Share

Gone Too Soon

Jack's POV

Aku membolak-balik lembaran koran crocodile, dan beberapa koran merk lain, lokal maupun internasional pagi ini. Berita tentang pembantaian Srebenica terpampang sebagai tampilan awal pada rata-rata koran, disusul masalah robohnya perang dingin, perang di Afghanistan, konflik di Timur tengah, kelaparan di Ethiopia, rusuh di Somalia, kejayaan Eropa, inflasi di Asia Tenggara, politik di Rusia, persoalan hidup di pelosok Rusia, musim dingin di Moskow, macam-macam resep makanan untuk musim dingin, macam-macam pernak-pernik untuk musim dingin, macam-macam hiburan di musim dingin, cara mendekorasi pohon cemara, cara membuat kue tart cokelat, pemutaran ulang film ‘Lolita’, asal usul nama crocodile dari koran crocodile, dan akhirnya… pas foto seorang napi yang kabur dari penjara. Aku menelan ludah. Tanpa aku insyafi lagi aku membaca biografi diriku. Yah, barangkali tidak ada bedanya dengan sesosok artis yang suka menguntit dirinya sendiri.

            Wanted!

            Nama              : Jay Nabokov

            Jenis kelamin  : laki-laki

            Status              : Buronan

            Kejahatan      : Provokator konflik di Semenanjung Gulag

            Ciri-ciri            : Mata biru, hidung mancung, rambut perak, kulit putih                                      Tinggi Badan 190 cm, memiliki tato bertuliskan 4789 di  Punggung.

Bagi yang melihat atau menemukannya harap hubungi polisi sebab orang ini telah kabur dari penjara dan kemungkinan membahayakan masyarakat.

Kalimat terakhir dari ukiran cyrillic itu betul-betul membuat aku bergidig. Membahayakan masyarakat, bagaimana para polisi bisa berfikir aku sedemikian buruk? Aku sendiri tidak pernah merasa aku begitu berbahaya untuk masyarakat. Aku tahu aku bukan orang baik, aku telah melakukan pembunuhan pada beberapa orang. Oh aku teringat si toko roti dan lelaki tua, tapi itu karena aku terpaksa. Suatu realita sering menyodorkan aku pada keterdesakan yang menghasilkan dua kemungkinan; Pertama, aku mati atau busuk di penjara. Kedua, orang-orang tertentu harus mati untuk hidupku. Aku mendesah. Aku sudah banyak belajar dari Semenanjung Gulag dan kenyataan selalu memberiku alasan untuk memilih yang kedua.

"Aku pergi,’’ sahutku pada Katya, gadis penolongku yang saat ini sedang sibuk merajut syal di ruang tunggu motel. Aku bersamanya dua puluh lima menit yang lalu. Kami duduk satu meja. Tetapi kami tidak berbicara. Tidak tahu mengapa…. Kecanggungan seringkali meringkus kami saat kami terpuruk dalam waktu berdua. Walau begitu aku masih bisa mendapati saputan merah jambu di kedua pipi Katya. Ia seperti orang tersipu saat melihatku, atau memang begitu kenyataannya.

"Mau kemana?’" tanyanya. Suaranya sehalus sutera.

"Mau pulang."

Aku berbohong padanya. Aku tidak akan pulang. Aku tak memiliki rumah. Rumahku satu-satunya di Moskow dibabat habis oleh pemerintah saat aku dijebloskan ke penjara. Tak ada yang tersisa. Bahkan aku pun tak punya uang satu rubel pun. Tetapi aku malu untuk mengakui betapa miskinnya aku saat ini. Apalagi aku sudah sangat tidak tahan pada kebaikan Katya yang memberiku penginapan gratis. Aku juga tidak enak hati untuk memohon padanya untuk memberiku tempat berteduh dari hujan salju yang membuat jalanan beruban untuk satu kali lagi. Apalagi semalam aku iseng menggodanya-walau bukan untuk maksud apa-apa, tapi aku rasa ia mengartikan itu adalah sesuatu. Terbukti dari dirinya yang tak mampu mengontrol keterpanaan diri. Seolah-olah aku memberinya pertanda suka. Sial! Mengapa aku bertindak sebodoh itu?

Cukup. Aku tahu diri. Aku harus pergi.

"Apakah kau akan kembali?’" tanya Katya, serius. Aku bungkam sejenak, "Tidak."

Meskipun aku ingin, aku harus mengabaikannya. Katya tersenyum letih, angin berembus mencuri-curi masuk lewat jendela dan ventilasi yang sedikit terbuka, mengelus wajah kami.

"Senang bertemu denganmu,’’ kata Katya, sedikit pelan.

"Terima kasih atas pertolongannya,’’ jawabku, sedikit terlalu formal.

Oh Katya, jika kau tak membawaku ke motelmu ini, aku mungkin sudah ditangkap lagi oleh polisi dan kembali lagi membusuk di penjara. Terima kasih Tuhan telah mempertemukanku dengan Katya.

Lalu aku mengambil mantel dan topi buluku yang kemarin tergantung di paku-paku dinding. Aku teringat si bapak tua saat memakai mantelnya. Katya kembali melanjutkan pekerjaannya dan aku tersadar, ia tak lagi tersipu. Suatu saput kesedihan menutupi matanya.

"Kau ingin mantel yang baru?’’ tiba-tiba Katya menawarkan diri tepat saat aku akan membuka gerendel pintu. Ia melihat mantelku dan memegang bagian kantungnya, "Ini sudah terlalu…’’

"Tidak. Terima kasih,’’ potongku, berharap ia akan membiarkanku pergi dengan mudah dan tak lagi menawari aku ini itu yang jatuhnya justru membuat hutang budiku bertambah banyak padanya.

"Diluar sangat dingin, kau butuh mantel yang lebih baik,’’ jelas Katya.

"Tidak. Ini sudah cukup.’’

"Tapi….’’

"Tak apa-apa, Katya. Ini sudah cukup. Terima kasih.’’

Aku mencoba untuk tetap pada pendirianku dan tak menyinggung perasaannya. Suatu keheningan yang buta meringkus kami waktu Katya membalas ucapanku dengan senyum letih dan ia kembali pada rajutannya. Ia tidak menatapku untuk yang terakhir kalinya. Aku tak melihatnya juga. Rasanya dalam beberapa detik aku merasa sangat buru-buru ingin pergi dari motel ini, memutuskan hubungan yang baik ini supaya tak jatuh terlalu dalam. Aku membuka gerendel pintu, setangkup angin salju menamparku. Aku menggigit bibir dan menggigil. Sesuatu mendadak mendorongku kembali.

"Katya…’’ ucapku, spontan dari ambang pintu. Katya terkejut.

"Terima kasih atas pertolongannya.’’ Aku menghela napas. "Terima kasih…. Aku takkan melupakanmu.’’

Aku takkan melupakan kebaikanmu, begitu maksudku. Namun entahlah aku melangkahi kata 'kebaikan' itu sendiri sehingga kalimat yang ku ucapkan tadi agak beraroma asmara. Aku mengutuki diri sendiri menerima kenyataan ini. Aku tersenyum manis seperti pelayan hotel waktu mengatakannya sementara gadis itu tercenung mendengar pernyataanku.

Tetapi beberapa detik kemudian Katya menunjukkan ekspresi normal dan keterkejutannya itu menghilang. Ia membalas senyumku dan langsung menyibuki diri oleh rangkaian rajutannya. Ia tidak mengatakan selamat tinggal padaku. Aku menutup gerendel pintu dan menyapa alam luar yang dingin dan liar. Langkahku tercetak pada gundukan salju seperti jejak purba. Leningrad adalah dunia yang sepi. Sepanjang perjalanan hanya ada aku dan angin yang tertawa meledek salju di wajahku. Huhuhuhhuhuhuh…wushhhh!!! Oh Tuhan, dingin ini.. perjalanan ini… sepi ini… kemana aku harus pergi?

Aku mendengar bunyi gemerisik di dalam kantong mantelku. Aku merogoh kantung itu dan menemukan beberapa rubel. Oh Katya.....

*****

Katya's POV

Aku merasakan dada yang sesak oleh suatu kesedihan yang ganjil. Jack hanyalah orang asing yang mampir sebentar lalu pergi. Aku mengkalkulasi, bahkan tidak ada dua puluh empat jam ia disini. Tetapi aku merasakan sesuatu yang emosional padanya. Aku merasa bersalah jika harus menghubungkan pertalian singkat ini dengan asmara. Aku mungkin terpesona akan ketampanannya, aku mungkin penasaran dengan sikapnya. Tetapi apakah aku benar-benar suka padanya? Ideologiku selama ini berkeyakinan bahwa rasa suka dibentuk dari waktu yang lama, bahkan berabad-abad, dan sebuah hal yang buta menurutku apabila seseorang bisa jatuh hati pada pandangan pertama, tak masuk akal, tetapi sejak kapan asmara masuk akal? Konsep yang bodoh ini menggerayangiku terus menerus. Namun satu hal yang harus ku akui, aku ingin ia tetap disini. Aku tak ingin ia pergi entah mengapa…

Untuk mengusir kegamangan ini aku menyalakkan radio di pojok ruangan. Suara-suara di radio menampilkan nyanyian kabaret wanita negro. Aku memutar stasiunnya. Suatu lantunan lagu dari Michael Jackson memberondong pikiranku. Aku ingin merajut dengan bahagia, tetapi lagu raja pop itu justru menambah kegamanganku.

              Like a comet, blazing cross the evening sky.. gone too soon…

              Like a rainbow, fading in the twingkling of an eye… gone too soon…

              Shiny and sparkly, and splendidly bright… here one day.. gone one night…

              Like the loss of sunlight, on a cloudy afternoon…. gone too soon…

"Gone Too Soon," ucapku dalam hati. Ya, Jack pergi terlalu cepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status