Pagi itu, awan mendung menggantung rendah di langit Jakarta, seolah mencerminkan kegelisahan di dada Nadia. Sejak semalam, ia dan Reza menyusun ulang strategi. Data yang mereka miliki mulai menyebar perlahan—namun begitu pula ancaman yang datang. Rumah orang tua Reza dilempari batu oleh orang tak dikenal. Teman dekat Nadia ditekan untuk tidak membantu.
Namun Nadia tahu, mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.Di meja makan, Reza menatap laptopnya dengan penuh konsentrasi. Selembar dokumen legal baru saja dikirim oleh pengacara mereka. “Kalau kita ajukan semua ini ke media internasional, Dimas dan Armand tidak hanya hancur di dalam negeri… tapi reputasi mereka di luar juga tamat,” katanya pelan.Nadia mengangguk. “Tapi nyawa kita juga jadi taruhan.”Reza diam. Sesaat kemudian, ia menatap Nadia dalam-dalam. “Kalau kamu ingin berhenti, Nad… aku tidak akan menyalahkanmu.”Nadia bangkit dari kursinya, lalu menghampiri Reza. Ia menyentuh pipinyLangit masih muram ketika mobil tua yang mereka tumpangi melintasi jalanan berbatu, meninggalkan desa kecil yang selama ini menjadi tempat persembunyian. Angin dingin menyusup melalui celah jendela, membuat Nadia merapatkan jaket dan bersandar di bahu Reza. Di kursi depan, Rahmat menyetir dengan tenang, sesekali menatap cermin tengah.“Masih belum ada tanda-tanda mereka mengejar,” katanya pelan.“Tapi kita tidak bisa santai,” jawab Reza. “Kita harus tetap bergerak sampai aku yakin semuanya aman.”Nadia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya tak bisa berhenti berputar—apakah mereka akan terus seperti ini? Melarikan diri, bersembunyi, dan hidup dalam ketakutan? Hatinya menjerit, tapi ia tahu tak ada pilihan lain.Perjalanan menuju wilayah barat laut memakan waktu belasan jam. Mereka melewati hutan-hutan sunyi, kota-kota kecil yang asing, dan perkampungan yang seolah terputus dari dunia luar. Di salah satu kota kecil bernama Tirta
Matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kayu, membentuk bayangan hangat di dinding rumah mungil mereka. Di atas ranjang sederhana itu, Nadia perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, tapi aroma kopi yang mengepul dari dapur kecil cukup membuat hatinya tenang.“Sudah bangun?” suara Reza terdengar dari kejauhan.Nadia tak menjawab. Ia hanya memandangi langit-langit, membiarkan pikirannya tenggelam dalam diam. Luka di pundaknya memang mulai mengering, tapi luka di hati dan benaknya masih menolak untuk benar-benar sembuh.Reza masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan. Ia duduk di pinggir ranjang, meletakkan cangkir itu di meja kecil sebelum membelai rambut Nadia yang mulai tumbuh kembali sejak potongan drastisnya waktu penyamaran.“Kopi,” ujarnya pelan. “Nggak pahit. Aku campur madu.”Nadia menoleh, tersenyum tipis. “Kamu selalu tahu caranya membuatku bangun.”“Tentu. Kau hanya butuh tiga hal: kopi, belaian,
Hening menyelimuti kamar apartemen itu. Meski malam telah merayap, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa memejamkan mata. Nadia duduk di ujung tempat tidur, matanya tertuju pada layar ponsel yang penuh dengan pemberitahuan dari media sosial, pesan dari akun anonim, dan ancaman samar.Reza memandanginya dari balik meja kerja, mengenakan kaus abu-abu yang kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya sembab karena kelelahan. Di tangannya, segelas kopi sudah dingin sejak sejam lalu.“Kalau kita terus di sini, mereka akan menemukan kita,” kata Reza akhirnya, suaranya pelan tapi mantap.Nadia mengangkat wajah. “Lalu ke mana? Kita sudah berpindah empat tempat dalam dua minggu. Aku lelah, Za. Tapi aku juga takut.”Reza bangkit, menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan Nadia dengan erat, seperti seorang lelaki yang menggantungkan sisa kekuatannya pada satu-satunya hal yang ia percaya.“Aku janji, ini tidak akan sia-sia. Kita
Pagi itu, awan mendung menggantung rendah di langit Jakarta, seolah mencerminkan kegelisahan di dada Nadia. Sejak semalam, ia dan Reza menyusun ulang strategi. Data yang mereka miliki mulai menyebar perlahan—namun begitu pula ancaman yang datang. Rumah orang tua Reza dilempari batu oleh orang tak dikenal. Teman dekat Nadia ditekan untuk tidak membantu.Namun Nadia tahu, mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.Di meja makan, Reza menatap laptopnya dengan penuh konsentrasi. Selembar dokumen legal baru saja dikirim oleh pengacara mereka. “Kalau kita ajukan semua ini ke media internasional, Dimas dan Armand tidak hanya hancur di dalam negeri… tapi reputasi mereka di luar juga tamat,” katanya pelan.Nadia mengangguk. “Tapi nyawa kita juga jadi taruhan.”Reza diam. Sesaat kemudian, ia menatap Nadia dalam-dalam. “Kalau kamu ingin berhenti, Nad… aku tidak akan menyalahkanmu.”Nadia bangkit dari kursinya, lalu menghampiri Reza. Ia menyentuh pipiny
Setelah konferensi pers yang mengguncang media nasional, Nadia tidak bisa lagi kembali ke kehidupan lamanya. Ia bukan sekadar wajah cantik dalam industri periklanan atau nama yang kerap muncul dalam dunia sosialita—ia kini menjadi suara dari kebenaran yang tak lagi disembunyikan.Reza menjemputnya di belakang gedung. Tak ada senyum di wajah mereka. Hanya kelegaan yang tercermin dalam sorot mata yang saling bertemu. Mereka telah melangkah ke jurang, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah tetap bersama.“Bagaimana tanggapan media?” tanya Nadia pelan di dalam mobil.Reza memandang lurus ke jalan. “Campur. Ada yang memujimu sebagai pemberani, ada yang menyebutmu wanita yang dimanfaatkan.”Nadia mengangguk, sudah menduga. “Biarkan saja. Selama kita tahu siapa diri kita, mereka bisa berkata apa pun.”“Dan kamu tahu siapa dirimu?” Reza menoleh singkat.Nadia menatapnya dengan lirih. “Seseorang yang mencintaimu terlalu dalam untuk d
Hujan mengguyur Jakarta malam itu, seperti menyapu semua kebisingan kota. Di dalam ruang kerjanya yang sunyi, Reza memandangi map lusuh yang baru saja dikirim oleh salah satu rekan lamanya—dokumen yang tak pernah ingin ia buka lagi. Di dalamnya, tersimpan potongan masa lalu yang ia kubur dalam-dalam… masa lalu yang kini perlahan menggali dirinya kembali ke permukaan. Nadia masuk membawa dua cangkir teh. "Masih kerja?" tanyanya lembut. Reza menoleh, menyembunyikan kegelisahan dalam sorot matanya. “Bukan kerja… ini lebih ke menghadapi setan lama.” Nadia meletakkan cangkir di meja. "Apa yang sebenarnya terjadi, Reza?" Ia membuka map itu. Di sana, foto-foto lama, kontrak rahasia, dan satu artikel berita tentang perusahaan yang dulu hampir menyeret namanya ke jurang kehancuran. “Dulu, aku pernah hampir melakukan kesalahan besar. Seseorang menyelamatkanku… tapi dengan harga yang tak pernah benar-benar lunas. Dan or
Hidup perlahan kembali ke ritmenya. Reza dan Nadia tak lagi berada dalam suasana beku seperti sebelumnya. Meski luka itu belum benar-benar sembuh, mereka memilih untuk terus berjalan, bersama. Tak ada kata pasti tentang masa depan, tapi setidaknya keduanya memilih untuk tidak pergi.Namun seperti biasanya, saat badai dalam hati mulai reda, badai dari luar justru mulai bergemuruh.Hari itu Reza baru saja selesai meeting dengan calon investor asing untuk ekspansi proyek properti miliknya. Di luar ruangan kaca kantor, langit Jakarta mulai gelap meski baru pukul tiga sore. Ia baru saja duduk di meja kerjanya ketika sekretarisnya, Clara, masuk membawa selembar dokumen.“Pak, ini file hasil riset kita soal kompetitor yang mengajukan proposal ke pemilik lahan di BSD. Sepertinya bukan perusahaan biasa…”Reza menerima dokumen itu. Sekilas, matanya menelusuri lembaran—hingga satu nama di bagian bawah membuat napasnya tercekat.Dimas Aryanto.
Pagi datang tanpa kehangatan. Matahari hanya menjadi latar samar di balik tirai mendung yang menggantung rendah di langit Jakarta. Nadia masih duduk di kursi balkon, mengenakan sweater tipis dan selimut di kakinya. Di dalam kamar, Reza belum tidur semalaman. Ia hanya duduk, membisu, tak tahu harus menjelaskan dari mana. Nadia masuk tanpa bicara. Ia menyiapkan teh, meletakkannya di meja, dan duduk di sofa. "Aku butuh kejujuran penuh, Reza. Sekarang." Reza mengangguk perlahan. Pandangannya lelah, tapi tekadnya bulat. Ini saatnya ia membuka luka itu sendiri. "Tahun 2017… aku dituduh melakukan pemukulan terhadap seorang mantan rekan kerja. Dia memanipulasi data perusahaan, aku tahu, tapi tidak punya bukti cukup waktu itu. Kami ribut. Dia sengaja provokasi, rekam saat aku dorong dia. Lalu dia jatuhin diri ke meja kaca. Berdarah. Rekamannya tersebar, dan aku langsung diseret polisi." Nadia hanya menatap.
Matahari pagi menyusup pelan lewat celah tirai apartemen. Suasana tenang, nyaris seperti dunia telah mengampuni mereka. Reza duduk di meja makan, menyesap kopi hangat sambil membaca halaman depan koran. Tapi bukan berita yang mengganggunya—melainkan pikiran yang terus membawanya kembali ke malam sebelumnya, saat Nadia menatapnya dengan mata berkabut, antara percaya dan masih terluka.Dari kamar, suara langkah pelan terdengar. Nadia muncul dengan rambut masih kusut dan mata sayu. Ia tidak langsung menyapa, hanya mengambil gelas air dan duduk di hadapannya.“Aku gak tidur nyenyak,” gumamnya.Reza menatapnya penuh perhatian. “Mau cerita?”Nadia menunduk. “Aku mimpi… Clarissa datang lagi. Tapi kali ini dia gak cuma bawa foto. Dia bawa anak kecil.”Reza mengernyit. “Anak kecil?”“Iya… dia bilang itu anak kamu.”Hening mendadak.Mimpi. Tapi bagi Nadia, mimpi itu lebih dari sekadar bunga tidur. Itu cermin dari ketakuta