Beranda / Romansa / Malam yang panas / Bab 6 - Api yang belum padam

Share

Bab 6 - Api yang belum padam

Penulis: Purple
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-29 22:02:22

Hujan turun sejak sore. Jakarta yang biasanya gaduh mendadak terasa lebih tenang, seolah turut menyaksikan pertarungan diam-diam antara dua hati yang belum selesai.

Nadia duduk di depan kaca besar apartemennya, mengenakan kaus longgar dan celana pendek tipis. Rambutnya masih basah, baru saja mandi setelah seharian bekerja di galeri. Matanya menatap ke luar, ke arah lampu-lampu jalan yang memantul di aspal basah. Tapi pikirannya… entah ke mana.

Ponselnya bergetar.

> Reza: Kamu masih bangun?

Nadia menggigit bibir bawahnya. Jari-jarinya sempat ragu di atas layar sebelum ia membalas singkat.

> Nadia: Masih.

Beberapa detik kemudian, balasan datang.

> Reza: Aku di bawah. Boleh naik?

Jantung Nadia berdebar. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Lalu berdiri perlahan, berjalan ke pintu tanpa menjawab pesan itu.

Dan ketika ia membukanya, Reza sudah di sana. Basah oleh gerimis. Jaket hitamnya licin oleh air, rambutnya sedikit acak-acakan. Tatapan matanya—tajam, gelap, menyimpan sesuatu yang sudah lama tak diperlihatkan padanya.

Nadia membuka pintu lebar-lebar tanpa berkata apa-apa.

Reza masuk. Tidak bicara juga. Hanya berdiri, menatap ruangan yang sama yang pernah ia tinggalkan bertahun lalu.

“Aku... enggak tahu harus ke mana malam ini,” katanya akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti gumaman.

Nadia tak menjawab. Ia hanya berjalan ke dapur, menuangkan dua gelas teh hangat. Gerakannya lambat, penuh perhitungan, tapi tidak kaku.

Ketika ia kembali, Reza sudah melepas jaketnya. Kaus abu-abu yang ia pakai menempel sedikit pada tubuhnya yang lembap. Hanya itu saja sudah cukup membuat dada Nadia terasa sesak—bukan karena fisiknya, tapi karena ingatan yang menyerbu begitu kuat.

Ia duduk di samping Reza, menyerahkan secangkir teh. Jarak mereka hanya sebatas sandaran lengan sofa. Tapi rasanya seperti berdiri di tepi jurang.

“Aku enggak tahu kenapa kamu datang ke sini,” ucap Nadia akhirnya, suaranya nyaris datar.

Reza menatapnya. “Aku juga enggak tahu kenapa kamu bukain pintu.”

Senyum tipis muncul di bibir Nadia. “Mungkin karena kita sama-sama bodoh.”

Reza mendekat sedikit. “Atau karena kita belum selesai.”

Kata-kata itu menggantung. Tidak jatuh. Tidak ditepis.

Nadia mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba menghindari sorot mata Reza. Tapi itu sia-sia. Karena ketika tangan pria itu menyentuh punggung tangannya perlahan, seolah hanya ingin memastikan bahwa ia masih nyata—semua pertahanan runtuh.

“Reza…” bisiknya.

“Aku tahu,” jawabnya cepat. “Aku tahu ini rumit. Aku tahu kamu belum sepenuhnya percaya aku. Tapi tolong, jangan usir aku malam ini.”

“Aku enggak akan usir kamu. Tapi aku juga enggak janji akan kuat lihat kamu terlalu lama.”

Reza menatapnya dalam. “Nadia… kamu masih marah?”

“Tidak. Justru itu yang paling menakutkan. Karena yang tersisa… cuma rindu.”

Dan dengan kalimat itu, keheningan di antara mereka berubah. Tidak lagi canggung, tapi padat oleh sesuatu yang tak kasat mata—hasrat yang tertahan, kenangan yang belum lapuk, dan janji-janji yang pernah hancur tapi ingin dibangun kembali.

Reza menyentuh wajahnya, perlahan, seolah Nadia bisa retak jika disentuh terlalu keras. Dan ketika jari-jarinya menyusuri garis rahang perempuan itu, ketika napas mereka menyatu begitu dekat, waktu seakan berhenti.

Tapi tak ada ciuman.

Tidak malam itu.

Yang ada hanya pelukan panjang di sofa yang dingin, dua tubuh yang diam dalam satu selimut tipis, dan napas yang saling mencari.

Keduanya tahu: mereka belum sampai ke sana. Tapi percikan itu ada. Menyala. Membakar perlahan. Mengancam meledak, tapi belum siap dilepaskan.

Dan justru karena belum disentuh sepenuhnya—rasa itu terasa lebih panas dari apa pun.

Bab 6 (Bagian 2) – Bara di Bawah Kulit

Malam itu, waktu berjalan lambat. Nadia bisa merasakan detak jantung Reza di dekatnya, bahkan saat mereka hanya duduk bersisian dalam diam. Tak satu pun dari mereka bicara. Hanya sesekali suara rintik hujan di luar menyusup ke dalam, menambah berat pada atmosfer yang menggantung di antara mereka.

Di balik selimut yang membungkus mereka, lutut mereka bersentuhan. Dada mereka naik-turun pelan, berirama tak tentu. Dan dalam senyap yang panjang itu, tubuh mulai bicara dengan cara yang kata-kata tak sanggup jangkau.

Reza menoleh pelan. Pandangannya jatuh pada bahu Nadia yang terbuka, kulitnya hangat oleh cahaya lampu temaram. Wajahnya tenang, tapi dagunya sedikit tegang, seperti sedang menahan sesuatu yang terlalu dalam untuk dilepaskan.

“Kamu dingin?” tanya Reza pelan.

Nadia menggeleng, tapi tidak menatap. “Enggak.”

Reza tak bertanya lagi. Tangannya bergerak perlahan ke atas, menelusuri lengan Nadia dengan ujung jari. Bukan gerakan penuh hasrat, tapi penuh kerinduan. Seperti seseorang yang akhirnya bisa menyentuh sesuatu yang telah lama hilang dan hampir dilupakan.

Nadia menarik napas dalam. “Kamu enggak berubah,” bisiknya.

“Aku banyak berubah,” jawab Reza lirih. “Tapi rasa ini… enggak pernah ke mana-mana.”

Nadia menoleh, akhirnya. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kebohongan di mata itu—hanya luka yang belum sembuh, dan keinginan yang belum pernah padam.

Jarak di antara mereka perlahan menipis. Bukan karena terburu-buru, tapi karena tak bisa ditahan lagi. Ketika akhirnya Reza menyentuhkan keningnya ke kening Nadia, ia menutup mata, menahan gemetar yang merambat dari dada ke tengkuk.

“Aku ingin cium kamu,” bisiknya nyaris tak terdengar.

Nadia menahan napas, tapi tidak mundur.

“Aku tahu,” jawabnya pelan.

Dan ciuman itu pun datang—perlahan, hampir seperti permintaan maaf. Tidak terburu-buru, tidak menggebu. Hanya bibir yang bertemu dalam keraguan dan keberanian yang saling bertabrakan.

Tangan Reza naik ke tengkuk Nadia, menariknya lebih dekat. Nafas mereka tercampur, hangat dan berat. Tapi sebelum terlalu dalam, Nadia menarik diri.

“Reza…” napasnya tersengal.

Reza menahan. “Maaf. Aku—”

“Bukan karena aku enggak mau,” potong Nadia cepat. “Justru karena aku terlalu ingin.”

Ia berdiri, menjauh sebentar. Menatap ke luar jendela, lalu memejamkan mata. Bahunya naik turun.

“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dulu?” tanyanya, masih membelakangi Reza. “Bukan karena kamu pergi. Tapi karena aku masih berharap kamu balik.”

Reza berdiri. Mendekat pelan, berdiri di belakangnya. “Aku nyesel. Setiap malam. Setiap pagi. Aku ngerasa aku ninggalin setengah jiwaku di sini.”

Nadia tertawa pelan, tapi terdengar getir. “Dan sekarang kamu mau ambil lagi?”

Reza menempelkan dahinya ke bahu Nadia. Tangannya menyentuh pinggang perempuan itu, ragu-ragu. “Aku enggak mau cuma ambil. Aku mau rawat. Mau hidupin lagi.”

Untuk sesaat, hanya suara hujan yang terdengar.

Lalu Nadia memutar tubuhnya, menatap langsung ke mata Reza. Dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris seperti desahan.

“Kalau kamu mau aku, kamu harus siap untuk semua aku—termasuk luka yang belum sembuh.”

Reza mengangguk. “Kalau kamu masih mau aku, kamu bisa punya semuanya.”

Dan malam itu, lagi-lagi mereka tidak terburu-buru. Tapi kedekatan mereka semakin tak bisa dibendung. Ketika mereka kembali ke sofa, tangan mereka saling mencari dengan gelisah yang manis. Tidak langsung, tapi terus-menerus. Bahu menyentuh dada, jari menyusuri punggung tangan, kepala bersandar ke dada.

Ciuman kembali hadir, kali ini lebih dalam. Lebih panas.

Tapi mereka berhenti di ambang. Dan di ambang itulah mereka terbakar paling hebat.

Bukan karena sudah menyentuh semuanya, tapi karena memilih untuk menahan, dan membiarkan rindu itu menyiksa dengan nikmat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam yang panas   Bab 86 - Saat Semua Menjadi Rumah

    Pagi itu, hujan turun pelan-pelan. Bukan hujan deras yang menakutkan, tapi rintik lembut yang menenangkan. Nadia menyeduh teh hangat di dapur, sementara Reza mengganti popok Aluna yang sedang tertawa-tawa di ranjang kecilnya."Dia makin pintar," ujar Reza sambil menoleh ke Nadia yang berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh untuknya."Dan makin cerewet. Tapi lucunya nggak hilang-hilang," balas Nadia.Setelah sarapan, mereka duduk di ruang tamu, memandangi jendela yang dihiasi embun. Di pelukan mereka, Aluna tertidur setelah kenyang bermain."Aku selalu suka suasana pagi kayak gini," kata Reza."Karena damai?""Karena kamu ada di sini. Karena kita ada di sini. Nggak peduli hujan, badai, atau apa pun, asalkan kita bertiga di tempat yang sama, semua terasa aman."Nadia tersenyum, menatap wajah Reza dengan rasa cinta yang masih sama seperti dulu, tapi kini lebih dalam. Cinta yang telah diuji waktu, jarak, konflik, bahkan tangis bayi di tengah malam.Hari-hari mereka dipenuhi tawa ke

  • Malam yang panas   Bab 85 - Di Antara Sunyi dan Rindu

    Aluna tumbuh cepat. Seperti waktu yang tak pernah menunggu. Baru kemarin mereka belajar mengganti popok, kini Aluna sudah bisa berjalan tertatih-tatih sambil tertawa, mengejar bayangannya sendiri di teras rumah."Jangan terlalu cepat besar, sayang," bisik Nadia suatu pagi sambil menyuapi bubur ke mulut kecil itu.Reza datang dari belakang, mengecup bahu Nadia, lalu mengelus kepala Aluna. "Tapi setiap langkah kecilnya, Nad, adalah bukti bahwa kita berhasil sejauh ini."Hari-hari berlalu, tapi tak semuanya mudah. Tantangan datang dalam bentuk yang berbeda. Reza mulai sibuk lagi dengan proyek seni, persiapannya untuk pameran di luar negeri membuatnya sering pulang malam. Nadia mulai merasa ada jarak yang perlahan tumbuh—bukan karena cinta berkurang, tapi karena fokus mereka terbagi.Malam itu, saat Aluna tertidur, Nadia duduk sendirian di ruang keluarga. Reza baru pulang, membawa laptop dan setumpuk berkas."Kamu belum makan?" tanya Reza sambil duduk di sampingnya.Nadia hanya menggeleng

  • Malam yang panas   Bab 85 - Surat untuk Masa Depan

    Musim hujan datang. Hujan deras turun hampir setiap sore, membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa-masa awal Reza dan Nadia saling mengenal. Di dalam rumah mereka yang hangat, suasana dipenuhi suara-suara kecil Aluna yang mulai berceloteh. Ia belum bisa berkata-kata jelas, tapi gumamannya seperti musik bagi telinga Reza dan Nadia.Pagi itu, Nadia duduk di ruang kerja Reza sambil menggendong Aluna. Di hadapannya, terbuka sebuah buku kosong."Aku mau nulis surat buat Aluna. Untuk dibaca dia nanti saat usianya tujuh belas," kata Nadia.Reza yang sedang menyusun koleksi foto untuk pameran baru menghentikan pekerjaannya. "Itu ide bagus. Aku juga mau nulis. Kita bikin satu kotak waktu. Kita isi surat, foto, potongan baju bayi, semuanya. Buka bareng nanti."Nadia tersenyum. Ia mulai menulis.Untuk Aluna, saat kamu beranjak menjadi perempuan dewasa,Kamu mungkin sedang jatuh cinta, atau baru saja patah hati. Mungkin kamu sedang berjuang mencari tahu siapa dirimu. Apapun kondisimu, satu ha

  • Malam yang panas   Bab 83 - Rumah yang Bernyawa

    Hari-hari berlalu dengan ritme baru. Tangisan bayi, aroma susu, suara alat sterilisasi, dan malam-malam panjang tanpa tidur menjadi bagian dari keseharian Reza dan Nadia. Tapi di balik semua kelelahan, mereka menemukan jenis kebahagiaan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya—kebahagiaan yang datang dari memberi, merawat, dan mencintai tanpa syarat.Pagi hari dimulai lebih awal dari biasanya. Nadia bangun sekitar pukul lima, lalu menyusui Aluna yang mulai merengek. Reza biasanya menyusul beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat dan handuk kecil di tangan."Kita kayak kru sirkus," kata Nadia suatu pagi sambil tertawa kecil. Rambutnya berantakan, mata sembab, tapi senyumnya tak pernah hilang."Iya. Tapi kita sirkus yang cuma punya satu pemain bintang: Aluna," jawab Reza sambil menggendong putri mereka, lalu mengayunkannya pelan.Aluna mulai menanggapi suara dan wajah orang tuanya. Setiap kali Nadia menyanyi, ia menoleh. Setiap kali Reza

  • Malam yang panas   Bab 82 - Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Pagi itu mendung menggantung di atas Jakarta. Reza baru saja menyeduh teh hangat ketika mendengar panggilan dari kamar. "Reza... kayaknya air ketubanku pecah." Jantung Reza nyaris berhenti berdetak. Ia berlari menuju kamar, menemukan Nadia berdiri sambil memegangi perutnya. Ada tetesan bening di lantai. "Kita harus ke rumah sakit sekarang," katanya cepat sambil meraih jaket dan kunci mobil. Semuanya terasa begitu nyata. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi. Nadia menggenggam tangan Reza erat di sepanjang jalan, berusaha tenang di tengah kontraksi yang mulai terasa. "Kita udah sampai di hari ini," bisik Nadia, napasnya terengah. "Iya. Hari di mana cinta kita lahir dalam wujud yang baru." Di ruang bersalin, waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Para perawat dan dokter datang silih berganti. Kontraksi makin kuat. Reza tak pernah meninggalkan sisi Nadia, menggenggam ta

  • Malam yang panas   Bab 81 - Antara Harap dan Degup Waktu

    Memasuki trimester ketiga, Nadia mulai merasakan perubahan besar pada tubuhnya. Ia lebih cepat lelah, emosi mudah bergelombang, dan malam-malamnya sering kali diwarnai gelisah. Namun, dalam setiap peluh dan keletihan itu, ada Reza yang tak pernah beranjak jauh.Suatu malam, ketika angin berdesir lebih dingin dari biasanya, Reza memeluk Nadia dari belakang di tempat tidur. Ia bisa merasakan tubuh Nadia bergetar."Kamu mimpi buruk lagi?" bisiknya.Nadia mengangguk pelan. "Aku mimpi... kamu pergi. Aku panggil-panggil, tapi kamu nggak dengar. Rasanya sesak banget."Reza mengelus pelan perutnya, lalu menarik selimut lebih rapat. "Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana. Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku ada buat kamu."Nadia membalas pelukannya, air mata mengalir tanpa suara. Di balik rasa lelah dan nyeri, hatinya tetap berdebar karena cinta yang tak berubah.Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan lebih pelan. Reza mengambil c

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status