Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.
Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun. Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang. “Pagi,” ucapnya pelan. Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.” Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata. “Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur. Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.” “Tapi kamu tetap di sini.” Reza mengangguk. “Aku enggak bisa pergi. Bukan lagi.” Nadia berdiri, berjalan pelan ke arahnya. “Dan kamu pikir semuanya akan semudah itu?” “Aku tahu enggak,” jawab Reza. “Tapi aku juga tahu kalau aku pergi lagi sekarang, aku bakal kehilangan satu-satunya hal yang bikin aku merasa hidup.” Nadia menahan napas. Kata-kata itu menyentuhnya. Dalam. Namun bayangan masa lalu tak hilang begitu saja. Di tengah detik yang hampir romantis itu, suara notifikasi ponsel Reza berbunyi. Sekali. Dua kali. Reza menoleh, ekspresinya berubah. Ia mengambil ponsel itu, membaca pesan dengan cepat. Lalu mengunci layarnya dan menyembunyikan raut wajahnya. Nadia menyadari perubahan itu. “Siapa?” “Bukan siapa-siapa,” jawab Reza cepat. “Jangan bohong, Reza. Kita sudah terlalu tua untuk main rahasia.” Reza terdiam. Tapi Nadia sudah tahu. Nalurinya sebagai perempuan, dan lebih dari itu—sebagai seseorang yang pernah terluka olehnya—memberikan sinyal yang terlalu jelas. “Ada orang lain?” tanyanya akhirnya, suaranya pelan tapi tajam. Reza menatap Nadia. Lama. Dan dengan jujur yang pahit, ia menjawab, “Pernah. Tapi tidak sekarang.” Nadia tertawa hambar. “Lucu. Kamu datang ke sini, bangun pagi di tempatku, tapi jejak dia masih ada di ponsel kamu.” “Aku datang ke sini karena kamu. Karena aku mau memperbaiki semuanya.” “Tapi kamu belum sepenuhnya lepas darinya.” Reza tak menjawab. Ia tahu, apa pun yang ia katakan sekarang takkan cukup. Dan itu membuat Nadia merasa seperti jatuh ke lubang yang sama—yang dulu sempat ia keluar dari dengan susah payah. Ia melangkah mundur. “Keluar, Reza.” “Nadia…” “Aku bilang keluar.” Reza berdiri, tapi tidak segera pergi. “Aku butuh waktu. Tapi itu bukan berarti aku main-main sama kamu. Aku datang karena aku masih cinta.” Nadia menahan air matanya. “Kalau kamu cinta, kamu gak akan datang sambil bawa bayangannya.” Dan Reza tahu, ia kalah. Ia mengambil jaketnya, melangkah menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi. “Aku akan kembali. Tapi kali ini, tanpa setengah-setengah.” Pintu tertutup dengan pelan. Tapi di hati Nadia, suara itu terdengar seperti ledakan. Nadia duduk kembali di sofa setelah Reza pergi. Matanya kosong, tapi dadanya penuh sesak. Ia memeluk lututnya, menahan napas panjang agar air mata tak tumpah. Tapi seperti biasa, perasaan tidak bisa ditahan terlalu lama. Satu tetes jatuh. Lalu dua. Lalu sisanya mengalir seperti hujan yang tadi malam menyelimuti mereka. Ia membenci dirinya sendiri karena masih mengharapkan Reza. Tapi yang lebih ia benci lagi, adalah bahwa tubuhnya masih mengingat sentuhan itu. Pelukannya. Aroma kulitnya yang masih tertinggal di bantal. Dan terutama—caranya berkata “Aku masih cinta.” Sialan. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajah. Tapi bayangan Reza terus mengikutinya. Dari cermin, dari handuk yang tergantung, dari suara pintu yang baru saja tertutup tadi pagi. Nadia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil ponsel. Ia membuka galeri foto. Beberapa potret lama Reza dan dirinya masih ada di folder tersembunyi. Ia tak sanggup menghapus semuanya. Bukan karena lemah. Tapi karena masih ada bagian dari dirinya yang belum selesai. Satu foto mereka di pantai, berpelukan, wajah keduanya penuh pasir dan tertawa keras—entah kenapa, itu yang paling menyakitkan dilihat. Bukan karena momen itu buruk. Tapi karena momen itu terlalu bahagia, dan semua yang terlalu bahagia… seakan tak pernah bertahan. Tiba-tiba, ponsel Nadia berdering. Nama yang muncul membuat jantungnya berhenti sebentar: Faris. Butuh waktu lima detik sebelum ia mengangkatnya. “Halo?” “Nadia. Kamu sibuk?” “Enggak. Ada apa?” “Aku lagi dekat kantor kamu. Bisa ketemu? Nggak lama.” Nadia menahan keraguan. Tapi setelah pagi yang berantakan seperti ini, mungkin bertemu seseorang yang berbeda—seseorang yang tidak membawa luka lama—bisa menyelamatkan sisa harinya. “Oke. Setengah jam lagi?” “Siap. Tempat biasa.” Setelah menutup telepon, Nadia menatap dirinya di cermin lagi. Dan entah kenapa, kali ini ia menarik garis senyum kecil di bibirnya, bukan untuk bahagia—tapi untuk bertahan. --- Faris duduk di kafe kecil dekat kantor Nadia. Ia tampak tenang, mengenakan kemeja putih yang sedikit digulung di lengan. Rambutnya disisir rapi, dan tatapan matanya—selalu hangat. Berbeda dari Reza yang dalam dan bergejolak, Faris adalah tenang yang menenangkan. Nadia datang sepuluh menit kemudian. Ia tersenyum ketika melihat Faris berdiri menyambutnya. “Kamu kelihatan lelah,” komentar Faris setelah mereka duduk. “Ya. Malam yang panjang.” Faris tidak bertanya lebih. Ia cukup bijak untuk tahu kapan harus diam. Mereka berbicara ringan tentang pekerjaan, tentang pameran seni yang akan datang, tentang cuaca. Tapi Nadia tahu Faris ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi. Setelah beberapa saat, Faris menatapnya dengan serius. “Aku enggak tahu kamu masih sama dia atau enggak. Tapi kalau iya… aku harap dia sadar betapa berartinya kamu.” Nadia terdiam. “Aku enggak akan ganggu kamu, Nad. Tapi kalau suatu saat kamu lelah nunggu seseorang yang enggak pernah sepenuhnya datang, aku di sini. Enggak buat menggantikan. Cuma buat jadi nyata.” Kata-kata itu sederhana, tapi menghantam. Nadia tersenyum tipis. “Kamu terlalu baik, Faris.” Faris mengangkat bahu. “Kadang orang baik juga ingin punya kesempatan.” Dan untuk pertama kalinya hari itu, Nadia merasa sedikit ringan. Setelah pertemuan itu, Nadia pulang dengan kepala yang lebih berat dari sebelumnya. Faris tidak menuntut apa-apa darinya, tapi justru karena itulah ia merasa terguncang. Dalam diam, pria itu menawarkan sesuatu yang belum pernah benar-benar ia miliki: ketenangan. Kepastian. Keberanian untuk mencintai tanpa menuntut luka masa lalu lenyap lebih dulu. Namun saat membuka pintu apartemennya dan mencium jejak aroma kopi dari pagi tadi, bayangan Reza kembali mengisi ruang. Kenapa selalu Reza? Dia yang pergi, dia yang merusak, tapi dia juga yang paling diingat. Bukan karena kesempurnaan, justru karena semua yang rusak darinya terasa nyata. Terlalu nyata. Nadia duduk di pinggir tempat tidur. Pikirannya kacau. Ia meraih ponsel, membuka pesan terakhir dari Reza—yang masih belum ia balas sejak pagi. > “Aku akan kembali. Tapi kali ini, tanpa setengah-setengah.” Nadia menghela napas. Kata-kata itu manis. Tapi juga menakutkan. Karena cinta Reza selalu datang seperti badai—indah, menggairahkan, tapi tak pernah bisa diprediksi. Sementara Faris… adalah pagi yang hangat, langit yang tenang. Tapi kenapa justru langit yang tenang itu belum mampu mengobati badai di dalam hatinya? Ponselnya berbunyi lagi. Faris mengirim pesan. > “Terima kasih sudah menyempatkan hari ini. Semoga malam kamu lebih tenang.” Satu pesan sederhana. Tapi cara ia memilih kata-katanya membuat dada Nadia terasa sedikit lebih ringan. Ia membalas singkat: > “Terima kasih juga, Faris. Malam ini… mungkin belum tenang. Tapi lebih baik dari sebelumnya.” Lalu ia meletakkan ponsel, berbaring, menatap langit-langit. Malam ini, pikirannya bukan hanya tentang Reza. Tapi juga tentang dirinya sendiri. Tentang bagaimana ia tak ingin hidup dalam bayangan yang sama selamanya. Tentang bagaimana cinta seharusnya bukan luka yang terus dibalut tanpa pernah benar-benar sembuh. Mungkin sudah waktunya memikirkan bukan hanya siapa yang ia cintai, tapi siapa yang membuatnya bisa mencintai dirinya sendiri lagi. Dan untuk pertama kalinya, Nadia membiarkan pikirannya terbuka. Bukan untuk melupakan Reza… tapi untuk berhenti membiarkan cintanya menjadi penjara.Pagi itu, hujan turun pelan-pelan. Bukan hujan deras yang menakutkan, tapi rintik lembut yang menenangkan. Nadia menyeduh teh hangat di dapur, sementara Reza mengganti popok Aluna yang sedang tertawa-tawa di ranjang kecilnya."Dia makin pintar," ujar Reza sambil menoleh ke Nadia yang berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh untuknya."Dan makin cerewet. Tapi lucunya nggak hilang-hilang," balas Nadia.Setelah sarapan, mereka duduk di ruang tamu, memandangi jendela yang dihiasi embun. Di pelukan mereka, Aluna tertidur setelah kenyang bermain."Aku selalu suka suasana pagi kayak gini," kata Reza."Karena damai?""Karena kamu ada di sini. Karena kita ada di sini. Nggak peduli hujan, badai, atau apa pun, asalkan kita bertiga di tempat yang sama, semua terasa aman."Nadia tersenyum, menatap wajah Reza dengan rasa cinta yang masih sama seperti dulu, tapi kini lebih dalam. Cinta yang telah diuji waktu, jarak, konflik, bahkan tangis bayi di tengah malam.Hari-hari mereka dipenuhi tawa ke
Aluna tumbuh cepat. Seperti waktu yang tak pernah menunggu. Baru kemarin mereka belajar mengganti popok, kini Aluna sudah bisa berjalan tertatih-tatih sambil tertawa, mengejar bayangannya sendiri di teras rumah."Jangan terlalu cepat besar, sayang," bisik Nadia suatu pagi sambil menyuapi bubur ke mulut kecil itu.Reza datang dari belakang, mengecup bahu Nadia, lalu mengelus kepala Aluna. "Tapi setiap langkah kecilnya, Nad, adalah bukti bahwa kita berhasil sejauh ini."Hari-hari berlalu, tapi tak semuanya mudah. Tantangan datang dalam bentuk yang berbeda. Reza mulai sibuk lagi dengan proyek seni, persiapannya untuk pameran di luar negeri membuatnya sering pulang malam. Nadia mulai merasa ada jarak yang perlahan tumbuh—bukan karena cinta berkurang, tapi karena fokus mereka terbagi.Malam itu, saat Aluna tertidur, Nadia duduk sendirian di ruang keluarga. Reza baru pulang, membawa laptop dan setumpuk berkas."Kamu belum makan?" tanya Reza sambil duduk di sampingnya.Nadia hanya menggeleng
Musim hujan datang. Hujan deras turun hampir setiap sore, membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa-masa awal Reza dan Nadia saling mengenal. Di dalam rumah mereka yang hangat, suasana dipenuhi suara-suara kecil Aluna yang mulai berceloteh. Ia belum bisa berkata-kata jelas, tapi gumamannya seperti musik bagi telinga Reza dan Nadia.Pagi itu, Nadia duduk di ruang kerja Reza sambil menggendong Aluna. Di hadapannya, terbuka sebuah buku kosong."Aku mau nulis surat buat Aluna. Untuk dibaca dia nanti saat usianya tujuh belas," kata Nadia.Reza yang sedang menyusun koleksi foto untuk pameran baru menghentikan pekerjaannya. "Itu ide bagus. Aku juga mau nulis. Kita bikin satu kotak waktu. Kita isi surat, foto, potongan baju bayi, semuanya. Buka bareng nanti."Nadia tersenyum. Ia mulai menulis.Untuk Aluna, saat kamu beranjak menjadi perempuan dewasa,Kamu mungkin sedang jatuh cinta, atau baru saja patah hati. Mungkin kamu sedang berjuang mencari tahu siapa dirimu. Apapun kondisimu, satu ha
Hari-hari berlalu dengan ritme baru. Tangisan bayi, aroma susu, suara alat sterilisasi, dan malam-malam panjang tanpa tidur menjadi bagian dari keseharian Reza dan Nadia. Tapi di balik semua kelelahan, mereka menemukan jenis kebahagiaan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya—kebahagiaan yang datang dari memberi, merawat, dan mencintai tanpa syarat.Pagi hari dimulai lebih awal dari biasanya. Nadia bangun sekitar pukul lima, lalu menyusui Aluna yang mulai merengek. Reza biasanya menyusul beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat dan handuk kecil di tangan."Kita kayak kru sirkus," kata Nadia suatu pagi sambil tertawa kecil. Rambutnya berantakan, mata sembab, tapi senyumnya tak pernah hilang."Iya. Tapi kita sirkus yang cuma punya satu pemain bintang: Aluna," jawab Reza sambil menggendong putri mereka, lalu mengayunkannya pelan.Aluna mulai menanggapi suara dan wajah orang tuanya. Setiap kali Nadia menyanyi, ia menoleh. Setiap kali Reza
Pagi itu mendung menggantung di atas Jakarta. Reza baru saja menyeduh teh hangat ketika mendengar panggilan dari kamar. "Reza... kayaknya air ketubanku pecah." Jantung Reza nyaris berhenti berdetak. Ia berlari menuju kamar, menemukan Nadia berdiri sambil memegangi perutnya. Ada tetesan bening di lantai. "Kita harus ke rumah sakit sekarang," katanya cepat sambil meraih jaket dan kunci mobil. Semuanya terasa begitu nyata. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi. Nadia menggenggam tangan Reza erat di sepanjang jalan, berusaha tenang di tengah kontraksi yang mulai terasa. "Kita udah sampai di hari ini," bisik Nadia, napasnya terengah. "Iya. Hari di mana cinta kita lahir dalam wujud yang baru." Di ruang bersalin, waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Para perawat dan dokter datang silih berganti. Kontraksi makin kuat. Reza tak pernah meninggalkan sisi Nadia, menggenggam ta
Memasuki trimester ketiga, Nadia mulai merasakan perubahan besar pada tubuhnya. Ia lebih cepat lelah, emosi mudah bergelombang, dan malam-malamnya sering kali diwarnai gelisah. Namun, dalam setiap peluh dan keletihan itu, ada Reza yang tak pernah beranjak jauh.Suatu malam, ketika angin berdesir lebih dingin dari biasanya, Reza memeluk Nadia dari belakang di tempat tidur. Ia bisa merasakan tubuh Nadia bergetar."Kamu mimpi buruk lagi?" bisiknya.Nadia mengangguk pelan. "Aku mimpi... kamu pergi. Aku panggil-panggil, tapi kamu nggak dengar. Rasanya sesak banget."Reza mengelus pelan perutnya, lalu menarik selimut lebih rapat. "Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana. Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku ada buat kamu."Nadia membalas pelukannya, air mata mengalir tanpa suara. Di balik rasa lelah dan nyeri, hatinya tetap berdebar karena cinta yang tak berubah.Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan lebih pelan. Reza mengambil c