Home / Romansa / Malam yang panas / Bab 6 - Api yang belum padam

Share

Bab 6 - Api yang belum padam

Author: Purple
last update Last Updated: 2025-04-29 22:02:22

Hujan turun sejak sore. Jakarta yang biasanya gaduh mendadak terasa lebih tenang, seolah turut menyaksikan pertarungan diam-diam antara dua hati yang belum selesai.

Nadia duduk di depan kaca besar apartemennya, mengenakan kaus longgar dan celana pendek tipis. Rambutnya masih basah, baru saja mandi setelah seharian bekerja di galeri. Matanya menatap ke luar, ke arah lampu-lampu jalan yang memantul di aspal basah. Tapi pikirannya… entah ke mana.

Ponselnya bergetar.

> Reza: Kamu masih bangun?

Nadia menggigit bibir bawahnya. Jari-jarinya sempat ragu di atas layar sebelum ia membalas singkat.

> Nadia: Masih.

Beberapa detik kemudian, balasan datang.

> Reza: Aku di bawah. Boleh naik?

Jantung Nadia berdebar. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Lalu berdiri perlahan, berjalan ke pintu tanpa menjawab pesan itu.

Dan ketika ia membukanya, Reza sudah di sana. Basah oleh gerimis. Jaket hitamnya licin oleh air, rambutnya sedikit acak-acakan. Tatapan matanya—tajam, gelap, menyimpan sesuatu yang sudah lama tak diperlihatkan padanya.

Nadia membuka pintu lebar-lebar tanpa berkata apa-apa.

Reza masuk. Tidak bicara juga. Hanya berdiri, menatap ruangan yang sama yang pernah ia tinggalkan bertahun lalu.

“Aku... enggak tahu harus ke mana malam ini,” katanya akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti gumaman.

Nadia tak menjawab. Ia hanya berjalan ke dapur, menuangkan dua gelas teh hangat. Gerakannya lambat, penuh perhitungan, tapi tidak kaku.

Ketika ia kembali, Reza sudah melepas jaketnya. Kaus abu-abu yang ia pakai menempel sedikit pada tubuhnya yang lembap. Hanya itu saja sudah cukup membuat dada Nadia terasa sesak—bukan karena fisiknya, tapi karena ingatan yang menyerbu begitu kuat.

Ia duduk di samping Reza, menyerahkan secangkir teh. Jarak mereka hanya sebatas sandaran lengan sofa. Tapi rasanya seperti berdiri di tepi jurang.

“Aku enggak tahu kenapa kamu datang ke sini,” ucap Nadia akhirnya, suaranya nyaris datar.

Reza menatapnya. “Aku juga enggak tahu kenapa kamu bukain pintu.”

Senyum tipis muncul di bibir Nadia. “Mungkin karena kita sama-sama bodoh.”

Reza mendekat sedikit. “Atau karena kita belum selesai.”

Kata-kata itu menggantung. Tidak jatuh. Tidak ditepis.

Nadia mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba menghindari sorot mata Reza. Tapi itu sia-sia. Karena ketika tangan pria itu menyentuh punggung tangannya perlahan, seolah hanya ingin memastikan bahwa ia masih nyata—semua pertahanan runtuh.

“Reza…” bisiknya.

“Aku tahu,” jawabnya cepat. “Aku tahu ini rumit. Aku tahu kamu belum sepenuhnya percaya aku. Tapi tolong, jangan usir aku malam ini.”

“Aku enggak akan usir kamu. Tapi aku juga enggak janji akan kuat lihat kamu terlalu lama.”

Reza menatapnya dalam. “Nadia… kamu masih marah?”

“Tidak. Justru itu yang paling menakutkan. Karena yang tersisa… cuma rindu.”

Dan dengan kalimat itu, keheningan di antara mereka berubah. Tidak lagi canggung, tapi padat oleh sesuatu yang tak kasat mata—hasrat yang tertahan, kenangan yang belum lapuk, dan janji-janji yang pernah hancur tapi ingin dibangun kembali.

Reza menyentuh wajahnya, perlahan, seolah Nadia bisa retak jika disentuh terlalu keras. Dan ketika jari-jarinya menyusuri garis rahang perempuan itu, ketika napas mereka menyatu begitu dekat, waktu seakan berhenti.

Tapi tak ada ciuman.

Tidak malam itu.

Yang ada hanya pelukan panjang di sofa yang dingin, dua tubuh yang diam dalam satu selimut tipis, dan napas yang saling mencari.

Keduanya tahu: mereka belum sampai ke sana. Tapi percikan itu ada. Menyala. Membakar perlahan. Mengancam meledak, tapi belum siap dilepaskan.

Dan justru karena belum disentuh sepenuhnya—rasa itu terasa lebih panas dari apa pun.

Bab 6 (Bagian 2) – Bara di Bawah Kulit

Malam itu, waktu berjalan lambat. Nadia bisa merasakan detak jantung Reza di dekatnya, bahkan saat mereka hanya duduk bersisian dalam diam. Tak satu pun dari mereka bicara. Hanya sesekali suara rintik hujan di luar menyusup ke dalam, menambah berat pada atmosfer yang menggantung di antara mereka.

Di balik selimut yang membungkus mereka, lutut mereka bersentuhan. Dada mereka naik-turun pelan, berirama tak tentu. Dan dalam senyap yang panjang itu, tubuh mulai bicara dengan cara yang kata-kata tak sanggup jangkau.

Reza menoleh pelan. Pandangannya jatuh pada bahu Nadia yang terbuka, kulitnya hangat oleh cahaya lampu temaram. Wajahnya tenang, tapi dagunya sedikit tegang, seperti sedang menahan sesuatu yang terlalu dalam untuk dilepaskan.

“Kamu dingin?” tanya Reza pelan.

Nadia menggeleng, tapi tidak menatap. “Enggak.”

Reza tak bertanya lagi. Tangannya bergerak perlahan ke atas, menelusuri lengan Nadia dengan ujung jari. Bukan gerakan penuh hasrat, tapi penuh kerinduan. Seperti seseorang yang akhirnya bisa menyentuh sesuatu yang telah lama hilang dan hampir dilupakan.

Nadia menarik napas dalam. “Kamu enggak berubah,” bisiknya.

“Aku banyak berubah,” jawab Reza lirih. “Tapi rasa ini… enggak pernah ke mana-mana.”

Nadia menoleh, akhirnya. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kebohongan di mata itu—hanya luka yang belum sembuh, dan keinginan yang belum pernah padam.

Jarak di antara mereka perlahan menipis. Bukan karena terburu-buru, tapi karena tak bisa ditahan lagi. Ketika akhirnya Reza menyentuhkan keningnya ke kening Nadia, ia menutup mata, menahan gemetar yang merambat dari dada ke tengkuk.

“Aku ingin cium kamu,” bisiknya nyaris tak terdengar.

Nadia menahan napas, tapi tidak mundur.

“Aku tahu,” jawabnya pelan.

Dan ciuman itu pun datang—perlahan, hampir seperti permintaan maaf. Tidak terburu-buru, tidak menggebu. Hanya bibir yang bertemu dalam keraguan dan keberanian yang saling bertabrakan.

Tangan Reza naik ke tengkuk Nadia, menariknya lebih dekat. Nafas mereka tercampur, hangat dan berat. Tapi sebelum terlalu dalam, Nadia menarik diri.

“Reza…” napasnya tersengal.

Reza menahan. “Maaf. Aku—”

“Bukan karena aku enggak mau,” potong Nadia cepat. “Justru karena aku terlalu ingin.”

Ia berdiri, menjauh sebentar. Menatap ke luar jendela, lalu memejamkan mata. Bahunya naik turun.

“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dulu?” tanyanya, masih membelakangi Reza. “Bukan karena kamu pergi. Tapi karena aku masih berharap kamu balik.”

Reza berdiri. Mendekat pelan, berdiri di belakangnya. “Aku nyesel. Setiap malam. Setiap pagi. Aku ngerasa aku ninggalin setengah jiwaku di sini.”

Nadia tertawa pelan, tapi terdengar getir. “Dan sekarang kamu mau ambil lagi?”

Reza menempelkan dahinya ke bahu Nadia. Tangannya menyentuh pinggang perempuan itu, ragu-ragu. “Aku enggak mau cuma ambil. Aku mau rawat. Mau hidupin lagi.”

Untuk sesaat, hanya suara hujan yang terdengar.

Lalu Nadia memutar tubuhnya, menatap langsung ke mata Reza. Dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris seperti desahan.

“Kalau kamu mau aku, kamu harus siap untuk semua aku—termasuk luka yang belum sembuh.”

Reza mengangguk. “Kalau kamu masih mau aku, kamu bisa punya semuanya.”

Dan malam itu, lagi-lagi mereka tidak terburu-buru. Tapi kedekatan mereka semakin tak bisa dibendung. Ketika mereka kembali ke sofa, tangan mereka saling mencari dengan gelisah yang manis. Tidak langsung, tapi terus-menerus. Bahu menyentuh dada, jari menyusuri punggung tangan, kepala bersandar ke dada.

Ciuman kembali hadir, kali ini lebih dalam. Lebih panas.

Tapi mereka berhenti di ambang. Dan di ambang itulah mereka terbakar paling hebat.

Bukan karena sudah menyentuh semuanya, tapi karena memilih untuk menahan, dan membiarkan rindu itu menyiksa dengan nikmat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Malam yang panas   Bab 7 - Bayangan yang tak pergi

    Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun.Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang.“Pagi,” ucapnya pelan.Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.”Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata.“Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur.Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi kamu teta

    Last Updated : 2025-04-30
  • Malam yang panas   Bab 8 - Rasa yang tak bernama

    Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik yang lembut, seperti nada latar untuk hati yang sedang rapuh. Nadia berdiri di depan jendela, menatap lampu jalan yang berpendar oleh air.Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Reza dan Faris. Dua hari yang tenang di luar, tapi penuh pergolakan di dalam. Ia pikir ia bisa menenangkan pikirannya, menjernihkan segalanya. Tapi hati bukan sekadar logika.Di dalam dadanya, ada dua suara: satu yang terus memanggil nama Reza—dengan rindu, dengan kenangan, dengan luka yang tak bisa ia benci; dan satu lagi yang mulai berbisik tentang kemungkinan baru, tentang seseorang yang hadir tanpa menyentuh masa lalu—Faris.Dan malam ini, tanpa ia rencanakan, Reza datang lagi.Ketukan di pintu apartemennya pelan. Tidak mendesak. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Nadia membuka pintu. Reza berdiri di sana, dengan jaket kulit basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak, dan mata

    Last Updated : 2025-05-01
  • Malam yang panas   Bab 9 - Malam yang membakar

    Malam telah larut. Jam di dinding berdetak pelan, seakan tahu bahwa waktu yang berjalan malam ini bukan sekadar menit dan detik—tapi langkah-langkah menuju sesuatu yang lebih dalam. Nadia berdiri di depan jendela, memandangi bias lampu kota yang membias di permukaan kaca. Rambutnya tergerai, dan gaun tipis yang ia kenakan hanya sampai lutut. Reza mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Tatapannya tak lepas dari siluet perempuan itu—sosok yang dulu ia miliki, lalu ia kehilangan, dan kini berdiri di hadapannya lagi, dalam damai dan keraguan yang membaur jadi satu. “Kamu masih ingat malam itu?” tanya Nadia pelan, tanpa menoleh. Reza berhenti di belakangnya. “Malam yang mana?” “Malam pertama kamu bilang kamu ingin aku, bukan hanya tubuhku. Tapi hidupku.” Reza mendekat, menempelkan dadanya ke punggung Nadia. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang perempuan itu, memeluknya tanpa kata. Hangat. Teguh.

    Last Updated : 2025-05-02
  • Malam yang panas   Bab 10 - Luka yang belum sembuh

    Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah tirai, memecah kehangatan kamar yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Nadia terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, menatap ke luar jendela dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih hangat oleh pelukan Reza semalam, tapi pikirannya sudah melayang ke dunia luar—tempat masalah tak bisa diabaikan. Reza masih tertidur, napasnya teratur. Wajahnya tenang, seolah malam tadi telah membawa kedamaian yang ia cari selama ini. Nadia memandangi pria itu lama, membiarkan dirinya merasa tenang sejenak sebelum kenyataan mengetuk kembali. Ponsel Nadia bergetar di atas meja. Ia melirik—“Mama”. Hatinya mengecil. Ia ragu beberapa detik, lalu mengangkatnya. “Halo, Ma?” “Di mana kamu?” suara ibunya tajam, tidak menunggu sapaan balik. “Kamu enggak pulang semalam. Ini sudah pagi, Nadia.” Nadia menarik napas dalam. “Aku di tempat teman, M

    Last Updated : 2025-05-03
  • Malam yang panas   Bab 11 - Bayang-bayang masa lalu

    Pagi itu, Nadia terbangun lebih dulu. Sinar matahari menyelinap lembut melalui tirai kamarnya, tapi hatinya justru terasa berat. Ia menatap Reza yang masih terlelap di sebelahnya—tenang, nyaris polos. Tapi di balik ketenangan itu, Nadia tahu ada badai yang belum reda.Ia bangkit pelan, mencoba tidak membangunkan Reza, lalu menuju dapur dan mulai membuat kopi. Saat aroma pahit itu memenuhi udara, ponselnya berbunyi. Satu pesan baru masuk, tanpa nama pengirim.> "Kalau kau tahu apa yang pernah dia lakukan padaku, kau pasti tak akan mempercayainya lagi."Jantung Nadia berdetak lebih cepat. Ia menatap layar, menimbang apakah ini hanya ancaman kosong—atau sesuatu yang lebih gelap.Reza muncul di ambang pintu, matanya masih berat. "Kamu bangun pagi.""Ada yang harus aku pikirkan," jawab Nadia pelan, lalu menyodorkan ponselnya.Reza membaca pesan itu. Napasnya tertahan."Dia mulai menyerang kamu juga," katanya perlaha

    Last Updated : 2025-05-04
  • Malam yang panas   Bab 12 - Tumbal Cinta

    Desas-desus mulai beredar di dunia yang pernah mereka hindari—media sosial, forum komunitas sastra, bahkan lingkungan tempat kerja Nadia. Semuanya berawal dari satu unggahan anonim: tangkapan layar pesan suara, beberapa potongan email, dan kutipan dari blog pribadi Rani yang dipelintir menjadi narasi murahan.> “Penulis ternama itu menyimpan masa lalu kelam bersama mantan kekasih yang diduga hamil lalu ditinggalkan. Sekarang, ia kembali menjalin hubungan dengan perempuan yang dulu pernah ia campakkan.”Nama Reza tak disebut langsung. Tapi bagi siapa pun yang cukup mengenal sejarah mereka, pesan itu terang-benderang.Nadia menerima telepon dari kantornya pagi itu."Untuk sementara, kami minta kamu istirahat dulu dari proyek utama," kata atasannya dengan suara datar. "Ini bukan soal kamu secara pribadi, tapi kami nggak bisa menanggung citra negatif dari berita yang sedang beredar."Nadia menggigit bibir. "Padahal belum ada bukti k

    Last Updated : 2025-05-05
  • Malam yang panas   Bab 13 - Luka yang Terbuka

    Langit mendung menggantung rendah ketika Nadia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, menggenggam secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Di hadapannya tergeletak laptop yang belum sempat dibuka, padahal ia datang dengan niat menulis kelanjutan dari kisah yang kini mulai menyebar luas. Namanya mulai diperbincangkan. Bukan sebagai editor atau penulis yang berbakat, tapi sebagai wanita dari masa lalu Reza—perempuan yang “diperebutkan,” “dimanfaatkan,” atau “dibutakan oleh cinta”, tergantung dari siapa yang bicara. Namun hari ini bukan tentang publik. Hari ini tentang satu pesan yang baru saja ia terima. > “Aku ingin bicara. Sendirian. Sore ini. – Rani” Nadia menutup matanya. Ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari selamanya. — Di tempat lain, Reza duduk di ruang kerjanya, memandangi naskah yang belum ia sentuh sejak kemarin. Wawancara itu telah

    Last Updated : 2025-05-06
  • Malam yang panas   Bab 14 - Sorotan

    Sudah dua minggu sejak malam itu—malam ketika Nadia dan Reza memutuskan untuk memulai dari awal. Hari-hari mereka kini terasa lebih ringan, tapi tidak sepenuhnya tenang. Luka masih ada, namun kini tidak lagi menjadi jurang pemisah.Pagi itu, Nadia sedang menulis di ruang kerja kecil di apartemen mereka. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyusun cerita dari kepingan kenyataan yang selama ini ia simpan dalam hati. Naskah barunya bukan fiksi. Ini kisah tentang seorang perempuan yang hampir kehilangan dirinya karena cinta—dan bagaimana ia perlahan menemukannya kembali.“Ini jujur banget, Nad,” komentar Reza ketika membaca draft pertama. “Berani sekali kamu nulis ini.”“Aku harus jujur. Bahkan kalau orang menilainya sebagai kelemahan,” jawab Nadia pelan.Namun keputusan untuk jujur membawa gelombang baru. Setelah naskah itu dikirimkan ke penerbit, respon datang lebih cepat dari yang mereka duga. Seorang editor senior dari salah satu penerbit terna

    Last Updated : 2025-05-07

Latest chapter

  • Malam yang panas   Bab 15 - Bayangan Lama

    Pagi itu mendung menggantung di atas kota. Langit kelabu seolah mewakili perasaan Reza yang sejak semalam terus didera keresahan. Ia duduk di studio kecilnya, menatap naskah yang belum ia sentuh sejak seminggu lalu. Jari-jarinya kaku di atas keyboard, pikirannya kacau.Di sisi lain, Nadia justru terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Naskahnya sudah masuk tahap akhir penyuntingan, dan promosi awal sudah mulai digerakkan oleh penerbit. Wajahnya mulai muncul di beberapa artikel media, bahkan foto-fotonya sempat viral di Twitter karena dinilai “kuat dan elegan”—dua kata yang justru terasa asing baginya beberapa bulan lalu.Namun keberhasilan itu seperti pisau bermata dua.Reza semakin merasa kecil.Saat Nadia sedang berada di luar untuk wawancara radio, ponsel Reza berdering. Sebuah nomor lama muncul di layar. Awalnya ia ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran dan dorongan tak sadar membuat jempolnya menekan tombol hijau.“Reza,” suara itu me

  • Malam yang panas   Bab 14 - Sorotan

    Sudah dua minggu sejak malam itu—malam ketika Nadia dan Reza memutuskan untuk memulai dari awal. Hari-hari mereka kini terasa lebih ringan, tapi tidak sepenuhnya tenang. Luka masih ada, namun kini tidak lagi menjadi jurang pemisah.Pagi itu, Nadia sedang menulis di ruang kerja kecil di apartemen mereka. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyusun cerita dari kepingan kenyataan yang selama ini ia simpan dalam hati. Naskah barunya bukan fiksi. Ini kisah tentang seorang perempuan yang hampir kehilangan dirinya karena cinta—dan bagaimana ia perlahan menemukannya kembali.“Ini jujur banget, Nad,” komentar Reza ketika membaca draft pertama. “Berani sekali kamu nulis ini.”“Aku harus jujur. Bahkan kalau orang menilainya sebagai kelemahan,” jawab Nadia pelan.Namun keputusan untuk jujur membawa gelombang baru. Setelah naskah itu dikirimkan ke penerbit, respon datang lebih cepat dari yang mereka duga. Seorang editor senior dari salah satu penerbit terna

  • Malam yang panas   Bab 13 - Luka yang Terbuka

    Langit mendung menggantung rendah ketika Nadia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, menggenggam secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Di hadapannya tergeletak laptop yang belum sempat dibuka, padahal ia datang dengan niat menulis kelanjutan dari kisah yang kini mulai menyebar luas. Namanya mulai diperbincangkan. Bukan sebagai editor atau penulis yang berbakat, tapi sebagai wanita dari masa lalu Reza—perempuan yang “diperebutkan,” “dimanfaatkan,” atau “dibutakan oleh cinta”, tergantung dari siapa yang bicara. Namun hari ini bukan tentang publik. Hari ini tentang satu pesan yang baru saja ia terima. > “Aku ingin bicara. Sendirian. Sore ini. – Rani” Nadia menutup matanya. Ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari selamanya. — Di tempat lain, Reza duduk di ruang kerjanya, memandangi naskah yang belum ia sentuh sejak kemarin. Wawancara itu telah

  • Malam yang panas   Bab 12 - Tumbal Cinta

    Desas-desus mulai beredar di dunia yang pernah mereka hindari—media sosial, forum komunitas sastra, bahkan lingkungan tempat kerja Nadia. Semuanya berawal dari satu unggahan anonim: tangkapan layar pesan suara, beberapa potongan email, dan kutipan dari blog pribadi Rani yang dipelintir menjadi narasi murahan.> “Penulis ternama itu menyimpan masa lalu kelam bersama mantan kekasih yang diduga hamil lalu ditinggalkan. Sekarang, ia kembali menjalin hubungan dengan perempuan yang dulu pernah ia campakkan.”Nama Reza tak disebut langsung. Tapi bagi siapa pun yang cukup mengenal sejarah mereka, pesan itu terang-benderang.Nadia menerima telepon dari kantornya pagi itu."Untuk sementara, kami minta kamu istirahat dulu dari proyek utama," kata atasannya dengan suara datar. "Ini bukan soal kamu secara pribadi, tapi kami nggak bisa menanggung citra negatif dari berita yang sedang beredar."Nadia menggigit bibir. "Padahal belum ada bukti k

  • Malam yang panas   Bab 11 - Bayang-bayang masa lalu

    Pagi itu, Nadia terbangun lebih dulu. Sinar matahari menyelinap lembut melalui tirai kamarnya, tapi hatinya justru terasa berat. Ia menatap Reza yang masih terlelap di sebelahnya—tenang, nyaris polos. Tapi di balik ketenangan itu, Nadia tahu ada badai yang belum reda.Ia bangkit pelan, mencoba tidak membangunkan Reza, lalu menuju dapur dan mulai membuat kopi. Saat aroma pahit itu memenuhi udara, ponselnya berbunyi. Satu pesan baru masuk, tanpa nama pengirim.> "Kalau kau tahu apa yang pernah dia lakukan padaku, kau pasti tak akan mempercayainya lagi."Jantung Nadia berdetak lebih cepat. Ia menatap layar, menimbang apakah ini hanya ancaman kosong—atau sesuatu yang lebih gelap.Reza muncul di ambang pintu, matanya masih berat. "Kamu bangun pagi.""Ada yang harus aku pikirkan," jawab Nadia pelan, lalu menyodorkan ponselnya.Reza membaca pesan itu. Napasnya tertahan."Dia mulai menyerang kamu juga," katanya perlaha

  • Malam yang panas   Bab 10 - Luka yang belum sembuh

    Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah tirai, memecah kehangatan kamar yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Nadia terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, menatap ke luar jendela dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih hangat oleh pelukan Reza semalam, tapi pikirannya sudah melayang ke dunia luar—tempat masalah tak bisa diabaikan. Reza masih tertidur, napasnya teratur. Wajahnya tenang, seolah malam tadi telah membawa kedamaian yang ia cari selama ini. Nadia memandangi pria itu lama, membiarkan dirinya merasa tenang sejenak sebelum kenyataan mengetuk kembali. Ponsel Nadia bergetar di atas meja. Ia melirik—“Mama”. Hatinya mengecil. Ia ragu beberapa detik, lalu mengangkatnya. “Halo, Ma?” “Di mana kamu?” suara ibunya tajam, tidak menunggu sapaan balik. “Kamu enggak pulang semalam. Ini sudah pagi, Nadia.” Nadia menarik napas dalam. “Aku di tempat teman, M

  • Malam yang panas   Bab 9 - Malam yang membakar

    Malam telah larut. Jam di dinding berdetak pelan, seakan tahu bahwa waktu yang berjalan malam ini bukan sekadar menit dan detik—tapi langkah-langkah menuju sesuatu yang lebih dalam. Nadia berdiri di depan jendela, memandangi bias lampu kota yang membias di permukaan kaca. Rambutnya tergerai, dan gaun tipis yang ia kenakan hanya sampai lutut. Reza mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Tatapannya tak lepas dari siluet perempuan itu—sosok yang dulu ia miliki, lalu ia kehilangan, dan kini berdiri di hadapannya lagi, dalam damai dan keraguan yang membaur jadi satu. “Kamu masih ingat malam itu?” tanya Nadia pelan, tanpa menoleh. Reza berhenti di belakangnya. “Malam yang mana?” “Malam pertama kamu bilang kamu ingin aku, bukan hanya tubuhku. Tapi hidupku.” Reza mendekat, menempelkan dadanya ke punggung Nadia. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang perempuan itu, memeluknya tanpa kata. Hangat. Teguh.

  • Malam yang panas   Bab 8 - Rasa yang tak bernama

    Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik yang lembut, seperti nada latar untuk hati yang sedang rapuh. Nadia berdiri di depan jendela, menatap lampu jalan yang berpendar oleh air.Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Reza dan Faris. Dua hari yang tenang di luar, tapi penuh pergolakan di dalam. Ia pikir ia bisa menenangkan pikirannya, menjernihkan segalanya. Tapi hati bukan sekadar logika.Di dalam dadanya, ada dua suara: satu yang terus memanggil nama Reza—dengan rindu, dengan kenangan, dengan luka yang tak bisa ia benci; dan satu lagi yang mulai berbisik tentang kemungkinan baru, tentang seseorang yang hadir tanpa menyentuh masa lalu—Faris.Dan malam ini, tanpa ia rencanakan, Reza datang lagi.Ketukan di pintu apartemennya pelan. Tidak mendesak. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Nadia membuka pintu. Reza berdiri di sana, dengan jaket kulit basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak, dan mata

  • Malam yang panas   Bab 7 - Bayangan yang tak pergi

    Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun.Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang.“Pagi,” ucapnya pelan.Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.”Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata.“Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur.Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi kamu teta

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status