Share

Menunggu

Jack's POV

"Samosa satu!’’

"Chapati!’’

"Jalebi!’’

"Nasi palao lima!’’

"Kebab Turki tiga!’’

Aku menghabiskan hari-hariku kini berdiri di balik sebuah meja layan bersama sederetan pria yang secara cover sangat berbeda denganku. Mereka tidak putih, pun tak hitam. Rambut mereka tidak pirang, pun tak terlalu hitam. Mata mereka tidak biru, pun tak hitam, tapi hijau seperti zamrud. Garis wajah mereka kuat seolah menegaskan batas-batas darimana mereka berasal. Deretan pria yang ikut bekerja bersamaku adalah mereka yang datang dari daratan asia bagian selatan, barat, dan Afrika utara. Mereka sangat bertenaga, tak ubahnya saat mereka berperang melawan orang-orang kulit putih.

"Nasi palaaouow! Samoouwssaa! Kebbabbe! Semmuwannyya limmaa rrubbell! Tashakor!’’

Suasana kedai saat itu meriah oleh piring-piring, wajan, gelas, televisi, dan kucuran air. Suhu diluar adalah dua derajat celsius. Suhu di dalam mencapai sepuluh derajat. Bau daging merambah ke pelosok ruangan. Orang-orang terus berdatangan menjelang senja, memesan ini itu sambil menunggu dan tertawa terbahak-bahak. Orang-orang itu yang datang ke kedai ini bukan datang dari bangsaku. Mereka adalah para imigran dari dataran Asia bagian selatan dan sekitarnya. Jelas, sebab ini bukan rumah makan Rusia, meski berada di Rusia. Ini adalah rumah makan orang Afghanistan-Samovar.

Aku dipertemukan dengan sepasang suami istri, Rajif dan Gula waktu aku berpetualang mencari kehidupan usai meninggalkan motel Katya. Aku masih miskin tetapi aku sudah terlanjur bertekad untuk melakukan kelahiran baru. Aku ingin mencari pekerjaan dan hidup normal sebagai Jack. Persetan dengan Jay! Aku ingin melupakannya. Aku tak mau menjadi penghuni abadi penjara gara-gara kasus Semenanjung Gulag yang tak kunjung selesai. Semenanjung Gulag adalah wilayah kamp konsentrasi para pekerja yang bekerja untuk komunis. Peristiwa penjeblosan penjaraku bermula dari kamp itu. Ceritanya rumit. Terlalu banyak konspirasi dan penenggelaman bukti. Namun yang pasti, Semenanjung Gulag telah membawa kesempatan bagi orang ahli neraka untuk kabur dari hukumannya. Digantikan dengan insan-insan yang lugu-yang mudah ditipu yang akhirnya harus menderita akibat pemutar balikan fakta. Aku tidak lugu, pun tiada bersalah, tapi aku tahu sesuatu, makanya mereka menjebloskanku.

Dan udara yang menggigit ini telah memutus asaku. Aku sudah cukup puas bisa kabur, sekarang aku berserah apakah rusuh di Semenanjung Gulag harus diusut tuntas atau tidak, biar Tuhan saja yang menentukan. Toh, dunia ini pun penuh oleh orang-orang berdosa yang tidak dihukum?

*****

Pada mulanya aku berjalan kaki dan bergerak ke arah selatan melewati rumah-rumah penduduk yang terkunci dalam dinginnya waktu. Jadi beginilah rasanya berjalan tanpa tujuan, kosong. Pada akhirnya aku berada di suatu titik dimana aku mengalami kelelahan dan kedinginan. Seorang pria menyelamatkanku dan membawaku ke flatnya.

"Terima kasih,’’ kataku saat mulai sadar. Pria itu menggumam dan membawakan semangkuk sup untukku. "Terima kasih,’’ kataku lagi dan menerimanya. Aku tak bisa pura-pura bahwa aku tidak lapar. "Terima kasih,’’ kataku untuk ketiga kalinya. Aku bingung harus bilang apalagi. Dalam dua hari ini hidupku berjalan laksana mukjizat. Dua hari dan aku menemukan dua orang baik, Katya dan…

"Hamzah,’’ ucap pria itu.

Hamzah.

Katya dan Hamzah, orang-orang berhati penolong.. ya setidaknya begitu.

"Terima kasih. Namaku Jack.’’

Kami tenggelam dalam obrolan seru selama beberapa hari dan suatu kejutan karena aku merasa cocok dengannya. Saat bersama Katya aku membeku. Tetapi Hamzah seolah-oleh merupakan wujud dari pelampiasan atas apa yang telah terjadi denganku, atas apa yang melelahkanku dan aku benar-benar rindu untuk tertawa. Hamzah jadi temanku-untuk beberapa hari. Sama seperti Katya (Oh, kenapa aku selalu mengungkit namanya) Hamzah adalah orang baik. Aku rasa begitu. Ia adalah orang blasteran Indonesia-Rusia. Maka dari itu kulitnya sedikit gelap dan badannya agak kecil. Tetapi matanya biru. Ia humoris selama ini. Namun hidupnya ternyata tak lebih beruntung dariku. Ia kehilangan istrinya dan untuk menemukannya kembali, ia bertekad keliling dunia. Tuhan, Engkau luar biasa telah menciptakan manusia seperti Hamzah!

Aku tinggal bersama Hamzah untuk beberapa waktu. Selama itu, aku juga diam-diam sibuk mencari pekerjaan. Namun, sering kali, aku belum mendapatkan keberuntungan.

"Minggu ini aku akan ke London,’’ sahut Hamzah. "Sedih berpisah denganmu, tetapi aku harus menemukan istriku.’’

Seharusnya aku yang sedih, kehilangan manusia sebaik Hamzah. Aku ragu apakah setelah ini, setelah Hamzah terbang ke Eropa, aku akan bertemu seseorang yang baik lagi? Kemungkinannya pasti satu banding satu juta. Namun betapa pun, aku harus yakin bahwa orang baik itu selalu ada. Mungkin aku bisa menjadi salah satunya atau tidak sama sekali.

"Kau boleh memiliki tempat ini ..’’

"Tidak perlu, kau tidak usah repot-repot. Aku akan segera pergi juga,’’ potongku, merasa tidak enak hati.

"Pergi kemana?’’ tanya Hamzah penuh selidik. Aku kebingungan menjawab untuk beberapa saat.

"Aku akan mencari pekerjaan dan hidup dengan pekerjaanku.’’

Hamzah memandangku, ekspresinya sulit ditebak. Lalu ia merogoh kantung celananya, mengambil dompet dan mengeluarkan suatu kartu serta sebuah kaset.

"Ini kartu namaku. Semoga kita bisa bertemu kembali.’’

Aku mengamati kaset yang diberikannya. Hamzah adalah seorang penyanyi.

"Ya, aku berharap begitu. Senang bertemu denganmu.’’

Aku mengeryitkan dahi. Hamzah tertawa renyah, seperti biasanya.

"Hari pertama yang kau lihat adalah teman, hari berikutnya yang kau lihat adalah saudara. Itu pepatah Afghan.’’

Aku terkesan. "Bahasa farsimu mengagumkan.’’

Ia menjawab sambil tertawa, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. "Istriku orang Afghanistan.’’

Oh, aku terkejut. Lalu terkesan lagi.

"Kau adalah saudaraku.’’

Kami berpelukan dengan gentleman. Oh Tuhan, aku benar-benar tidak bisa mengerti bagaimana kehidupan itu sesungguhnya berjalan. Aku merasa sangat beruntung bertemu Hamzah, dan saat ia hendak pergi aku merasa takut takkan bertemu orang seperti dia lagi.

"Hah!’’ Hamzah berteriak. Aku kaget. Ia mengacungkan tangannya di dekat dahi. "Aku tahu siapa yang kira-kira bisa memberimu pekerjaan!’’

Jadi begitulah akhirnya aku diperkenalkan dengan Rajif dan Gula, lalu akhirnya bekerja untuk mereka.

*****

Katya's Pov

Aku mengukur bulan yang terjebak di jendela. Jendela bujur sangkar berwarna cokelat kayu, bergaya feodal kuno. Bulan baru, bulan sabit, setengah lingkaran, seperempat lingkaran, lingkaran. Proses itu memakan waktu berhari-hari. Jika dikonversikan ke menit dan detik maka bilangannya barangkali sudah seperti nomor telepon. Namun selama itu, sepanjang fase-fase bulan berganti. Aku terus teringat padanya. Dan aku gelisah memikirkan kenyatan bahwa ia mungkin tidak mengingatku. Meski ia bilang takkan melupakanku. Ah, aku gelisah.

Suara di radio terus berdendang. Menyanyikan lagu yang sama semenjak Jack lepas landas dari motel ini.

Like a castle, built upon a sandy beach.. gone too soon…

Like a perfect flower, that is just beyond your reach… gone too soon…

Born to amuse, to inspire to delight… here one day… gone one night…

Like a sunset, dying with the rising of the moon… gone too soon…’’

Aku teringat pesan seseorang, Nyonya Koo, salah satu tetanggga terbaikku. Ia pernah berkata "Jika seorang pria bilang bahwa ia takkan melupakanmu, maka itu benar adanya.'' aku terlonjak senang mengingat ini, sekaligus menjadi sangat sedih karena hari demi hari, perkataan Nyonya Koo terus mendekati salah. Ah!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status