Share

Kedatangan Nyonya Koo

Leningrad, Akhir musim dingin 1992…

Katya's Pov

Langit di atas kota Leningrad keruh, seperti langit pada umumnya di musim dingin. Angin bertiup kencang dan pohon-pohon castuarina bergoyang ke kanan dan ke kiri. Wusshhhh… kadang-kadang beberapa genteng terbang berantakan karena tak mampu menahan laju angin. Juga benda-benda yang ringan yang berserakan di atas salju, bahkan salju sendiri bisa ikut terhempas layaknya pasir di gurun.

Motelku tak begitu ramai pada musim ini. Alasannya banyak, cuaca, salju, dan pada akhirnya ekonomi yang anjlok usai jatuhnya rezim komunis. Aku masih belum bisa mewujudkan impianku membeli tv untuk setiap kamar sebagai hiburan baru bagi penginap di motelku. Masih dengung radio yang meletup-letup. Betapa bosannya! Kemarin, aku mendengarkan suara dari penyiar BBC melaporkan kabar tentang politik, kejahatan, perang, dan ambisi. Kemarinnya lagi, aku mendengarkan kabar dari CNN menceritakan konflik, politik, perang, dan ambisi. Kemarin kemarinnya lagi aku memutar saluran lokal dan mereka hanya menceritakan tentang politik dan runtuhnya Soviet. Hari ini aku memutar ke semua saluran dan isinya masih itu-itu saja.

Aku tidak buta atas apa yang tengah terjadi akhir-akhir ini. Di Eropa orang-orang sibuk mengusut tentang pembantaian Srebenica di Bosnia, dan itu sungguh memilukan karena pada ujungnya mereka hanya memperdebatkan siapa yang salah dan siapa yang benar. Alih-alih bergumul berembuk mencari sebab musabab mengapa itu bisa terjadi dan bagaimana penanggulangannya. Mereka justru disuapi oleh kesibukan rapat membahas siapa yang mesti bertanggung jawab, pemerintah atau kelompok rasisme! Sementara korban terus berjatuhan dan Rusia masih sibuk dengan rezim politiknya usai Gorbachev menyerukan Uni Soviet bubar.

Kemudian seiring musim yang makin kejam, keadaan makin meresahkan, dan entah mengapa dalam masa-masa ini, keresahanku selalu bermula dari ingatanku tentang Jack. Pria itu… pria itu… apa yang harus aku lakukan untuk mengenyahkan wajahnya dari otakku? Aku gusar menyadari hal ini, dan aku juga sedih karena aku terpaksa menerima kemungkinan terbesar bahwa Jack...memang pria selewat malam. Ia hanya melintas sekali dan takkan pernah ku temui lagi. Ia seperti orang-orang di pinggir jalan, aku lewati tapi tak kembali. Tetapi mengapa ia memberiku efek yang begitu besar? Atau mungkin karena aku yang berlebihan? Apakah memang aku berlebihan? Lalu bagaimana aku harus menyikapinya?

Rajutanku yang dulu, akhirnya sudah selesai dibuat. Aku akhirnya mendapatkan pekerjaan lagi, merajut yang lain. Terus begitu. Seolah-olah itu merupakan suatu siklus, dan ketika aku sedang merajut untuk yang sekian kalinya, ibu datang menghampiriku dengan tergopoh-gopoh.

"Kau tahu, Nyonya Koo sudah kembali,’’ pekiknya. Uap nafas keluar dari mulut ibu. Aku ternganga. Nyonya Koo? Dingin-dingin begini ia kembali? Ibu menyeringai melihat alisku terangkat, membenarkan keherananku. Lalu, dalam waktu kurang dari satu menit kami berdua sudah berada di teras depan rumah bersama mantel besar untuk melihat perempuan Cina bersama benz-nya melindas jalanan putih yang mendesis.

Hujan salju masih turun tanpa suara. Benz itu berhenti di gerbang tinggi, beberapa meter di sebelah rumahku. Gerbang berulir keparsi-parsian, tetapi sebab warna catnya sudah memudar sehingga yang terlihat gerbang kelabu yang tinggi yang mencoba untuk meraih kesan parsi. Aku agak miris melihat bagaimana gerbang itu sama sekali tak memantulkan bayangan kemewahan yang dialami penghuninya. Nyonya Koo adalah orang terkaya di kota ini, dan suatu kejutan bahwa ia adalah tetanggaku, tetangga terbaikku persisnya.

Gerbang terbuka, mobil masuk ke dalam dunia nyonya Koo. Ibu bergegas turut masuk ke kediaman wanita itu. Aku mengikuti. Lalu saat mobil berhenti di samping air mancur yang membeku, Nyonya Koo keluar. Pertama-tama kakinya yang jenjang terselimuti mantel domba bearoma Perancis, menyembul dari bukaan pintu mobil. Lalu tangannya yang dihiasi gelang-gelang carnelian, cincin kristal krisolit di jari manisnya, dan jam tangan Maroko. Lalu kepalanya yang ditangkup topi bulu Rusia. Aku terkesima melihat penampilan perempuan yang satu ini. Aku tak tahu apa ibu juga ikut terpana tapi ku rasa ia pun begitu.

Nyonya Koo berusia 73 tahun, tetapi ia masih terlihat seperti anak muda. Fashion yang ditampilkan Nyonya Koo-baik di musim dingin ataupun musim panas pun-begitu brilian dan mahal. Ibu menjuluki Nyonya Koo sebagai seorang fashionita sejati.

"Nyonya Koo!! Selamat datang kembali!’’ suara Ibu, hangat. Perempuan berambut pendek itu menoleh ke arah ibu dan tersenyum tipis, setipis rambutnya yang hitam legam dan matanya yang segaris. Ibu menyalami Nyonya Koo dan Nyonya Koo membalasnya lembut nan singkat. Aku bisa melihat bahwa sarung tangan yang dikenakan Nyonya Koo baru dan terbuat dari sutera asli.

"Oh, my lovely neighbour!’’ seru Nyonya Koo. "Oh, tetanggaku tercinta.’’

Nyonya Koo berjalan lambat membelakangi kami, ia bahkan tak menggunakan tongkat seperti yang sering dilakukan para lansia saat dirinya ingin berjalan. Ia pergi menuju pintu rumahnya dan karena suatu keseganan, kami tidak ikut masuk. Semua orang di kota ini tahu bahwa Nyonya Koo tidak menyukai seseorang masuk ke rumahnya tanpa izin. Atau sebelum ia sendiri mengucapkan, "Ya, kau boleh masuk ke istanaku kapanpun kau mau.’’

Jadi kami memilih berdiri di luar dan menunggu Nyonya Koo berbalik pada aku dan ibu.

"Oh, Tuhan!’’ pekik Nyonya Koo. "Mengapa kalian tidak ikut masuk? Kalian boleh memasuki istanaku kapanpun kalian mau. Aku sudah mengatakannya sejuta kali, untuk kalian tak perlu ada izin dariku.’’

Nyonya Koo menggeleng-gelengkan kepala melihat kami terdiam. Ia berbalik lagi dan berjalan menuju pintu. Kali ini kami mengikutinya. Selangkah mendekati pintu, aku mulai mengenang kesan terakhirku di rumah ini, suatu dunia yang klasik namun megah. Alih-alih masuk sebuah rumah, saat itu aku merasa tengah mengunjungi istana Buckingham, Museum D’Louvre, Katedral di Vatikan, Kuil Cina, dan Moskow dalam satu paket. Langit-langit rumah tinggi, lantainya dari marmer berbentuk kotak-kotak besar, jendelanya besar, dinding-dindingnya dipenuhi lukisan dan foto-foto dari keluarganya, dan ada beberapa ornamen dari cina seperti pagoda yang terpajang di lemari kaca. Aku selalu mengagumi duplikasi lukisan Innoncent kid, Madonna on the rock, dan the last supper karya Da Vinci di rumahnya. Kadang-kadang aku bisa bermenit-menit menatapi jejeran lukisan di dinding rumahnya, dari Da Vinci sampai Picasso. Nyonya Koo tahu akan kekagumanku pada lukisan-lukisan di rumahnya, dengan sukarela ia akhirnya menghadiahiku Innoncent kid untuk dibawa pulang.

*****

"Kau datang dengan tiba-tiba, Nyonya Koo,’’ kata ibu, antusias. "Kenapa tidak memberi kabar dulu?’’

"Hahaha…’’ Nyonya Koo tertawa dengan hati-hati, tetapi tidak ada kelucuan di dalamnya, yang keluar hanyalah sebentuk asap putih dari mulutnya, efek dari musim dingin. Ia menyampirkan telapak tangannya pada dinding, merasakan kebasahan dan kekelabuan udara di luar merembes ke rumahnya.

"Aku tidak ingin merepotkan. Ini bukan peristiwa penting.’’

Nyonya Koo tahu seperti halnya aku tahu bahwa ibu tentulah akan menyibukkan diri di dapur memasak masakan Rusia, Cina, dan masakan dari berbagai belahan dunia jika ia tahu Nyonya Koo yang sering berpergian ke tempat-tempat istimewa, agamis, fashionist, tradisionalis, modernis, dan kriminalis tribalis akan datang. Rumah Nyonya Koo yang ini hanya dihuni kurang dari tiga bulan dari keseluruhan bulan dalam satu tahun semenjak Tuan Koo meninggal. Aku bisa mengerti perasaan ibu yang pastilah menganggap ini kesempatan jarang. Tidak ada salahnya memberikan suatu Penghargaan dan perlakuan lebih kepada tetangga. Ibu tidak mengharap apapun dari Nyonya Koo atas masakan-masakan yang dibuatnya atau hal semacam itu selain karena fakta bahwa mereka hidup bersebelahan dan mereka menjalin keakraban satu sama lain.

"Kau jadi sangat sibuk akhir-akhir ini,’’ ujar ibu penuh penyesalan.

"Yah, maafkan aku. Aku tidak bisa mencegah kesibukan ini.’’

"Kau seharusnya bersenang-senang di usiamu.’’

"Yah, seandainya aku bisa.’’

Jawaban itu adalah antiklimaks, menurutku. Tak akan cukup memuaskan. Tetapi hampir menjelaskan segala tentang cekungan hitam di bawah matanya, yang mencoba disamarkan dengan bedak namun tidak terlalu berhasil, juga kerutan-kerutan yang semakin banyak, justru bukan karena ia semakin tua, tapi karena ia menanggung sangat banyak tanggungan di punggungnya, kepalanya, dan otaknya. Nyonya Koo menjadi kelelahan karena harus mengurusi segala hal yang berkaitan dengan harta dan pekerjaan peninggalan suaminya sendirian, begitu kata ibu.

"Nyonya Koo tidak memiliki anak dan itu membuat kehidupannya sedikit tidak sempurna. Yah, benar! Ia memang telah mengadopsi seorang anak, tetapi kemana sekarang anak itu? Soviet telah merenggut anaknya!’’

Harry, nama anak adopsi Nyonya Koo. Seorang pemuda tampan berkarismatik dari Ceko yang nyawanya dibabat habis waktu dirinya dinobatkan sebagai tentara nasional merah Soviet dan dikirim ke Afghanistan untuk berperang. Hanya enam bulan Harry disana, Nyonya dan Tuan Koo segera mendapat informasi bahwa pemuda itu tertembak mati di Kandahar, salah satu daerah paling tribal disana, merupakan basis utama kelompok penganut islamisme ekstrim, Taliban.

"Aku pikir Nyonya dan Tuan Koo akan meninggalkan Soviet waktu itu, mengingat kematian Harry sungguh tragis. Harry meninggal demi negara, pemerintah ini mestilah memberikan suatu penghargaan atas dirinya,’’ ujar seorang wanita berbadan dua yang tengah menulis pendaftaran penginapan satu kamar di lantai paling bawah. Waktu itu usiaku masih tujuh atau enam tahun.

"Sejak awal mereka telah salah mengizinkan Harry menjadi tentara. Seharusnya mereka tahu bahwa sebagai tentara, Harry bisa mati dimanapun dan kapanpun dalam waktu yang pendek. Mereka selayaknya sudah siap akan itu. Resiko mati di medan perang itu sangat besar. Mereka harus mengerti,’’ ucap seorang wanita di meja resepsionis motel. Wanita itu mengelus-elus perutnya, ibu memberikan cap di kertas pembayaran, aku di samping ibu asyik bermain barbie, cuaca sangat panas waktu itu dan si wanita tetap bersuara sambil menunggu ibu menghitung uangnya.

"Sekarang, coba kau pikir siapa yang akan melanjutkan bisnis-bisnis mereka? Tidak ada anak, tidak ada generasi penerus! Iya, mereka orang kaya. Tapi mereka akan merasa kelimpungan dan kesepian di usia tua. Ku pikir sebaiknya mereka mengadopsi lebih dari satu anak untuk mencegah kemungkinan kematian seperti Harry terjadi lagi, benar kan? Kesialan tidak bisa ditebak kapan datangnya, tapi setidaknya kita bisa mencegahnya. Kalau aku jadi mereka, aku akan melakukan hal demikian.’’

Ibu menaruh lima puluh rubel di atas meja. Si wanita mengambil lembaran-lembaran uang itu dengan takzim. Angin bertiup kering menembus ventilasi. Ibu tersenyum pada wanita itu,

"Yah, itu jalan pikiran Anda bukan? Ku rasa Nyonya Koo punya pemikiran yang lain.’’

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status