa-apa.

Begitu kuliah praktik selesai, semua mahasiswa bergegas membereskan barang-barang mereka, ingin segera lepas dari aura dingin Dr. Bima. Lidia melakukan hal yang sama, tapi sebelum sempat berdiri, sebuah isyarat kepala dari sang dokter menghentikannya. Dr. Bima duduk di tepi meja presentasi, tatapannya menyuruh Lidia untuk tetap di tempatnya. Perlahan, satu per satu, mahasiswa keluar hingga hanya tersisa Lidia dan Dr. Bima. Atmosfer tiba-tiba terasa tebal, mencekik.

Dr. Bima menunggu sampai pintu benar-benar tertutup sebelum suaranya memecah keheningan, dingin menusuk. "Apakah ada yang lucu dengan kuliahku, Nona Lidia?"

Lidia terkejut. Apakah ekspresinya selama kuliah sebegitu jelas? Ia menggeleng cepat. "Tidak, Dokter."

"Lalu, kenapa kau tersenyum saat aku menjelaskan kode etik?" suara Dr. Bima tajam, bahkan lebih dari biasanya.

Lidia merasakan aliran darahnya berdesir kencang. Wajahnya sedikit pucat, dan rasa mual samar yang ia rasakan sepanjang pagi kini memuncak. "Saya tidak menertawakan itu, Dokter. Saya hanya teringat hal yang lain," ia mencoba menjelaskan, suaranya tercekat.

Sebuah jeda singkat menyelimuti mereka, terasa seperti jurang tak berdasar. Dr. Bima bangkit, berjalan mendekat, kedua tangannya tersembunyi di saku jas dokter miliknya. Auranya mengancam, tetapi ada sentuhan keintiman yang membuat Lidia bergidik.

"Teringat semalam, Nona Lidia?" ucap Dr. Bima pelan, nyaris berbisik, tapi menusuk sampai ke tulang. Senyum dingin terukir di bibirnya. "Bagaimana kau menjerit nyaman di pelukanku? Sehingga kau tertawa pagi ini ketika aku menjelaskan kode etik? Aku juga manusia, Nona Lidia. Aku bisa khilaf. Dan kuharap apa yang terjadi semalam hanya akan berhenti di kamu dan aku. Atau kau akan mendapatkan kesulitan yang lebih jauh." Ia mengakhiri kalimatnya dengan nada peringatan yang membuat seluruh nyali Lidia ciut, namun pada saat yang sama, amarahnya meluap.

Lidia menatapnya nyalang, kekesalannya tidak bisa disembunyikan lagi. Suaranya terdengar kementus, berusaha tampil setenang mungkin walau di dalam hatinya sudah bergemuruh hebat. "Dokter tidak perlu khawatir. Saya juga tidak mungkin membuka aib sendiri."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 135: Kritik, Hak Pasien, dan Kotak Saran

    Di tengah keriuhan lantai bawah rumah sakit, tempat para pasien dan keluarga berdesakan menunggu kabar, dan di lantai atas, tempat Direktur Bima kemungkinan besar sedang memilah stok scrub hasil borongannya dari e-commerce alih-alih berkutat dengan laporan keuangan, Ruang Residensi justru menyuguhkan pemandangan yang kontras.Ruangan itu, yang biasanya dipenuhi tumpukan jurnal medis yang bisa roboh kapan saja atau aroma kopi basi yang sudah bermigrasi menjadi entitas spiritual, kini disulap menjadi medan perang intelektual yang lumayan serius. Sekelompok dokter muda, para residen yang setiap harinya bergulat antara nyawa dan tuntutan koas yang mendadak hilang saat dibutuhkan, berkumpul untuk rapat internal yang substansial. Topiknya, bukan masalah berapa banyak jam lembur yang harus dibebankan pada kolega yang tak bersalah, melainkan sesuatu yang jauh lebih fundamental: hak-hak pasien.Dokter Indra, seorang residen senior dengan aura idealisme yang terkadang terasa seperti Oase di gur

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 134: Rapat dan Serangan Etika

    Ruang Rapat Manajemen di lantai eksekutif Cendekia Medika terasa dingin, kontras dengan tensi panas yang menggantung berat di antara para partisipan. Duduk mengelilingi meja oval berlapis kayu mahoni gelap adalah Dr. Bima, Direktur Utama, dengan tatapan yang tenang namun awas. Di sampingnya, Dr. Alvin, Wakil Direktur, menunjukkan ekspresi perhitungan.Berseberangan dengannya duduk Dr. Surya, Kepala Departemen Penyakit Dalam, aura ambisinya nyaris terasa fisik. Di sisinya, Dr. Raditya, rekannya dari Penyakit Dalam, menampakkan kegelisahan yang tertahan. Sementara itu, Dr. Rukmana, Kepala Departemen Kandungan, tampak gelisah, sesekali merapikan berkas di depannya, dan Dr. Arya dari Bedah Plastik, mencoba untuk bersikap netral namun sorot matanya tetap mengawasi dinamika di antara kolega-koleganya.Rapat tersebut, secara formal, dijadwalkan untuk membahas peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit dan evaluasi kinerja triwulan. Namun, semua pihak yang hadir sangat menyadari bahwa agenda

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 133 Semua Salah Kevin

    Kantor konsultan gizi Cendekia Medika—atau, lebih tepatnya, kantinnya yang kini telah kosong melompong—tiba-tiba terasa seperti arena koloseum kuno tempat para gladiator baru saja menuntaskan santapan terakhir mereka sebelum masuk gelanggang. Piring-piring bersih mengkilap berjejer rapi, sendok dan garpu diam membisu, kontras dengan gelombang pasang absurditas dan ketegangan yang menguasai enam individu di sekeliling meja melamin. Rahasia pernikahan Bima dan Lidya kini telah menjelma menjadi berhala beton yang mereka pikul bersama, siap menindih kapan saja."Kalian semua bicara soal ancaman Bima, bicara soal takdir sialan ini," celetuk Virzha, intern paling lugas yang pernah menginjakkan kaki di dunia medis Cendekia Medika, "Tapi Kevin memang banyak masalah, sih. Dia bikin blunder buat dirinya sendiri, dan buat kita semua juga."Mata Virzha yang setajam elang, meskipun sedikit cengengesan khas anak magang, kini menyorot lurus ke arah Gerald dan Vito. "Kalian kenapa mesti pergi ke kara

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 132: Pembagian Loyalitas di Kantin

    Vito, Gerald, Wulan, dan Riris berkumpul di salah satu meja yang lebih terpencil di kantin utama rumah sakit, berupaya menemukan keheningan yang relatif di tengah keramaian jam makan siang. Atmosfer kantin yang bising, ditambah aroma aneka hidangan, tidak mampu mengurangi ketegangan yang menyelimuti meja mereka. Kopi dan camilan yang mereka pesan terasa hambar, sekadar pengisi formalitas di tengah beban topik pembicaraan yang kian memberat. Sebuah bayangan kekhawatiran terpantul jelas di mata mereka masing-masing, seolah merefleksikan permasalahan yang tak kunjung menemukan jalan keluar."Kevin itu gila," ujar Gerald, memecah keheningan dengan suara penuh ketidakpercayaan, sembari menggelengkan kepalanya pelan. "Mengapa dia memutuskan untuk serumah dengan individu yang telah ia anggap sebagai musuh bebuyutan? Tindakan demikian serupa dengan mencari bahaya. Kevin, dalam pandangan saya, telah mengundang permasalahan yang substansial dan kompleks."Wulan, yang sejak tadi tampak asyik men

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 131: Bukti Pemalsuan dan Harapan Kedua

    Riana melesat menembus keramaian Rue de Varenne, denyutan jantung Paris yang tak pernah tidur, namun kali ini terasa terlalu lambat baginya. Tujuannya satu: Klinik Wisesa. Bukan sekadar klinik biasa, melainkan tempat Gabriel, mantan suaminya, menghabiskan hari-harinya setelah mereka berpisah bertahun-tahun lalu. Udara di dalam ruangan kerja Gabriel, yang didominasi warna krem lembut dan sentuhan furnitur kayu gelap, memang terasa formal, khas ruang profesional seorang dokter terkemuka. Namun, bagi Riana, selalu ada lapisan keakraban tipis yang menyelimuti atmosfer di antara mereka, jejak masa lalu yang tak pernah benar-benar pudar. Dia bahkan masih hafal bau eau de cologne Gabriel yang samar."Gabriel," sapa Riana, suaranya tercekat oleh urgensi yang sudah ia tahan sejak pesawat mendarat. Matanya langsung menemukan sosok Gabriel yang sedang meneliti layar komputer, berkas-berkas pasien berserakan rapi di mejanya.Gabriel yang sedang memeriksa scan MRI seorang pasien, t

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 130: Kebohongan di Balik Hibah

    Riana Irwanto Wisesa menarik koper kecilnya keluar dari stasiun Gard du Nord, aroma roti baguette dan kopi memenuhi udara musim gugur Paris. Rasa lelah membalutnya, bukan cuma jet lag, tapi lelah jiwa. Meninggalkan Kevin dengan hati remuk dan Lidya yang terombang-ambing di tengah intrik Bima, Riana tahu dia tidak bisa diam. Rasanya seperti semua orang terseret ke dalam lubang gelap yang digali Bima. Dan dia? Dia harus jadi penariknya keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan permainan kotor Bima adalah dengan menyerang fondasi kekuasaannya: kepemilikan 55% saham Cendekia Medika. Ini bukan lagi soal sakit hati atau rivalitas biasa, ini perang.Setengah jam kemudian, ia tiba di apartemen ayahnya yang bergaya Haussmann di Marais. Lampu-lampu kuning hangat menerangi jalanan. Apartemen dengan langit-langit tinggi, detail ukiran klasik, dan jendela setinggi langit-langit itu terasa seperti oase. Dokter Rafael Irwanto, seorang dokter kandungan terkemuka di Paris, membuka pintu. R

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status