LOGINKepala Lidia pusing banget, rasanya kayak habis dipukuli berkali-kali sama preman terminal. Ia membuka mata perlahan, tapi sinar matahari yang menusuk lewat jendela panorama bikin ia langsung meringis. Langit-langit mewah, selimut satin licin, dan bantal-bantal empuk yang masih kusut. Ini… di mana sih? Otaknya butuh waktu lama untuk menyinkronkan data antara mata dan memori. Hotel mewah? Kayaknya ia nggak pernah deh masuk tempat kayak gini sendirian. Apalagi sampai menginap.
Pakaiannya sendiri sudah entah kemana, mungkin tergeletak di lantai dekat ranjang sana, bersama harapan dan cita-citanya yang remuk. Ia cuma pakai bra dan celana dalam. Aduh, kok bisa?
Kemudian, tangan kekar itu melingkar erat di pinggangnya, membuat napasnya tertahan. Jantung Lidia langsung berpacu di kecepatan maksimal. Aroma parfum Tom Ford mahal yang menusuk hidung membuat tengkuknya meremang. Suara dengkuran halus dan hembusan napas hangat di punggung telanjangnya? Astaga, dia nggak sendirian! Kepalanya langsung berputar, memikirkan semalam. Tapi semua buram, dipenuhi kabut alkohol dan suara musik yang bising. Kenapa dia harus minum sampai segila itu sih?
Pelan-pelan, Lidia memberanikan diri. Tangannya gemetar saat berusaha memindahkan lengan kekar yang melingkar itu. Berat banget. Aroma Tom Ford semakin tajam saat ia mencoba menggeser tubuh berat di belakangnya. Keringat dingin mulai membanjiri punggungnya. Sumpah, kalau ini sampai cowok asing… Ya ampun! Matanya mengerjap, fokusnya terpaku pada pria yang masih terlelap itu. Dan kemudian, dia melihat wajahnya. Wajah yang sangat familier. Wajah yang biasa dia lihat tiap hari di rumah sakit.
Mata Lidia langsung membelalak sebesar bola tenis. Leo Bima Adnyana. Dokter Bima! Dokter tampan berprestasi sekaligus pimpinan di rumah sakit tempat ia magang dan, yang paling penting, pembimbing kliniknya sendiri. Seketika, rasa mual memenuhi kerongkongannya. "Waduuuhh, mati aku!" bisiknya tanpa suara, jantungnya melompat-lompat seperti habis maraton. "Kenapa bisa jadi begini sih?" Kepalanya auto pusing tujuh keliling.
Tangannya bergerak otomatis, menggapai bajunya yang tadi disebut tergeletak menyedihkan di lantai. Celana jeans, kaus, jaket… Sumpah serapah internal berhamburan dalam otaknya. Ia buru-buru memakai semua, mencoba seminimal mungkin menimbulkan suara. Gerakannya canggung dan kaku. Ini seperti melarikan diri dari tempat kejadian perkara, dan Lidia merasa dirinya adalah tersangka utama. Setelah berpakaian lengkap, tanpa ba-bi-bu, Lidia segera keluar dari kamar hotel ini. Pelan-pelan. Sangat pelan. Jari-jemarinya yang basah karena keringat berjuang membuka kunci pintu kamar. Berhasil.
Sebuah senyum kecil, penuh kepuasan, terlihat di wajah tampan Dokter Bima yang masih terlelap pulas. Senyum itu entah kenapa justru membuat Lidia makin muak. Dia melangkah lagi, tinggal satu langkah lagi untuk keluar dari neraka kecil ini, saat tiba-tiba… sebuah tangan kokoh menjangkau dan menggenggam pergelangan tangannya. Langkah Lidia terhenti.
"Tunggu." Suara beratnya terdengar bagai guntur di telinga Lidia. Bass yang familiar, yang biasanya dipakai Dokter Bima untuk memberi perintah di ruang bedah.
Tubuh Lidia membeku, tak bisa bergerak seinci pun. Panik luar biasa langsung menyergap. Kepalanya kosong. Habislah aku! "Kau mau ke mana nona…" kata Dokter Bima lagi, suaranya pelan dan mengancam, seolah sengaja dipermainkan. Tapi kalimatnya terpotong, diganti dengan tawa geli yang kering saat matanya akhirnya fokus. Tatapan Dokter Bima menelusuri Lidia dari ujung rambut sampai kaki. Sebuah seringai tipis muncul di bibirnya. Dia baru sadar.
"Lidia?" Senyumnya merekah, jauh lebih lebar kali ini, penuh misteri yang mengerikan bagi Lidia. Seolah dia baru menemukan harta karun tersembunyi.
Lidia menelan ludah paksa, tenggorokannya kering kerontang. Kakinya terasa lemas, lututnya nyaris bergetar. "Ya, Dokter Bima," jawabnya terbata-bata, nyaris tidak terdengar. Ini lebih mirip bisikan putus asa.
Dokter Bima berdiri dari ranjang, masih tanpa sehelai benang pun, tubuh atletisnya terlihat begitu sempurna. Tapi Lidia terlalu ngeri untuk kagum. "Sebuah kejutan yang menyenangkan," ujarnya, langkahnya mendekat, matanya menatap Lidia dengan intensitas yang sukses membuat setiap saraf di tubuh Lidia beku. Otaknya error, nggak bisa mikir apa-apa lagi.
Dia mengulurkan tangannya, menyentuh dagu Lidia pelan, mengangkatnya agar tatapan mereka bertemu. Mata hitam Dokter Bima menusuk, mencari-cari. "Ini akan jadi rahasia kecil kita. Oke?" ucapnya dengan suara yang diatur agar terdengar menenangkan, namun bagi Lidia, itu lebih seperti ancaman telanjang.
Lidia cuma bisa mengangguk kecil, sama sekali nggak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Mulutnya terasa terkunci. Dokter Bima, masih dengan santainya, mulai mengambil pakaiannya yang tersebar di lantai, celana dan kemejanya. Ia mengenakan semuanya di depan Lidia tanpa rasa malu sedikit pun. Lidia segera mengalihkan pandangan, wajahnya memerah padam. Semalam, karena pengaruh alkohol, rasa malu itu entah kemana. Sekarang, saat semua kesadaran kembali menyerang, wajahnya benar-benar pucat, bergantian dengan merah tomat karena rasa malunya luar biasa.
"Mau sarapan?" tanya Dokter Bima sambil berjalan ke arahnya lagi, kali ini tangan hangatnya mendarat di bahu Lidia.
Seketika Lidia merasa lemas dan nyaris jatuh terduduk. Ia menggeleng keras, seolah makanan adalah hal paling menjijikkan di dunia. Dokter Bima menaikkan sebelah alisnya, seringai masih bermain di bibir. "Baiklah kalau begitu. Hari ini kuliahku pukul sepuluh pagi. Jangan sampai terlambat, Dokter Lidia," katanya, penekanan di bagian "Dokter Lidia" itu membuat Lidia merasa semakin terpojok. Suara peringatan itu terngiang-ngiang di kepalanya, menimbang ancaman besar untuk masa depannya jika ia berani tidak mematuhinya. Ini seperti mimpi buruk yang jadi nyata.
Di tengah keriuhan lantai bawah rumah sakit, tempat para pasien dan keluarga berdesakan menunggu kabar, dan di lantai atas, tempat Direktur Bima kemungkinan besar sedang memilah stok scrub hasil borongannya dari e-commerce alih-alih berkutat dengan laporan keuangan, Ruang Residensi justru menyuguhkan pemandangan yang kontras.Ruangan itu, yang biasanya dipenuhi tumpukan jurnal medis yang bisa roboh kapan saja atau aroma kopi basi yang sudah bermigrasi menjadi entitas spiritual, kini disulap menjadi medan perang intelektual yang lumayan serius. Sekelompok dokter muda, para residen yang setiap harinya bergulat antara nyawa dan tuntutan koas yang mendadak hilang saat dibutuhkan, berkumpul untuk rapat internal yang substansial. Topiknya, bukan masalah berapa banyak jam lembur yang harus dibebankan pada kolega yang tak bersalah, melainkan sesuatu yang jauh lebih fundamental: hak-hak pasien.Dokter Indra, seorang residen senior dengan aura idealisme yang terkadang terasa seperti Oase di gur
Ruang Rapat Manajemen di lantai eksekutif Cendekia Medika terasa dingin, kontras dengan tensi panas yang menggantung berat di antara para partisipan. Duduk mengelilingi meja oval berlapis kayu mahoni gelap adalah Dr. Bima, Direktur Utama, dengan tatapan yang tenang namun awas. Di sampingnya, Dr. Alvin, Wakil Direktur, menunjukkan ekspresi perhitungan.Berseberangan dengannya duduk Dr. Surya, Kepala Departemen Penyakit Dalam, aura ambisinya nyaris terasa fisik. Di sisinya, Dr. Raditya, rekannya dari Penyakit Dalam, menampakkan kegelisahan yang tertahan. Sementara itu, Dr. Rukmana, Kepala Departemen Kandungan, tampak gelisah, sesekali merapikan berkas di depannya, dan Dr. Arya dari Bedah Plastik, mencoba untuk bersikap netral namun sorot matanya tetap mengawasi dinamika di antara kolega-koleganya.Rapat tersebut, secara formal, dijadwalkan untuk membahas peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit dan evaluasi kinerja triwulan. Namun, semua pihak yang hadir sangat menyadari bahwa agenda
Kantor konsultan gizi Cendekia Medika—atau, lebih tepatnya, kantinnya yang kini telah kosong melompong—tiba-tiba terasa seperti arena koloseum kuno tempat para gladiator baru saja menuntaskan santapan terakhir mereka sebelum masuk gelanggang. Piring-piring bersih mengkilap berjejer rapi, sendok dan garpu diam membisu, kontras dengan gelombang pasang absurditas dan ketegangan yang menguasai enam individu di sekeliling meja melamin. Rahasia pernikahan Bima dan Lidya kini telah menjelma menjadi berhala beton yang mereka pikul bersama, siap menindih kapan saja."Kalian semua bicara soal ancaman Bima, bicara soal takdir sialan ini," celetuk Virzha, intern paling lugas yang pernah menginjakkan kaki di dunia medis Cendekia Medika, "Tapi Kevin memang banyak masalah, sih. Dia bikin blunder buat dirinya sendiri, dan buat kita semua juga."Mata Virzha yang setajam elang, meskipun sedikit cengengesan khas anak magang, kini menyorot lurus ke arah Gerald dan Vito. "Kalian kenapa mesti pergi ke kara
Vito, Gerald, Wulan, dan Riris berkumpul di salah satu meja yang lebih terpencil di kantin utama rumah sakit, berupaya menemukan keheningan yang relatif di tengah keramaian jam makan siang. Atmosfer kantin yang bising, ditambah aroma aneka hidangan, tidak mampu mengurangi ketegangan yang menyelimuti meja mereka. Kopi dan camilan yang mereka pesan terasa hambar, sekadar pengisi formalitas di tengah beban topik pembicaraan yang kian memberat. Sebuah bayangan kekhawatiran terpantul jelas di mata mereka masing-masing, seolah merefleksikan permasalahan yang tak kunjung menemukan jalan keluar."Kevin itu gila," ujar Gerald, memecah keheningan dengan suara penuh ketidakpercayaan, sembari menggelengkan kepalanya pelan. "Mengapa dia memutuskan untuk serumah dengan individu yang telah ia anggap sebagai musuh bebuyutan? Tindakan demikian serupa dengan mencari bahaya. Kevin, dalam pandangan saya, telah mengundang permasalahan yang substansial dan kompleks."Wulan, yang sejak tadi tampak asyik men
Riana melesat menembus keramaian Rue de Varenne, denyutan jantung Paris yang tak pernah tidur, namun kali ini terasa terlalu lambat baginya. Tujuannya satu: Klinik Wisesa. Bukan sekadar klinik biasa, melainkan tempat Gabriel, mantan suaminya, menghabiskan hari-harinya setelah mereka berpisah bertahun-tahun lalu. Udara di dalam ruangan kerja Gabriel, yang didominasi warna krem lembut dan sentuhan furnitur kayu gelap, memang terasa formal, khas ruang profesional seorang dokter terkemuka. Namun, bagi Riana, selalu ada lapisan keakraban tipis yang menyelimuti atmosfer di antara mereka, jejak masa lalu yang tak pernah benar-benar pudar. Dia bahkan masih hafal bau eau de cologne Gabriel yang samar."Gabriel," sapa Riana, suaranya tercekat oleh urgensi yang sudah ia tahan sejak pesawat mendarat. Matanya langsung menemukan sosok Gabriel yang sedang meneliti layar komputer, berkas-berkas pasien berserakan rapi di mejanya.Gabriel yang sedang memeriksa scan MRI seorang pasien, t
Riana Irwanto Wisesa menarik koper kecilnya keluar dari stasiun Gard du Nord, aroma roti baguette dan kopi memenuhi udara musim gugur Paris. Rasa lelah membalutnya, bukan cuma jet lag, tapi lelah jiwa. Meninggalkan Kevin dengan hati remuk dan Lidya yang terombang-ambing di tengah intrik Bima, Riana tahu dia tidak bisa diam. Rasanya seperti semua orang terseret ke dalam lubang gelap yang digali Bima. Dan dia? Dia harus jadi penariknya keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan permainan kotor Bima adalah dengan menyerang fondasi kekuasaannya: kepemilikan 55% saham Cendekia Medika. Ini bukan lagi soal sakit hati atau rivalitas biasa, ini perang.Setengah jam kemudian, ia tiba di apartemen ayahnya yang bergaya Haussmann di Marais. Lampu-lampu kuning hangat menerangi jalanan. Apartemen dengan langit-langit tinggi, detail ukiran klasik, dan jendela setinggi langit-langit itu terasa seperti oase. Dokter Rafael Irwanto, seorang dokter kandungan terkemuka di Paris, membuka pintu. R







